Monday, August 31, 2015

Sebuah Catatan: Kurtilas

Sabtu lalu, saya menghadiri pertemuan wali murid di sekolah anak saya. Salah satu agendanya adalah penjabaran tentang kurikulum baru yang mulai diterapkan untuk murid kelas IV, yaitu kurikulum 2013, atau yang biasa dikenal dengan kurtilas.

Karena saya bukan seorang guru, saya tidak tahu secara pasti bagaimana kurtilas. Namun dari berita-berita media dan informasi dari teman-teman kuliah yang sebagian besar memang berprofesi sebagai guru, saya sedikit lah kenal. Dan sabtu lalu, saya mendapat tambahan informasi tentang wujud penerapan kurtilas itu di sekolah anak saya. Dari penjelasan tersebut, saya mencatat beberapa hal, sebagai berikut:

Kurtilas tidak mengutamakan nilai yang berupa angka-angka dalam mengukur kemampuan seorang siswa. Dalam praktik pendidikannya, menurut kurtilas, sekolah ibarat dunia margasatwa yang dihuni oleh berbagai binatang yang berbeda dalam banyak hal. Dimana masing-masing dari binatang-binatang itu memiliki kemampuan yang berbeda. Meski setiap keterampilan dan pengetahuan itu bisa dipelajari, namun tidak banyak yang bisa menguasai semuanya dengan baik, dan bahkan ada yang benar-benar tidak mampu melakukannya.

Begitu pula dengan keadaan siswa, masing-masing memiliki kemampuan sesuai bakat dan minat yang dimilikinya, karena setiap anak adalah pribadi yang unik. Memaksakan seorang anak menguasai keahlian yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya, bisa mengganggu proses belajarnya. Dan yang fatal akan bisa menghilangkan kemampuan yang sebelumnya memang dikuasainya. Namun dengan kurtilas, siswa diharapkan bisa mengasah dan memaksimalkan kemampuannya sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya. Kalau pun ada materi dan keterampilan yang tidak diminati siswa, namun diajarkan kepada mereka, hal itu cukup sebagai pengetahuan bagi mereka dengan tidak memaksa mereka harus menguasainya secara sempurna.

Dalam penilaian, kurtilas tidak menggunakan angka, tetapi menggunakan huruf A dan B. Yang tentu saja huruf-huruf itu tetap bisa dikonversikan dengan angka. Dan yang dinilai bukan hanya pengetahuan siswa, namun sikap dan keterampilan siswa juga ada poinnya. Sikap yang dinilai berupa sikap spiritual dan sikap sosial. Sehingga dengan kurtilas, seorang guru tidak hanya menyampaikan materi pelajaran dan mengevaluasinya lewat ulangan, tapi juga mengamati setiap perubahan sikap dan tingkat keterampilan yang sudah dikuasai masing-masing siswa.

Pekerjaan guru bertambah? Jawabannya bisa berbeda, tergantung bagaimana seorang guru itu memandang amanah profesi yang sedang diembannya. Jika guru selama ini menganggap tugasnya hanya sebagai alat untuk transfer ilmu, mungkin kurtilas akan menjadi beban bagi mereka. Namun guru yang merasa memiliki tanggung jawab moral dan menganggap bahwa muridnya tidak hanya harus mendapat nilai bagus pada suatu pelajaran tapi juga baik dan benar dalam praktiknya, tentu kurtilas menjadi pekerjaan mudah. Karena aktivitas mengamati perkembangan sikap siswa berdasarkan pengetahuan yang dimiliki siswa memang sudah menjadi bagian dari perhatian dan pekerjaannya.

Dalam kurtilas, materi pelajaran disampaikan secara tematik. Satu buku tematik sudah mencakup pelajaran agama, matematika, bahasa indonesia, PKN, dengan sedikit IPA dan IPS. Sehingga siswa tidak perlu lagi membawa buku terlalu banyak ke sekolah, tapi cukup dengan satu buku tematik saja. Jadi beban tas juga bisa lebih ringan. Semoga juga bisa memberikan perubahan yang lebih baik dalam banyak hal kepada perkembangan belajar dan sikap moral yang ditunjukkan siswa. Amin...

*Ini hanya sedikit catatan, yang bisa memunculkan banyak catatan di masa yang akan datang.


Saturday, August 15, 2015

Capcay, Bekal Favorit Anak Saya

Bermula saat saya merasa malas untuk memasak sayur sebagai persiapan santap sahur. Maka saya memilih untuk membeli sayur matang saja. Untuk makan sahur saya selalu menghindari makanan pedas dan bersantan, serta memilih sayur yang menurut saya bergizi. Jadi, malam itu saya memutuskan untuk membeli capcay. Saat membeli itulah saya memperhatikan tahap demi tahap pembuatannya. Cukup menarik buat saya. Berbeda dengan capcay yang pernah saya makan sebelumnya, sayur dalam capcay itu dipotongnya kecil-kecil. Langsung deh dapat ide untuk memasak capcay dengan cara yang sama buat anak-anak.

Hasilnya? Sudah sekitar tiga minggu ini anak-anak menunjukkan kesukaannya pada capcay buatan saya. Saya sengaja membuat dalam porsi sedang, alias tidak terlalu banyak. Sehingga capcay yang saya buat biasanya akan selalu habis dalam sekali makan, untuk 3-4 orang. Sebagai bunda, tentu saja saya merasa senang. Apalagi putri kedua saya yang susah makan, juga menyukainya. Tidak hanya untuk dia makan di rumah, dibawa buat bekal pun, pasti akan habis tak bersisa.


Berikut ini adalah bahan-bahan dan step by step proses pembuatan capcay ala saya yang rasanya begitu disukai anak-anak.

Bahan-bahan:
  • 200 g fillet daging ayam,
  • 2 buah wortel ukuran kecil/sedang,
  • 1 buah brokoli ukuran kecil,
  • 1 buah kembang kol ukuran kecil,
  • 2 atau 3 lembar sawi putih/sawi daging,
  • 2 siung bawang putih digeprek atau cincang kecil-kecil,
  • 1/2 sdt lada bubuk, 
  • 1/2 sdt pala bubuk,
  • garam dan gula secukupnya,
  • 1 sdm tepung maizena yang dilarutkan dengan 2 sdm air.
  • 1 sdm minyak untuk menumis,
  • 1 gelas air (disesuaikan pula dengan selera, suka yang berkuah banyak atau sedikit)
  • saos tiram secukupnya (kalau rasa sudah lezat, kadang saya tidak memasukkannya, dan anak-anak tetap menyukainya, jadi bahan ini bisa sebagai pelengkap.

Cara Membuatnya:
  1. Siapkan semua bahan sayuran lalu dipotong kecil-kecil. Filet ayam juga dipotong kecil.
  2. Tumis bawang putih hingga harum, lalu masukkan ayam. Masukkan juga garam, lada dan pala.
  3. Setelah ayam berubah warna, tambahkan air, dan tunggu hingga air mendidih, lalu masukkan semua sayuran bersamaan.
  4. Jika sayuran sudah mulai matang, masukkan larutan tepung maizena, lalu aduk-aduk sampai mendidih.
  5. Terakhir masukkan sedikit gula sebagai penyedap. Saos tiram bisa ditambahkan sesudahnya.
  6. Capcay ala bunda pun siap untuk disantap langsung, maupun dibuat bekal.
Nah, selamat mencobanya buat anak-anak di rumah...


Wednesday, August 5, 2015

Memberi dan Menerima

          Ramadhan telah berlalu, semoga ibadah kita selama ramadhan diterima oleh Allah, dan semoga semangat beribadah kita selama ramadhan tetap terpelihara hingga hari ini. Selain puasa, ada ibadah lain yang diwajibkan kepada setiap muslim pada bulan ramadhan sebelum masuk tanggal 1 Syawal, yaitu menunaikan zakat fitrah. Untuk di Indonesia, zakat fitrah biasanya berupa beras seberat 2,5 kg atau uang dengan nominal senilai dengan harga beras 2,5 kg.

