Wednesday, February 27, 2019

5 Langkah Mudah Memasang Regulator Tabung Gas


Gambar oleh tookapic pada Pixabay

Duluuu ... iya dulu ... jangankan pasang regulator ke tabung gas sendiri, masuk dapur saja, saya jarang sekali. Setelah menikah bagaimana? Hehe ... dulu itu maksud saya ya setelah menikah. Kalau sebelum menikah, apalagi ... masih ada mamak di rumah buat ditanyai bagaimana saya kecil dulu.

Semasa kecil, saya paling malas dengan urusan pekerjaan rumah. Sampai adik saya protes karena merasa selalu dia yang disuruh. Lha, kalau saya yang disuruh, saya selalu punya alasan. Paling sering secara tiba-tiba saya akan mengambil buku dan pensil. "Mau belajar, Mak," kata saya, haha... Tapi kalau soal ini, saya beneran belajar. Saya kan suka pelajaran matematika, ya saya kerjakan lah soal-soal di buku sampai habis. Tidak jarang saya kerjakan juga soal-soal di bab selanjutnya. Kalau sudah begitu, mamak tidak bisa bilang apa-apa, "nyeraaah", haha...

Kembali ke urusan dapur. Hingga menikah, saya belum pernah memasak sendiri. Paling banter ya saya membantu mengiris bawang atau mengupas buah dan sayur. Alhamdulillah, setelah menikah saya LDM (Long Distance Marriage) alias tinggal berjauhan dengan suami. Saya tinggal di Malang dan suami tinggal di Solo. Kami bertemu 2 pekan sekali selama weekend, kan eman-eman kalau waktunya dihabiskan buat urusan dapur, hehe... (Aseli, ini alasan yang dibuat-buat, kwkwkwk.)

Setelah kami tinggal bersama dan menempati rumah kontrakan, barulah pelan-pelan saya mulai belajar memasak. Apalagi sejak saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus jadi ibu rumah tangga (yaelah, jadi IRT aja pakai fokus-fokusan segala). Ketika masih sama-sama bekerja dan satu kantor, saya dan suami biasa masak bareng-bareng. Tentu saja suami yang lebih sering jadi pemeran utama, sementara saya sebagai pemeran pembantu, hehe...  Tapi setelah jadi IRT, otomatis saya yang jadi pemeran utama di dapur, gantian, sesekali suami tampil sebagai pemeran pembantu.

Lagi-lagi, semboyan "bisa karena biasa" membuat saya sedikit naik level di bidang memasak. (Sedikit, Maaak, karena soal rasa masakan, saya masih kalah jauh sama paksu, hihi... *cari tutup panci.) Bukan apa-apa sih, suami saya kerjanya fullday dan ada anak-anak, kalau harus selalu menunggu suami bisa-bisa saya dan anak-anak tidak makan, haha... Tidak hanya urusan memasak, semua hal yang berhubungan dengan dapur pun mulai saya atasi sendiri, termasuk berurusan sama tabung gas.

Meski awalnya "terpaksa", lama-lama saya jadi biasa. Tabung gas dan regulator menjadi sepaket yang tak terpisahkan dari keseharian saya di dapur. Dua hal itu sudah seperti teman saja rasanya. Malah kadang kalau pas suami yang memasang regulator dan gasnya ngambek (gas ngowos atau kompor tidak mau menyala), saya yang akhirnya harus turun tangan. Suami sih bisa mengatasinya sendiri, tapi karena itu butuh waktu dan suami masih ada pekerjaan lain, jadilah saya yang menggantikannya.

Berurusan dengan tabung gas ternyata tidak semenakutkan yang saya kira. Saya akan membagi pengalaman saya mengganti tabung gas berdasarkan hasil pengalaman saya beberapa tahun berurusan sama si biru dan si hijau. Sebelumnya, pastikan bahwa 5 hal penting sebelum memasak menggunakan kompor gas sudah diikuti dengan benar.

Nah, berikut ini adalah 5 langkah mudah memasang regulator tabung gas ala saya.

1. Memilih Regulator Yang Tepat

Regulator yang tepat adalah yang paling sesuai dengan tabung gas yang digunakan dan bisa menutup mulut tabung dengan sempurna. Cari saja regulator yang paling recommended. Bisa tanya-tanya teman atau tanya sama Mbah Google. Ibarat mencari jodoh yang klik, kadang memang tidak mudah, tapi pasti ada. Harga mahal juga bukan jaminan. Meski mahal, kalau tabung gas yang digunakan "mulut"-nya tidak sesuai dengan regulator yang digunakan, kadang masih suka timbul kebocoran gas. Padahal kunci keberhasilan pemasangan regulator adalah ketika sudah tidak ada sedikit pun gas yang keluar dari tabung.

2. Memilih Tabung Gas

Setelah mendapatkan regulator yang tepat, selanjutnya adalah memilih tabung gas yang baik. Tabung gas yang baik juga diulas di sini, namun ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan, yaitu volume tabung gas. Pastikan tabung gas yang dibeli volumenya penuh. (Tidak mau rugi kan, Mak, karena tabung gas yang baru dibeli isinya sedikit?) Selain menghindari "kerugian", memasang regulator pada tabung yang terisi banyak gas dengan tabung yang tersisa sedikit gas terkadang ada perbedaan.

Perbedaan itu timbul akibat tekanan dari gas di dalam tabung. Itulah kenapa, kadang-kadang ada bau gas tercium saat isi tabung gas tersisa sedikit. (Pernah mengalami tidak, Mak?) Itu terjadi karena tekanan yang sangat rendah dari dalam tabung yang bisa membuat regulator jadi tidak menutup mulut tabung secara sempurna. Penyebab lainnya bisa karena posisi tabung dan regulator yang kurang pas, atau mungkin selang gas yang tidak sengaja tersenggol sehingga memperngaruhi posisi regulator jadi sedikit bergeser.

3. Cek Rubber Seal 

Pastikan tabung gas yang akan digunakan ada rubber seal-nya. Rubber seal yang baik adalah yang masih utuh, tebal dan lentur. Tabung gas yang baru dibeli tidak menjamin rubber seal-nya juga baru, bahkan tidak jarang ada tabung gas yang tidak ada rubber seal-nya. Penampakan rubber seal yang sudah lama bermacam-macam, ada yang sudah tidak utuh (mungkin cuil atau terdapat robekan), ada yang sudah mulai menipis, dan ada juga yang keras atau kaku. Rubber seal dengan kondisi seperti itu tidak disarankan untuk digunakan, terutama bagi yang masih pemula memasang regulator gas. Karena sangat berpotensi menimbulkan kebocoran gas yang ditandai dengan suara mendesis atau ngowos saat digunakan. Setelah memastikan rubber seal dalam kondisi layak pakai, jangan lupa untuk memasukkan rubber seal ke mulut tabung.

4. Pasang Regulator dengan Benar

Setelah rubber seal dipasang, inilah saat yang paling mendebarkan, memasang regulator. Posisi regulator yang benar akan menentukan keberhasilan pemasangan regulator.

Caranya: letakkan regulator di mulut tabung pada posisi tegak lurus dengan tabung, lalu tekan sekuat mungkin dan putar tuas regulator searah jarum jam hingga tuas berada pada posisi 180 derajat. Perhatikan baik-baik, adakah suara mendesis? Jika tidak ada, maka itu artinya regulator sudah terpasang dengan benar.

Jika ada suara mendesis, lepas regulator. Coba untuk memperbaiki posisi rubber seal dengan mengeluarkannya terlebih dahulu, lalu memasangnya kembali. Kemudian lakukan langkah yang sama. Pastikan sudah tidak ada suara mendesis sebelum kompor gas digunakan.

