Thursday, May 22, 2014

Pedofil dan Over-Protektif yang Semakin Menjadi



 Pedofil memang bukan hal baru. Saya pun sudah lama mendengar istilah itu. Namun apa yang dilakukan si “E” yang mengalami kelainan jiwa pedofil baru-baru ini, sangat mengejutkan saya sebagai ibu dari anak yang masih kecil-kecil. Banyaknya jumlah anak yang menjadi korban kejiwaan si “E”-lah yang membuat saya sangat khawatir.
Saya punya empat orang anak. Salah satu dari anak saya, sangat aktif dan mudah bergaul (menurut saya mah). Gadis kecil yang beberapa hari lagi akan memasuki usia 5 tahun ini, tidak butuh waktu lama untuk bisa menikmati kebersamaan dengan teman yang baru dikenalnya. Namun dia punya kebiasaan, yaitu selalu lupa dengan nama teman yang baru dikenalnya. Tidak jarang saya yang menanyakan nama pada teman barunya itu tanpa sepengetahuan anak saya. Sehingga saya bisa membantu mengingatkan, saat dia lupa dengan nama teman yang baru dikenalnya.
Beberapa hari yang lalu saya mengajaknya pergi berenang. Di area kolam renang itu dia bertemu dengan seorang anak perempuan yang usianya mungkin hampir sebaya. Karena besar dan tinggi anak itu tidak terlalu jauh berbeda dengan anak saya. Tempat saya menunggunya berenang yang cukup strategis, membuat saya leluasa melihat apa yang dilakukan anak saya dan teman barunya. 

 
Anak saya yang memang sudah biasa menaiki water boom di area kolam renang, mengajak teman barunya untuk naik. Rupanya anak itu belum begitu berani untuk menaiki perosotan air yang memang cukup tinggi dan berkelok. Jadi mereka hanya berenang-renang saja kesana kemari. Tapi anak saya terus saja berusaha mengajak anak itu untuk naik. Sampai akhirnya anak itu mau, namun dia minta untuk menuruni perosotan bersama-sama. Jadilah mereka meluncur bersama.
Eksekusi meluncur yang sukses, membuat teman baru anak saya ingin mengulangi menaiki water boom. Alhasil, mereka berdua terus menerus mengulangi apa yang dilakukannya. Sampai-sampai saya lihat justru anak saya mulai kelelahan karena beberapa kali kepalanya masuk ke dalam air setelah meluncur. Sementara teman baru anak saya yang awalnya tidak berani, menjadi ketagihan untuk meluncur dan meluncur.

Itu hal terbaru yang dilakukan gadis kecil saya bersama orang yang baru dikenalnya. Sebentar saja, dengan sedikit obrolan, anak saya sudah akan akrab dengan teman barunya. Hal-hal seperti itu sudah biasa dan sering dilakukannya, yang bagi saya itu merupakan hal yang baik, karena teman barunya itu sebaya dan sama-sama perempuan.
Dalam kesempatan yang lain, saya pernah mengajak anak saya menempuh perjalanan Jakarta – Solo dengan bus. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 15 jam itu mungkin melelahkan dan menjemukan jika hanya duduk diam saja tanpa aktivitas. Namun anak saya yang aktif ini, dari awal berangkat sudah memilih berdiri untuk melihat pemandangan sekitar melalui jendela.
Sekitar 2 jam-an setelah bus berangkat, anak saya sudah terlihat bercakap-cakap dengan 2 penumpang laki-laki yang duduk di belakang kami. Secara halus saya menegur anak saya, dengan menyampaikan agar tidak mengganggu mas-mas yang di belakang itu. Namun anak saya tetap saja melakukannya. Bahkan, beberapa saat kemudian dia sudah berbalik badan dengan memegang sebuah jajanan ringan yang diberi oleh dua penumpang tersebut. Dan anak saya langsung menyantapnya tanpa rasa khawatir sedikit pun.
Mungkin memang begitulah anak-anak, mereka sangat polos. Padahal saya sebagai ibunya sangat khawatir, kalau-kalau dua penumpang itu bukanlah orang “baik-baik”. Rasa khawatir saya muncul karena dua penumpang itu sudah bukan lagi anak-anak, jelas tidak sebaya dengan anak saya dan mereka berjenis kelamin laki-laki.
Ada satu pengalaman lagi yang sangat membuat saya khawatir kala itu. Saat saya pindah rumah karena pekerjaan suami yang jauh dari rumah tempat kami tinggal. Tempat suami bekerja memberi fasilitas sebuah rumah untuk kami tempati selama kami belum mendapatkan rumah tetap untuk tinggal. Namun ada dua orang lagi yang juga tinggal di rumah itu, dan mereka laki-laki. Meskipun antara kami dan mereka sudah ada sekat, tapi anak-anak masih bisa dengan mudah keluar masuk ke tempat mereka dari pintu depan.
Lagi-lagi, yang namanya anak-anak, mereka susah diajak berdiam diri di dalam rumah meskipun beragam mainan sudah “cukup” disediakan. Anak-anak cepat sekali bosan. Dan anak saya adalah tipe anak yang lebih suka bermain dan berinteraksi dengan orang lain, daripada harus duduk diam di rumah sambil nonton TV atau main game di komputer. Pilihan terakhir itu dia ambil saat benar-benar dia tahu tidak ada siapa pun yang bisa diajak untuk main bersama. Seperti ketika dua orang yang tinggal satu atap dengan kami harus masuk kerja.
Sementara hari-hari saat mereka ada di rumah, anak saya selalu mencoba untuk menghampiri mereka. Anak saya juga betah sekali bermain-main dengan mereka. Apalagi mereka menyediakan makanan ringan yang memang disukai anak-anak. Dan saya sebagai ibunya, selalu khawatir ketika anak perempuan saya bermain dengan laki-laki yang saya tidak mengenal mereka dengan baik atau saya sudah mengenal cukup lama. Saya baru sedikit merasa tenang melepas anak saya bermain, jika ayahnya juga ada bersamanya.
Itu sedikit cerita tentang anak perempuan saya. Menurut saya, dia termasuk anak pemberani yang mudah bergaul dengan siapa saja. Dia selalu menjawab saat orang lain menanyakan sesuatu kepadanya, meskipun dia tidak mengenalnya. Dan saya selalu khawatir terhadapnya setiap kali dia berbincang terlalu akrab dengan laki-laki. Saya juga selalu mengingatkan dia untuk tidak terlalu akrab dengan laki-laki yang tidak ada hubungan kekerabatan dengannya.
Beberapa teman mengatakan, bahwa saya over-protektif. Saya tidak menyalahkan atau pun membenarkan mereka. Karena saya memilih sikap itu sebagai upaya kehati-hatian dan kewaspadaan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anak saya. Terutama pada anak perempuan, karena saya memang memberi penjagaan lebih ketat terhadap anak perempuan dibanding terhadap anak laki-laki. Itu sikap saya sebagai ibu sebelum kasus si “E” muncul di media.
Setelah kasus si “E” ini terungkap dan saya melihat beritanya di media, kekhawatiran dan ketakutan saya sebagai ibu semakin menjadi. Saya yang sudah mulai berani melepas anak-anak bermain sendiri di lingkungan kompleks tanpa pengawasan langsung dari saya, mulai membatasi anak-anak lagi. Bahkan batasan itu tidak hanya berlaku pada anak perempuan, tapi juga pada anak laki-laki. Saat ini saya hanya bisa berharap, semoga semua bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual terhadap anak-anak bisa segera diantisipasi oleh pemerintah, sebagaimana diberitakan akhir-akhir ini.