          Sejak kecil, kisaran usia 7 tahun ke atas, orang tua sudah membiasakan saya, kakak dan adik, untuk menyerahkan sendiri zakat fitrah saya. Sebelumnya orang tua telah memilah lima orang yang akan kami serahi zakat fitrah. Setelah ditentukan siapa menyerahkan kepada siapa, barulah kami berangkat ke tujuan masing-masing. Untuk saya, kakak dan adik yang dituju adalah yang jaraknya terdekat dengan rumah. Karena saya tinggal di desa, tidak sulit bagi saya mengenal orang-orang yang akan diserahi zakat, begitu juga dengan tempat tinggalnya. Mereka yang diserahi zakat pun biasanya sudah tahu siapa saya.

          Tinggal di desa, tidak sulit bagi saya untuk mengenali masing-masing dari tetangga sekitar rumah. Sehingga dengan mudah saya bisa mengenali si fulan ini miskin atau kaya, pekerjaannya apa, bahkan penghasilannya berapa. Begitu juga untuk mengenali siapa di antara para fulanah yang sudah menjanda atau yang tidak sanggup membiayai hidupnya dari penghasilan suaminya. Sehingga menentukan siapa yang akan diserahi zakat fitrah tidaklah sulit.

          Dulu zakat fitrah yang saya serahkan hanya beras 2,5 kg, sebagaimana telah ditentukan. Itu pun sebetulnya orang tua yang mengeluarkan, sedangkan saya hanya menyerahkan. Namun setelah berkeluarga, otomatis kewajiban mengeluarkan zakat untuk saya berpindah ke tangan suami. Alhamdulillah, rizki yang diperoleh suami selalu lebih dari cukup untuk kami memberikan tidak hanya beras 2,5 kg saat menunaikan zakat fitrah. Dan alhamdulillah juga, hal itu masih menjadi kebiasaan kami hingga ramadhan tahun ini.

          Bagi orang yang mampu, kewajiban zakat fitrah yang harus ditunaikan pastinya tidak memberatkan. Namun tidak bagi si papa, 2,5 kg beras itu sangat berarti bagi mereka, hingga terkadang bingung saat akan menunaikan zakat fitrah karena memang tidak punya. Dan saat menerima zakat fitrah yang hanya berupa beras 2,5 kg itu, mereka sudah terlihat senang luar biasa. Selain ucapan alhamdulillah, binar wajahnya juga menunjukkan rasa syukur yang begitu dalam. Deretan doa-doa untuk kita, semoga Allah membalas kebaikan bapak/ibu, semoga rizki bapak/ibu dilancarkan terus, semoga diberikan kesehatan untuk bapak/ibu dan seluruh keluarga, semoga bapak/ibu diberikan umur yang panjang, dan lain-lain yang baik-baik, terucap dari mulut-mulut mereka.

          Begitulah memang salah satu fungsi sosial saat si kaya hidup berdampingan dengan si papa. Si kaya memberi kepada si papa. Si kaya menjadi aman harta bahkan nyawa dari ancaman si papa karena telah menunaikan kewajiban. Dan si papa dengan senang hati akan turut menjaga keamanan harta bahkan nyawa si kaya sebagai bentuk syukur dan terima kasih atas apa yang diperolehnya dari si kaya. Belum lagi doa-doa yang diucapkan penuh ketulusan oleh si fakir kepada si kaya, tentu doa-doa itu akan lebih mudah dan lebih cepat dikabulkan Allah. Ya, saat memberi, kita secara otomatis akan menerima.


Friday, July 10, 2015

Salah Satu Keterbatasan Saya Sebagai Manusia

"Katakanlah: 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah', dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan."
(Q.S. An Naml: 65)

Saya lahir dan besar di Situbondo. Di rumah tempat saya tinggal dulu, ada cukup banyak pohon mangga. Dari yang pohonnya besar hingga pohon-pohon kecil hasil mencangkok. Jenisnya pun bermacam-macam, dari yang umum di pasaran, hingga jenis yang jarang ditanam orang. Mangga-mangga yang dihasilkan dari pekarangan rumah itu biasanya dibeli para tengkulak dalam jumlah besar, sehingga menjadi sumber rizki tambahan bagi orang tua saya. Namun tidak semua buah mangga yang dijual. Ada beberapa pohon kecil yang buahnya dipersiapkan khusus untuk dinikmati sendiri atau dibagikan saat ada saudara yang datang berkunjung bertepatan dengan musim mangga.

Dulu, mangga menjadi buah favorit yang paling banyak dan sering saya makan. Namun meski saya cukup menyukai rasanya, saya bisa menahan diri untuk tidak membeli, dan memilih untuk menunggu buah mangga hasil panen sendiri. Saya dan keluarga hampir tidak pernah memetik buah mangga untuk diperam, tapi kami akan menunggu hingga mangga benar-benar sudah tua atau bahkan matang di pohon. Hingga tidak jarang kami mendapati beberapa buah mangga sudah krowok dimakan codot atau burung. Kalau sudah begitu, barulah perburuan buah mangga matang pohon, dimulai. Ya, mungkin hanya dengan cara itu, selain tentu saja menghitung hari sejak mangga mulai berbuah, saya bisa mengenal bahwa mangga-mangga itu sudah siap dipetik dengan rasa yang manis atau belum.


Tapi, bagaimana dengan buah mangga yang dijual di supermarket dan pasar-pasar buah? Mampukah saya mengenali tingkat kematangan mangga-mangga itu? Jawabannya adalah TIDAK!

Sejak saya tinggal jauh dari rumah, saya sempat membeli buah mangga karena salah satu anak saya yang begitu menyukainya. Tapi kebanyakan buah yang saya pilih tidak pernah memuaskan, meski dari sisi tampilan sepertinya sudah oke. Kadang rasanya yang tidak manis atau daging buahnya yang tidak begitu merah meski rasanya cukup manis. Seperti buah manalagi yang memang punya rasa cukup manis meski sebetulnya buahnya belum terlalu tua untuk dipanen. Bertahun-tahun saya hidup dengan buah mangga dan menjadikan mangga sebagai buah yang banyak saya nikmati-karena tidak perlu membeli-ternyata tidak membuat saya mampu membedakan dan mengenali mangga yang berkualitas baik dan tidak.

Tidak hanya buah mangga, saya juga paling kesulitan mengenali buah pepaya. Meskipun kulitnya sudah berwarna kuning kemerahan, tidak jarang setelah dibuka isinya sama sekali tidak merah. Dan jelas terlihat kalau buah itu dipetik dalam keadaan masih terlalu muda, dan untuk mematangkannya tentu menggunakan proses pemeraman yang boleh jadi "karbitan". Begitu pula dengan buah-buahan yang sejenis.

Namun, disinilah saya belajar, bahwa saya hanyalah makhluk (yang diciptakan) yang tidak punya pengetahuan apa-apa, dan Allah adalah sang Kholik (yang menciptakan) yang Maha Mengetahui segala seuatu. Bagi saya, bagaimana warna dan rasa daging buah mangga dan buah pepaya merupakan sesuatu yang ghaib, yang belum saya ketahui hingga saya membukanya. Sebagaimana tercantum dalam surah an-Naml ayat 65 di atas, 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah'.

Hal ghaib lain yang bisa dijadikan contoh adalah kondisi janin yang ada dalam rahim. Meski saat ini sudah ada alat canggih yang bisa mengenali janin dari segi kelengkapan secara fisik dan jenis kelaminnya, tidak jarang ketika keluar "wujud"nya berbeda seperti yang diperkirakan. Hal ini dijelaskan oleh Allah melalui firman-Nya dalam surah Luqman ayat 34:
"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Ya, begitulah manusia, termasuk saya, yang sangat terbatas kemampuannya. Tidaklah manusia memiliki pengetahuan akan sesuatu melainkan hanya sedikit saja, dan itu pun terjadi hanya dengan kehendak dan ijin Allah.

Wednesday, July 8, 2015

Hati-hati Saat Sholat Berjamaah


Selama tarawih, dari malam pertama hingga tadi malam, saya dapati, ada saja jamaah yang tidak sabar saat mengikuti gerakan imam.
Saya tahu, karena jamaah itu berada tidak jauh atau bahkan bersebelahan dengan saya.