5. Cobalah Menyalakan Kompor

Tidak jarang terjadi, regulator sudah terpasang dengan benar dan gas tidak ngowos, namun kompor tidak mau menyala. Untuk keadaan seperti ini, tidak perlu melepas regulator lagi. Coba saja ketuk perlahan bagian atas regulator beberapa kali sambil kembali mencoba menyalakan kompor. Tambah kekuatan ketukan secara bertahap jika kompor belum juga mau menyala. Biasanya tidak lama kompor sudah akan menyala. Kompor yang tidak mau menyala kemungkinan karena terjadinya sedikit penyumbatan aliran gas ke regulator, itulah kenapa dilakukan pengetukan pada regulator.

Jika pengetukan berulang sudah dilakukan dan kompor tetap tidak mau menyala, coba periksa selang gas. Karena beberapa regulator dibuat otomatis tidak bisa mengalirkan gas saat ada kebocoran pada selang gas.

Itulah 5 langkah mudah memasang regulator pada tabung gas. Asal semua langkah diikuti dengan benar, mengganti tabung gas tidaklah sulit dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Jadi, buat emak yang masih belum berani atau belum pernah mencoba, ayo mulai mengganti tabung gas sendiri.


*tulisan ini diikutsertakan dalam tantangn SETIP bersama Estrilook
#SemingguTigaPostingan
#day8


Friday, February 22, 2019

Perhatikan 5 Hal Penting Ini Sebelum Memasak Pakai Kompor Gas


Sumber: Pixabay

Hari gini, ada tidak tetangga Emak yang belum berani memakai kompor gas? Atau jangan-jangan Emak sendiri yang phobi dekat-dekat kompor gas? (Nggak ye, Mak, itu kan perkakas tempur paling dibutuhkan, hehe...) Tetangga saya di kampung ada, Mak. Tapi memang dia ini generasi lama, istilahnya ABG alias Angkatan Babe Gue, hehe. Alasannya macam-macam, mulai dari tidak berani alias takut, tidak bisa, sama kaget lihat api yang tiba-tiba muncul. Eh, tapi buat yang suka kagetan, menyalakan kompor gas non elektrik yang berbunyi "jeglek" lalu tiba-tiba muncul api itu "sesuatu", lho, Mak.

Bisa karena biasa. Itulah proses yang secara sengaja atau tidak sengaja dilalui banyak orang sehingga menjadi biasa saja melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya. Kita yang dari lahir sudah ketemu kompor gas, mungkin tidak menemui kendala dalam menggunakannya. Bahkan dari kecil mungkin kita sudah belajar atau diajarkan menggunakannya. Tapi tentu tidak bagi sebagian orang yang lain.


Dari pengalaman saya menggunakan kompor gas selama 13 tahun (ini masa saya benar-benar "berurusan" sama dapur), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kompor gas agar aman. Berikut ini saya rangkum 5 hal penting dalam menggunakan kompor gas, beserta tips pada masing-masing poin yang saya tulis.


1. Perhatikan Kondisi Kompor Gas
Pastikan kompor gas tetap bersih, baik tampilan luarnya agar sedap dipandang, juga bagian dalamnya yang bisa mempengaruhi kelancaran aliran gas yang keluar. Sebagian dari kita mungkin hanya memperhatikan tampilan luarnya, tapi bagian dalamnya terlewati. Hati-hati, terutama untuk model kompor yang memungkinkan tumpahan minyak atau kuah mengenai bagian-bagian yang bisa mengganggu aliran gas. Selain itu, tumpahan minyak dan kuah juga bisa merusak komponen penting kompor gas, seperti pemantik atau alat elektrik yang digunakan pada kompor gas tertentu. Sayang kan, kalau kompor gas baru dipakai sebentar sudah rusak? Padahal kompor gas bisa dipakai dalam waktu yang cukup lama dengan perawatan yang benar.

Tips:
  1. Pilihlah kompor gas yang menggunakan bahan anti karat dan yang mudah dibersihkan. 
  2. Bersihkan segera tumpahan minyak dan cairan lain setiap kompor selesai digunakan. Semakin lama dibiarkan bisa makin susah dibersihkan. 
  3. Hati-hati saat membersihkan bagian dalam atau bawah kompor gas, pada beberapa kompor gas (termasuk yang saya gunakan), bagian pinggirnya cukup tajam. Sebaiknya menggunakan sarung tangan tebal saat akan membersihkan. Hati-hati juga jangan sampai malah merusak pemantik kompor gas saat membersihkan, karena bagian ini cukup kecil.
2. Perhatikan Kondisi Selang
Pilih selang gas yang baik dan berkualitas untuk keamanan. Selang gas biasanya tersedia dalam dua pilihan, yaitu selang saja dan selang yang dilapisi pelindung logam. Pelindung logam sangat membantu jika di sekitar dapur ada "penghuninya" alias ada bianatang pengerat yang suka "mengasah" giginya pada selang gas. Namun lebih "sulit" dalam merawat kebersihannya. Karena harus menggeser-geser pelindung logam yang ada. Selain itu, tumpahan minyak atau kuah bisa merembet mengikuti selang gas yang jika tertutup pelindung logam, tumpahannya tidak begitu terlihat.
Jadi selain memilih selang yang baik, pastikan selang gas yang digunakan selalu dalam kondisi baik dan bersih. Menjaga kebersihan akan menambah panjang usia selang gas untuk tetap bisa digunakan dan juga bisa mencegah terjadinya kebocoran datang lebih cepat.

Tips:
Cek secara berkala kondisi sambungan selang gas dengan kompor. Ujung selang gas yang tersambung dengan kompor berpotensi mengalami kebocoran lebih besar. Karena biasanya lebih sering terkena minyak saat menggoreng atau terkena tumpahan kuah saat memasak masakan berkuah. Cara membersihkannya bisa menggunakan lap bersih yang dibasahi dengan air hangat. Tujuannya agar bila ada lemak yang menempel bisa lebih mudah lepas.

3. Gunakan Regulator Yang Berkualitas
Memilih regulator sangat penting dalam penggunaan kompor gas yang mudah dan aman. Berbagai merk regulator tersedia di pasaran, pilihlah yang paling banyak direkomendasikan oleh teman yang sudah pernah menggunakannya. Biasanya regulator yang baik memang cenderung lebih mahal sedikit harganya dari regulator yang biasa. Tapi demi keamanan, tentu perlu memilih yang lebih berkualitas. Hitung-hitung buat investasi jangka panjang kalau kata emak-emak zaman sekarang. Daripada membeli yang murah tapi bolak-balik harus ganti, kan mending yang mahalan dikit tapi awet. Setuju kan, Mak?

Tips:
Pilih regulator yang ada indikator volume gas dan pengukur tekanannya. Dengan begitu Emak bisa memantau isi gas, jadi tahu kalau gas sudah mau habis. Ini berhubungan juga dengan perencanaan dan pengaturan keuangan. Iya kan, Mak? Hehe...
Untuk mendapatkan informasi regulator yang berkualitas, bisa tanya sama Mbah Google, ye, Mak. Ini kan era digital, haha.

4. Memilih Tabung Gas
Seperti apa tabung gas yang baik? Lihat saja "penampilannya". Tabung gas yang baik memiliki penampilan visual yang cantik, dengan ciri-ciri: body mulus, tidak karatan, dan tidak penyok. (Perhatikan tabung gas ya, Mak, bukan body sendiri, hihi...)
Selain penampilan visual yang baik, pastikan ada logo SNI dan tulisan informasi tabung yang memuat kode produksi, nomor seri, serta bulan dan tahun pembuatan. Informasi yang lengkap bisa menjadi tanda bahwa tabung gas yang dibeli merupakan tabung gas resmi yang dikeluarkan oleh Pertamina.

