Showing posts with label My Story. Show all posts
Showing posts with label My Story. Show all posts

Monday, April 1, 2019

"Buku Penuh Berkah"


Buku Antologi Cerita Anak

"Buku Penuh Berkah"

Alhamdulillah...
Maret berlalu dengan penuh hikmah
Tinggalkan pesan untuk tak ragu melangkah
Mantapkan hati untuk (hanya) menggapai ridho Allah

Alhamdulillah...
April datang dengan rizki melimpah
Hadirkan cinta tulus dalam bingkai ukhuwah
Benamkan jiwa dalam indahnya tawakkal alallah

Wahai sahabat sholihah
Menjelang datangnya bulan penuh berkah
Mari upayakan segala lelah yang hadir menjadi lillah
Penuhi semua jatah waktu dengan sebaik-baiknya ibadah
Menebar lebih banyak manfaat dan lazimkan diri bersedekah

Malang, 1 April 2019


###

Sebuah puisi saya selesaikan beberapa jam yang lalu. Terinspirasi dari beberapa kejadian yang saya alami dalam sepekan ini. Rasanya tidak ada yang pantas saya ucapkan selain sebanyak-banyaknya ungkapan syukur atas apa yang terjadi.

Dipertemukan kembali dengan sahabat-sahabat lama dan dikumpulkan dengan mereka dalam satu majelis ilmu, sungguh suatu nikmat tak terkira. Sebuah perbincangan ringan saat bertemu yang membuahkan satu simpul yang bermuara pada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Bertemu dengan saudara dan teman baru menjadi keuntungan lain yang semuanya itu merupakan nikmat tak terhingga dari Allah.

Ya, begitulah! Selalu ada hikmah dari tiap kejadian. Saat tak sengaja bertemu sahabat lama, berasa bahwa Allah sengaja mengirimkannya untuk mendengarkan "keluh kesah" saya. Ketika ada sahabat yang tiba-tiba menghubungi dan bertanya kabar setelah sekian lama, berasa bahwa Allah sengaja mengirimkannya sebagai (salah satu) jalan pembuka pintu rizki. Bahkan pertemuan dengan beberapa orang lainnya yang tak pernah saya duga sebelumnya. 

Bismillahi tawakkaltu alallah...

Ketika semua sudah kita pasrahkan kepada Allah, niat lillah mengiringi setiap langkah, insyaAllah, solusi dari tiap permasalahan akan Allah turunkan untuk kita. Suatu keadaan yang jika kita mengalaminya seharusnya bisa membuat kita belajar untuk tetap tegak melangkah di atas jalan kebenaran dan untuk memelihara niat dalam rangka menggapai ridho-Nya.

Tak hanya beberapa pertemuan (tak disengaja) yang meninggalkan hikmah mendalam, akhir bulan Maret kemarin saya juga mendapat kabar tentang terbitnya satu lagi buku antologi yang memuat karya saya. Buku yang memang sejak awal penggarapannya diniatkan sebagai salah satu buku yang diharapkan bisa memberikan manfaat dan bekal menyambut bulan suci ramadhan.

Buku berjudul "Ramadhan Berkah Ala Rasulullah" ini berisi kumpulan cerita anak. Masing-masing ceritanya memuat satu amalan ramadhan sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dulu pernah mengajarkan dan mencontohkannya. Amalan-amalan yang biasa dilakukan selama bulan ramadhan sudah sangat umum dan banyak orang mengetahuinya. Namun apakah amalan-amalan itu sudah sesuai dengan sunnah alias sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam? Jawabannya bisa ditemukan dalam buku ini.

Meski buku ini di-setting sebagai cerita anak, namun nilai-nilai dan pesan-pesan sunnah ramadhan yang ada di dalamnya menjadikan buku ini cocok untuk dibaca oleh semua umur. Jadi buku ini sangat cocok untuk dijadikan koleksi buku-buku yang kita miliki, terlebih menjadikannya sebagai koleksi buku bacaan anak-anak. Atau menjadikan buku ini sebagai amal jariyah dengan menyedekahkannya kepada anak-anak yang membutuhkan.

Kehadiran buku ini yang bersamaan dengan pertemuan-pertemuan beruntun saya dengan beberapa orang sahabat dan waktunya yang memang mendekati bulan suci ramadhan, semoga menjadikan buku ini sebagai "Buku Penuh Berkah".

Sungguh, pertemuan-pertemuan dengan saudara se-Iman yang bisa membangkitkan gairah keimanan dan amal sholih, merupakan nikmat yang tidak terkira dari Allah. Kenikmatan yang bahkan bisa lebih bernilai dari sekadar materi. Maka jangan pernah sia-siakan nikmat dari Allah berupa teman-teman yang sholih dan sholihah. 

Sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat yang Allah berikan, sudah sepantasnya kita bersyukur dengan banyak-banyak memuji-Nya, melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. 


#SemingguTigaPostingan
#day13

Wednesday, March 27, 2019

Berbagi atau Bertanyalah (Bagian 3)


Menjelang Operasi

Keputusan Berat

Penjelasan dokter syaraf di RS Mayapada sangat informatif, membuat kami (sedikit) faham tentang sesuatu yang kami benar-benar awam. Itu cukup menenangkan kami, setidaknya untuk sementara waktu, karena kondisi suami masih kritis. Kami pun mendapat jawaban tentang apa yang terjadi.

Suami saya diserang stroke. Beliau mengalami penyumbatan pembuluh darah yang menuju otak kanannya. Itulah kenapa sisi tubuh bagian kiri suami saya terus melemah sejak hari pertama serangan. Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak terganggu atau berkurang akibat penyumbatan (dikenal dengan stroke iskemik) atau terjadi pecahnya pembuluh darah (dikenal dengan stroke hemoragik). Dan suami saya mengalami stroke iskemik, bukan stroke hemoragik seperti yang disangkakan dokter syaraf di RS sebelumnya. (Ah, andai dokter itu tidak salah mendiagnosa, huhuhu...)

Pemicu stroke yang menyerang suami disebabkan oleh perpaduan antara kadar gula darah yang tinggi, kolesterol yang sedikit di atas angka normal (yang untuk ukuran orang yang tanpa diabet masih terbilang aman), dan kemungkinan dipicu akibat kelelahan fisik. Menurut dokter, banyak hal yang bisa memicu serangan stroke. Itulah kenapa setiap orang yang terkena stroke memiliki riwayat kesehatannya masing-masing yang satu sama lain tidak selalu sama.

Tindakan darurat yang perlu segera dilakukan adalah menangani pembengkakan pada otak. Pembengkakan umumnya akan mencapai puncaknya pada hari ke-4. Namun suami saya mengalami pembengkakan lebih cepat yang jika dibiarkan bisa beresiko fatal. 

Setiap orang memiliki kemampuan berbeda menghadapi toleransi pembengkakan otak, namun ini bukan ajang coba-coba. Beberapa resiko yang bisa timbul akibat pembengkakan yang terus berlanjut, di antaranya:

1. Menimbulkan kerusakan fungsi otak secara permanen
Jika otak dibiarkan terus membengkak tanpa adanya penanganan, kemungkinan otak tidak bisa berfungsi kembali. Hal ini bisa menyebabkan dampak kerusakan yang permanen. Jadi meski pasien sembuh dan selamat dari serangan stroke, namun pasien terancam mengalami kelumpuhan fisik yang sulit disembuhkan dengan terapi apapun atau minimal membutuhkan masa pemulihan yang sangat lama.

2. Pembengkakan bisa menekan bagian otak yang masih sehat 
Bagian otak yang tidak mendapatkan asupan darah sangat berpotensi mengalami kerusakan. Jika bengkaknya menekan bagian otak yang sehat, tentu menambah luas area otak yang mengalami kerusakan dan berpotensi menambah luas dampak yang bisa ditimbulkan.
Yang paling fatal jika pembengkakan sampai menekan bagian batang otak. Karena kerusakan fungsi batang otak bisa menyebabkan pasien mengalami kelumpuhan secara total.

3. Menyebabkan pecahnya pembuluh darah
Dengan kata lain bisa menimbulkan terjadinya pendarahan. Penanganan stroke pada pasien yang mengalami pendarahan lebih beresiko dibandingkan yang mengalami penyumbatan. Terjadinya pendarahan yang terus menerus akan bisa menyebabkan terjadinya kematian.


28 Januari 2018

Tim dokter yang menangani suami saya menyarankan untuk segera dilakukan tindakan operasi. Untuk kasus stroke iskemik seperti suami saya, sebenarnya ada tindakan yang relatif lebih efektif dan murah, yaitu dengan dilakukan DSA (Digital Subtraction Angiography). Namun tindakan itu hanya bisa dilakukan pada pasien yang mengalami serangan stroke kurang dari 12 jam. Tim dokter tidak berani melakukan tindakan tersebut terhadap suami saya karena beresiko besar akan terjadinya pecahnya pembuluh darah pada titik terjadinya sumbatan.

Selama masa proses konsultasi kami dengan tim dokter, suami saya mendapatkan terapi obat yang salah satunya untuk menghambat laju pembengkakan pada otak. Terapi obat tersebut tetap diberikan baik kami setuju atau tidak dilakukannya tindakan operasi.

Selama proses pemberian obat berlangsung, suami saya ditempatkan di ruang ICU di bawah pengawasan 4 orang dokter spesialis, yaitu spesialis syaraf, spesialis penyakit dalam, spesialis THT, dan spesialis jantung.

Dua hari tanpa penanganan tepat membuat tingkat kesadaran suami saya yang seharusnya meningkat setelah diberikan tindakan, justru mengalami penurunan. Hal itu menyebabkan kemampuan fungsi organ yang juga mengalami penurunan, termasuk kinerja jantung dan pernafasan. Itulah kenapa harus melibatkan dokter spesialis jantung dan spesialis THT.


