Tuesday, August 26, 2014

Syeikh Muhammad, Zawjiy and Si Bungsu


Saking semangatnya pingin motret buat kenang-kenangan pernah bertemu Syeikh Muhammad, saya sampai lupa tidak minta dipotret bersama istri beliau kepada suami. Padahal pertemuan ini bermula saat saya dan istri beliau sama-sama lagi duduk-duduk di dekat pintu keluar Batu Secreet Zoo, areal Jatim Park 2. Kami duduknya jejer dan cukup dekat.
Di awal pertemuan, beberapa saat kami sama-sama diam. Kemudian saya melempar senyum, dan kami saling memberi salam. Tapi, setelah itu saya bingung mau bilang apa. Mengingat, saya belum bisa bahasa arab, dan bahasa inggris juga masih pas-pas-an. (Huhu..., balada ibu yang cuma bisa ber-bahasa indonesia, itu saja masih banyak melanggar EYD! Hehe...)
Setelah kembali terdiam beberapa saat, keluar juga sapaan dari mulut saya, "Eee, where do you come from?". (Kalau ingat kejadian ini, saya masih ingin ketawa sendiri, ini orang Arab sono, ditegurnya pakai bahasa inggris? Haha, gak salah tuh?)
Dan istri beliau menjawab, "...Riyadh", yang kemudian disambung dengan pertanyaan berbahasa arab, blablabla..., panjang banget.
Buru-buru saya jawab, "Afwan, laa adri...", sambil senyum-senyum.
Selanjutnya, kami terus berbincang-bincang, tentu saja menggunakan 4 bahasa yang saya tahu (bukan kuasai lho, ya!). Yaitu Indo, Arab, Inggris plus bahasa isyarat, karena istri beliau juga pas-pas-an bahasa inggrisnya. Kebayang kan, bagaimana jadinya? (Hehe..., kayak gado-gado...) Maka dari itu, judul cerita ini pun saya tulis dalam tiga bahasa.
Namun, keterbatasan bahasa yang “kami” (saya aja kalee...) miliki, tidak menghalangi kami untuk ngobrol lebih banyak. Dari obrolan “terbatas” itu saya jadi tahu, kalau kami sama-sama sedang menunggu suami masing-masing yang lagi sholat  ashar, tapi istri beliau tidak tahu kalau saya juga sedang menunggu suami saya.
Lalu suami saya datang, dan saya ceritakan kepadanya tentang wanita berpakaian serba hitam dan bercadar yang ada di sebelah saya.
 “Ooo, berarti yang ngimami sholat ashar di musholla itu..., tapi ayah sudah selesai, beliau (Syeikh Muhammad) baru datang.”, kata suami saya.
Tidak heran kalau orang-orang meminta beliau jadi imam sholat, lihat saja penampilan beliau di foto itu. Dan memang, kedatangan beliau ke sini (Indonesia), dalam rangka menjadi imam sholat tarawih di salah satu mesjid di daerah Puncak Dieng, Malang. Beberapa mesjid di Malang memang sudah biasa mendatangkan ulama-ulama dari luar saat ramadhan tiba, seperti dari Mekah, Yaman dan Palestina. Ada yang hanya beberapa hari, tapi ada juga yang sampai satu bulan penuh. Eh, back to my story...
Beberapa saat kemudian, Syeikh Muhammad muncul, dan langsung berbicara dengan istri beliau. Setelah memberi salam, suami berjabat tangan dengan beliau, dan berpelukan... (Kebiasaan orang arab nih, apalagi sesama muslim.) Lalu dimulailah obrolan antara saya, suami saya, Syeikh Muhammad dan istri beliau.