Tips:
Kenali mulut tabung gas saat membeli. Kalau diperhatikan, ada 2 jenis mulut tabung yang berbeda, meski ini tidak selalu terjadi. Ini penting, karena ada beberapa jenis regulator yang hanya bisa cocok dengan salah satu mulut tabung. Tapi kalau satu tabung yang dibeli sudah cocok, tabung-tabung lain biasanya juga cocok. Karena umumnya tabung-tabung gas yang mereka jual berasal dari satu pabrik.
Oya, Mak, pastikan saat membeli tabung gas, di dalamnya ada rubber seal-nya, ya.

5. Perhatikan Kondisi Dapur
Setelah semua perlengkapan untuk memasak dengan kompor gas sudah siap, yang juga tidak kalah penting adalah kondisi dapur. Dapur harus memenuhi syarat sebagai dapur yang sehat dan aman, di antaranya: harus bersih dan cukup sirkulasi udara, terutama yang khusus sebagai saluran buangan asap dan bau yang muncul akibat proses memasak.

Tips:
Letakkan posisi kompor paling dekat dengan area pintu atau jendela, di mana sirkulasi udara bisa maksimal keluar-masuk.
Untuk dapur yang tidak memiliki jendela, pastikan untuk menyediakan cerobong asap yang bisa menyedot asap dari proses memasak.

Itulah 5 hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan kompor gas. 5 hal tersebut akan membantu Emak memasak menggunakan kompor gas dengan aman dan nyaman. Jadi, buat Emak yang masih agak takut menggunakan kompor gas sudah tidak perlu khawatir lagi dan jangan ragu untuk memasak memakai kompor gas.

Selamat memasak dengan bahagia, Mak!


*tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan SETIP bersama Estrilook

#SemingguTigaPostingan 
#day7

Tuesday, February 19, 2019

Nasi Goreng Wortel Bayam Bergizi



Nasi Goreng Bayam Wortel sarat gizi 


Masak menu apa hari ini, Mak? Kalau saya "wajib" rasanya ada menu sayuran di meja sebagai teman nasi hangat. Yang paling praktis tentu saja lalapan, tinggal petik dan makan. Aaah, segaaar dan kriyus-kriyus pastinya. Setelah lalapan sayur, menu pilihan saya selanjutnya adalah "kulupan" alias sayuran yang direbus tanpa tambahan bumbu. Eh, tapi jangan lupa, teman wajib lalapan dan kulupan-nya. Bisa pakai aneka sambal, bumbu pecel, atau pelengkap lainnya. 

Berhubung saya punya nasi sisa kemarin yang cukup banyak, hari ini saya memilih untuk membuat nasi goreng saja. Tapi nasi gorengnya tetap akan saya tambahkan sayuran segar. Masih ada stok wortel di kulkas dan bayam yang tumbuh subur di halaman. Dua jenis sayuran itu akan saya jadikan pelengkap nasi goreng istimewa kali ini. 

Karena akan menikmati nasi goreng ini berdua dengan si bungsu yang masih umur 2 tahun, saya membuat nasi goreng ini tanpa cabe di awal, tapi tetap pedas mantap di akhir, hehe... Penasaran? Langsung saja yuk, Mak, saya mau eksekusi semua bahan yang tersedia untuk membuat Nasi Goreng Wortel Bayam bergizi ini.

Bahan A
2 siung bawang putih,
2 siung bawang merah,
merica dan garam secukupnya.

Bahan B
2 batang bawang daun, iris agak kasar.
2 buah wortel ukuran sedang, potong dadu kecil saja, karena ada anak kecil yang akan ikut makan.
4 pucuk besar daun bayam, iris kecil-kecil.
1 buah tomat ukuran sedang, dibelah jadi 4 lalu diiris-iris kasar.
5 buah cabe rawit atau sesuai selera, diiris kecil-kecil.

Catatan: 
Bahan-bahan yang sudah diiris dan dipotong jangan dicampur, karena akan masuk penggorengan secara bergantian.

Tips:
Untuk menghindari kemungkinan terkena rasa pedas cabe, sebaiknya mengiris cabe dilakukan paling akhir.

Bahan C
2 piring nasi putih,
2 sendok makan minyak goreng,
2 butir telor ayam,
1 sendok makan kecap manis, dan
gula secukupnya.

Proses Memasak
  1. Haluskan bahan A, pakai ulekan saja, biar berasa effort-nya, haha...
  2. Siapkan bahan B dan C. Letakkan dekat dengan posisi kita menggoreng.
  3. Siapkan penggorengan. Masukkan 1 sendok makan minyak goreng lalu goreng acak telor ayam. Sisihkan hasilnya.
  4. Masukkan lagi 1 sendok makan minyak goreng sisanya, lalu tumis daun bawang sampai harum.
  5. Tambahkan bumbu yang sudah dihaluskan, aduk-aduk sampai aroma bumbu tercium.
  6. Masukkan irisan wortel, tumis wortel sebentar saja atau sampai sedikit layu, tergantung selera.
  7. Masukkan nasi putih, telor yang sudah digoreng acak, dan irisan bayam. Aduk-aduk sampai bumbu merata.
  8. Masukkan irisan tomat, kecap dan gula secukupnya. Aduk-aduk kembali lalu koreksi rasa.
  9. Bila rasa sudah pas, angkat sebagian nasi dan sisihkan buat si kecil.
  10. Terakhir, tambahkan irisan cabe rawit ke dalam sisa nasi goreng di wajan. Aduk-aduk lagi agar rasa pedas merata.

Taraaa ... nasi goreng wortel bayam pedas yang kaya gizi siap untuk dinikmati. Rasanya lezat dan anak saya suka. Nasi goreng akan semakin nikmat kalau dilengkapi dengan krupuk yang tepat. Tapi stok krupuk di rumah lagi kosong, mau keluar membeli pas lagi turun hujan. Hiks...


*tulisan diikutsertakan dalam tantangan SETIP bersama Estrilook

#SemingguTigaPostingan
#day6

Friday, February 15, 2019

10 Langkah Mudah Mengurus Perpanjangan STNK 5 Tahunan



Tak terasa, ternyata sudah masuk bulan februari. Ada satu tanggal penting di bulan februari yang tidak boleh saya lewatkan. Agar tidak lupa, wajib buat saya untuk memasang alarm minimal sepekan sebelum tanggal itu tiba. Saya juga sudah menandai kalender di tanggal tersebut. Mungkin ada banyak pula orang yang menandai tanggal tersebut. Iya, itu adalah tanggal 14  Februari. Ada apakah gerangan? Tanggal 14 Februari adalah batas akhir masa berlakunya STNK alias Surat Tanda Nomor Kendaraan sepeda motor saya, hehe... (Kirain ada apa, Mak, hadeeeh....)

Pada 14 Februari 2019 ini, bukan hanya waktunya saya perpanjang STNK, tapi juga waktunya ganti plat nomor karena sepeda motor sudah berumur 10 tahun. Hmm, lagi-lagi, benar-benar tak terasa kalau sudah 10 tahun sepeda motor matic ini setia mendampingi saya dan keluarga wira-wiri di jalanan. Dari kota sampai ke desa, dari jalan lebar hingga gang-gang sempit. Luar biasanya lagi, sepeda motor merk Honda (yaelah, sebut merk, hihi...) ini meski keluaran Malang dan berplat nomor N, tapi dia menghabiskan hampir separuh usianya di (dekat) ibukota, Jakarta. "Petualangan yang hebat ya, Beat!" (Halah, kok jadi dramatis gini, ya? Ini mau ngomongin apain sih? Hehe...)