29 Januari 2018

Alhamdulilllah ... terapi obat yang diberikan memberikan hasil positif. Dalam 24 jam tingkat kesadaran suami saya meningkat. Secara medis, bisa dikatakan suami saya sudah melewati masa kritis. Kalau kata dokter, tidak dioperasi pun, suami saya bisa tetap hidup. Tapi tentu dengan resiko kerusakan otak yang belum bisa diprediksi dan masih mungkin terus bertambah selama masa terapi berlangsung, karena pembengkakan otak yang dialami suami tidak bisa diprediksi sampai kapan akan terjadi. Dokter tetap menyarankan dilakukan operasi sebagai ikhtiyar maksimal agar potensi kerusakan otak bisa ditekan seminimal mungkin dan dengan harapan bisa pulih lebih cepat.

Setelah berunding, akhirnya kami sepakat memilih opsi dilakukan operasi. Lebih cepat dilakukan tindakan akan lebih baik, begitu saran dokter. Jadi hari itu juga segala persiapan dilakukan untuk pelaksanaan operasi di kepala suami, yaitu membuka sebagian tengkoraknya. Besar harapan kami semua, ini menjadi langkah terbaik kami untuk kesembuhan suami saya.


*bersambung...


#SemingguTigaPostingan
#day11

Thursday, March 14, 2019

Nikmati Nabeez dan Dapatkan Manfaatnya


Air Nabeez Kurma Sukari

       Sejak 25 Januari 2018, hari pertama saya menemani suami di rumah sakit -ketika beliau sakit-, saya jadi jarang merasa lapar. Pernah ketika menunggu itu, dalam sehari saya hanya makan seporsi bubur ayam yang sempat saya lupakan keberadaannya semenjak pagi. (Alhamdulillah belum basi.) Saya baru memakannya lewat tengah hari dan tidak makan apa-apa lagi hingga keesokan harinya. Mungkin karena pikiran saya lebih fokus kepada suami yang terbaring sakit serta empat anak yang saya tinggalkan di rumah. (Ah, pingin mewek kalau ingat, huaaa...)

       Ada cukup makanan di meja dan di dalam lemari kecil ruang rawat inap yang ditempati suami. Tapi saya seperti tidak punya waktu meski sekadar untuk melihatnya. Biasanya makanan-makanan buah tangan teman-teman dan kerabat suami itu lebih sering saya bawa pulang untuk diberikan kepada anak-anak. Ya, setiap malam sekitar pukul 21.00 - 22.00 saya biasanya pulang ke rumah, lalu kembali ke RS pagi harinya. Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan naik mobil dari RS ke rumah. Lumayan jauh, tapi tetap saya lakukan demi si bungsu yang masih ngASI. (Mungkin seperti mimpi buat dia, karena setiap saya datang, dia biasanya sudah tidur, dan saya berangkat lagi sebelum dia bangun, hiks.)

       Makan saya memang tidak banyak, tapi menjadi lebih sedikit dan lebih jarang lagi sejak suami sakit. Apalagi sebelumnya saya memang biasa sarapan buah saja di pagi hari. Dengan mengunyah buah secukupnya di pagi hari, saya bisa lupa makan setelahnya. Kalau akhirnya saya memasukkan sesuatu ke dalam mulut untuk dimakan, itu karena saya ingat punya kewajiban untuk memenuhi hak tubuh saya. Apalagi saya yang fulltime mengurus suami sempat drop beberapa hari waktu itu. Alhamdulillah, ada yang membantu mengurus empat anak saya selama saya fokus mengurus suami.

       Dari RS, saya lanjutkan mengurus suami di rumah. Menjadi istri, teman bicara, dokter, perawat, ahli gizi, sekaligus terapis suami menjadi aktivitas rutin saya di rumah. (Akhirnya semua cita-cita di bidang kesehatan yang dulu pernah terlintas, terealisasi juga, huhu...) Meski anak-anak sudah ada yang mengurus, untuk beberapa keperluan terkadang mereka masih mencari saya. Sebesar apapun usaha saya untuk menikmati semua kesibukan itu, kadang-kadang tubuh saya merasakan lelah, minta diistirahatkan sejenak.

       Waktu terus berjalan, hingga tak terasa sudah mendekati ramadhan kala itu. Ketika saya membeli beberapa kebutuhan di toko langganan, tidak sengaja saya melihat kurma Tunisia. Sudah lama tidak makan kurma, saya pun membelinya sebungkus. Sengaja saya pilih yang banyak isinya karena itu adalah kurma kesukaan saya. Hingga saat itu, kurma Tunisia memang menjadi kurma favorit saya.

       Biasanya saya mengonsumsi kurma dengan cara dimakan biasa. Ternyata mengunyah 3 atau 5 atau 7 butir kurma cukup membutuhkan waktu buat saya yang kalau mengunyah makanan suka lama. Tiba-tiba saya teringat bahwa kurma bisa dinikmati dengan cara berbeda. Cara yang sama yang biasa dipakai Rasulullah dalam menikmati buah kurma. Sudah cukup lama saya mengetahuinya, tapi saya belum pernah mencobanya. Pembuatannya tidak jauh berbeda dengan proses membuat infused water. Yaitu dengan merendam buah kurma di dalam air atau biasa dikenal dengan sebutan Nabeez.

       Pertama kali membuat air nabeez, saya tidak memperhatikan lama waktu merendamnya, karena saya lupa kalau sedang menyiapkan nabeez. Begitu ingat dan mencicipinya, saya langsung jatuh cinta. Rasa air rendaman kurmanya enak, manis dari kurmanya berasa. Begitu juga rasa kurmanya, menjadi makin lezat karena manisnya sudah berkurang. Membuat kurma Tunisia matang yang sangat manis itu menjadi terasa seperti kurma Tunisia segar dengan rasa manis yang pas di lidah saya. Selain itu, teksturnya juga jadi sangat lembut sehingga lebih mudah dikunyah dan ditelan. Mengonsumsi nabeez benar-benar menjadi cara menikmati kurma yang lezat dan praktis.

Cara mudah membuat air nabeez

       Sejak saat itu, saya hampir selalu menyantap kurma dengan dijadikan nabeez terlebih dahulu. Memasuki bulan ramadhan, saya pernah lupa belum menyiapkan air nabeez, padahal waktu berbuka tinggal beberapa jam lagi. Untuk mempercepat proses kurma menjadi cepat lembek, saya pun menggunakan air panas. Dari sisi rasa dan lembutnya kurma, cara ini berhasil, tapi saya tidak tahu pasti bagaimana kadar gizinya. Apakah berkurang karena penambahan air pada suhu panas atau tidak. Jadi penambahan air panas saya lakukan hanya ketika kondisi darurat saja, demi bisa menikmati buah kurma dengan cara direndam air.

       Selain rasanya yang lezat, mengonsumsi air nabeez nyata terasa manfaatnya buat saya. Mata yang menjadi gelap saat saya tiba-tiba bangun dari posisi duduk yang pernah saya rasakan ketika lupa makan, tidak terasa lagi. Air nabeez benar-benar memberi saya cukup energi. Saya jadi tidak khawatir lagi meski lupa makan. Selama puasa, air nabeez menjadi solusi praktis sebagai sajian berbuka dan sahur. Berbuka dengan air nabeez yang dibuat dari 7 butir kurma mampu menyumbang kalori yang membuat saya kuat tidak makan hingga saat sahur tiba.

       Selain manfaat nyata yang sudah saya buktikan, masih banyak manfaat lainnya. Berikut ini beberapa di antara manfaat air nabeez yang saya rangkum dari berbagai sumber:
  1. Membantu Proses Detoksifikasi
  2. Membantu Proses Metabolisme
  3. Membersihkan Sisa Metabolisme
  4. Meningkatkan Fungsi Pencernaan
  5. Menurunkan Kadar Keasaman pada Lambung
  6. Menstabilkan Tekanan Darah
  7. Membantu Menghilangkan Kolesterol Jahat dalam Tubuh
  8. Membantu Meningkatkan Daya Tahan Tubuh
  9. Membantu Memperbaiki Masalah Hati dan Limpa
  10. Sangat Baik Dikonsumsi oleh Ibu Hamil dan Menyusui

       Alhamdulillah ... setelah hampir enam bulan saya tidak menikmati nabeez, kemarin saya bisa menikmatinya lagi. Kali ini saya tidak memakai kurma Tunisia, tapi memakai kurma Sukari, karena saya memang memesan kurma Sukari. Kalau dikonsumsi langsung, kurma Tunisia dan kurma Sukari terasa bedanya. Namun jika dijadikan nabeez, perbedaannya tidak terlalu kentara. Rasa lezat dan lembutnya kedua jenis kurma tersebut setelah direndam air beberapa jam, hampir sama.

       Sebetulnya sudah sejak lama saya ingin membeli kurma, tapi agak sulit juga mendapatkannya. Begitu ketemu di super market langganan, saya tidak jadi beli karena harganya kurang bersahabat buat saya. Entah memang harga kurma yang tinggi atau karena bukan bulan ramadhan jadi yang menyediakan kurma belum banyak sehingga harganya menjadi tinggi.

       Alhamdulillah lagi ... saya mempunyai teman fb yang menjual kurma secara online. Harganya mungkin tidak terlalu jauh berbeda dengan di pasaran, tapi jaminan kualitas yang ditawarkan membuat saya tertarik membelinya.

       Kualitas buah-buahan yang akan dikonsumsi sangat penting, lho, termasuk buah kurma. Saya beberapa kali membeli kurma dengan harga murah (karena memang mencari yang murah). Tampilan luar kurmanya memang bagus, tapi begitu dibuka, bagian dalamnya kering dan di sekitar bijinya terdapat binatang-binatang kecil. Meskipun bisa dibersihkan tapi kan bikin be-te pas mau makan. Kurma yang seperti itu menunjukkan bahwa kualitas kurmanya tidak bagus atau bisa karena kurmanya sudah beredar cukup lama.