Ketika imam mengucapkan takbir pada setiap gerakan sholat, tunggulah hingga imam sempurna mengucapkan takbir itu, barulah kita sebagai makmum mengikutinya dengan takbir pula.
Kebayang tidak, saat imam baru mengucapkan, "All...", lalu kita sebagai makmum langsung mengikuti dengan juga mengucapkan takbir sebelum imam sempurna mengucapkannya.
Padahal takbir imam cukup panjang, "Allaaaaaahu Akbar", sementara takbir kita singkat, "Allahu Akbar".
Jika tidak hati-hati, bukannya mengikuti imam, kita justru telah mendahului gerakan imam.
Menunggu imam mengucapkan takbir hingga sempurna, tentu berbeda dengan berlambat-lambat dalam mengikuti gerakan imam, hingga jauh tertinggal.

Yang juga perlu mendapat perhatian adalah pada saat gerakan salam.
Pastikan kita sebagai makmum menunggu setidaknya hingga salam pertama imam sempurna diucapkan, barulah kita mengikuti mengucapkan salam dengan "tempo" yang tidak jauh berbeda dengan imam.
Karena biasanya imam gerakannya santai dan pelan.
Berbeda dengan makmum yang antara salam pertama dan keduanya seperti tidak ada spasi.

Beberapa kali saya mendapati seorang makmum yang melakukan gerakan salam saat imam belum sempurna mengucapkan salam pertamanya.
Dan kebanyakan dari mereka yang melakukan itu, akan melanjutkan gerakan salam keduanya tanpa peduli lagi apakah imam sudah mengucapkan salam keduanya atau belum.

Alih-alih menjadi makmum sholat dengan mengikuti gerakan imam, kita sudah selesai tengok kanan tengok kiri, ternyata imam baru mengucapkan, "assalamu'alaikum" untuk salam keduanya.
Astaghfirullah...

Seberapa penting mengikuti gerakan imam dalam sholat berjamaah?

Simak saja hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, berikut:

"Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, merasa takut sekiranya Allah mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau Allah menjadikan rupanya sebagai rupa keledai’.

Jadi, sebagai kehati-hatian kita saat sholat berjamaah, ingat-ingat pepatah nJawa (kata saya) ini ya:
- - - Ngikuti Imam BUKAN Mbarengi Imam - - -

Lebih baik bersabar beberapa saat menunggu imam sempurna bacaan takbirnya, daripada kita kehilangan pahala sholat berjamaah dan Allah mengganti kepala kita dengan kepala keledai, bukan?
Kalau gerakan makmumnya serempak mengikuti imam yang telah menyempurnakan gerakannya, kan sholat berjamaahnya juga jadi indah...

*Yuk, sempurnakan sholat berjamaah kita!

Sunday, June 28, 2015

Ini Jilbab Kakakku


"Kata teman-temanku, aku pakai jilbabnya orang tua. Aku bilang, 'nggak lho... ini jilbab kakakku,'" kata putri saya (6 tahun) sepulang buka bersama di sekolahnya.

Saya tersenyum sambil memberi dua jempol dan bilang, "hebat!"

"Betapa lugunya kamu nak?" batin saya. Sepertinya dia betul-betul tidak mengerti kenapa teman-temannya berkomentar demikian terhadap jilbab besar yang dipakainya. Sehingga dia memberi jawaban jujur bahwa jilbab itu adalah milik kakaknya. Setelan gamis dan jilbab itu memang milik kakaknya, yang hanya terdiri dari dua warna, tanpa aksesoris, namun dengan model yang (menurut saya) masih tergolong anak-anak.

Bermula ketika dia masih di TK, ada hari yang temanya adalah hari abu-abu. Jadi siswa dianjurkan memakai baju warna abu-abu, sementara bagi yang tidak punya tetap memakai seragam sesuai hari tersebut. Putri saya kebetulan juga tidak punya, tapi kakaknya punya baju warna abu-abu. Setelah saya coba pakaikan baju kakaknya, ternyata hanya kepanjangan sedikit saja. Untuk menyenangkan putri saya dengan warna baju sesuai tema hari itu, saya menjahit satu bagian dari baju tersebut sehingga cukup untuk dia pakai.

Setelah baju itu dipakai, saya tidak langsung melepas jahitannya. Hingga tiba waktunya putri saya buka bersama di sekolah barunya yang tidak lagi di TK, melainkan sudah SD kelas satu. Dan saya memilihkan baju itu untuk dia pakai ke sekolah. Putri saya tidak menolak, karena memang dia suka meniru gaya berpakaian saya, termasuk memakai jilbab (sedikit) besar. Bahkan ketika saya memakai jilbab segi empat, dia ingin memakainya juga. Saya pun membuatkannya jilbab instan yang ketika dipakai seperti jilbab segi empat. Awalnya dia protes, karena maunya persis seperti saya, yang memakainya harus menggunakan peniti. Dengan sedikit penjelasan saya, bahwa peniti itu bisa berbahaya, barulah dia mau memakainya.

Berbeda dengan kakaknya yang sekarang sudah kelas lima SD. Meski keduanya sama-sama saya biasakan untuk memakai jilbab saat keluar rumah, namun kadang-kadang kakaknya menolak memakai jilbab besar. Saya tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi batasan melewati dada tetap tidak boleh dilanggar. Dan saat ramadan seperti sekarang ini, kakaknya justru lebih sering memilih jilbab besar. Karena dengan jilbab itu, dia tidak perlu lagi membawa mukenah untuk dipakai sholat. (Hmm, dia mulai berpikir tentang ke-praktisan rupanya.)

Tentang jilbab, tidak bisa dipungkiri, bahwa sebelum wanita berjilbab sebanyak sekarang, dulu jilbab atau kerudung itu memang identik dengan orang tua atau mereka yang sudah bergelar hajjah. Dan khusus jilbab besar, masih banyak orang islam sendiri yang menganggap bahwa itu hanyalah gaya berjilbab wanita muslimah dari golongan atau aliran tertentu saja, bukan dipandang sebagai gaya berpakaian muslimah yang umum, apalagi muslimah Indonesia. Tidak sedikit pula yang menyudutkan muslimah yang berjilbab besar. Padahal, jilbab besar mereka sama sekali tidak mengganggu dan merugikan pihak lain.

Kembali pada kejadian yang dialami putri saya dengan jilbab besarnya, bagaimana komentar tentang jilbab itu bisa muncul dari teman-temannya yang usianya masih berkisar 6-7 tahun itu? Melihat gaya dan model anak-anak itu berpakaian muslimah, terutama bentuk dan ukuran jilbabnya, ini yang bisa saya simpulkan:
  1. Mungkin mereka pernah melihat bahwa yang memakai gaya berjilbab seperti itu hanyalah orang-orang tua saja, sementara anak kecil tidak. 
  2. Atau mungkin orang tua mereka gaya berjilbabnya seperti itu, tapi mereka dipakaikan jilbab dengan gaya yang berbeda dengan orang tuanya, sehingga mereka menganggap bahwa gaya berjilbab seperti itu hanya untuk orang yang sudah tua saja.
  3. Atau mungkin juga karena memang warna dan modelnya bagi mereka mungkin dianggap "tidak menarik" dan hanya cocok dipakai oleh orang tua.
Tapi apapun alasannya, yang terpenting bagi saya adalah bagaimana putri saya menanggapi komentar teman-temannya. Saya merasa lega dengan jawaban putri saya. Yang berati bahwa putri saya tidak merasa minder dengan jilbab yang dipakainya. Dan ketertarikannya untuk tetap meniru penampilan saya, semoga menjadi modal pe-de bagi dia saat memakai busana muslimahnya, sebelum dia benar-benar bisa memahami bagaimana berbusana muslimah yang syar'i.


Thursday, June 25, 2015

Tiga Malam di Tiga Masjid Berbeda, Ini Yang Saya Rasakan


Setelah kembali dari perjalanan panjang Jakarta-Malang selama lima hari awal ramadhan plus satu hari sebelum masuk ramadhan, hari senin menjadi hari pertama saya menjalankan puasa di Pamulang tahun ini. Setelah lima malam saya tidak melaksanakan tarawih di masjid, maka malam selasa saya mulai bisa merasakan nuansa ramadhan dengan mengisi malamnya untuk tarawih di masjid. Ini memang bukan ramadhan pertama saya di sini, tapi tahun lalu belum semua masjid saya sambangi sebagai tempat melaksanakan ibadah sholat tarawih. Dengan tujuan mencari masjid yang paling nyaman, "versi saya", untuk tarawih, saya mulai melaksanakan tarawih dari masjid terdekat dari rumah. Nyaman versi saya memang lebih kepada ritual ibadah yang dilaksanakan, walaupun ada hal lain yang jadi pertimbangan mengingat saya tarawih dengan membawa tiga anak kecil yang salah satunya batita.