Kalau tahun-tahun sebelumnya yang menangani urusan beginian suami atau orang suruhan suami, tidak kali ini. Bukannya saya mau bersusah-susah ria, hanya berusaha mandiri saja dan mencoba untuk tidak selalu bergantung pada orang lain. (Kibas jilbab! Haha...) Selain itu, saya juga sedang berusaha menekan sebanyak mungkin pengeluaran yang tidak perlu, termasuk kalau harus membayar orang lain sebagai imbalan atas bantuannya. Kecuali ada yang mau dimintai tolong secara gratis, hehe. Eh, tapi paling saya juga nggak tega kalau hanya menyuruh saja, huhu... Mengurus hal beginian itu gampang-gampang susah dan butuh waktu tidak sebentar, itulah kenapa di jaman dulu ada banyak sekali calo yang menawarkan "jasanya". 

Alhamdulillah, ternyata mengurus pergantian plat ini tidak "serumit" yang sempat saya bayangkan. Prosesnya terbilang mudah dan sebetulnya bisa cepat kalau saja kemarin saya tidak membawa balita. Tapi ini khusus untuk pengurusan ganti plat kendaraan yang sesuai dengan daerah dikeluarkannya STNK, ya. Serta tidak ada hal-hal lain yang berkaitan dengan pengurusan kendaraan, seperti misalnya mau mutasi atau balik nama. Jadi murni hanya untuk mengurus perpanjangan STNK 5 tahunan. Berikut ini langkah-langkah yang harus dilakukan!

1. Datang ke kantor samsat setempat. Pastikan seluruh kelengkapan kendaraan, seperti: BPKB alias Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor, STNK, dan KTP asli dibawa. Btw, kendaraan yang mau diurus perpanjangannya adalah milik kita dengan nama kita yang tercantum sebagai pemiliknya, lho, ya. Kalau kendaraannya milik kita tapi atas nama orang lain, butuh satu persyaratan lagi yang mesti disiapkan, yaitu surat kuasa dari "pemilik" yang namanya tercantum di STNK. 

2. Parkir kendaraan di tempat dilakukannya cek fisik kendaraan. Jangan masuk tempat parkir, karena kendaraan juga perlu "dihadapkan" kepada petugas. Sebagai bukti kalau kendaraan yang mau diurus surat-suratnya dan diganti platnya itu ada wujudnya. Di tempat dilakukannya cek fisik ini, perhatikan antrian, jangan menyerobot. Biasanya kalau sedang ramai akan ada banyak kendaraan yang juga butuh pengecekan fisik kendaraan. Itu artinya proses akan dilakukan secara bergantian.

3. Datangi loket pendaftaran pengurusan STNK. Serahkan berkas asli berupa BPKB, STNK, & KTP. Nanti petugas akan memberikan selembar kertas yang harus diisi data-data kita dan kendaraan kita, serta selembar kecil kertas yang khusus untuk mencatat nomor rangka dan nomor mesin kendaraan. 

4. Kembali ke tempat cek fisik kendaraan. Serahkan kertas kecil tadi kepada petugas yang akan melakukan cek fisik kendaraan. Petugas akan menggunakan kertas kecil itu untuk melakukan pencatatan nomor rangka dan nomor mesin kendaraan dengan cara menempelkan kertas itu langsung ke tempat terteranya nomor rangka dan nomor mesin pada kendaraan. Caranya sama persis seperti kita menggambar uang koin dengan menempelkan langsung uang koin di bawah kertas lalu bagian atasnya kita gores-gores pelan menggunakan pensil. Yang hidup sejaman dengan saya pasti tidak bingung, hehe... (Selamat, artinya Anda sudah tua! Ssst, saya juga, hihi...) 

5. Menuju loket pemberian stempel. Bawa kembali berkas bersama hasil cek fisik ke loket ini untuk mendapatkan stempel resmi pengurusan STNK. Jangan lupa untuk memarkirkan kendaraan terlebih dahulu di tempat yang aman, karena proses selanjutnya akan membutuhkan waktu, bisa lama bisa sebentar, tergantung kelancaran proses yang dilakukan. Jadi, mulailah banyak-banyak berdoa semoga prosesnya lancar dan cepat. (Alamaaak, kayak mau lahiran aja, hehe...)

6. Menuju ke loket pengecekan kelengkapan berkas. Setelah mendapatkan stempel, bawa berkas ke loket pengecekan kelengkapan berkas. Pastikan berkas dimasukkan ke dalam map dan jangan lupa untuk menggandakan berkas-berkas yang kita bawa sebanyak masing-masing 3 lembar. Di sekitar lokasi pasti ada layanan fotokopi dan penjualan map yang ada kop POLRI-nya. Kalau mau lebih hemat, bisa bawa langsung fotokopiannya dari rumah. Jadi di samsat tinggal beli mapnya saja.

7. Menuju loket pengambilan nomor antrian. Bawa berkas yang sudah dicek ke loket ini untuk mendapatkan selembar berkas isian lagi. Isi lengkap berkas itu dan tukar dengan nomor antrian pembayaran di loket yang sama. Lalu tunggu panggilan dari petugas kasir yang menerima pembayaran.

8. Menuju loket kasir. Pastikan nomor yang dipanggil benar-benar nomor kita dan jangan lupa untuk menyiapkan sejumlah uang. Ada baiknya sebelum dipanggil kita sudah tahu berapa biaya yang dibutuhkan untuk memperpanjang STNK dan ganti plat nomor kendaraan. Kemarin saya dikenakan biaya Rp.357000,-. Setelah proses pembayaran kita akan langsung mendapatkan lembar Tanda Bukti Pelunasan Kewajiban Pembayaran (lembar berwarna coklat yang biasanya sepaket sama STNK).

9. Menunggu. Setelah pembayaran selesai silakan duduk dan menunggu panggilan untuk mendapatkan STNK dan plat nomor baru. Sebaiknya duduk di kursi tunggu yang lokasinya cukup dekat dengan loket tempat penyerahan plat nomor. Jadi pas nama kita dipanggil kita bisa mendengar dengan jelas dan bisa segera datang. 

10. Terakhir. Isi buku sebagai bukti kita telah menerima STNK dan plat nomor baru untuk digunakan selama 5 tahun ke depan. Ambil STNK dan plat nomor. Selesai! Silakan segera pulang, Anda pasti lapar, karena hari sudah siang, eh, haha... Btw, selamat berkendara dengan tenang selama setahun ke depan karena sudah ada STNK dan plat nomor baru yang berlaku secara sah dan legal.

Itulah 10 langkah mengurus perpanjangan STNK 5 tahunan yang terbilang cukup mudah dan relatif cepat. Kemarin saya menunggu agak lama untuk mendapatkan plat nomor. Rupanya saya pas lagi keluar ketika nama saya dipanggil. Karena saya tidak ada, plat nomor itu disimpan lagi dan saya tidak dipanggil lagi hingga saya mendatangi petugas dan menanyakannya. Saya terpaksa keluar masuk ruangan karena balita yang saya bawa tidak betah lama-lama duduk menunggu tanpa ada aktivitas mengasyikkan yang dilakukannya. Sampai mainan gadget aja dia sudah bosan. 

Oya, mengurus perpanjangan STNK bisa dilakukan sebelum tanggal masa berlakunya habis dan sebaiknya memang begitu. Karena kalau lewat dari tanggal masa berlaku habis sehari saja, kita akan dikenai denda yang besarnya sama dengan telat setahun. Eman-eman duitnya kalau harus bayar denda kan, mending dipakai buat ngebakso, lumayan bikin perut kenyang, hehe... 

Jadi, tidak perlu ragu-ragu lagi untuk mengurus perpanjangan STNK sendiri ya, Mak...