Sambil menunjuk Zangi, anak saya yang bungsu, Syeikh Muhammad bertanya dalam bahasa arab kepada suami, apakah anak itu putranya? (Ya, nyebut-nyebut ibnu-ibnu gitu...)
Saya jawab, “Na’am, huwa ibnu Amin”, dengan cukup pe-de. Karena saya “kebetulan” ngerti apa yang ditanyakan dan tahu mesti jawab apa.
Lalu beliau menanyakan, apakah saya juga putrinya?
Haha, saya menahan tawa dan segera menjawab, “La, la, huwa zawjiy...” Sambil mikir juga sih, hehe. Semuda itukah saya, sampai dikira anak dari suami sendiri. (Benerin kerudung dulu deh, biar tambah kelihatan lebih muda gitu lho...)
Obrolan berlanjut... Beliau pun menanyakan anak saya semua berapa? Yang lain sekarang dimana? Bersama siapa? Macam-macam deh. Sampai menanyakan maksud dari sms berbahasa indonesia yang dikirim oleh seseorang ke HP beliau. Suami sih senyum-senyum saja. Kalau bahasa arab, ya, lumayan lebih bisa saya lah (dikit...) daripada suami. (Hehe, maaf ya sayang..., setelah ini kita belajar bahasa arab sama-sama, yuk? Kesempatan buat ngerayu nih, biar dibolehin ikut kursus bahasa arab.)
Pas suami lagi pergi, karena mengikuti si bungsu yang berlarian kesana kemari, Syeikh Muhammad pergi ke sebuah kedai tidak jauh dari tempat kami. Kemudian beliau kembali dengan membawa 4 gelas plastik jus jeruk, 2 untuk beliau dan istri, yang 2 lagi untuk saya dan suami.
Jadi ingat, betapa luar biasanya orang arab kalau sedang menyambut tamu. Seolah pantang bagi mereka tamunya tidak mendapati apa-apa saat berkunjung ke rumahnya. Ini kami hanya bertemu di tempat umum, Syeikh Muhammad sudah membelikan kami jus jeruk. Bagaimana kalau saya berkunjung ke rumah beliau ya...? (Haha, ngarep.) Mestinya kan saya yang melayani beliau, karena beliau tamu di sini (Indonesia), dan saya adalah tuan rumahnya. Jadi malu... (Hihi..., tutup muka pake apa ya?)
Setelah kami sama-sama minum jus jeruk, dari kejauhan terlihat rombongan Syeikh Muhammad yang lain. Maka beliau dan istri pun pamit, dan memberi salam pada kami. Kami menjawab salam beliau dan menutup dengan satu kata pamungkas, “Jazakumullah khoir, ya Syeikh...” Beliau dan istri pun tersenyum sembari berlalu dari hadapan kami.
Sungguh pertemuan yang berkesan buat kami. Kami tidak mungkin bisa “ngobrol” banyak dengan Syeikh Muhammad, meski kami bisa bertemu beliau di masjid setiap malam selama ramadhan. Karena urusan dan suasananya jelas berbeda, ditambah kami tidak bisa bahasa arab untuk mengajak beliau ngobrol. Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi pertemuan ini, dan semoga lain waktu kami dipertemukan kembali dalam suasana yang penuh dengan keimanan. Dan yang tidak kalah penting, semoga saat itu tiba, saya sudah lancar berbicara dalam bahasa arab. Aamiin...
 