Malam Pertama di Masjid Pertama

Saya sudah pernah sholat tarawih di masjid ini pada ramadhan tahun lalu. Sedikit banyak saya sudah mengerti bagaimana tata cara dan urutan-urutan ritual sholatnya. Dimulai dengan sholat isya berjamaah, lalu jeda sebentar untuk sholat sunnah bakdiyah, dan dilanjutkan dengan sholat tarawih berjamaah. Selepas sholat tarawih sebanyak dua kali 4 rakaat, lalu diisi dengan ceramah ramadhan dan ditutup dengan sholat witir 3 rakaat.

Di masjid ini jamaahnya cukup penuh, hingga sekitar sepertiga dari jamaah perempuan harus sholat di teras masjid. Karena teras masjid tidak diberi karpet dan saya juga tidak membawa sajadah, maka saya melaksanakan sholat dengan beralaskan lantai keramik. Namun sholat beralaskan lantai, bagi saya, tidak lebih mengganggu daripada jejeran shaf wanita yang masing-masing berdiri di atas sajadah yang lebarnya lebih dari 50cm. Kebayang kan, bagaimana jarang-jarangnya shaf wanita, yang jika dirapatkan, mungkin jamaah wanita tidak perlu ada yang sholat di teras masjid.

Untuk anak-anak, masjid pertama ini kurang aman sebetulnya, karena berada tepat di sisi jalan raya dan tidak berpagar. Namun anak-anak biasanya lebih banyak bermain di sekitar area masjid saja, tidak sampai ke jalan raya. Tapi ada hal lain yang perlu saya waspadai, yaitu tangga naik ke lantai dua, yang meskipun tidak dipakai untuk sholat, tangganya biasa dinaiki oleh anak-anak dan pegangannya dipakai untuk perosotan. 

Malam Kedua di Masjid Kedua

Saya juga sudah pernah sholat tarawih di masjid ini ramadhan tahun lalu. Berbeda dengan masjid pertama, di masjid kedua ini, ceramah ramadhannya diberikan setelah sholat isya. Namun tarawih dan witirnya sama dengan masjid pertama, masing-masing 4 rakaat dan 3 rakaat.

Di masjid kedua ini, jamaahnya lebih banyak dari masjid pertama. Sehingga tidak hanya teras yang terisi jamaah wanita, tapi juga pelataran depan masjid yang berubin paving blok. Lagi-lagi, karena saya tidak membawa sajadah, saya harus sholat di atas paving blok yang hanya diberi alas perlak plastik yang permukaannya mulai mengelupas. Sehingga bagian kulit yang bersentuhan langsung dengan alas sholat, dipenuhi dengan serpihan kecil-kecil plastik.

Untuk anak-anak, masjid kedua relatif lebih aman, karena merupakan masjid kompleks yang lalulintasnya tidak terlalu ramai. Tangga masjid cukup aman, karena tidak terlalu bisa diakses dari lokasi jamaah wanita. Di sekitar masjid ada beberapa penjual makanan yang cukup menggoda anak-anak. But no! Saya mungkin tidak akan mengijinkan anak-anak membeli makanan, kecuali besoknya sudah tidak akan tarawih di masjid itu lagi.

Malam Ketiga di Masjid Ketiga

Lokasi masjidnya memang lebih jauh dibanding yang pertama dan kedua, tapi tidak terlalu jauh juga. Ini adalah kali pertama saya sholat tarawih di masjid ini. Berbeda dengan dua masjid sebelumnya, sholat tarawih dilaksanakan empat kali 2 rakaat. Bagi saya, sholat sunnah dua-dua itu terasa lebih ringan. Kalau urusan sunnah, 2 rakaat dan 4 rakaat sama-sama pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun ada aura berbeda yang saya rasakan. Bacaan imam sholatnya begitu indah. Iramanya seperti bacaan para hafidz qur'an yang berasal dari negeri asalnya, yaitu tanah arab, meski bukan orang arab. Saya bisa merasakan semangat yang sama dengan saat sholat tarawih di Malang beberapa tahun terakhir sebelum pindah ke Pamulang. Di Malang dulu, saya biasa memburu masjid yang imam sholatnya adalah para syeikh yang berasal dari negeri arab. Entahlah, saya bisa merasakan ketenangan mendengar bacaan qur'an mereka.

Ceramah ramadhan dilaksanakan selepas sholat tarawih, seperti pada masjid pertama. Namun lagi-lagi ada aura berbeda yang saya rasakan. Baru di masjid ketiga ini saya mendapati ceramahnya dibuka dengan membaca tiga ayat qur'an yang memang biasa saya dengar dari da'i-da'i waktu di Malang dulu. Nostalgiakah? Mungkin. Tapi urutan-urutan pembuka ceramah termasuk tiga ayat qur'an dan satu hadits itu seperti sudah menjadi bagian wajib bagi saya saat mendengarkan ceramah agama. Cara da'i di masjid ketiga ini menyampaikan ceramahnya juga berbeda, terasa lebih hidup. Beliau melakukan kontak dengan jamaah, sehingga kesan dakwahnya begitu terasa, bukan hanya asal ceramah. Satu lagi yang berbeda, ceramah ditutup dengan do'a kafaratul majelis, yang tidak saya dapati di masjid pertama dan kedua. Mungkin sudah lama saya tidak mendengarkan taushiyah dari ustadz-ustadz saya di Malang, namun apa-apa yang menjadi kebiasaan beliau-beliau saat memberikan taushiyah tidak bisa saya lupakan.

Jejeran shaf wanita di masjid ketiga tidak jauh berbeda dengan dua masjid sebelumnya. Bagi saya yang meyakini bahwa shaf yang rapat (benar-benar) menjadi penyempurna sholat, kadang saya merasa sedih. Bagaimana mereka bisa merasakan kebersamaan di saat sholat jika antara mereka dengan jamaah sholat lain begitu berjarak. Yang bersentuhan hanyalah sajadah mereka, yang bagi saya sajadah-sajadah itu cukup untuk tempat saya sholat berdua dengan putri saya yang berusia 10 tahun. Kali ini saya membawa sajadah, karena saya merasa kasihan pada anak-anak ketika sholat jika harus sholat tanpa sajadah. Namun begitu masuk masjid yang terlihat masih cukup longgar itu, permukaan lantainya sudah dipenuhi dengan karpet bagus sehingga tanpa sajadah pun sudah sangat nyaman.

Untuk anak-anak, masjid ketiga ini juga cukup aman, karena memang area masjid yang cukup luas. Karena begitu luasnya (atau jamaahnya yang sedikit ya), sehingga teras di sisi kanan, kiri dan depan masjid tidak sampai terisi oleh jamaah. Jadi, saya pun bisa melaksanakan sholat dengan lebih khusyuk.

Begitulah pengalaman yang saya rasakan dari tiga malam pertama saya sholat tarawih di Pamulang, di tiga masjid berbeda, pada ramadhan tahun ini. Kenyamanan memang sangat relatif. Tapi bagi mereka yang sudah pernah merasakan kenyamanan saat melakukan suatu ibadah, pasti ingin merasakan kembali hal yang sama. Terlebih lagi dalam ibadah sholat tarawih di bulan ramadhan yang hanya ada sebulan dalam satu tahun ini, pastilah kita ingin mencari tempat terbaik untuk ibadah di bulan terbaik.

Hmm, nanti malam tarawih dimana ya???


Tuesday, June 23, 2015

(Mencoba) Menaklukkan Roda Empat



Awal mula hijrah ke Tangerang Selatan sekitar dua tahun lalu, perjalanan yang harus ditempuh dari kota Malang menuju Tangsel dengan kendaraan pribadi, terasa begitu jauuuh. Dari Tangsel menuju Klaten saja, tempat anak pertama saya mondok, biasanya memerlukan waktu sekitar 24 jam. Padahal saya mesti mengunjungi anak saya itu setidaknya sekali dalam dua bulan. Awang-awangan juga rasanya mesti menempuh waktu selama itu, padahal waktu yang dihabiskan bersama anak saya di Klaten lebih sering kurang dari waktu tersebut.