       Selain membeli kurma, ternyata saya juga mendapat kesempatan untuk bergabung sebagai reseller. Ini kesempatan emas, saya pun memutuskan untuk bergabung, sehingga saya bisa memperoleh dua keuntungan. Yaitu mendapatkan kurma berkualitas dengan mudah dan memiliki kesempatan memulai usaha. (Bismillah ... mohon doanya semoga jadi usaha yang berkah ya, Mak.)

       Nah, teman-teman ada yang belum mencoba menikmati air nabeez? Sok atuh, dicoba dan rasakan manfaatnya. Cara bikinnya gampang banget, kan? Kalau kesulitan mendapatkan buah kurmanya, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi saya. (*eh, hehe... sengaja...) Tapi kalau tidak mau ketagihan sih sebaiknya memang tidak perlu mencoba, haha... 


*tulisan ini diikutkan dalam tantangan SETIP bersama Estrilook

#SemingguTigaPostingan
#day10

Saturday, March 2, 2019

Seperti Apa Makna Rasa Kehilangan Bagimu?


Bersama ayah di Taman Nasional Baluran

Anak ke-4 bikin saya baper habis hari ini. Sudah biasa sih dia bikin saya baper lewat obrolan-obrolan kami tentang ayahnya, tapi tidak sebanyak hari ini. 

Kebaperan ini berawal dari keinginan si bungsu naik mobil. Si bungsu aka anak ke-5 yang biasa saya ajak wira-wiri kesana kemari rupanya kangen ingin naik mobil setelah hampir sepekan saya tidak mengajaknya kemana-mana. Jadilah tadi sore saya ajak dia dan dua kakaknya (anak ke-4 dan anak ke-3) ke rumah mbahyut-nya alias nenek saya. Jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 1 km saja dari rumah.

Namun perjalanan itu melewati satu area pemakaman dan terjadilah obrolan yang bikin saya baper.

A4: "Ayah ada di sana ya, Bun?"
A3: "Ayah kan juga dimakamkan."
Me: "Ayah sudah dimakamkan, tapi bukan di sana. Adik Nuha sudah tiga kali ke makam ayah."
A3: "Aku nggak diajak."
Me: "Iya, nanti kalau kita ke Malang, kita ke makam ayah."

A4 alias anak ke-4 diam saja, tapi seperti biasa, dia pasti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin dia sedang membayangkan hari-hari indah bersama ayahnya... (*saya mewek.)

Perjalanan berlanjut. Akhirnya anak ke-4 berkata lagi setelah dia sempat diam beberapa saat.

A4: "Aku kalau sudah tidur sering menangis."
A3: "Kok tahu, kan sudah tidur?"
A4: "Kalau mau tidur."
Me: "Kenapa, Mas?"
A4: "Ingat ayah."
Me: "Setiap mau tidur jangan lupa doakan ayah, ya..."

Lagi-lagi, ini tentang ayahnya. Anak ke-4 memang paling sering menanyakan ayahnya dan menyampaikan kerinduannya. Itulah obrolan kedua yang bikin saya baper hari ini. (*yaaa, saya mewek lagi dah.)

Obrolan ketiga yang bikin saya baper habis, terjadi menjelang anak ke-4 pergi tidur.

A4: "Kalau kita sudah meninggal semua, kita nanti dilahirkan lagi ya, Bun?"
Me: "Kenapa, Mas?"
A4: "Kita nanti kan akan meninggal juga kayak ayah, terus nanti kita semua apa akan dilahirkan lagi?"
Me: "Nggak dilahirkan lagi, Mas. Setiap hari akan selalu ada yang dilahirkan dan ada yang meninggal. Tapi nanti kita akan dihidupkan lagi."
A4: "Berarti bisa ketemu ayah?"
Me: "InsyaAllah ... kita akan bertemu ayah dan kita semua akan berkumpul di surga."
A4: "Aku sudah pingin ketemu ayah."
Me: "Ayo kita berdoa buat ayah. Semoga nanti kita bisa bertemu ayah dalam mimpi."

Begitulah anak ke-4 yang seringkali menyampaikan kerinduannya kepada sang ayah dan selalu sukses membuat saya mewek, seperti saat ini. Apalagi setelah melihatnya tertidur lelap, saya tidak bisa lagi menahan air mata dan akan menangis diam-diam.

Anak ke-4 ... usianya baru saja enam tahun ketika suami saya meninggal. Seperti anak kecil lainnya, dia sempat bermain-main di sekitar jasad ayahnya. Dia juga sempat menolak saat diminta mendekati ayahnya. Tapi akhirnya dia mau mendekat dan mencium pipi ayahnya. Setelah itu dia pun bermain-main lagi. 

Saat ayahnya akan dibawa ke pemakaman, rupanya dia sedang bermain di rumah sebelah dan baru kembali saat suami saya sudah di pemakaman. 

Dia pun bertanya, "Ayah ke mana?"
"Ayah sudah dibawa ke pemakaman, Sayang," jawab saya sambil memeluk dan menciumnya. 
Saya tidak memikirkan apakah dia paham ucapan saya atau tidak kala itu.

Malam harinya dia dibawa mbah-nya kembali ke kampung, sementara saya tetap tinggal di kota tempat suami saya menghembuskan nafas terakhirnya. Saya baru bertemu dia lagi sebulan lebih kemudian. 

Hal pertama yang diungkapkannya tentang kepergian ayahnya saat bertemu saya adalah keinginannya untuk meninggal sebentar saja agar bisa bertemu ayahnya. Ketika itulah saya tahu bahwa dia sangat merindukan ayahnya. Ayah yang sejak dia lahir hingga usianya enam tahun, hampir selalu hadir mengisi hari-harinya. Bukan berarti anak-anak yang lain tidak begitu. Hanya saja, anak ke-4 ini lahir saat suami saya memiliki banyak waktu di rumah hingga usianya satu tahun. Tahun-tahun berikutnya suami saya mulai bekerja dengan jam kerja yang longgar sehingga tetap mempunyai lebih banyak waktu bersama anak-anak.

Dia juga sempat mengungkapkan rencana kehidupan ke depan yang mirip atau bahkan sama dengan perjalanan hidup ayahnya. Dia mengatakan bahwa setelah lulus dari TK dia akan sekolah SD, SMP, SMA, kuliah, lalu menikah, dan kemudian meninggal, jadi bisa bertemu ayahnya di surga. 

Selama saya tidak bersamanya, dia biasa menanyakan tentang ayahnya kepada buliknya. Ternyata dari buliknya dia mendapat penjelasan bahwa ayahnya sudah lebih dulu ke surga dan nanti kalau dia sudah besar, sudah sekolah seperti ayah baru bisa bertemu ayah di sana. Maksud buliknya tentu untuk memotivasi dia agar rajin ke sekolah. Namun rupanya dia berpikir bahwa setiap manusia akan memiliki siklus yang kurang lebih sama seperti yang dialami ayahnya. Sepertinya karena hal ini juga dia jadi begitu takut saya tinggal. 

"Ah, anakku. Engkau mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang engkau tahu hanyalah rindu dan keinginan untuk bertemu. Namun engkau mampu memaknai arti rasa kehilangan."

Bersama ayah di lokasi wisata Jeep Lava Tour Merapi

Pesan bunda untukmu, Nak.
Teruslah kau mengenang ayahmu. 
Kenanglah hari-hari indah yang dilaluinya bersamamu. 
Tirulah semangatnya dalam menuntut ilmu. 
Teladanilah sosoknya yang gemar membantu. 
Itu tidak akan sulit bagimu. 
Karena darahnya mengalir dalam darahmu.



#SemingguTigaPostingan
#day9

Wednesday, February 27, 2019

5 Langkah Mudah Memasang Regulator Tabung Gas


Gambar oleh tookapic pada Pixabay

Duluuu ... iya dulu ... jangankan pasang regulator ke tabung gas sendiri, masuk dapur saja, saya jarang sekali. Setelah menikah bagaimana? Hehe ... dulu itu maksud saya ya setelah menikah. Kalau sebelum menikah, apalagi ... masih ada mamak di rumah buat ditanyai bagaimana saya kecil dulu.

Semasa kecil, saya paling malas dengan urusan pekerjaan rumah. Sampai adik saya protes karena merasa selalu dia yang disuruh. Lha, kalau saya yang disuruh, saya selalu punya alasan. Paling sering secara tiba-tiba saya akan mengambil buku dan pensil. "Mau belajar, Mak," kata saya, haha... Tapi kalau soal ini, saya beneran belajar. Saya kan suka pelajaran matematika, ya saya kerjakan lah soal-soal di buku sampai habis. Tidak jarang saya kerjakan juga soal-soal di bab selanjutnya. Kalau sudah begitu, mamak tidak bisa bilang apa-apa, "nyeraaah", haha...

Kembali ke urusan dapur. Hingga menikah, saya belum pernah memasak sendiri. Paling banter ya saya membantu mengiris bawang atau mengupas buah dan sayur. Alhamdulillah, setelah menikah saya LDM (Long Distance Marriage) alias tinggal berjauhan dengan suami. Saya tinggal di Malang dan suami tinggal di Solo. Kami bertemu 2 pekan sekali selama weekend, kan eman-eman kalau waktunya dihabiskan buat urusan dapur, hehe... (Aseli, ini alasan yang dibuat-buat, kwkwkwk.)

Setelah kami tinggal bersama dan menempati rumah kontrakan, barulah pelan-pelan saya mulai belajar memasak. Apalagi sejak saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus jadi ibu rumah tangga (yaelah, jadi IRT aja pakai fokus-fokusan segala). Ketika masih sama-sama bekerja dan satu kantor, saya dan suami biasa masak bareng-bareng. Tentu saja suami yang lebih sering jadi pemeran utama, sementara saya sebagai pemeran pembantu, hehe...  Tapi setelah jadi IRT, otomatis saya yang jadi pemeran utama di dapur, gantian, sesekali suami tampil sebagai pemeran pembantu.