Friday, August 22, 2014

Menanti Seulas Senyum di Pintu Tol


Oleh-oleh Liburan #2

            Jalan tol, menjadi jalur pilihan kami saat bepergian jauh dari dan ke kota Tangsel, terutama dalam perjalanan rutin kami menjenguk anak-anak yang mondok di daerah Klaten dan Sukoharjo. Begitu juga dengan perjalanan mudik pertama kami dari Tangsel menuju Malang. Jalan tol menjadi pilihan kami agar bisa berkendara dengan lebih nyaman dan leluasa, karena di jalan tol tidak ada sepeda motor yang kadang-kadang beberapa pengendaranya menggunakan jalan “seenaknya”.
Dengan melewati beberapa jalan tol yang berada di jalur pantura, juga terbukti membuat perjalanan kami menuju Klaten dan Sukoharjo menjadi lebih cepat. Kami bisa membandingkan lamanya perjalanan yang kami tempuh, karena kami sudah pernah melewati hampir semua jalur yang bisa dilewati untuk menuju Klaten dari kota Tangsel. Pertama kali menuju Klaten, kami malah melewati jalur selatan, dan sama sekali tidak melewati jalan tol. Perjalanan yang kami rasakan sangat jauh dan melelahkan. Kisah perjalanan pertama kami bisa dilihat di sini.
Pintu tol pertama yang kami lewati saat akan meninggalkan kota Tangsel menuju Malang adalah pintu tol yang berada di Pondok Indah dan keluar di pintu tol Cikampek. Lalu kami akan melewati tol lagi di daerah Palimanan, Cirebon hingga Pejagan, dan tol yang ada di daerah Semarang, mulai dari pintu tol Krapyak hingga pintu tol Bawen. Untuk bisa lewat jalan tol, kita punya kewajiban membayar biaya masuk tol, yang tarifnya berbeda di tiap-tiap jalan tol. Dari yang (menurut kami) cukup murah, hingga yang sangat mahal. Ukuran murah dan mahal bukan hanya kami nilai dari nominal rupiah saja, tapi juga dari jarak dan kualitas jalan tol yang kami lalui.
Membayar biaya masuk tol, lazimnya yang melakukan adalah suami, sebagai pengemudi. Namun, anak ke-3 kami yang aktif, pernah minta agar dia yang menyerahkan uang kepada petugas pintu tol. Dan sejak saat itu, apa yang dilakukannya mulai menjadi kebiasaan yang tidak hanya dilakukan oleh dia, tapi juga oleh anak-anak kami yang lain, termasuk si bungsu. Apa yang dilakukan anak-anak, selalu menjadi perhatian saya. Momen membayar biaya masuk tol menjadi kesempatan saya untuk mengajarkan anak-anak agar ramah dan memberikan senyuman saat berinteraksi dengan orang lain, termasuk saat akan menyerahkan uang kepada petugas pintu tol. Tidak lupa juga, ucapan terima kasih saat petugas menyerahkan struk pembayaran tarif tol kepada mereka.
Akan tetapi, perhatian saya tidak hanya tertuju kepada anak-anak, melainkan juga kepada petugas pintu tol yang sedang bertugas saat itu. Saat transaksi dilakukan, ada hal-hal yang menarik untuk saya perhatikan. Yaitu ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh petugas pintu tol ketika anak-anak menyerahkan sejumlah uang kepada mereka. Reaksi mereka juga berbeda-beda saat melihat anak-anak. Yang itu membuat saya tidak pernah melewatkan saat anak-anak akan membayar uang masuk tol.
Ada petugas yang begitu antusias menerima uang dari tangan anak-anak, lalu menyerahkan struk pembayaran sembari mengucapkan terima kasih dengan begitu manis. Kami pernah mendapati seorang petugas perempuan yang menyambut si bungsu dengan senyumnya yang manis. Saat akan menyodorkan uang, ternyata yang maju hanya tangannya saja, karena uangnya terjatuh sebelum tangan si bungsu keluar dari jendela mobil. Melihat wajah si bungsu yang bingung karena uangnya tidak ada di tangan, petugas itu terlihat menahan tawa. Begitu si bungsu bilang, “Lho...!” (karena uang tidak ada), petugas tersebut tidak lagi bisa menahan tawanya. Kami pun ikut tertawa. Namun, ada juga yang menerima uang dan menyerahkan struk tanpa ekspresi sama sekali, begitu dingin.
Sebagian besar dari mereka memang menunjukkan senyum manis saat tangan-tangan mungil anak-anak itu memberikan sejumlah uang. Hanya sedikit dari mereka yang menunjukkan wajah tanpa senyum dan tanpa ekspresi. Ternyata, bagi sebagian orang, senyum masih menjadi sesuatu yang sulit dilakukan, meski yang mereka hadapi adalah anak-anak. Tapi, alhamdulillah, karena yang menunjukkan senyum masih lebih banyak daripada yang tidak. Melihat orang lain tersenyum dan membalas senyum yang kita berikan, pasti memberi rasa bahagia buat kita. Karenanya, kami pun mencoba untuk selalu memberi senyuman, sekaligus menanti seulas senyum saat berada di pintu tol.