Perjalanan darat menggunakan mobil menjadi pilihan saya dan suami untuk pulang pergi ke kota Malang saat hari-hari libur dan mengunjungi anak kami yang tinggal di pesantren. Selain karena pertimbangan ekonomis, juga karena memang salah satu niat kami membeli mobil 3 tahun lalu adalah untuk kepentingan anak-anak. Sebetulnya perjalanan dengan pesawat atau kereta api bisa lebih murah jika dilakukan seorang diri. Tapi kalau mesti berlima, aha, tentu saja perhitungannya berbeda.

Kalau dihitung dari jarak tempuh, waktu yang dibutuhkan seharusnya tidak banyak untuk bisa sampai Klaten dan Malang. Namun karena suami adalah satu-satunya yang pegang kemudi, lelah dan ngantuk menjadi halangan untuk bisa melakukan perjalanan tanpa henti. Kami juga mesti berhenti untuk sholat dan makan. Tak terkecuali si mobil, yang setelah 6 hingga 7 jam berjalan juga butuh istirahat beberapa saat.

Akan tetapi, pada perjalanan terakhir kami pekan lalu, saya sudah bisa tiba lebih cepat. Dari Jakarta ke Klaten sudah bisa ditempuh selama 14 jam termasuk waktu yang digunakan untuk sholat dan makan. Hemat waktu 10 jam dari biasanya. Setelah berhenti di Klaten selama 4 jam untuk ambil raport dan berpamitan, perjalanan dilanjutkan ke Malang. Daaan, perjalanan kembali ke Tangsel dari Malang, akhirnya bisa ditempuh dalam waktu 20 jam. Padahal sudah termasuk waktu istirahat untuk makan sahur dan sholat subuh selama 2 jam. Amazing for us!  

Bagaimana bisa begitu?

Alhamdulillah... Akhirnya sebulan terakhir ini, dengan pertolongan Allah plus modal kendel dan niat saya untuk membantu suami, saya bisa ambil alih kemudi ketika suami merasa lelah dan ngantuk. Telat mungkin saya bisa menaklukkan kemudi, seperti kata suami, "sudah punya mobil 3 tahun, belum bisa nyetir???" Hehe. Belajarnya sih sudah sejak awal beli, tapi saya hentikan karena sedang hamil, khawatir mempengaruhi kehamilan, kata suami, "alasan..." Kemudian saya ribet dengan kehadiran adik bayi, kan saya full time mother, hehehe. Tapi harus diakui, penghambat utamanya adalah kurang pe-de, hanya karena saya memiliki postur tubuh yang "sedikit" pendek. Kebayang kan, gimana mau nyetir kalau yang ada di depan mobil tidak kelihatan. Ba-ha-ya!!!

Sebelum menempuh jarak yang cukup jauh dengan keadaan lalulintas yang cukup ramai, saya sempat mencoba pegang kemudi dari Pamulang menuju Cikupa dengan pengawasan suami. Biasanya kalau saya yang nyetir, suami malah tidak bisa tidur karena khawatir. Namun setelah dianggap layak oleh suami, sekarang saya dan suami bisa bergantian pegang kemudi. Ketika suami nyetir, saya tidur, dan saat suami merasa lelah dan mengantuk, gantian saya yang nyetir. Jadi, waktu tempuh kami bisa lebih cepat dari biasanya. 

Karena hambatan sudah bisa saya atasi, saya ingin berbagi tips, terutama bagi yang belum "berani" pegang kemudi. Tips ini saya kumpulkan dari pengalaman mengawasi suami menyetir dan dari pesan-pesan suami kepada saya, yaitu:
  1. Berdoa sebelum mulai pegang kemudi.
  2. Pastikan sudah duduk dengan nyaman, memasang sabuk pengaman, dan menyesuaikan kaca spion sesuai kebutuhan, sebelum menyalakan mesin mobil.
  3. Jika postur tubuh tidak memadai (seperti saya), gunakan alat bantu yang bisa membuat Anda merasa nyaman menyetir dan lebih leluasa mengawasi lalulintas di depan (saya menggunakan bantalan untuk duduk).
  4. Untuk bisa mahir mengemudi, yang dibutuhkan tidak hanya bisa menyetir, tapi juga seberapa sering mengemudi. Jadi, bagi yang masih berlatih, teruslah berkendara, jangan berhenti hanya karena merasa tidak mampu.
  5. Semakin beragam jenis jalan yang pernah dilalui, akan membuat Anda lebih mahir lagi.
  6. Tenang dan santailah berkendara, namun tetap fokus dan waspada.
  7. Kendalikan kecepatan kendaraan sesuai kemampuan bekendara, yang masih pemula, pelan-pelan saja dulu, lalu bertahap tingkatkan kecepatan.
  8. Pe-de dalam bekendara sangat diperlukan. Jangan gugup saat sedang berpapasan dengan kendaraan lain, karena kendaraan lain itu juga pasti ada pengemudinya.
  9. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya mesin tiba-tiba mati, jangan panik. Tetap tenang dan segera amankan mobil dengan rem tangan.
  10. Saat berhenti, pastikan posisi mobil sudah aman, tidak mengganggu jalan; kopling sudah pada posisi nol; dan rem tangan sudah terpasang.
  11. Sebelum yakin mampu berkendara, jangan sekali-sekali menyetir mobil seorang diri.
Nah, tunggu apalagi! Yang sudah punya fasilitas kendaraan roda empat dan belum berani pegang kemudi, ayo mulai dari sekarang! Tidak mulai-mulai, ya tidak bisa-bisa! Kalau kata pakar, kuncinya satu, you can if you think you can, hehe... Semoga bermanfaat ya, tipsnya.

Friday, June 12, 2015

Hidup Aman dengan Hukum Allah (Qishas)

Kasus pembunuhan seorang bocah perempuan di Bali ramai diperbincangkan. Tidak habis pikir memang, bagaimana mungkin orang yang normal dan berpikiran waras bisa melakukan tindakan sekeji itu. Tidak heran, banyak orang yang mengutuk perbuatan kejam pelaku terhadap korban yang berakhir dengan hilangnya nyawa si bocah. Mereka juga menuntut agar pelaku dihukum seberat-beratnya.

Miris rasanya, banyak sekali kasus pembunuhan yang di luar nalar, terjadi di negeri ini. Yang menjadi korban pun, dari berbagai usia ada, mulai orang yang sudah tua renta, laki-laki dan perempuan, hingga bayi-bayi yang barusaja dilahirkan. Begitu pula dengan pelakunya, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa yang pada beberapa kasus masih memiliki pertalian darah dengan si korban.

Kita bisa melihat melalui media, bagaimana sidang peradilan pada kasus penganiayaan dan pembunuhan berlangsung. Banyak sekali terjadi, pihak korban merasa tidak puas dengan sanksi atau hukuman yang dijatuhkan oleh hakim kepada si pelaku. Bahkan tidak sedikit dari mereka (keluarga korban) yang menuntut hukuman serupa kepada si pelaku, yakni nyawa dibayar dengan nyawa.

Beginikah gambaran kehidupan negeri dengan mayoritas penduduknya adalah muslim ini? 
Apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini?

Sebagai umat islam, kita sudah diberi solusi terbaik untuk hal-hal semacam ini. Sejak 14 abad yang lalu, Allah sudah menyampaikan melalui lisan nabi-Nya, tentang adanya syariat qishas. Namun bagi mereka yang (mengaku-ngaku) muslim tapi menolak hukum islam, atau mereka yang (mengaku) muslim tapi phobi terhadap agamanya sendiri, memahami qishas hanyalah sebatas hukuman mati saja. Padahal qishas tidak selalu berupa hukuman mati. Tapi memang, ada penegakan dan pengaturan hukum yang tegas di dalam hukum qishas. Yang pasti, ada hikmah besar dibalik hukum qishas, sehingga Allah pun menjamin keberlangsungan hidup manusia melalui syariat ini. Info tentang qishas juga bisa dilihat di sini.