Lagi-lagi, semboyan "bisa karena biasa" membuat saya sedikit naik level di bidang memasak. (Sedikit, Maaak, karena soal rasa masakan, saya masih kalah jauh sama paksu, hihi... *cari tutup panci.) Bukan apa-apa sih, suami saya kerjanya fullday dan ada anak-anak, kalau harus selalu menunggu suami bisa-bisa saya dan anak-anak tidak makan, haha... Tidak hanya urusan memasak, semua hal yang berhubungan dengan dapur pun mulai saya atasi sendiri, termasuk berurusan sama tabung gas.

Meski awalnya "terpaksa", lama-lama saya jadi biasa. Tabung gas dan regulator menjadi sepaket yang tak terpisahkan dari keseharian saya di dapur. Dua hal itu sudah seperti teman saja rasanya. Malah kadang kalau pas suami yang memasang regulator dan gasnya ngambek (gas ngowos atau kompor tidak mau menyala), saya yang akhirnya harus turun tangan. Suami sih bisa mengatasinya sendiri, tapi karena itu butuh waktu dan suami masih ada pekerjaan lain, jadilah saya yang menggantikannya.

Berurusan dengan tabung gas ternyata tidak semenakutkan yang saya kira. Saya akan membagi pengalaman saya mengganti tabung gas berdasarkan hasil pengalaman saya beberapa tahun berurusan sama si biru dan si hijau. Sebelumnya, pastikan bahwa 5 hal penting sebelum memasak menggunakan kompor gas sudah diikuti dengan benar.

Nah, berikut ini adalah 5 langkah mudah memasang regulator tabung gas ala saya.

1. Memilih Regulator Yang Tepat

Regulator yang tepat adalah yang paling sesuai dengan tabung gas yang digunakan dan bisa menutup mulut tabung dengan sempurna. Cari saja regulator yang paling recommended. Bisa tanya-tanya teman atau tanya sama Mbah Google. Ibarat mencari jodoh yang klik, kadang memang tidak mudah, tapi pasti ada. Harga mahal juga bukan jaminan. Meski mahal, kalau tabung gas yang digunakan "mulut"-nya tidak sesuai dengan regulator yang digunakan, kadang masih suka timbul kebocoran gas. Padahal kunci keberhasilan pemasangan regulator adalah ketika sudah tidak ada sedikit pun gas yang keluar dari tabung.

2. Memilih Tabung Gas

Setelah mendapatkan regulator yang tepat, selanjutnya adalah memilih tabung gas yang baik. Tabung gas yang baik juga diulas di sini, namun ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan, yaitu volume tabung gas. Pastikan tabung gas yang dibeli volumenya penuh. (Tidak mau rugi kan, Mak, karena tabung gas yang baru dibeli isinya sedikit?) Selain menghindari "kerugian", memasang regulator pada tabung yang terisi banyak gas dengan tabung yang tersisa sedikit gas terkadang ada perbedaan.

Perbedaan itu timbul akibat tekanan dari gas di dalam tabung. Itulah kenapa, kadang-kadang ada bau gas tercium saat isi tabung gas tersisa sedikit. (Pernah mengalami tidak, Mak?) Itu terjadi karena tekanan yang sangat rendah dari dalam tabung yang bisa membuat regulator jadi tidak menutup mulut tabung secara sempurna. Penyebab lainnya bisa karena posisi tabung dan regulator yang kurang pas, atau mungkin selang gas yang tidak sengaja tersenggol sehingga memperngaruhi posisi regulator jadi sedikit bergeser.

3. Cek Rubber Seal 

Pastikan tabung gas yang akan digunakan ada rubber seal-nya. Rubber seal yang baik adalah yang masih utuh, tebal dan lentur. Tabung gas yang baru dibeli tidak menjamin rubber seal-nya juga baru, bahkan tidak jarang ada tabung gas yang tidak ada rubber seal-nya. Penampakan rubber seal yang sudah lama bermacam-macam, ada yang sudah tidak utuh (mungkin cuil atau terdapat robekan), ada yang sudah mulai menipis, dan ada juga yang keras atau kaku. Rubber seal dengan kondisi seperti itu tidak disarankan untuk digunakan, terutama bagi yang masih pemula memasang regulator gas. Karena sangat berpotensi menimbulkan kebocoran gas yang ditandai dengan suara mendesis atau ngowos saat digunakan. Setelah memastikan rubber seal dalam kondisi layak pakai, jangan lupa untuk memasukkan rubber seal ke mulut tabung.

4. Pasang Regulator dengan Benar

Setelah rubber seal dipasang, inilah saat yang paling mendebarkan, memasang regulator. Posisi regulator yang benar akan menentukan keberhasilan pemasangan regulator.

Caranya: letakkan regulator di mulut tabung pada posisi tegak lurus dengan tabung, lalu tekan sekuat mungkin dan putar tuas regulator searah jarum jam hingga tuas berada pada posisi 180 derajat. Perhatikan baik-baik, adakah suara mendesis? Jika tidak ada, maka itu artinya regulator sudah terpasang dengan benar.

Jika ada suara mendesis, lepas regulator. Coba untuk memperbaiki posisi rubber seal dengan mengeluarkannya terlebih dahulu, lalu memasangnya kembali. Kemudian lakukan langkah yang sama. Pastikan sudah tidak ada suara mendesis sebelum kompor gas digunakan.

5. Cobalah Menyalakan Kompor

Tidak jarang terjadi, regulator sudah terpasang dengan benar dan gas tidak ngowos, namun kompor tidak mau menyala. Untuk keadaan seperti ini, tidak perlu melepas regulator lagi. Coba saja ketuk perlahan bagian atas regulator beberapa kali sambil kembali mencoba menyalakan kompor. Tambah kekuatan ketukan secara bertahap jika kompor belum juga mau menyala. Biasanya tidak lama kompor sudah akan menyala. Kompor yang tidak mau menyala kemungkinan karena terjadinya sedikit penyumbatan aliran gas ke regulator, itulah kenapa dilakukan pengetukan pada regulator.

Jika pengetukan berulang sudah dilakukan dan kompor tetap tidak mau menyala, coba periksa selang gas. Karena beberapa regulator dibuat otomatis tidak bisa mengalirkan gas saat ada kebocoran pada selang gas.

Itulah 5 langkah mudah memasang regulator pada tabung gas. Asal semua langkah diikuti dengan benar, mengganti tabung gas tidaklah sulit dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Jadi, buat emak yang masih belum berani atau belum pernah mencoba, ayo mulai mengganti tabung gas sendiri.


*tulisan ini diikutsertakan dalam tantangn SETIP bersama Estrilook
#SemingguTigaPostingan
#day8


Friday, February 15, 2019

10 Langkah Mudah Mengurus Perpanjangan STNK 5 Tahunan



Tak terasa, ternyata sudah masuk bulan februari. Ada satu tanggal penting di bulan februari yang tidak boleh saya lewatkan. Agar tidak lupa, wajib buat saya untuk memasang alarm minimal sepekan sebelum tanggal itu tiba. Saya juga sudah menandai kalender di tanggal tersebut. Mungkin ada banyak pula orang yang menandai tanggal tersebut. Iya, itu adalah tanggal 14  Februari. Ada apakah gerangan? Tanggal 14 Februari adalah batas akhir masa berlakunya STNK alias Surat Tanda Nomor Kendaraan sepeda motor saya, hehe... (Kirain ada apa, Mak, hadeeeh....)

Pada 14 Februari 2019 ini, bukan hanya waktunya saya perpanjang STNK, tapi juga waktunya ganti plat nomor karena sepeda motor sudah berumur 10 tahun. Hmm, lagi-lagi, benar-benar tak terasa kalau sudah 10 tahun sepeda motor matic ini setia mendampingi saya dan keluarga wira-wiri di jalanan. Dari kota sampai ke desa, dari jalan lebar hingga gang-gang sempit. Luar biasanya lagi, sepeda motor merk Honda (yaelah, sebut merk, hihi...) ini meski keluaran Malang dan berplat nomor N, tapi dia menghabiskan hampir separuh usianya di (dekat) ibukota, Jakarta. "Petualangan yang hebat ya, Beat!" (Halah, kok jadi dramatis gini, ya? Ini mau ngomongin apain sih? Hehe...)

Kalau tahun-tahun sebelumnya yang menangani urusan beginian suami atau orang suruhan suami, tidak kali ini. Bukannya saya mau bersusah-susah ria, hanya berusaha mandiri saja dan mencoba untuk tidak selalu bergantung pada orang lain. (Kibas jilbab! Haha...) Selain itu, saya juga sedang berusaha menekan sebanyak mungkin pengeluaran yang tidak perlu, termasuk kalau harus membayar orang lain sebagai imbalan atas bantuannya. Kecuali ada yang mau dimintai tolong secara gratis, hehe. Eh, tapi paling saya juga nggak tega kalau hanya menyuruh saja, huhu... Mengurus hal beginian itu gampang-gampang susah dan butuh waktu tidak sebentar, itulah kenapa di jaman dulu ada banyak sekali calo yang menawarkan "jasanya". 

Alhamdulillah, ternyata mengurus pergantian plat ini tidak "serumit" yang sempat saya bayangkan. Prosesnya terbilang mudah dan sebetulnya bisa cepat kalau saja kemarin saya tidak membawa balita. Tapi ini khusus untuk pengurusan ganti plat kendaraan yang sesuai dengan daerah dikeluarkannya STNK, ya. Serta tidak ada hal-hal lain yang berkaitan dengan pengurusan kendaraan, seperti misalnya mau mutasi atau balik nama. Jadi murni hanya untuk mengurus perpanjangan STNK 5 tahunan. Berikut ini langkah-langkah yang harus dilakukan!

1. Datang ke kantor samsat setempat. Pastikan seluruh kelengkapan kendaraan, seperti: BPKB alias Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor, STNK, dan KTP asli dibawa. Btw, kendaraan yang mau diurus perpanjangannya adalah milik kita dengan nama kita yang tercantum sebagai pemiliknya, lho, ya. Kalau kendaraannya milik kita tapi atas nama orang lain, butuh satu persyaratan lagi yang mesti disiapkan, yaitu surat kuasa dari "pemilik" yang namanya tercantum di STNK. 