Wednesday, August 13, 2014

Perjalanan Pertama Dari dan Ke Tangerang Selatan



Ini tentang perjalanan jauh pertama kami sejak tinggal di Tangerang Selatan. Sebagai penduduk baru di Tangsel, saat itu kami belum terlalu mengenal jalan-jalan yang harus ditempuh untuk masuk dan keluar dari Jakarta maupun Tangsel. Padahal sekitar 1 atau 2 bulan sekali kami harus meninggalkan Tangsel untuk menjenguk dua anak kami yang tinggal di pesantren. Yang satu di Klaten dan satu lagi di Sukoharjo. Perjalanan pertama ini dalam rangka menjenguk mereka.
Pertama kali meninggalkan Tangsel, kami memilih jalur selatan, yaitu via Bogor, Bandung, Garut, Tasik, Purwokerto dan Jogja. Jalur itu kami pilih setelah melihat peta di Google Map. Yang menurut perkiraan kami, jarak yang ditempuh melalui jalur selatan lebih pendek dibandingkan jalur utara. Karena masih pertama, jauhnya jarak dan lamanya waktu yang kami butuhkan untuk sampai di Klaten, kami anggap hal yang biasa. Jadi, kembali ke Tangsel, kami tetap melalui jalur selatan.
Dalam perjalanan kembali, sepanjang jalan dari Jogja kami banyak melihat mobil plat B juga melalui jalan yang sama. Dugaan kami, mereka menuju Jakarta. Jadi, kami bisa mengikuti mobil-mobil itu menuju Jakarta, karena jarak Tangsel dengan Jakarta Selatan cukup dekat. Namun, begitu sampai daerah Purwokerto, sekitar daerah Wangon, kami perhatikan, sudah tidak banyak lagi mobil plat B yang lewat. Kami berpikir, pasti mereka melalui jalan lain yang tentunya lebih cepat dan lebih dekat menuju Jakarta. Akan tetapi, kami tetap memilih untuk meneruskan perjalanan via jalur selatan.
Perjalanan pertama kami yang bersamaan dengan libur panjang Idul Adha (tahun lalu), membuat lalulintas padat merayap. Melalui jalur selatan yang hanya dua lajur, kanan dan kiri, membutuhkan kesabaran ekstra dalam berkendara. Jalannya yang kebanyakan berkelok-kelok juga perlu kehati-hatian dan konsentrasi yang tinggi. Terutama ketika melalui jalan lingkar Nagrek. Jalan yang sebelumnya hanya kami ketahui dari berita televisi saat musim mudik. Beberapa mobil terpaksa berhenti karena mengalami gosong pada kampas kopling. Alhamdulillah, suami sudah pernah mengalami waktu masih di Malang. Jadi bisa mengantisipasi untuk tidak mengalami hal yang sama.
Sebelum sampai di Bandung, kami memutuskan untuk lewat tol Cipularang saja, yaitu tol yang menghubungkan Bandung dan Jakarta, dan tidak lagi lewat Bogor. Dengan pertimbangan, lewat tol bisa lebih nyaman, lebih lapang dan tidak ada sepeda motor, sehingga bisa memacu kendaraan lebih cepat. Namun tetap saja, jarak tempuh tol sekitar 150 km itu adalah jarak yang jauh dan cukup melelahkan.
Sebelum masuk tol, suami sempat menanyakan pada beberapa orang, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di Jakarta. Dan yang tidak kalah penting, menanyakan di mana kami harus keluar nanti kalau kami ingin menuju Tangsel. Kami mendapat dua kata kunci, yaitu Cikunir dan Kampung Rambutan. Jadilah sampai di pintu tol Cikunir, kami keluar, yang ternyata masih daerah Bekasi. Kami pun bertanya lagi, bagaimana cara untuk sampai di Tangsel. Kami disarankan untuk masuk tol lagi, yang untuk menemukan pintu masuknya, kami sangat kesulitan. (Tablet Advan belum di tangan, No GPS, cuma bisa tanya-tanya saja!)
Jadilah, perjalanan masuk Jakarta yang dikemudikan sendiri oleh suami, sebagai perjalanan yang panjang. Kami sempat keluar masuk tol beberapa kali, bahkan keluar dan masuk di jalan tol yang sama. Setiap lewat pintu tol, kami selalu bertanya kepada petugas tol, dimana kami harus keluar untuk bisa sampai di Tangsel. Seingat saya, jawaban yang mereka berikan tidak sama, sehingga sempat membuat kami bingung. Sampai akhirnya kami masuk tol yang menuju Serpong, dan petugas menyuruh kami keluar di Lebak Bulus. Kami pun lega, karena kami sudah sedikit mengenal daerah Lebak Bulus, yang berarti jarak rumah sudah cukup dekat.

Alhamdulillah..., akhirnya sampai juga kami kembali ke Pamulang, Tangsel. Benar-benar perjalanan panjang yang melelahkan, terutama bagi suami yang menyetir sendiri kendaraan kami, tanpa ada yang menggantikan. Namun, dari perjalanan itu kami bisa tahu daerah-daerah yang harus dilalui via jalur selatan, yang hingga saat ini belum pernah kami lalui lagi. Karena ternyata, lewat jalur pantura, terasa lebih dekat, lebih mudah dan lebih nyaman. Lebih dekat jaraknya, yaitu melalui Cikampek menuju Semarang, lalu ke tempat yang akan kami tuju, yaitu Klaten dan Sukoharjo. Lebih mudah, karena jalannya yang relatif lurus, alias tidak banyak berkelok. Dan lebih nyaman, karena jalannya lebar, dengan masing-masing ruas ada dua lajur.



ini adalah salah satu tempat peristirahatan di tol Pejagan yang biasa kami kunjungi