*tulisan diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook

#SemingguTigaPostingan 
#day5

Thursday, February 14, 2019

Berbagi atau Bertanyalah (Bagian 2)


Suami di ruang ICU

Salah Diagnosa

Setelah menanti cukup lama, akhirnya saya mendapat kabar dari dokter jaga. Dokter spesialis bedah syaraf sudah dihubungi, dia tidak bisa datang ke RS, namun hasil CT-Scan sudah dikirimkan melalui pesan gambar. Dari hasil CT-Scan yang dikirimkan itu, dokter bedah syaraf menyimpulkan bahwa suami saya belum membutuhkan tindakan operasi, tapi cukup dengan pengobatan saja. Alhamdulillah...

26 Januari 2018
Lebih dari 24 jam telah berlalu sejak suami dibawa ke RS. Tidak ada perubahan kondisi apapun yang berarti, malah suami terlihat semakin gelisah. Malam ke-2 di RS, teman-teman kerja suami yang terus menerus memantau dan secara bergantian mendampingi saya di RS, memanggil dan mengajak saya berbicara. Beberapa hal disampaikannya, khususnya tentang keadaan suami yang tidak menunjukkan tanda-tanda membaik setelah mendapat pengobatan selama 24 jam di RS. Hal lainnya berhubungan dengan pelayanan RS yang kurang memuaskan menurut mereka dan mereka sepakat ingin memindah suami ke RS lain yang lebih baik. Mereka menunggu persetujuan saya sebagai wakil dari pihak keluarga.

Saya menginginkan perawatan terbaik buat suami. Saya bukan dokter dan saya juga tidak mempunyai pengalaman menghadapi sakit seperti yang dialami suami. Maka saya mempunyai dua pilihan, tetap di RS itu dan mengikuti semua arahan dokter di sana, atau mengikuti saran teman-teman untuk pindah RS. Setelah mempertimbangkan beberapa hal berdasarkan logika terbatas yang saya miliki, saya memutuskan untuk mengikuti saran teman-teman suami yang memang secara intens terus memantau keadaan suami.

27 Januari 2018
Hari sabtu, sekitar pukul 06.00, saya menemui kepala perawat untuk minta pengajuan kepindahan RS. Prosedur yang harus diikuti ternyata lumayan menguji kesabaran. Step by step proses saya lakukan sesuai prosedur yang ada. Di antaranya adalah memastikan kesiapan RS yang akan dituju untuk menerima pasien dengan kondisi seperti yang dialami suami. Di sinilah "drama" dimulai. Proses kepindahan yang seharusnya hanya melibatkan petugas medis dari RS asal dengan petugas medis RS yang dituju terkesan rumit. Perawat jaga menginformasikan bahwa saya masih harus menunggu, karena ruang ICU RS yang dituju sedang penuh.

Bertanyalah saya yang "awam" ini kepadanya, "Mbak, kenapa kalau ke sana harus masuk ruang ICU? Sementara di sini hanya dirawat di ruang perawatan biasa."
"Mungkin pertimbangan dokter di sana berbeda dengan di sini, Bu," jawabnya.
"Oh, bisa begitu, ya?" Respon saya spontan mendengar jawabannya.

Bukan apa-apa, tapi sahabat suami yang mengurus persiapan di RS yang dituju sudah mencarikan kamar perawatan dan bukan ruang ICU. Akhirnya RS yang dituju digeser, karena sepertinya sudah akan sulit kalau memaksa tetap ke RS tujuan yang dipilih pertama, entah kenapa. Pilihan berikutnya masih di RS yang sama namun di lokasi yang berbeda. Tidak masalah, insyaAllah pelayanan lebih baik tetap akan diperoleh. Yang terpenting juga adalah tetap bisa bertemu dokter spesialis bedah syaraf yang sama yang masih ada hubungan saudara dengan sahabat suami.

Setelah menyelesaikan urusan administrasi yang memang dibayar secara mandiri, siang harinya, sekitar pukul 01.00 suami dibawa pindah RS menggunakan ambulan. Bukan ambulan RS asal dan saya hanya didampingi seorang perawat dengan berkas rekam medis yang dibawanya nyaris kosong, tanpa informasi berarti. Dokter jaga RS yang kami tuju menanyakan banyak hal terkait kondisi suami, karena informasi yang diperoleh dari perawat yang mengantar sangat terbatas.

RS yang menjadi tujuan kami adalah RS Mayapada Tangerang. Sesampai di sana suami langsung mendapat penanganan super cepat. Perawat yang mengurus sangat cekatan dan terlihat sangat berpengalaman. Tes darah kembali dilakukan. Hasil foto rontgent dan CT-Scan tetap digunakan. Di sini kami (saya yang didampingi saudara dan sahabat) terkaget-kaget mendengar penjelasan dokter syaraf. Bagaimana tidak, dokter syaraf menyampaikan kalau hasil CT-Scan tidak menunjukkan adanya pendarahan. What???

Iya, dokter syaraf menyimpulkan kalau suami saya justru mengalami penyumbatan aliran darah yang menuju ke otak sebelah kanan. Untuk hasil analisa yang lebih akurat, kami sepakat untuk dilakukan tes MRI. Apalagi suami sudah memasuki hari ke-3 berada dalam kondisi yang sama bahkan cenderung menurun dari hari pertama masuk RS sebelumnya.

Kami masih harus menunggu beberapa menit untuk mendapatkan hasil tes MRI. Tapi ada rasa lega karena secepat mungkin membawa suami pindah RS. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau tetap di RS sebelumnya. Salah diagnosa, itu artinya terapi obat yang diberikan kepada suami kemungkinan besar juga tidak sesuai dengan yang dibutuhkan beliau. Pantaslah tidak menunjukkan adanya tanda-tanda membaik setelah menjalani pengobatan hampir 2 kali 24 jam.

Hasil MRI selesai. Dokter memanggil kami untuk menunjukkan dan membacakan hasilnya. Semakin jelas, suami saya memang tidak mengalami pendarahan, karena gejala fisis lanjutan dampak pendarahan tidak nampak. Namun sebaliknya, gejala fisis terjadinya penyumbatan nampak sangat jelas. Pembengkakan yang terjadi akibat adanya sumbatan berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya, mungkin akibat terapi obat yang tidak sesuai sebelumnya atau sebab lainnya. Entahlah. Yang jelas suami saya membutuhkan tindakan segera yang pastinya beresiko, apapun tindakan yang yang akan dipilih.

*bersambung...


#SemingguTigaPostingan
#day4

Tuesday, February 12, 2019

Ikhtiar Saja, Urusan Rezeki Serahkan Pada Allah

Rezeki tak selalu soal uang

Katanya, "banyak anak banyak rezeki." Alhamdulillah ... Allah memberi saya anak banyak, semoga rezeki (saya dan anak-anak) juga melimpah. (Allahumma aamiiin...) Tapi, please, jangan tanya itu kata siapa, ya? Karena saya benar-benar tidak tahu. Yang pasti, saya yakin kalau setiap anak itu punya rezekinya masing-masing. Tentang bagaimana rezeki bisa sampai kepada setiap anak, biarlah itu jadi rahasia Sang Maha Pemberi Rezeki.

Btw, itu rezeki anak-anak, lho yaaa... Kalau rezeki orang dewasa atau yang sudah punya tanggung jawab terhadap diri dan kehidupannya, bagaimana? Rezeki saya, misalnya. Ya, tentu harus ada ikhtiar untuk menjemputnya laaah. Sesedikit apapun, ikhtiar tetap harus dilakukan untuk bisa menjemput rezeki. Perkara dengan ikhtiar sedikit kemudian rezeki yang datang banyak (ngarep), itu juga biar jadi rahasia Sang Maha Pengatur.

Dari 18 tahun saya menjalani bahtera rumah tangga, (yaelah, bahasanya kok gini banget ya, hehe...) hanya dua tahun saja saya (dalam pandangan umum dianggap) bekerja. Dengan kata lain ada "usaha" yang saya lakukan untuk menjemput rezeki. Tahun ke-8 pernikahan saya bahkan berikrar untuk berhenti bekerja dan berhenti berburu pekerjaan lagi (masih dengan pekerjaan yang dalam pandangan orang kebanyakan dianggap bekerja). Ya, saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja.