2. Parkir kendaraan di tempat dilakukannya cek fisik kendaraan. Jangan masuk tempat parkir, karena kendaraan juga perlu "dihadapkan" kepada petugas. Sebagai bukti kalau kendaraan yang mau diurus surat-suratnya dan diganti platnya itu ada wujudnya. Di tempat dilakukannya cek fisik ini, perhatikan antrian, jangan menyerobot. Biasanya kalau sedang ramai akan ada banyak kendaraan yang juga butuh pengecekan fisik kendaraan. Itu artinya proses akan dilakukan secara bergantian.

3. Datangi loket pendaftaran pengurusan STNK. Serahkan berkas asli berupa BPKB, STNK, & KTP. Nanti petugas akan memberikan selembar kertas yang harus diisi data-data kita dan kendaraan kita, serta selembar kecil kertas yang khusus untuk mencatat nomor rangka dan nomor mesin kendaraan. 

4. Kembali ke tempat cek fisik kendaraan. Serahkan kertas kecil tadi kepada petugas yang akan melakukan cek fisik kendaraan. Petugas akan menggunakan kertas kecil itu untuk melakukan pencatatan nomor rangka dan nomor mesin kendaraan dengan cara menempelkan kertas itu langsung ke tempat terteranya nomor rangka dan nomor mesin pada kendaraan. Caranya sama persis seperti kita menggambar uang koin dengan menempelkan langsung uang koin di bawah kertas lalu bagian atasnya kita gores-gores pelan menggunakan pensil. Yang hidup sejaman dengan saya pasti tidak bingung, hehe... (Selamat, artinya Anda sudah tua! Ssst, saya juga, hihi...) 

5. Menuju loket pemberian stempel. Bawa kembali berkas bersama hasil cek fisik ke loket ini untuk mendapatkan stempel resmi pengurusan STNK. Jangan lupa untuk memarkirkan kendaraan terlebih dahulu di tempat yang aman, karena proses selanjutnya akan membutuhkan waktu, bisa lama bisa sebentar, tergantung kelancaran proses yang dilakukan. Jadi, mulailah banyak-banyak berdoa semoga prosesnya lancar dan cepat. (Alamaaak, kayak mau lahiran aja, hehe...)

6. Menuju ke loket pengecekan kelengkapan berkas. Setelah mendapatkan stempel, bawa berkas ke loket pengecekan kelengkapan berkas. Pastikan berkas dimasukkan ke dalam map dan jangan lupa untuk menggandakan berkas-berkas yang kita bawa sebanyak masing-masing 3 lembar. Di sekitar lokasi pasti ada layanan fotokopi dan penjualan map yang ada kop POLRI-nya. Kalau mau lebih hemat, bisa bawa langsung fotokopiannya dari rumah. Jadi di samsat tinggal beli mapnya saja.

7. Menuju loket pengambilan nomor antrian. Bawa berkas yang sudah dicek ke loket ini untuk mendapatkan selembar berkas isian lagi. Isi lengkap berkas itu dan tukar dengan nomor antrian pembayaran di loket yang sama. Lalu tunggu panggilan dari petugas kasir yang menerima pembayaran.

8. Menuju loket kasir. Pastikan nomor yang dipanggil benar-benar nomor kita dan jangan lupa untuk menyiapkan sejumlah uang. Ada baiknya sebelum dipanggil kita sudah tahu berapa biaya yang dibutuhkan untuk memperpanjang STNK dan ganti plat nomor kendaraan. Kemarin saya dikenakan biaya Rp.357000,-. Setelah proses pembayaran kita akan langsung mendapatkan lembar Tanda Bukti Pelunasan Kewajiban Pembayaran (lembar berwarna coklat yang biasanya sepaket sama STNK).

9. Menunggu. Setelah pembayaran selesai silakan duduk dan menunggu panggilan untuk mendapatkan STNK dan plat nomor baru. Sebaiknya duduk di kursi tunggu yang lokasinya cukup dekat dengan loket tempat penyerahan plat nomor. Jadi pas nama kita dipanggil kita bisa mendengar dengan jelas dan bisa segera datang. 

10. Terakhir. Isi buku sebagai bukti kita telah menerima STNK dan plat nomor baru untuk digunakan selama 5 tahun ke depan. Ambil STNK dan plat nomor. Selesai! Silakan segera pulang, Anda pasti lapar, karena hari sudah siang, eh, haha... Btw, selamat berkendara dengan tenang selama setahun ke depan karena sudah ada STNK dan plat nomor baru yang berlaku secara sah dan legal.

Itulah 10 langkah mengurus perpanjangan STNK 5 tahunan yang terbilang cukup mudah dan relatif cepat. Kemarin saya menunggu agak lama untuk mendapatkan plat nomor. Rupanya saya pas lagi keluar ketika nama saya dipanggil. Karena saya tidak ada, plat nomor itu disimpan lagi dan saya tidak dipanggil lagi hingga saya mendatangi petugas dan menanyakannya. Saya terpaksa keluar masuk ruangan karena balita yang saya bawa tidak betah lama-lama duduk menunggu tanpa ada aktivitas mengasyikkan yang dilakukannya. Sampai mainan gadget aja dia sudah bosan. 

Oya, mengurus perpanjangan STNK bisa dilakukan sebelum tanggal masa berlakunya habis dan sebaiknya memang begitu. Karena kalau lewat dari tanggal masa berlaku habis sehari saja, kita akan dikenai denda yang besarnya sama dengan telat setahun. Eman-eman duitnya kalau harus bayar denda kan, mending dipakai buat ngebakso, lumayan bikin perut kenyang, hehe... 

Jadi, tidak perlu ragu-ragu lagi untuk mengurus perpanjangan STNK sendiri ya, Mak...


*tulisan diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook

#SemingguTigaPostingan 
#day5

Thursday, February 14, 2019

Berbagi atau Bertanyalah (Bagian 2)


Suami di ruang ICU

Salah Diagnosa

Setelah menanti cukup lama, akhirnya saya mendapat kabar dari dokter jaga. Dokter spesialis bedah syaraf sudah dihubungi, dia tidak bisa datang ke RS, namun hasil CT-Scan sudah dikirimkan melalui pesan gambar. Dari hasil CT-Scan yang dikirimkan itu, dokter bedah syaraf menyimpulkan bahwa suami saya belum membutuhkan tindakan operasi, tapi cukup dengan pengobatan saja. Alhamdulillah...

26 Januari 2018
Lebih dari 24 jam telah berlalu sejak suami dibawa ke RS. Tidak ada perubahan kondisi apapun yang berarti, malah suami terlihat semakin gelisah. Malam ke-2 di RS, teman-teman kerja suami yang terus menerus memantau dan secara bergantian mendampingi saya di RS, memanggil dan mengajak saya berbicara. Beberapa hal disampaikannya, khususnya tentang keadaan suami yang tidak menunjukkan tanda-tanda membaik setelah mendapat pengobatan selama 24 jam di RS. Hal lainnya berhubungan dengan pelayanan RS yang kurang memuaskan menurut mereka dan mereka sepakat ingin memindah suami ke RS lain yang lebih baik. Mereka menunggu persetujuan saya sebagai wakil dari pihak keluarga.

Saya menginginkan perawatan terbaik buat suami. Saya bukan dokter dan saya juga tidak mempunyai pengalaman menghadapi sakit seperti yang dialami suami. Maka saya mempunyai dua pilihan, tetap di RS itu dan mengikuti semua arahan dokter di sana, atau mengikuti saran teman-teman untuk pindah RS. Setelah mempertimbangkan beberapa hal berdasarkan logika terbatas yang saya miliki, saya memutuskan untuk mengikuti saran teman-teman suami yang memang secara intens terus memantau keadaan suami.

27 Januari 2018
Hari sabtu, sekitar pukul 06.00, saya menemui kepala perawat untuk minta pengajuan kepindahan RS. Prosedur yang harus diikuti ternyata lumayan menguji kesabaran. Step by step proses saya lakukan sesuai prosedur yang ada. Di antaranya adalah memastikan kesiapan RS yang akan dituju untuk menerima pasien dengan kondisi seperti yang dialami suami. Di sinilah "drama" dimulai. Proses kepindahan yang seharusnya hanya melibatkan petugas medis dari RS asal dengan petugas medis RS yang dituju terkesan rumit. Perawat jaga menginformasikan bahwa saya masih harus menunggu, karena ruang ICU RS yang dituju sedang penuh.

Bertanyalah saya yang "awam" ini kepadanya, "Mbak, kenapa kalau ke sana harus masuk ruang ICU? Sementara di sini hanya dirawat di ruang perawatan biasa."
"Mungkin pertimbangan dokter di sana berbeda dengan di sini, Bu," jawabnya.
"Oh, bisa begitu, ya?" Respon saya spontan mendengar jawabannya.

Bukan apa-apa, tapi sahabat suami yang mengurus persiapan di RS yang dituju sudah mencarikan kamar perawatan dan bukan ruang ICU. Akhirnya RS yang dituju digeser, karena sepertinya sudah akan sulit kalau memaksa tetap ke RS tujuan yang dipilih pertama, entah kenapa. Pilihan berikutnya masih di RS yang sama namun di lokasi yang berbeda. Tidak masalah, insyaAllah pelayanan lebih baik tetap akan diperoleh. Yang terpenting juga adalah tetap bisa bertemu dokter spesialis bedah syaraf yang sama yang masih ada hubungan saudara dengan sahabat suami.

Setelah menyelesaikan urusan administrasi yang memang dibayar secara mandiri, siang harinya, sekitar pukul 01.00 suami dibawa pindah RS menggunakan ambulan. Bukan ambulan RS asal dan saya hanya didampingi seorang perawat dengan berkas rekam medis yang dibawanya nyaris kosong, tanpa informasi berarti. Dokter jaga RS yang kami tuju menanyakan banyak hal terkait kondisi suami, karena informasi yang diperoleh dari perawat yang mengantar sangat terbatas.