Tuesday, August 12, 2014

Menjemput Rizki, Tanpa Mengabaikan Keberkahan


Oleh-oleh Liburan #1

        Ini adalah puasa pertama kami di kota Tangerang Selatan, karena belum genap setahun kami tinggal di kota ini. Jauh dari kampung halaman keluarga besar suami yang tinggal di Malang, apalagi keluarga besar saya yang tinggal di Situbondo. Kami harus melalui beberapa hari awal puasa di sini, karena suami masih harus ngantor hingga 4 atau 5 hari sebelum hari raya. Namun sejak jauh-jauh hari, suami sudah merencanakan untuk ijin lebih awal, yaitu 9 hari sebelum hari raya. Jadi, kami bisa mudik lebih awal.
Perjalanan mudik kami cukup lancar, mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dengan hari raya. Secara umum kami juga tidak bertemu dengan kemacetan, seperti yang biasa kami lihat di televisi saat suasana mudik. Hanya ada satu tempat yang cukup berkesan dan terasa sedikit melelahkan saat kami melewatinya. Di mana lagi kalau bukan di daerah sekitar jembatan Comal yang berita amblasnya jembatan itu memang sudah terdengar bahkan jauh sebelum kami berangkat mudik ke kota Malang.
       Mendengar berita tersebut, kami sudah menyiapkan beberapa alternatif jalur yang akan kami lalui saat mudik. Salah satu media yang kami gunakan untuk membantu mencari jalan terdekat adalah dengan bantuan GPS yang ada di tablet Advan, yang umurnya belum genap setahun kami miliki. Sejak tablet itu ada dalam genggaman, kami banyak terbantu untuk menghindari salah jalan dan tersesat. (#hehe..., promosi nih!) Jadi, sebelum berangkat kami sudah mengaktifkan GPS dan memasukkan kota Malang sebagai kota tujuan kami. Melihat jalur yang disarankan untuk dilalui, timbul pertanyaan, kenapa masih melalui jalur utara, yang artinya tetap melewati daerah Comal? Tapi, ah, jalan terus saja dulu. Kalau memang jalur pantura ditutup, kan tinggal ambil jalur selatan via Purwokerto.
       Tiba di simpang Pejagan, setelah melewati tol Kanci, jalur yang ke arah Purwokerto malah ditutup oleh petugas lalulintas. Padahal peringatan amblasnya jembatan Comal banyak terpampang di sepanjang jalan Tol Cikampek. Kami sempat ragu, jalur mana yang harus kami pilih. Tapi karena yang ke arah selatan ditutup total, ya kami harus belok kiri, melalui jalur pantura yang memang biasa kami lewati.
Sampai di Tegal, pengendara dibelokkan dari jalur yang seharusnya, mengambil arah ke Purwokerto. Namun hanya kendaraan besar dan berat, seperti truk dan bus. Sementara kendaraan kecil tetap melanjutkan ke arah Comal. Beberapa meter sebelum jembatan Comal yang amblas, arus lalulintas dibelokkan melalui jalan kampung. Pastinya memutar untuk melewati jembatan lain sehingga bisa menyeberangi sungai, lalu kembali ke jalur utama lagi. Berdasarkan peta yang saya lihat dan arahan GPS, memutarnya tidak terlalu jauh. Karena beberapa kilometer saja dari jalan utama, ada jembatan lain yang melintasi sungai yang sama. Akan tetapi, dari sinilah petualangan kami dan para pengendara lainnya dimulai.