Kalau kita mau jujur mempelajari islam lebih mendalam, insya Allah tidak ada yang akan kita dapati melainkan kebahagiaan dan kedamaian bagi siapa saja, tak terkecuali bagi mereka yang non muslim. Tapi yang namanya nifak dan phobi itu memang sesuatu yang buruk, sehingga ada saja alasan orang-orang seperti mereka untuk bisa menolak diberlakukannya syariat islam, termasuk di negeri ini. Yang katanya, negeri ini bukan negara islam-lah. Yang katanya, jika diberlakukan syariat, penduduk negeri ini belum siap-lah. Macam-macamlah pokoknya yang jadi alasan.

Apa yang terjadi di negeri ini seolah tidak pernah menjadi pelajaran bagi penduduknya untuk mulai berbenah dan mempercayakan kehidupannya dibawah aturan Allah. Kita mengaku beragama islam, menjadi mayoritas di negeri sendiri, namun kita menolak hukum islam dan menjalani kehidupan yang jauh dari nilai-nilai islam. Jadi, jangan heran jika besok atau lusa atau suatu saat nanti kejahatan-kejahatan yang sama, bisa kembali terulang. Karena hukum yang berlaku di negeri ini (saat ini), tidak memberi efek jera kepada si pelaku.

Wallahu a'lam.


Saturday, May 23, 2015

Aku dan Matematika (bagian 3)



Apa yang kau takutkan dengan angka

Jumlahnya tidak lebih banyak daripada aksara

Kalau kau bisa menguasai rangkaian aksara

Kau pasti mampu menaklukkan angka


               Jangan pernah ragu bermain-main dengan angka

               Semakin kau bermain-main dengan angka

               Kau akan semakin jatuh cinta

               Karena keindahannya melampaui cinta


Bersahabatlah lebih dekat dengan angka

Dengannya, kau akan mampu menguasai dunia




(Pamulang, 13 Maret 2015)

Wednesday, May 13, 2015

Menjejakkan Kaki di Kampung Baduy (Luar)

salah satu sudut perkampungan masyarakat Baduy luar

Baduy adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat adat sub etnis Sunda yang tinggal di pedalaman pegunungan di kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Masyarakat Baduy dikenal dengan komitmennya dalam menjaga kelestarian alam dan memegang tradisi yang mereka anut secara turun temurun. Begitu kuatnya dalam memegang tradisi sehingga bisa dikatakan bahwa mereka meng-"isolasi"-kan diri mereka dari dunia luar. Terutama masyarakat Baduy dalam, yang hampir menolak apa pun yang datang dari luar. Dengan adanya obyek wisata kampung masyarakat Baduy, kini orang-orang dari luar Baduy sudah bisa mengenal masyarakat Baduy dan budayanya dari dekat.

Bagi yang belum pernah menjejakkan kaki di perkampungan Baduy, berikut ini sedikit informasi tentang Baduy dan budayanya, rangkuman hasil kunjungan saya.

Baduy terbagi menjadi Baduy dalam dan Baduy luar. Orang-orang Baduy dalam bisa dikenali dari pakaiannya yang berwarna putih dengan ikat kepala putih, dan bawahan para prianya yang serupa sarung, dengan panjang tidak sampai selutut, yang juga berwarna putih. Sementara orang-orang Baduy luar pakaiannya hitam, dan bawahannya sudah menggunakan celana yang panjangnya sedikit melewati lutut.

Perkampungan Baduy luar berbatasan langsung dengan perkampungan non Baduy, sementara perkampungan Baduy dalam letaknya lebih jauh ke dalam. Namun kedua perkampungan itu sama-sama tidak ada yang dialiri listrik, lebih tepatnya sih, tidak boleh ada listrik. Bahkan penerangan lainnya pun juga tidak ada, baik siang maupun malam hari. Namun, justru gelapnya perkampungan Baduy saat malam hari inilah yang menjadi salah satu keunikan yang banyak dicari oleh pengunjung wisata kampung masyarakat Baduy. Jika ingin merasakan hidup tanpa listrik yang tidak dibuat-buat, maka datang dan bermalamlah di kampung Baduy. Untuk bermalam bisa menghubungi tetua kampung. Mereka tidak menetapkan tarif, namun berkisar antara Rp.100.000,- hingga Rp.300.000,- per malamnya, tergantung jumlah orang yang bermalam dalam satu rumah.

Untuk sampai di lokasi Kampung Wisata Masyarakat Baduy, ada beberapa jalur yang bisa dilalui, dengan pemberhentian yang sama, yaitu Terminal Ciboleger. Saya dan suami memilih untuk masuk Ciboleger melalui kota Rangkasbitung. Dari kota Rangkasbitung, kami mengikuti rambu penunjuk arah menuju Leuwidamar. Sampai di pertigaan depan pos polisi Leuwidamar, karena kami menggunakan kendaraan kecil, kami mengambil arah ke kanan. Namun untuk kendaraan besar seperti bus, biasanya akan diarahkan untuk lurus.

berpose di sisi tugu yang ada di terminal Ciboleger

Terminal Ciboleger adalah tempat pemberhentian semua kendaraan pengunjung kampung wisata masyarakat Baduy. Di sekitar terminal ada mini market dan toko-toko yang menjual makanan ringan. Ada juga beberapa warung makan dengan aneka masakan yang bisa jadi pilihan pengunjung yang ingin menambah isi perut sebelum berjalan kaki naik-turun gunung menuju kampung wisata masyarakat Baduy.

Setelah melewati gerbang kampung Baduy, kita sudah bisa langsung menikmati suasana perkampungan masyarakat Baduy beserta aktivitas warganya. Rumah bambu yang cantik, dengan peralatan tenun yang menghiasi teras-teras rumah masyarakat Baduy, beserta para wanitanya yang sedang menenun, menjadi pemandangan yang sangat menarik. Karena lokasinya yang berada di bagian terluar, di depan rumah mereka juga dipajang kain-kain cantik hasil tenunan mereka yang bisa dibeli oleh pengunjung.

melihat wanita Baduy yang sedang menenun di teras rumah

kain dan selendang hasil tenunan wanita Baduy

Menyusuri perkampungan masyarakat Baduy, di sekitarnya kita akan banyak melihat rumah-rumah bambu berukuran kecil dengan satu daun pintu kecil yang terletak di bagian atas. Pintu itu hanya bisa dijangkau dengan menggunakan tangga. Rumah kecil itu adalah Leuit, yang merupakan lumbung padi milik masyarakat Baduy. Menumbuk padi menjadi beras adalah aktivitas lain wanita Baduy di samping menenun. Menenun dan menumbuk padi menjadi dua keahlian yang wajib dikuasai wanita Baduy. Hmm, kedua aktivitas itu memang berhubungan erat dengan kebutuhan dasar manusia, yaitu makan dan berpakaian.

berpose di depan sebuah Leuit

Antara kampung masyarakat Baduy yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh jalanan setapak yang tersusun dari bebatuan. Karena merupakan daerah pegunungan, jarang ada jalanan yang rata. Kalau tidak menanjak, ya, menurun. Bahkan beberapa ada yang cukup curam. Dan beberapa bagian jalan yang curam ada yang dibuat berundak seperti tangga, untuk memudahkan saat mendaki dan menurun.

 jalanan bebatuan yang sebagiannya dibuat berundak

Dari kampung terluar, jarak yang harus ditempuh untuk sampai kampung berikutnya cukup membuat saya berkeringat dan ngos-ngosan. Kampung berikutnya setelah kampung terluar adalah Balimbing. Pada kunjungan saya kali ini, Balimbing menjadi kampung terakhir yang bisa saya jangkau. Balimbing masih termasuk bagian dari kampung Baduy luar. Lokasi Baduy dalam masih lebih jauh ke dalam hutan.