RS yang menjadi tujuan kami adalah RS Mayapada Tangerang. Sesampai di sana suami langsung mendapat penanganan super cepat. Perawat yang mengurus sangat cekatan dan terlihat sangat berpengalaman. Tes darah kembali dilakukan. Hasil foto rontgent dan CT-Scan tetap digunakan. Di sini kami (saya yang didampingi saudara dan sahabat) terkaget-kaget mendengar penjelasan dokter syaraf. Bagaimana tidak, dokter syaraf menyampaikan kalau hasil CT-Scan tidak menunjukkan adanya pendarahan. What???

Iya, dokter syaraf menyimpulkan kalau suami saya justru mengalami penyumbatan aliran darah yang menuju ke otak sebelah kanan. Untuk hasil analisa yang lebih akurat, kami sepakat untuk dilakukan tes MRI. Apalagi suami sudah memasuki hari ke-3 berada dalam kondisi yang sama bahkan cenderung menurun dari hari pertama masuk RS sebelumnya.

Kami masih harus menunggu beberapa menit untuk mendapatkan hasil tes MRI. Tapi ada rasa lega karena secepat mungkin membawa suami pindah RS. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau tetap di RS sebelumnya. Salah diagnosa, itu artinya terapi obat yang diberikan kepada suami kemungkinan besar juga tidak sesuai dengan yang dibutuhkan beliau. Pantaslah tidak menunjukkan adanya tanda-tanda membaik setelah menjalani pengobatan hampir 2 kali 24 jam.

Hasil MRI selesai. Dokter memanggil kami untuk menunjukkan dan membacakan hasilnya. Semakin jelas, suami saya memang tidak mengalami pendarahan, karena gejala fisis lanjutan dampak pendarahan tidak nampak. Namun sebaliknya, gejala fisis terjadinya penyumbatan nampak sangat jelas. Pembengkakan yang terjadi akibat adanya sumbatan berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya, mungkin akibat terapi obat yang tidak sesuai sebelumnya atau sebab lainnya. Entahlah. Yang jelas suami saya membutuhkan tindakan segera yang pastinya beresiko, apapun tindakan yang yang akan dipilih.

*bersambung...


#SemingguTigaPostingan
#day4

Tuesday, February 12, 2019

Ikhtiar Saja, Urusan Rezeki Serahkan Pada Allah

Rezeki tak selalu soal uang

Katanya, "banyak anak banyak rezeki." Alhamdulillah ... Allah memberi saya anak banyak, semoga rezeki (saya dan anak-anak) juga melimpah. (Allahumma aamiiin...) Tapi, please, jangan tanya itu kata siapa, ya? Karena saya benar-benar tidak tahu. Yang pasti, saya yakin kalau setiap anak itu punya rezekinya masing-masing. Tentang bagaimana rezeki bisa sampai kepada setiap anak, biarlah itu jadi rahasia Sang Maha Pemberi Rezeki.

Btw, itu rezeki anak-anak, lho yaaa... Kalau rezeki orang dewasa atau yang sudah punya tanggung jawab terhadap diri dan kehidupannya, bagaimana? Rezeki saya, misalnya. Ya, tentu harus ada ikhtiar untuk menjemputnya laaah. Sesedikit apapun, ikhtiar tetap harus dilakukan untuk bisa menjemput rezeki. Perkara dengan ikhtiar sedikit kemudian rezeki yang datang banyak (ngarep), itu juga biar jadi rahasia Sang Maha Pengatur.

Dari 18 tahun saya menjalani bahtera rumah tangga, (yaelah, bahasanya kok gini banget ya, hehe...) hanya dua tahun saja saya (dalam pandangan umum dianggap) bekerja. Dengan kata lain ada "usaha" yang saya lakukan untuk menjemput rezeki. Tahun ke-8 pernikahan saya bahkan berikrar untuk berhenti bekerja dan berhenti berburu pekerjaan lagi (masih dengan pekerjaan yang dalam pandangan orang kebanyakan dianggap bekerja). Ya, saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja.

Apakah kemudian dengan menjadi ibu rumah tangga saya tidak "bekerja"? Hehe, yang jadi ibu rumah tangga full time tanpa asisten rumah tangga pasti mengerti. Tapi kalau masih ada yang menganggap menjadi ibu rumah tangga bukanlah profesi, sah-sah saja, itu kan hak mereka mau bilang apa. Yang jelas, setelah saya niatkan diri menjadi ibu rumah tangga karena Allah semata, penghasilan suami perlahan namun pasti terus meningkat. Tak tanggung-tanggung, dalam hitungan bulan, meningkatnya hingga 10 kali lipat lebih.

Saya percaya, walau ada yang menganggap ibu rumah tangga bukan profesi, namun dalam pandangan Allah itu pastilah profesi yang mulia. Meski ada yang mengganggap menjadi IRT itu bukan pekerjaan, namun Allah pasti meletakkan IRT sebagai pekerjaan utama seorang wanita yang telah menyandang gelar sebagai istri sekaligus ibu. Dan tersebab hal itulah maka Allah menurunkan rezeki bagi seorang istri lewat materi yang diperoleh sang suami. (Maaf, kalau ada yang mau protes, tolong jangan di sini, japri saja, mari kita diskusi, hihi...)

Bagaimana jika suatu ketika karena suatu hal seorang suami meninggalkan istrinya yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Percayalah, Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang sudah bersusah payah melakukan ketaatan (termasuk dengan memilih profesi IRT). Lihatlah lebih ke dalam lagi, seorang wanita yang ditinggal suaminya pasti sudah Allah siapkan "bekal" untuk dia bisa melanjutkan kehidupannya tanpa keberadaan suami. Yang dibutuhkan seorang wanita saat ditinggal suaminya tetaplah ketaatan yang sama kepada Allah dan kepasrahan akan semua takdir yang diterimanya, yaitu penerimaan yang ikhlas dan pengakuan bahwa semua yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.

Alhamdulillah ... sebelum Allah berkehendak memanggil suami saya kembali kepada-Nya, Allah menitipkan kepada saya satu keahlian, yaitu berkendara. Tidak hanya skill menyetir, tapi kendaraan dan surat izin mengemudi alias SIM juga sudah tersedia. Bukankah itu menjadi satu media yang Allah sediakan untuk saya bisa ikhtiar menjemput rezeki-Nya? Atau bisa saja saya memanfaatkan kendaraannya saja sebagai alat ikhtiar menjemput rezeki. Apapun itu, tugas kita adalah ikhtiar dengan bersungguh-sungguh, urusan rezeki biarlah Allah yang memutuskan wujud dan besarannya. 


Sedikit cerita, salah satu cara Allah mengalirkan rezeki-Nya, saya rasakan pekan lalu. Pasti sudah menjadi bagian dari rencana Allah, pas lagi di kampung tanah kelahiran, pas ada serombongan ibu-ibu yang butuh tumpangan. Akhirnya saya terima keinginan mereka mencarter mobil yang biasa saya kendarai. Akad terjadi dan harga disepakati. Saya pun menjalankan tugas dengan sepenuh hati, layaknya sopir pribadi. Saya antarkan mereka pulang dan pergi. Menyusuri jalanan berkelok dengan tanjakan di sana-sini. Bukan apa-apa, lokasi yang dituju memang dataran tinggi, hihi...

Alhamdulillah, tugas selesai di ujung siang. Ibu-ibu terlihat senang hingga saya pun tenang. Ibu terakhir turun sambil memberikan sejumlah uang. Tak hanya itu, dia juga menyampaikan pesan bahwa ada tambahan tips dari salah satu penumpang. Sebagai imbalan terima kasih karena sudah diantar hingga ke tanah lapang. (Itu adalah titik terdekat dengan rumah si ibu, Maaang, hehe...) Kebayang, kan, betapa saya girang. Belum lagi dapat bonus melihat pemandangan alam sekitar yang membuat hati riang. Sungguh, Allah memang Maha Penyayang. Rezeki-Nya sering kali tak berbilang. (Cerita tentang lokasi yang saya kunjungi ada di sini)

Begitulah! Ketika ikhtiar dilakukan dengan sungguh-sungguh sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, Dia pasti akan memenuhi janji-Nya untuk mencukupkan kebutuhan hamba-Nya. Kalaulah tidak, mungkin Allah hendak mengujinya. Yang itu berarti bahwa Allah sangat mencintainya. Maka iringilah ikhtiar itu dengan penuh kesabaran dan doa-doa yang tak henti dipanjatkan.

Sekian!
Semoga Allah memudahkan segala urusan.


*tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook

#SemingguTigaPostingan
#day3

Monday, February 4, 2019

Membangkitkan Semangat Ngeblog dengan SETIP Bareng Estrilook


Awal bergabung dengan grup Estrilook di FB, niat saya sih mau ikutan menulis artikel di Estrilook.com seperti yang pernah saya lakukan di salah satu media online. Tapi ujian kecil datang di waktu yang hampir bersamaan. Waktu untuk menulis rasanya seperti tak ada atau tidak bisa saya buat ada. Atau mungkin saya yang kurang sungguh-sungguh mengusahakannya. Atau jangan-jangan menulis memang belum menjadi passion saya? Begitulah! Alasan kalau ditulis memang bisa sangat panjang. Bukankah akan selalu ada alasan untuk suatu "kegagalan"? Padahal alasan sebenarnya sederhana, saya sibuuuk dan sedikit malas. Tuh kan, beralasan lagi, haha... Tapi alasan terakhir benar-benar perlu diwaspadai. Hati-hati dengan virus "malas". Karena ini mudah sekali menyerang para emak seperti saya, hehe...