gambar suasana saat memasuki perkampungan di kecamatan Comal 
       Di sebuah persimpangan, seharusnya kami berjalan lurus, kerena jembatan hanya beberapa ratus meter saja di depan kami. Namun di persimpangan itu terlihat beberapa orang, bukan petugas lalulintas, yang menghalau laju kendaraan kami dan menyuruh kami belok kanan. Kami sempat berpikir, mungkin nanti dibelokkan lagi di depan, sehingga bisa kembali ke jalan yang berada tepat sebelum jembatan. Ternyata dugaan kami keliru, kami diarahkan menuju jembatan lain yang jaraknya sangat jauh. Kami harus menempuh jalan kampung yang relatif kecil, sehingga saat berpapasan dengan mobil lain, salah satunya harus ada yang berhenti dulu, untuk menghindari terjadinya serempetan. Kami bisa melihat jauhnya jarak yang harus ditempuh dari peta GPS di tangan kami. Tapi, tetap saja itu adalah jarak yang cukup jauh yang harus kami lalui hanya dengan kecepatan mobil rata-rata 20 – 30 km/jam.
       Sampai di ujung terjauh, yang merupakan titik balik untuk bisa mencapai jembatan yang dimaksudkan, kami sempat berhenti. Iseng-iseng suami saya turun dan ngobrol dengan petugas. Dia menanyakan, berapa kilometer lagi jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke jalur utama, sembari sedikit mengeluhkan jauhnya jarak tersebut. Di luar dugaan, sang petugas menyatakan rasa kasihannya kepada pemudik yang harus menempuh jarak yang sangat jauh, akibat warga menutup jembatan terdekat yang seharusnya bisa dilalui.
       Apa yang disampaikan petugas lalulintas, persis seperti dugaan saya. Banyaknya warga yang berjualan di sepanjang jalan kampung yang kami lalui, membuat saya berpikir bahwa warga di sana sengaja menutup jalan yang mestinya bisa dilalui agar jarak yang kami tempuh semakin jauh. Kalau jaraknya jauh, tentunya akan melelahkan sehingga kami butuh beberapa saat untuk istirahat. Nah, saat itulah dagangan warga sangat mungkin akan dibeli oleh pemudik yang lewat. Atau setidaknya cuaca panas akan membuat kami haus, sehingga mau tidak mau kami harus membeli minuman atau makanan dari mereka yang harganya jelas lebih tinggi dari harga pasar. Dari debat kecil dengan suami, saya sempat protes dengan tindakan mereka. Namun suami saya mengatakan bahwa mungkin itu adalah cara Allah memberi rizki pada orang-orang itu.
       Secara materi, mungkin mereka (warga) bisa memperoleh keuntungan besar dari amblasnya jembatan Comal dan pengalihan lalulintas yang harus melalui desa mereka. Tapi, pernahkah mereka berpikir akan keberkahan yang bisa mereka peroleh dengan memberi kemudahan bagi orang lain (pemudik) untuk melalui jalan yang semestinya, sehingga pemudik tidak perlu memutar terlalu jauh? Apalah artinya segenggam materi yang bisa kita raih, jika harus diperoleh dengan jalan menyusahkan orang lain? Sudah sebegitu asingkah nilai keberkahan bagi manusia? Sudah begitu sulitkah manusia menjemput rizkinya, sampai harus mengabaikan keberkahan? Sehingga seolah-olah menjadi tidak penting, berkah atau tidak, asal bisa meraup keuntungan yang besar.
       Tapi..., astaghfirullah! Apa yang saya pikirkan? Kenapa saya harus berpikir negatif tentang mereka? Segera saya buang jauh-jauh pikiran itu. Apalagi saat itu masih suasana puasa. Alhamdulillah kami semua juga masih puasa. Sehingga cuaca sepanas apa pun, jarak sejauh apa pun, selama belum waktunya berbuka, kami kan tetap tidak mungkin membeli makanan dan minuman yang dijual warga. Walaupun jauhnya jarak yang harus kami tempuh memang terasa sangat melelahkan bagi kami. Tapi selalu ada hikmah dibalik suatu kejadian. Selama melewati jalan-jalan di kampung itu, kami bisa melihat pemandangan yang jarang bisa kami lihat. Beragam jenis tanaman menjadi objek perbincangan kami.
       “Ada pohon gundul di antara tanaman gandul”, ujar saya saat melihat bagian sisi kiri jalan.
       “Maksudnya?” seru dua anak saya yang besar, hampir bersamaan.
       Saya dan suami langsung tertawa melihat mimik mereka yang penuh tanda tanya dan rasa penasaran, lalu saya jelaskan kepada mereka maksud ucapan saya.
       “Itu, loh...! Ada banyak pohon lamtoro yang cabangnya dibabat habis, jadinya kan pohonnya gundul. Sementara di sela-sela pohon gundul itu ada tanaman pepaya, atau disebut juga dengan tanaman gandul...”.
       Kembali bersamaan, mereka berkata, “Ooo...!”


gambar "penampakan" pohon gundul di antara tanaman gandul


       Ya, menikmati pemandangan sepanjang jalan menjadi satu-satunya hal yang bisa kami nikmati. Saat sore mulai menjelang, kami juga bisa menyaksikan matahari yang perlahan mulai tenggelam. Perjalanan memutar karena amblasnya jembatan Comal, menjadi hal yang berkesan dalam mudik panjang pertama kami, dari kota Tangerang Selatan menuju kota Malang. 


gambar suasana salah satu sisi jalan saat waktu menjelang sore