suasana kampung Balimbing dan anak-anak kecilnya yang sedang bermain

Semua bangunan rumah masyarakat Baduy, baik luar maupun dalam, sama-sama terbuat dari anyaman bambu. Salah satu pembeda rumah Baduy dalam dan Baduy luar adalah pintunya. Rumah masyarakat Baduy dalam hanya memiliki satu pintu yang letaknya di samping dan harus menghadap ke utara atau selatan. Sementara Baduy luar banyaknya pintu dan letaknya sudah seperti rumah-rumah pada umumnya. Ada pintu depan, pintu samping, bahkan pintu belakang. Di beberapa rumah Baduy luar masih bisa didapati alat-alat elektronik sederhana seperti jam dinding, yang tidak mungkin bisa ditemui di rumah orang-orang Baduy dalam. Karena adat yang berlaku di Baduy dalam melarang benda apa pun dari luar masuk ke Baduy dalam. Di kampung Baduy luar, beberapa rumahnya juga sudah ada yang dilengkapi dengan sarana MCK.

bagian dalam salah satu rumah di Baduy luar

Antara Balimbing dan kampung berikutnya, yaitu kampung Gazebo, terdapat sungai yang cukup besar yang biasa digunakan sebagai tempat mandi dan cuci oleh masyarakat Baduy. Meski daerah pegunungan, ketersediaan air di sekitar perkampungan masyarakat Baduy sangat memadai. Justru kondisi hutan yang terjaga membuat kualitas air sangat baik dan terasa segar saat diminum.

sungai yang melintasi Balimbing dan Gazebo

Kaum pria suku Baduy biasa melakukan perjalanan, salah satu tujuannya adalah kantor pemerintahan untuk menghadap pada bupati dan menyerahkan hasil bumi mereka. Kebiasaan ini dikenal dengan Seba Baduy. Orang-orang Baduy melakukannya perjalanan itu dengan berjalan kaki, sesekali yang dari Baduy luar melakukannya dengan menaiki kendaraan. Namun orang-orang Baduy dalam hanya melakukannya dengan berjalan kaki.

Hal lain yang unik pada orang-orang Baduy adalah mereka biasa menikah di usia muda. Jadi jangan heran jika mendapati wanita suku Baduy yang masih terlihat belia (remaja) sudah menggendong bayi. Dan orang-orang Baduy hanya boleh menikah dengan orang Baduy juga. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian suku Baduy. Jika ada yang "memaksa" mau menikah dengan orang luar suku Baduy, maka mereka harus keluar dari kampung Baduy dan melepas status sebagai bagian masyarakat Baduy. Termasuk jika orang dari Baduy dalam menikah dengan orang dari Baduy luar, maka orang tersebut (Baduy dalam) sudah tidak boleh lagi menetap di kampung Baduy dalam. Namun mereka masih bisa saling mengunjungi.

Demikian sedikit informasi yang bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat, dan selamat menjejakkan kaki di Kampung Wisata Masyarakat Baduy.


Sunday, May 3, 2015

(Pernahkah) Kamu Tergesa-gesa?

Saya membaca Al Qur'an seperti biasanya. Namun sampai ayat 11 surah Al Israa', tiba-tiba saja saya ingin melihat terjemahnya, yang isinya, 

"Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. 
Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa."

Mak jleb! Terasa menohok tepat mengenai hati saya. Sesaat seolah tidak percaya bahwa ini adalah ayat Al Qur'an. Karena beberapa saat sebelumnya saya (merasa) melakukan hampir seperti yang tergambar dalam ayat ini. Sebagai manusia, saya sadar saya jauh dari sempurna. Saya punya banyak kelemahan dan beberapa kebiasaan buruk, salah satunya adalah tergesa-gesa. Namun mendapati ayat Al Qur'an yang saya baca, serupa dengan kejadian yang saya alami dan rasakan dalam waktu yang hampir bersamaan, memaksa saya untuk menelaah lebih jauh ayat itu.

Dari kejadian itu, saya pun lalu membuka tafsirnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir tentang surah Al Israa' ayat 11, dijelaskan,

Allah -Subhanahu wa Ta'ala- menceritakan tentang ketergesaan ummat manusia dan doanya yang buruk berupa kematian, kebinasaan, kehancuran, laknat dan lain sebagainya yang mereka panjatkan pada beberapa kesempatan, terhadap diri mereka, anak, atau harta kekayaan mereka sendiri. Karena jika seandainya Rabb mereka mengabulkan, niscaya mereka akan binasa karena doanya tersebut. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berikut ini: "Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia," dan ayat seterusnya. (QS. Yunus: 11).

Meski tidak sampai meminta kebinasaan dan kehancuran serta laknat, saya sempat meminta kematian atas diri saya. Dan dengan kejadian yang saya yakini bukanlah suatu kebetulan itu, saya merasa bahwa Allah (kembali) mengingatkan dan menyadarkan saya untuk tidak mudah berputus asa dari rahmat-Nya. Terlepas dari adanya hadits yang menerangkan tentang doa meminta mati, saya berpikir bahwa (setidaknya pada kasus yang saya alami), tidak berputus asa dari rahmat Allah dengan tidak meminta mati adalah lebih utama.

Tentang Tergesa-gesa

Di Al Qur'an setidaknya terdapat tujuh ayat yang dalam terjemahnya terdapat kata "tergesa-gesa". Dalam tujuh ayat itu, kata "tergesa-gesa" semuanya ditujukan pada sifat yang dimiliki manusia. Salah satu ayatnya adalah surah Al Israa' ayat 11, seperti tersebut di atas. Sedangkan enam ayat lainnya adalah:

  1. An Nisaa' ayat 6, yang artinya: "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). 
  2. Maryam ayat 84, yang artinya: "maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksa terhadap mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti."
  3. Thaahaa ayat 114, yang artinya: "Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: 'Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.'"
  4. Al Anbiyaa' ayat 13, yang artinya: Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik), supaya kamu ditanya." 
  5. Al Anbiyaa' ayat 37, yang artinya: "Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera."
  6. Ash Shaaffaat ayat 70, yang artinya:  "Lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu."
Dari terjemah ayat-ayat di atas, sepertinya tergesa-gesa memang menjadi tabiat (buruk) manusia. Namun adanya perintah dari Allah untuk berdoa kepada-Nya, menjadi kewajiban kita untuk memohon perlindungan kepada Allah dari ketergesa-gesaan dan keburukan yang bisa ditimbulkannya. Dan semoga Allah memberi kita kemudahan untuk senantiasa taat kepada-Nya dalam segala keadaan, yang dengan ketaatan itu Allah akan memberikan karunia-Nya berupa sifat yang baik kepada kita. Allahumma aamiiiin...


Saturday, May 2, 2015

Buah Didikan "Keras" Buat Saya

Baru nyadar, hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional. Bukan apa-apa, saya tidak biasa mengkhususkan sesuatu pada saat-saat tertentu, termasuk saat hardiknas ini. Apalagi aktivitas mendidik memang sesuatu yang harus saya lakukan setiap hari, yang obyeknya bukan hanya anak-anak, tapi juga mendidik diri sendiri agar bisa lebih baik dari waktu ke waktu.

Berbicara masalah pendidikan, tidak terlepas dari bagaimana pola mendidik. Sampai hari ini saya masih terus mencari pola yang tepat dalam mendidik anak-anak. Saya punya empat anak dengan model yang berbeda, sehingga saya juga harus memberikan pola yang berbeda pada masing-masing dari mereka. Tentu saja ada nilai-nilai yang saya tanamkan pada anak-anak dan berlaku rata bagi semuanya. Tapi kali ini saya bukan ingin share tentang bagaimana saya mendidik anak-anak saya, melainkan saya akan share bagaimana orang tua mendidik saya.

Saya tinggal di kampung. Secara umum, pola pendidikan yang saya dapatkan dari orang tua tidak jauh berbeda dengan pola asuh keluarga lainnya. Namun ada beberapa nilai yang penanamannya sangat kuat bagi kami, dan "pembangkangan" atas hal itu berarti hukuman yang cukup "serius". Berikut ini beberapa di antaranya.