Sedikit flasback, tadinya saya tidak ada niat nyemplung ke dunia sosial media, termasuk "bermain-main" dengan blog. Saya memang lebih memilih untuk berkhidmat pada keluarga dan meletakkan urusan keluarga sebagai prioritas. ("Semua ibu dan istri sama kali, Maaak, bukan cuma situ doang, qiqiqi...") Tapi makin ke sini, tantangan yang saya hadapi sebagai ibu dan istri itu terasa kian berat. (Halah, kok jadi drama banget sih!) Mendapati suami sesekali mengisi waktu luangnya dengan ber-sosmed, jadilah saya kepingin juga. (Ngiri nih ye, hihi...) Ternyata ber-sosmed memberi hiburan tersendiri buat saya. Meski tak selalu bisa mengusir jenuh, menyimak status teman-teman di FB bisa juga meringankan beban dan membuat saya jadi lebih bersyukur. Alhamdulillah...

Dengan menyimak status teman-teman di FB, saya juga mulai belajar banyak hal, termasuk menulis. Awalnya saya hanya belajar menulis status. Ya, gampangnya biar pesan dari status yang saya tulis bisa sampai pada yang membaca. Tapi kemudian jadi galau juga. Kenapa yang mau saya tulis lebih banyak curhat-nya, ya? Lebih serius belajar menulis, agar tulisan tidak hanya berisi curhatan, saya pun bergabung dengan komunitas kepenulisan dan mulai ikut kelas menulis. Pertama kali yang saya ikuti adalah kelas menulis artikel. Dari ikut kelas itu saya jadi punya akun di Kompasiana. Salah satu tulisan sempat jadi trending topic pula. (Jadi bikin nagih buat terus menulis, hihi...) Tapi sepertinya itu keberuntungan sih, lebih karena tokoh yang saya tulis memang orang top. (Btw. saya masih kagum sama beliau nih sampai hari ini.)

Banyak keuntungan yang saya dapat dari bergabung dengan komunitas kepenulisan. Jadi lebih banyak teman yang memiliki ketertarikan sama untuk belajar menulis, itu pasti. Tapi yang paling menguntungkan adalah ilmu-ilmu kepenulisan yang mereka sebarkan di grup, luar biasa banyak dan selalu up to date. Mereka tidak segan berbagi ilmu, membuat saya jadi lebih semangat belajar menulis. Beberapa dari mereka ada yang memberikan ilmunya dengan membuka kelas-kelas gratis. Kalau sebelumnya saya mengikuti kelas berbayar untuk kelas menulis artikel, setelahnya saya berkesempatan mengikuti kelas gratis dan itu adalah kelas membuat blog. (Ah, emak paling suka kalau dapat yang gratisan, eh, saya aja kali, hihi...)

Alhasil, sejak awal tahun 2014 saya resmi punya blog. Sayangnya saya yang aslinya memang gaptek ini tidak serius ngeblog.  Jadi meski usia blog sudah lama, isinya banyakan zonk-nya, hehe... Kalau dilihat dari riwayat postingan blog, benar-benar deh, saya memang belum pantas disebut blogger. Sempat semangat ngeblog di kisaran tahun 2016, berkat ikut tantangan ODOP alias One Day One Post. Tapi setelah tantangan selesai seolah selesai pula kegiatan menulis saya. Ujung-ujungnya saya seperti mundur teratur dari dunia blog, lalu menyerah dengan berbagai alasan. Tahun 2017 dan 2018 menjadi tahun paling "mengenaskan" bagi blog saya. Dalam setahun hanya bisa posting 4 dan 2 tulisan. (Tepok jidat! Gitu mau ngaku blogger. Melasnya saya...)

Tapi, tentu saja saya tetap menyimpan bara semangat untuk suatu saat kembali menulis di blog. (Lebay! Biarin!) Kapankah waktu itu tiba? Mungkin saat ini. Saya memutuskan untuk mengikuti tantangan menulis blog untuk menjaga semangat menulis agar tetap onfire. Oya, meski lama tidak ngeblog, saya memilih untuk tetap bergabung dalam beberapa komunitas blogger. (Untung nggak ditendang dari grup, hihi...) Sejak awal tahun saya sudah ingin mulai ngeblog (lagi), tapi masih maju mundur mau ikut tantangan menulis. Karena biasanya tantangan yang ada adalah ODOP. Jujur, saya belum berani untuk saat ini. Rasanya akan terlalu berat buat saya, yang itu pasti lebih berat dari rasa rindu si Dilan. (Hayyah... makin lebay aja jadinya.)



Alhamdulillah, saya merasa beruntung bergabung dengan Estrilook. Meski bukan grup khusus blogger, Estrilook juga memberi ruang buat yang suka ngeblog. Beberapa kali Estrilook mengadakan tantangan ODOP. Tapi kali ini Estrilook memberikan tantangan baru dalam menulis blog yang friendly banget buat yang baru belajar ngeblog atau yang mau memulai ngeblog lagi setelah sekian lama "raib". Itulah kenapa saya memutuskan untuk ikut tantangan SETIP yang diadakan Estrilook. SETIP alias Seminggu Tiga Postingan, cocok banget kan buat yang "sedikit malas" menulis blog seperti saya. Harapannya SETIP ini bisa menghapus kemalasan dalam menulis blog, khususnya menghapus kemalasan saya, haha...

Jadi, ada yang sudah punya blog tapi masih punya "virus malas" buat mengisinya? Ayo, buruan ikutan SETIP bareng Estrilook. InsyaAllah, dengan SETIP ini menulis blognya nggak perlu terlalu ngos-ngosan, hihi... Yuuuk, ah, mumpung baru aja mulai. Masih banyak kesempataaan...


*Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook


#SETIP
#SemingguTigaPostingan
#KenapaIkutSETIP

Friday, February 1, 2019

Berbagi atau Bertanyalah (Bagian 1)

Suami yang terbaring di RS

Mendapat Kabar Duka

25 Januari 2018
Sore itu saya mendapat kabar dari rekan suami kalau suami tak sadarkan diri di kantornya. Saya yang ("merasa") paham betul "bagaimana" suami, cukup was-was. Fisik beliau cukup kuat, rasanya tidak mungkin kalau sampai tidak sadarkan diri. "Semoga tidak ada yang serius." Gumam saya mengusir kepanikan yang muncul sesaat.

Ya, beberapa detik panik itu sempat datang. Saya hanya bisa menghela napas. Berada jauh dari keluarga besar bersama 4 anak yang belum bisa ditinggal, saya harus berpikir cepat untuk bisa segera menemui suami yang sudah dibawa ke rumah sakit. Saya pun menghubungi seorang teman untuk datang lebih dulu ke RS sementara saya bersiap dan menyiapkan keperluan anak-anak.

Anak-anak sudah mandi semua, makanan buat mereka siap, dan si bungsu juga sudah dipuaskan ngASI-nya. Saya sendiri juga bersiap seperti saat saya bersiap menjelang suami pulang kantor. Saya tanamkan keyakinan dalam hati, "Saat tiba di RS, suami akan buka mata dan yang pertama kali dilihatnya adalah saya dengan penampilan terbaik saya." 

Iya, saya membangun optimisme sejak awal. Tiba di RS, suami masih di ruangan CT-Scan. Saya menunggu sambil sesekali menemui dokter jaga untuk menanyakan keadaan suami serta menyelesaikan beberapa urusan terkait administrasi. Sebagai orang "awam" medis, saya tidak punya cukup pengetahuan tentang kondisi suami. Saya pun mempercayakan suami kepada tim dokter yang menanganinya.

Kalau pun bertanya, pertanyaan saya sangat umum dan lebih mengandalkan logika pikir saya yang bukan seorang dokter. Pertanyaan seperti, apa yang terjadi dengan suami saya? Kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana saran dokter terhadap suami? Tindakan apa yang dibutuhkan oleh suami? Dan pertanyaan lain yang sebagian besar kesimpulan jawabannya adalah "sedang diobservasi".

Dari ruangan CT-Scan saya mendapati keadaan suami saya seperti sedang tertidur. Ketika tangan kanannya bergerak, saya mendekati dan membisikkan sesuatu kepada beliau. Ternyata beliau masih bisa mendengar perkataan saya. Bahkan beliau juga bisa merespon pertanyaan-pertanyaan saya dengan anggukan kepala atau menggeleng. Tapi beliau tidak berbicara dan tidak membuka mata.

Dari hasil laboratorium dan foto rontgent, saya mendapatkan penjelasan yang "memuaskan". Optimisme saya tetap terjaga hingga saya bertemu dengan dokter spesialis syaraf yang menyampaikan hasil CT-Scan. Dokter perempuan yang masih muda itu berkata kalau suami saya mengalami pendarahan.

Saya pun bertanya, "Apa yang memicu terjadinya pendarahan, Dokter?"
"Pasti karena trauma."
"Trauma bagaimana?"
"Trauma karena benturan, Bu. Bapak jatuh kan?"
"Oh, saya tidak tahu, Dokter. Karena Bapak tidak sadarkan diri di kantor. Tapi informasi yang saya dapat, Bapak tidak jatuh."
"Loh, ini infonya di sini (laporan medis pelapor yang membawa suami ke RS) Bapak jatuh."
"Coba nanti saya tanyakan lagi, Dokter. Tapi apakah ada kemungkinan pemicu lain selain benturan, Dokter?" Tanya saya karena saya yakin dengan informasi yang saya dapatkan bahwa suami saya tidak jatuh.
"Pasti karena benturan, Bu. Nggak ada sebab lainnya." 
Mungkin dokter menyampaikan pernyataan ini karena tensi darah suami yang normal, bukan karena sang dokter kurang pengalaman meski dia masih sangat muda.
"Ok, Dok. Jadi tindakan apa yang Dokter sarankan untuk suami saya?"
"Harus operasi, Bu. Tapi tunggu dulu, saya akan konsulkan hasil CT-Scan-nya ke dokter spesialis bedah syaraf."
"Baik, Dokter. Saya tunggu info selanjutnya."

Di sela-sela menunggu para dokter datang dan memanggil saya untuk menghadap, saya mulai menghubungi keluarga besar saya dan suami serta beberapa sahabat untuk meminta bantuan doa. Secara umum mereka semua menunggu kabar dan keputusan dokter terhadap suami saya. Ada beberapa saran tindakan non medis dari beberapa teman, tapi saya kesulitan untuk melakukannya sendiri.