Apakah kemudian dengan menjadi ibu rumah tangga saya tidak "bekerja"? Hehe, yang jadi ibu rumah tangga full time tanpa asisten rumah tangga pasti mengerti. Tapi kalau masih ada yang menganggap menjadi ibu rumah tangga bukanlah profesi, sah-sah saja, itu kan hak mereka mau bilang apa. Yang jelas, setelah saya niatkan diri menjadi ibu rumah tangga karena Allah semata, penghasilan suami perlahan namun pasti terus meningkat. Tak tanggung-tanggung, dalam hitungan bulan, meningkatnya hingga 10 kali lipat lebih.

Saya percaya, walau ada yang menganggap ibu rumah tangga bukan profesi, namun dalam pandangan Allah itu pastilah profesi yang mulia. Meski ada yang mengganggap menjadi IRT itu bukan pekerjaan, namun Allah pasti meletakkan IRT sebagai pekerjaan utama seorang wanita yang telah menyandang gelar sebagai istri sekaligus ibu. Dan tersebab hal itulah maka Allah menurunkan rezeki bagi seorang istri lewat materi yang diperoleh sang suami. (Maaf, kalau ada yang mau protes, tolong jangan di sini, japri saja, mari kita diskusi, hihi...)

Bagaimana jika suatu ketika karena suatu hal seorang suami meninggalkan istrinya yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Percayalah, Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang sudah bersusah payah melakukan ketaatan (termasuk dengan memilih profesi IRT). Lihatlah lebih ke dalam lagi, seorang wanita yang ditinggal suaminya pasti sudah Allah siapkan "bekal" untuk dia bisa melanjutkan kehidupannya tanpa keberadaan suami. Yang dibutuhkan seorang wanita saat ditinggal suaminya tetaplah ketaatan yang sama kepada Allah dan kepasrahan akan semua takdir yang diterimanya, yaitu penerimaan yang ikhlas dan pengakuan bahwa semua yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.

Alhamdulillah ... sebelum Allah berkehendak memanggil suami saya kembali kepada-Nya, Allah menitipkan kepada saya satu keahlian, yaitu berkendara. Tidak hanya skill menyetir, tapi kendaraan dan surat izin mengemudi alias SIM juga sudah tersedia. Bukankah itu menjadi satu media yang Allah sediakan untuk saya bisa ikhtiar menjemput rezeki-Nya? Atau bisa saja saya memanfaatkan kendaraannya saja sebagai alat ikhtiar menjemput rezeki. Apapun itu, tugas kita adalah ikhtiar dengan bersungguh-sungguh, urusan rezeki biarlah Allah yang memutuskan wujud dan besarannya. 


Sedikit cerita, salah satu cara Allah mengalirkan rezeki-Nya, saya rasakan pekan lalu. Pasti sudah menjadi bagian dari rencana Allah, pas lagi di kampung tanah kelahiran, pas ada serombongan ibu-ibu yang butuh tumpangan. Akhirnya saya terima keinginan mereka mencarter mobil yang biasa saya kendarai. Akad terjadi dan harga disepakati. Saya pun menjalankan tugas dengan sepenuh hati, layaknya sopir pribadi. Saya antarkan mereka pulang dan pergi. Menyusuri jalanan berkelok dengan tanjakan di sana-sini. Bukan apa-apa, lokasi yang dituju memang dataran tinggi, hihi...

Alhamdulillah, tugas selesai di ujung siang. Ibu-ibu terlihat senang hingga saya pun tenang. Ibu terakhir turun sambil memberikan sejumlah uang. Tak hanya itu, dia juga menyampaikan pesan bahwa ada tambahan tips dari salah satu penumpang. Sebagai imbalan terima kasih karena sudah diantar hingga ke tanah lapang. (Itu adalah titik terdekat dengan rumah si ibu, Maaang, hehe...) Kebayang, kan, betapa saya girang. Belum lagi dapat bonus melihat pemandangan alam sekitar yang membuat hati riang. Sungguh, Allah memang Maha Penyayang. Rezeki-Nya sering kali tak berbilang. (Cerita tentang lokasi yang saya kunjungi ada di sini)

Begitulah! Ketika ikhtiar dilakukan dengan sungguh-sungguh sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, Dia pasti akan memenuhi janji-Nya untuk mencukupkan kebutuhan hamba-Nya. Kalaulah tidak, mungkin Allah hendak mengujinya. Yang itu berarti bahwa Allah sangat mencintainya. Maka iringilah ikhtiar itu dengan penuh kesabaran dan doa-doa yang tak henti dipanjatkan.

Sekian!
Semoga Allah memudahkan segala urusan.


*tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook

#SemingguTigaPostingan
#day3

Wednesday, February 6, 2019

Mengunjungi Desa Talempong, Kabupaten Situbondo


Satu sudut perkampungan Desa Talempong

Sepekan ini saya lagi di kampung tanah kelahiran saya di Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Rupanya ada besan dari kerabat keluarga besar ibu yang meninggal dunia. Namun ibu dan keluarga besar ibu belum punya kesempatan untuk pergi takziah. Kendala utama yang mereka hadapi adalah jarak menuju lokasi yang cukup jauh meski masih dalam satu wilayah kabupaten. Mereka pun berencana untuk pergi takziah bersama-sama alias rombongan, emak-emak gitu lho.... Mumpung saya lagi di kampung, mereka sepakat untuk mencarter mobil saya saja dan saya menyetujuinya. (Lumayaaan, mereka bilang mau carter kan, bukan pinjam, kwkwkwk, dasar matre 😁)

Awalnya, kakak yang akan mengemudikan kendaraan dan membawa mereka. Tapi mendengar obrolan para emak itu tentang lokasi yang akan dituju, saya memutuskan untuk mengemudikan kendaaran sendiri. Jadilah hari ahad, 3 februari lalu, saya berkunjung ke Desa Talempong, Kecamatan Banyuglugur, Kabupaten Situbondo, untuk mengantarkan ibu dan kerabat-kerabat ibu yang semuanya adalah emak-emak takziah ke sana.

Ini adalah kunjungan pertama saya ke Desa Talempong. Sebuah desa yang berada di dataran tinggi wilayah barat Kabupaten Situbondo. Jaraknya sekitar 5 km menuju selatan dari jalan raya pantura terdekat di daerah Kecamatan Banyuglugur. Menuju lokasi, medan jalan yang harus saya tempuh adalah jalanan berkelok dan menanjak dengan lebar jalan yang beraspal nyaris tidak cukup untuk 2 kendaraan roda 4. Beberapa titik yang saya lalui cukup ekstrem, yaitu berupa tanjakan dengan bukit di satu sisi dan jurang di sisi lainnya. Alhamdulillah, kendaraan yang lalu lalang tidak banyak, jadi saya bisa leluasa berkendara tanpa khawatir terlalu ke pinggir mendekati bibir jurang atau ke tebing perbukitan.

Saya berdiri di jalan depan rumah yang berada tepat di sebelah rumah yang atapnya terlihat.
Sekilas seolah saya sedang berada di loteng, ya.

Seperti suasana alam pegunungan pada umumnya, suasana sepanjang perjalanan begitu indah dipandang dan menyejukkan. Musim hujan membuat pemandangan alam hutan didominasi oleh tanaman hijau yang terlihat sejauh mata memandang. Ada berbagai jenis tanaman hutan yang tumbuh di sana. Ada pula beberapa lahan yang dimanfaatkan penduduk sekitar untuk menanam padi dan palawija. Semuanya terlihat hijau dan subur. Benar-benar lokasi yang tepat untuk menyegarkan dan menghijaukan mata.