 
>>Perintah Melaksanakan Sholat 

Sholat menjadi aktivitas yang tidak boleh ditinggalkan dalam keluarga saya. Kalau perintah melaksanakan sholat tidak segera saya lakukan, maka ibu akan memberikan "omelan sayang"-nya pada saya. Ibu saya tinggal di rumah, alias tidak bekerja di luar, jadi ibu bisa memantau semua aktivitas anak-anaknya, termasuk urusan sholat. Rasanya tidak mungkin untuk mengatakan sudah sholat dan ibu tidak mengetahui bahwa saya belum sholat. Tapi, kalau kami membangkang, yang turun tangan biasanya bapak. Bapaklah yang berperan memberi hukuman bagi yang melanggar. Lumayan, sebuah cubitan yang meninggalkan bekas biru di paha membuat saya punya "sedikit" rasa jera. Namun dari pola tersebutlah, sholat mulai menjadi kebiasaan saya. Dan melaksanakan sholat pun menjadi aktivitas yang tanpa disuruh-suruh lagi, kecuali hanya sesekali saja ibu mengingatkan. Sehingga pada saat pertama kali saya mendapatkan haidh, ibu sudah bisa menebaknya hanya karena saya tidak bersegera sholat dan ketika disuruh, saya hanya senyam senyum.
 
>>Perintah Untuk Mengaji (Belajar Baca Tulis Qur'an)

Di kampung saya dulu, mengajinya malam hari. Saya berangkat menuju langgar (sebutan lain untuk mushola) sekitar 15-30 menit sebelum maghrib. Nah, pada 15-30 menit sebelumnya, kalau saya masih asyik bermain, ibu pasti sudah bersiap-siap memanggil. Seingat saya, ibu lebih sering memanggil baru kemudian saya berhenti bermain dan pulang, dibanding berhenti bermain dan pulang dengan kesadaran sendiri. (Nyadar, dulu kecil kadang "bandel" juga, hehe...) Saya tidak membayangkan kalau dulu, ibu tidak memberi "omelan sayang" dan membiarkan saja saya bermain. Mungkin saya tidak akan pernah bisa membaca Al Qur'an.
Oya, sedikit cerita tentang suasana mengaji saya. Biasanya sebelum masuk langgar, saya dan anak-anak yang lain kadang-kadang bersih-bersih santai sekitar mushola. Kalau sudah bersih, ya, kami tidak perlu bersih-bersih lagi. Begitu azan maghrib, kami masuk langgar dan melaksanakan sholat maghrib berjamaah dengan pengasuh atau pendidik langgar. Tempat mengaji saya dulu khusus anak-anak perempuan saja, jadi terpisah dengan anak laki-laki. Setelah sholat maghrib, kami mulai membaca Qur'an bersama-sama dan bergantian menemui pengasuh di depan untuk memeriksa bacaan. Selepas isya', setelah sholat, barulah kami pulang ke rumah masing-masing.

>>Larangan Mengucapkan Kata-kata Yang Buruk

Mengucapkan kata-kata buruk versi otang tua saya, seperti: kurang ajar, goblok, mesuh-mesuh serta mengucapkan kata-kata yang tabu untuk diucapkan, dan tidaklah kata-kata itu diucapkan melainkan saat orang bertengkar, sangat-sangat DILARANG. Kata-kata yang dilarang itu cukup biasa saya dengar dari tetangga sekitar rumah saat mereka bertengkar. (Maaf, tetangga saya dari suku di bagian timur Jawa ini kalau sudah bertengkar, banyak sekali mengeluarkan kata-kata "jorok".) Apalagi pertengkaran tetangga sekitar cukup sering terjadi. Mungkin karena hal itulah, larangan mengucapkan kata-kata buruk ini muncul. Dan kalau sampai kata-kata itu keluar dari mulut saya, disengaja atau tidak, setelah peringatan pertama, maka lomboklah yang akan mendarat di bibir dan mulut saya. No kompromi! Hehe, saya pun pernah merasakan lombok pedas itu mendarat di mulut saya. Walhasil, setelah dua atau tiga kali, saya jadi kapok. Alhamdulillah, saya merasa bersyukur, karenanya mulut saya jadi terjaga.

Itulah tiga hal yang paling ketat pemantauannya dari orang tua saya. Hal-hal lainnya masih ada, namun ketatnya tiga hal tersebut membuat saya belajar untuk hati-hati. Begitu ada isyarat "tidak boleh" dari orang tua, maka saya biasanya "mundur" perlahan, tidak memaksakan dirilah...  

Dari pengalaman yang saya rasakan waktu kecil, untuk hal-hal tertentu, mendidik dengan cara yang sedikit "keras" ternyata tidak terlalu buruk akibatnya. Namun sebaliknya, justru saya harus berterima kasih kepada orang tua saya. Karena dengan didikan "keras" merekalah, saya bisa terjaga dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak semua orang bisa melakukannya. Dan dengan didikan "keras" itu juga, saya menjadi disiplin.

Tuesday, April 28, 2015

Takut Poligami? Sudah Dicoba Belum?



Poligami memang tidak mudah. Bahkan seorang muslimah yang memiliki pemahaman agama yang cukup sekali pun, akan mencari jalan untuk bisa menghindar dari syari’at yang satu ini. Baik melalui dalil, maupun penjelasan-penjelasan akal yang bisa dijadikan alasan pembenaran. Sehingga wajar jika dianggap bahwa wanita-wanita yang mau memberi jalan poligami kepada suaminya sangat jarang ditemukan. Tapi jarang bukan berarti tidak ada, dan salah satunya adalah si Fulanah.
Fulanah satu majelis taklim dengan saya. Seorang ustadz yang membimbing kami cukup intens menyampaikan hal-hal tentang poligami. Apalagi saat ayat yang dibahas, topiknya memang seputar poligami. Beliau mengatakan, “dijelaskan berulang-ulang saja, belum tentu bisa dipahami. Bagaimana jika tidak pernah memperoleh informasi sedikit pun tentang hal ini?” Dan bisa dipastikan, forum akan menjadi ramai dengan komentar para ibu-ibu yang hadir dalam majelis itu. Komentarnya pun macam-macam.
Di antara puluhan ibu-ibu itu, ada satu orang yang hampir tidak pernah berkomentar selama majelis berlangsung. Dialah si Fulanah. Dia hanya datang, duduk, lalu menyimak setiap yang disampaikan oleh ustadz kami. Sesekali dia disibukkan oleh seorang balita yang dibawanya. Hingga pada suatu ketika, ibu-ibu anggota majelis taklim dikejutkan oleh sebuah undangan pernikahan. Karena nama calon pengantin pria yang tercantum dalam undangan itu adalah suami si Fulanah. Ya, siapa sangka? Dibalik diamnya Fulanah, ternyata dia begitu meresapi keutamaan-keutamaan poligami. Hingga dia pun berusaha menerapkannya.
Fulanah adalah wanita yang cantik, berkulit putih bersih. Istri dari seorang pria yang bekerja cukup jauh dari tempat tinggalnya, dengan jadwal dua minggu kerja dan dua minggu libur. Dalam pandangan wanita umum, mungkin terasa aneh. Ketemu suami saja tidak mesti bisa sepanjang waktu, malah mau berbagi suami dengan wanita lain. Bukankah akan semakin mengurangi jatah kebersamaannya dengan suami? Tapi itulah yang terjadi, ketika Allah sudah berkehendak, maka apa pun bisa terjadi.
Sepertinya, pernikahan kedua suaminya sudah direncanakan Fulanah dengan matang. Sang suami menikah tepat setelah tiga hari Fulanah melahirkan putra keempatnya. Mungkin tidak terpikir oleh kita, bahwa setelah melahirkan, istri tidak mungkin melayani suaminya hingga selesai masa nifas. Dengan menikah lagi, maka ada yang menggantikan tugas Fulanah memenuhi kebutuhan biologis suaminya. Di samping itu, akan ada wanita lain yang bisa membantu Fulanah merawat sang bayi yang baru beberapa hari dilahirkannya. Dan bagi istri kedua sang suami, dia bisa langsung belajar bagaimana merawat bayi, yang adalah darah daging suaminya, sehingga menjadi terlatih dan terbiasa. Kondisi itu tentu saja baik baginya sebagai persiapan jika kelak dia juga memiliki seorang anak.
Ini adalah kejadian nyata. Dan setiap kali Fulanah ditanya perihal poligami suaminya, dia lebih banyak memberikan senyuman, lalu mengatakan, "dicoba saja dulu..." Hmm, semoga Allah memberikan surga untukmu Fulanah. Dan semoga kisahmu bisa menjadi pelajaran bagi kami, sebagai bekal sebelum berpoligami.