Saya sengaja mengemudikan kendaraan dengan kecepatan pelan hingga sedang. Selain karena beberapa medan yang cukup ekstrem, tentu saja agar saya bisa menikmati selama mungkin anugerah Allah yang begitu indah itu. Mengamati setiap objek yang tidak bisa ditemui di sekitar tempat tinggal menjadi sesuatu yang mengasikkan buat saya. Andai tidak sedang membawa penumpang "penting" yang semuanya emak-emak, ingin rasanya saya turun dan berhenti di beberapa titik untuk mengabadikan suasana sekitar dalam gambar. (Pingin narsis juga rasanya, haha...)

Air Terjun Talempong
Sumber foto: journeymyadventure.blogspot.com

Ada yang menarik, di papan nama yang terpasang di sisi jalan, saya baru tahu kalau di desa ini terdapat air terjun. Informasi yang saya dapat dari tuan rumah yang kami kunjungi, bahkan tidak hanya satu, tapi ada tiga air terjun. Namun yang ramai dikunjungi, khususnya saat hari libur, hanya satu lokasi air terjun, yang dikenal dengan nama Air Terjun Talempong. Nama Air Terjun Talempong diambil dari nama desa tempat air terjun itu berada. Hmm, saya jadi makin geregetan pingin datang ke desa ini lagi nanti. Sementara cukuplah saya puas menggali informasi dan menikmati suasana perkampungan Desa Talempong yang berada di lereng gunung.

(Tunggu cerita saya tentang Air Terjun Talempong setelah saya berkunjung ke sana, ya... Kapan waktunya saya nggak bisa janji. Ditunggu saja, haha... Tapi saya kok ragu sendiri ya sama janji emak-emak, eh, janji saya yang sudah emak-emak ini maksudnya. Kali ini cukup intip gambarnya saja dulu, yang saya peroleh lewat bantuan internet, hehe...)

Setelah 2 jam, acara takziah selesai. (Lama juga, ya? Biasalah emak-emak kalau ketemu, hihi.) Kami pun pamit kepada tuan rumah dan langsung cuuus naik ke kendaraan menuruni lereng gunung. Ternyata tidak ada satu pun dari emak-emak yang saya bawa, mengetahui kalau di desa ini terdapat air terjun. Mungkin emak-emak ini sudah begitu sibuk dengan urusan rumah dan keluarganya, karena mereka memang para emak "sejati". 

Jalanan menurun yang di kanan dan kirinya dipenuhi pepohonan hijau dan rindang

Sebagian lahan yang dimanfaatkan penduduk untuk bertani yang berada dekat dengan aliran sungai

Oya, di tengah jalan, mendekati jalanan yang menyempit, saya berpapasan dengan sebuah mobil. Dengan senang hati saya memilih untuk berhenti dan mempersilakan mobil itu lewat. Saya pun jadi punya kesempatan untuk mengabadikan sebagian pemandangan yang begitu menghijaukan itu. Melihat apa yang saya lakukan, terdengarlah celetukan riuh rendah para emak yang berada di mobil. (Maklumin ya, Mak. Emak yang satu ini emang narsis meski tidak terlalu kekinian, agak kudet, kwkwkwk.)

Alhamdulillah, selesai juga tugas saya mengantarkan para emak naik-naik ke puncak gunung, eh, ke lereng gunung Desa Talempong. Saya antarkan mereka semua kembali ke rumah masing-masing. Penumpang terakhir yang turun tidak lupa menyodorkan sejumlah uang bersama ucapan terima kasih yang begitu tulus terdengar di telinga saya. Rupanya ada yang memberi uang lebih sebagai bentuk terima kasih karena si emak sudah diantar hingga depan rumah meski jaraknya agak (sedikit) jauh. 

Ya Allah, begitu banyak nikmat yang telah Engkau berikan, alhamdulillah (lagi dan lagi)....
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang (mau) kamu dustakan?"


*Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook

#SemingguTigaPostingan
#jalanjalan

Monday, February 4, 2019

Membangkitkan Semangat Ngeblog dengan SETIP Bareng Estrilook


Awal bergabung dengan grup Estrilook di FB, niat saya sih mau ikutan menulis artikel di Estrilook.com seperti yang pernah saya lakukan di salah satu media online. Tapi ujian kecil datang di waktu yang hampir bersamaan. Waktu untuk menulis rasanya seperti tak ada atau tidak bisa saya buat ada. Atau mungkin saya yang kurang sungguh-sungguh mengusahakannya. Atau jangan-jangan menulis memang belum menjadi passion saya? Begitulah! Alasan kalau ditulis memang bisa sangat panjang. Bukankah akan selalu ada alasan untuk suatu "kegagalan"? Padahal alasan sebenarnya sederhana, saya sibuuuk dan sedikit malas. Tuh kan, beralasan lagi, haha... Tapi alasan terakhir benar-benar perlu diwaspadai. Hati-hati dengan virus "malas". Karena ini mudah sekali menyerang para emak seperti saya, hehe...

Sedikit flasback, tadinya saya tidak ada niat nyemplung ke dunia sosial media, termasuk "bermain-main" dengan blog. Saya memang lebih memilih untuk berkhidmat pada keluarga dan meletakkan urusan keluarga sebagai prioritas. ("Semua ibu dan istri sama kali, Maaak, bukan cuma situ doang, qiqiqi...") Tapi makin ke sini, tantangan yang saya hadapi sebagai ibu dan istri itu terasa kian berat. (Halah, kok jadi drama banget sih!) Mendapati suami sesekali mengisi waktu luangnya dengan ber-sosmed, jadilah saya kepingin juga. (Ngiri nih ye, hihi...) Ternyata ber-sosmed memberi hiburan tersendiri buat saya. Meski tak selalu bisa mengusir jenuh, menyimak status teman-teman di FB bisa juga meringankan beban dan membuat saya jadi lebih bersyukur. Alhamdulillah...

Dengan menyimak status teman-teman di FB, saya juga mulai belajar banyak hal, termasuk menulis. Awalnya saya hanya belajar menulis status. Ya, gampangnya biar pesan dari status yang saya tulis bisa sampai pada yang membaca. Tapi kemudian jadi galau juga. Kenapa yang mau saya tulis lebih banyak curhat-nya, ya? Lebih serius belajar menulis, agar tulisan tidak hanya berisi curhatan, saya pun bergabung dengan komunitas kepenulisan dan mulai ikut kelas menulis. Pertama kali yang saya ikuti adalah kelas menulis artikel. Dari ikut kelas itu saya jadi punya akun di Kompasiana. Salah satu tulisan sempat jadi trending topic pula. (Jadi bikin nagih buat terus menulis, hihi...) Tapi sepertinya itu keberuntungan sih, lebih karena tokoh yang saya tulis memang orang top. (Btw. saya masih kagum sama beliau nih sampai hari ini.)

Banyak keuntungan yang saya dapat dari bergabung dengan komunitas kepenulisan. Jadi lebih banyak teman yang memiliki ketertarikan sama untuk belajar menulis, itu pasti. Tapi yang paling menguntungkan adalah ilmu-ilmu kepenulisan yang mereka sebarkan di grup, luar biasa banyak dan selalu up to date. Mereka tidak segan berbagi ilmu, membuat saya jadi lebih semangat belajar menulis. Beberapa dari mereka ada yang memberikan ilmunya dengan membuka kelas-kelas gratis. Kalau sebelumnya saya mengikuti kelas berbayar untuk kelas menulis artikel, setelahnya saya berkesempatan mengikuti kelas gratis dan itu adalah kelas membuat blog. (Ah, emak paling suka kalau dapat yang gratisan, eh, saya aja kali, hihi...)

Alhasil, sejak awal tahun 2014 saya resmi punya blog. Sayangnya saya yang aslinya memang gaptek ini tidak serius ngeblog.  Jadi meski usia blog sudah lama, isinya banyakan zonk-nya, hehe... Kalau dilihat dari riwayat postingan blog, benar-benar deh, saya memang belum pantas disebut blogger. Sempat semangat ngeblog di kisaran tahun 2016, berkat ikut tantangan ODOP alias One Day One Post. Tapi setelah tantangan selesai seolah selesai pula kegiatan menulis saya. Ujung-ujungnya saya seperti mundur teratur dari dunia blog, lalu menyerah dengan berbagai alasan. Tahun 2017 dan 2018 menjadi tahun paling "mengenaskan" bagi blog saya. Dalam setahun hanya bisa posting 4 dan 2 tulisan. (Tepok jidat! Gitu mau ngaku blogger. Melasnya saya...)

Tapi, tentu saja saya tetap menyimpan bara semangat untuk suatu saat kembali menulis di blog. (Lebay! Biarin!) Kapankah waktu itu tiba? Mungkin saat ini. Saya memutuskan untuk mengikuti tantangan menulis blog untuk menjaga semangat menulis agar tetap onfire. Oya, meski lama tidak ngeblog, saya memilih untuk tetap bergabung dalam beberapa komunitas blogger. (Untung nggak ditendang dari grup, hihi...) Sejak awal tahun saya sudah ingin mulai ngeblog (lagi), tapi masih maju mundur mau ikut tantangan menulis. Karena biasanya tantangan yang ada adalah ODOP. Jujur, saya belum berani untuk saat ini. Rasanya akan terlalu berat buat saya, yang itu pasti lebih berat dari rasa rindu si Dilan. (Hayyah... makin lebay aja jadinya.)



Alhamdulillah, saya merasa beruntung bergabung dengan Estrilook. Meski bukan grup khusus blogger, Estrilook juga memberi ruang buat yang suka ngeblog. Beberapa kali Estrilook mengadakan tantangan ODOP. Tapi kali ini Estrilook memberikan tantangan baru dalam menulis blog yang friendly banget buat yang baru belajar ngeblog atau yang mau memulai ngeblog lagi setelah sekian lama "raib". Itulah kenapa saya memutuskan untuk ikut tantangan SETIP yang diadakan Estrilook. SETIP alias Seminggu Tiga Postingan, cocok banget kan buat yang "sedikit malas" menulis blog seperti saya. Harapannya SETIP ini bisa menghapus kemalasan dalam menulis blog, khususnya menghapus kemalasan saya, haha...

Jadi, ada yang sudah punya blog tapi masih punya "virus malas" buat mengisinya? Ayo, buruan ikutan SETIP bareng Estrilook. InsyaAllah, dengan SETIP ini menulis blognya nggak perlu terlalu ngos-ngosan, hihi... Yuuuk, ah, mumpung baru aja mulai. Masih banyak kesempataaan...


*Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook


#SETIP
#SemingguTigaPostingan
#KenapaIkutSETIP

Friday, February 1, 2019

Berbagi atau Bertanyalah (Bagian 1)

Suami yang terbaring di RS

Mendapat Kabar Duka

25 Januari 2018
Sore itu saya mendapat kabar dari rekan suami kalau suami tak sadarkan diri di kantornya. Saya yang ("merasa") paham betul "bagaimana" suami, cukup was-was. Fisik beliau cukup kuat, rasanya tidak mungkin kalau sampai tidak sadarkan diri. "Semoga tidak ada yang serius." Gumam saya mengusir kepanikan yang muncul sesaat.

Ya, beberapa detik panik itu sempat datang. Saya hanya bisa menghela napas. Berada jauh dari keluarga besar bersama 4 anak yang belum bisa ditinggal, saya harus berpikir cepat untuk bisa segera menemui suami yang sudah dibawa ke rumah sakit. Saya pun menghubungi seorang teman untuk datang lebih dulu ke RS sementara saya bersiap dan menyiapkan keperluan anak-anak.

Anak-anak sudah mandi semua, makanan buat mereka siap, dan si bungsu juga sudah dipuaskan ngASI-nya. Saya sendiri juga bersiap seperti saat saya bersiap menjelang suami pulang kantor. Saya tanamkan keyakinan dalam hati, "Saat tiba di RS, suami akan buka mata dan yang pertama kali dilihatnya adalah saya dengan penampilan terbaik saya." 

Iya, saya membangun optimisme sejak awal. Tiba di RS, suami masih di ruangan CT-Scan. Saya menunggu sambil sesekali menemui dokter jaga untuk menanyakan keadaan suami serta menyelesaikan beberapa urusan terkait administrasi. Sebagai orang "awam" medis, saya tidak punya cukup pengetahuan tentang kondisi suami. Saya pun mempercayakan suami kepada tim dokter yang menanganinya.

Kalau pun bertanya, pertanyaan saya sangat umum dan lebih mengandalkan logika pikir saya yang bukan seorang dokter. Pertanyaan seperti, apa yang terjadi dengan suami saya? Kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana saran dokter terhadap suami? Tindakan apa yang dibutuhkan oleh suami? Dan pertanyaan lain yang sebagian besar kesimpulan jawabannya adalah "sedang diobservasi".

Dari ruangan CT-Scan saya mendapati keadaan suami saya seperti sedang tertidur. Ketika tangan kanannya bergerak, saya mendekati dan membisikkan sesuatu kepada beliau. Ternyata beliau masih bisa mendengar perkataan saya. Bahkan beliau juga bisa merespon pertanyaan-pertanyaan saya dengan anggukan kepala atau menggeleng. Tapi beliau tidak berbicara dan tidak membuka mata.

Dari hasil laboratorium dan foto rontgent, saya mendapatkan penjelasan yang "memuaskan". Optimisme saya tetap terjaga hingga saya bertemu dengan dokter spesialis syaraf yang menyampaikan hasil CT-Scan. Dokter perempuan yang masih muda itu berkata kalau suami saya mengalami pendarahan.

Saya pun bertanya, "Apa yang memicu terjadinya pendarahan, Dokter?"
"Pasti karena trauma."
"Trauma bagaimana?"
"Trauma karena benturan, Bu. Bapak jatuh kan?"
"Oh, saya tidak tahu, Dokter. Karena Bapak tidak sadarkan diri di kantor. Tapi informasi yang saya dapat, Bapak tidak jatuh."
"Loh, ini infonya di sini (laporan medis pelapor yang membawa suami ke RS) Bapak jatuh."
"Coba nanti saya tanyakan lagi, Dokter. Tapi apakah ada kemungkinan pemicu lain selain benturan, Dokter?" Tanya saya karena saya yakin dengan informasi yang saya dapatkan bahwa suami saya tidak jatuh.
"Pasti karena benturan, Bu. Nggak ada sebab lainnya." 
Mungkin dokter menyampaikan pernyataan ini karena tensi darah suami yang normal, bukan karena sang dokter kurang pengalaman meski dia masih sangat muda.
"Ok, Dok. Jadi tindakan apa yang Dokter sarankan untuk suami saya?"
"Harus operasi, Bu. Tapi tunggu dulu, saya akan konsulkan hasil CT-Scan-nya ke dokter spesialis bedah syaraf."
"Baik, Dokter. Saya tunggu info selanjutnya."

Di sela-sela menunggu para dokter datang dan memanggil saya untuk menghadap, saya mulai menghubungi keluarga besar saya dan suami serta beberapa sahabat untuk meminta bantuan doa. Secara umum mereka semua menunggu kabar dan keputusan dokter terhadap suami saya. Ada beberapa saran tindakan non medis dari beberapa teman, tapi saya kesulitan untuk melakukannya sendiri.

*bersambung...