*bersambung...


Monday, January 21, 2019

Ketika Ananda (Siap) Toilet Training

Si anak ke-5 yang hobby basah-basahan 😄
Punya anak lima ternyata tidak membuat saya "mahir" mengatasi masalah "toilet training". (Hihi, parah nih si Emak...) Entahlah, saya merasa masing-masing anak memiliki kekhasan yang membuat mereka berbeda dalam menghadapi latihan belajar ke toilet sendiri. Ada yang mudah, namun juga ada yang terkesan sulit. Tapi memang kuncinya ada pada kesiapan kedua belah pihak, yaitu kesiapan orang tua dan kesiapan si anak. Itu menurut saya yaaa...

Flashback sedikit. Ketika masa anak pertama, saya belum mengenal pospak alias popok sekali pakai. Alhasil, sangat biasa saya mendapati dia pipis di mana saja saat dia lagi ingin pipis. Tentu saja di awal dia pipisnya masih di celana yang pada akhirnya dia sendiri merasa tidak nyaman mendapati celana basah oleh pipis. Keadaan yang pastinya berbeda dengan saat dia memang sedang beraktivitas melibatkan air. Kalau itu sih dia senang dan tak pernah bosan. Sepertinya tidak hanya dia yang suka, tapi hampir semua anak menyukainya.

Anak kedua saya mulai memakai pospak setelah usianya 6 bulan. Begitu juga dengan anak ke-3 dan ke-4. Mereka bertiga hampir melalui fase yang sama dalam penggunaan pospak. Namun masa pakai mereka berbeda, rata-rata 2 tahun kecuali anak ke-4. Anak ke-2 sempat mengalami kendala karena keterlambatan bicara yang dialaminya hingga usia 3 tahun, namun dia cukup berhasil sebelum usianya 2 tahun. Biasanya dia memberi isyarat kalau ingin pipis, meski tidak selalu dilakukannya. Anak ke-3 lancar, berhasil melewati toilet training sebelum usia 1,5 tahun. Sementara anak ke-4, hehe, dia mengalami keterlambatan toilet training, terlanjur merasa nyaman pakai pospak (salah emaknya kalau ini mah). Dibutuhkan tips khusus untuk mengatasinya. (Tips ala saya ada di sini)

Sebetulnya kapan sih waktu yang tepat untuk toilet training? Kalau dari penerawangan saya (yaelah), beberapa poin berikut bisa dijadikan dasar untuk mulai menerapkan toilet training, di antaranya:

1. Dia sudah bisa jongkok. Kemampuan jongkok dengan kuat saya jadikan pertimbangan pertama mengajari anak-anak buang air kecil (bak) dan buang air besar (bab) di kamar mandi. Jadi dari kecil saya mengajari mereka untuk bak dan bab secara duduk, termasuk anak laki-laki. Saya memang memilih untuk menanamkan kebiasaan baik kepada anak-anak sejak dini, terutama ditinjau dari sisi agama yang saya anut, atau yang lebih dikenal sebagai adab. Termasuk adab-adab ke kamar mandi di mana salah satunya adalah tidak bak sambil berdiri.

2. Dia bisa menyampaikan secara verbal atau non verbal keinginannya untuk bak dan bab. Karena tidak semua anak kemampuan berbicaranya sama, tentu dibutuhkan kemampuan lebih bagi orang tua untuk memahami maksud anak-anak saat memberi isyarat atau menyampaikan sesuatu yang belum jelas kepada mereka. Boleh jadi yang terdengar di telinga kita dari mulut bayi bermakna sama antara "pup" (pingin bab) dan "bubuk" (pingin tidur). Maka harus pintar-pintarnya orang tua melihat situasi dan kondisi, kira-kira anak kita pinginnya apa. Btw, saat ini saya dalam masa sedang berusaha keras memahami perkataan anak ke-5 yang kosakatanya bagi saya terdengar sama semua, hehe... (Peace ya, debay)

3. Dia memberi "pesan" atau isyarat bahwa dia "siap" belajar toilet training. Pesan dan isyarat yang ditunjukkan setiap anak bisa saja berbeda. Kalau anak ke-5 saya, dia mulai suka melepas popok, apalagi saat popoknya mulai basah. Saya belum tahu pasti apakah dia merasa tidak nyaman dengan popoknya atau dia merasa tidak nyaman dengan basahnya si popok. Pastinya ini adalah kesempatan untuk menyampaikan kepadanya kalau memakai popok itu memang tidak nyaman dan kita mesti bersiap untuk mulai mengajaknya bak dan bab di toilet.

4. Ini poin utamanya. Kita sebagai orang tua sudah benar-benar siap dengan segala resiko yang ditimbulkan saat anak mulai belajar toilet training. Kesiapannya meliputi fisik maupun mental.
Kesiapan fisik di antaranya mesti bersiap dengan tenaga lebih manakala anak tiba-tiba bak atau bab di celana tanpa memberitahu. Otomatis ini akan menambah banyaknya cucian. Siapkan juga tenaga untuk lebih sering lagi mengepel lantai, apalagi jika kita memutuskan untuk menjaga lantai tetap selalu dalam keadaan suci. Karena menjaga kesucian lantai lebih tidak mudah dari pada sekadar menjaga kebersihannya.
Kesiapan mental di antaranya dengan menambah stok kesabaran mendapati "kejutan" dari si kecil serta kesabaran dalam memberikan motivasi dan dorongan kepada si kecil agar semangat untuk terus belajar. Kelihatannya gampang, tapi tidak mudah saat menghadapinya. Apalagi jika si kecil memberi "kejutan" tak terduga di waktu-waktu yang kurang pas menurut kita. Ingat! Tetap sabaaar...

Itu 4 poin yang menurut saya penting, meliputi 3 poin dasar (nomer 1 - 3) dan 1 poin utama (poin 4). Untuk poin utama kita perlu menyiapkannya sejak anak setidaknya berusia 1 hingga 1,5 tahun. Setelah itu, bersiaplah menunggu 3 poin dasar muncul pada diri anak. Begitu terlihat, segeralah tangkap peluang untuk mengajarkan anak toilet training. Jangan sampai terlambat!

Naaah, saat ini sepertinya saya sudah harus mulai menerapkan toilet training pada anak ke-5. Karena 3 poin dasar sudah dia perlihatkan, tinggal saya yang masih maju mundur menyiapkan poin utamanya, hihi... (Please deh, Mak!)


#TulisanParenting
#ToiletTraining

*Pantun Ria
Kota Malang sedang musim hujan
Emak pakai jaket agar badan hangat
Tulis di komen kalau ada kritik saran
InsyaAllah jadi masukan bermanfaat

Thursday, December 27, 2018

Anak-anak Libur, Saatnya Melakoni Peran Sebagai "Emak" Sekaligus "Ayah"

Berkendara bersama krucils

Emak, liburan akhir tahun ini ke mana?
Adakah yang seperti saya?
Saat anak-anak liburan, saya bukannya "nyantai", tapi justru inilah waktu di mana saya benar-benar berperan sebagai "emak" sekaligus "ayah".
Kenapa begitu?

Sejak tahun ajaran baru ini, sudah dua dari lima anak saya yang masuk pesantren dan satu lagi tinggal bersama mbah-nya. Meski dua anak saya yang lain masih terbilang kecil-kecil (satu lagi malah masih bayi), tapi sejak tiga anak tidak lagi tinggal di rumah, terasa benar perbedaannya. Berasa ada sesuatu yang hilang dari kehidupan saya. "Beban kerja" terasa lebih ringan namun saya merasa ada yang kurang dari aktivitas keseharian saya yang memang lebih banyak fokus pada suami.

Ternyata saat anak-anak "pergi" dari rumah, hal-hal unik dari masing-masing mereka menjadi sesuatu yang terkadang dirindukan. Tak ada lagi yang hampir tiap hari pegang ulekan buat bikin sambal geprek. Tak terdengar lagi permintaan membuat mie instan yang kadang membuat saya harus bawel mengingatkan untuk tidak sering-sering makan mie. Tak ada lagi yang bisa dicerewetin (anak-anak yang masih di rumah kan belum cukup umur buat dicerewetin, hihi, alesan ini mah). Tak ada lagi ....

Liburan akhir tahun ini, yang juga menjadi masa liburan anak-anak tanpa keberadaan ayahnya, saya dan anak-anak sudah menyusun rencana. Lewat kontak via telepon dengan anak-anak yang di pesantren, kami sepakat merencanakan liburan di dua tempat. Sepekan pertama di Malang dan sepekan berikutnya di Situbondo. Agar rencana berjalan lancar, saya harus memulainya dengan menyusun agenda pribadi A sampai Z yang akan saya lakukan. Inti agendanya sih sederhana, saya hanya harus benar-benar menjadi "emak", sebuah peran yang selama 4-5 bulan terakhir seolah "terlupakan".

Perjalanan untuk melakoni peran "emak" pun dimulai dari Situbondo, di mana anak ke-3 dan ke-4 sekarang tinggal. Hampir sebulan terakhir ini saya memang berada di Situbondo. Bersama pakdhe-nya anak-anak, saya dan anak ke-5 berangkat ke Malang lebih awal untuk menyiapkan rumah yang sudah tidak ditinggali selama 5 bulan terakhir. Emak pasti tahu apa yang akan dan harus saya lakukan. Karena emaklah yang paling tahu seperti apa kondisi rumah yang dibiarkan tak berpenghuni dalam waktu cukup lama, hehe... 😍

Saya punya waktu 3 hari untuk menyiapkan rumah menjadi siap ditempati. Karena pada hari ke-4, anak ke-3 dan ke-4 yang mulai libur sekolah akan datang menyusul ke Malang bersama bulik-nya. Pada hari yang sama, pakdhe-nya kembali ke Situbondo untuk menyelesaikan pekerjaan di sana. Jadi saya harus menjemput sendiri anak-anak ke tempat bulik-nya yang selama di Malang tinggal bersama keluarga besar suaminya. Setelah itu, bersih-bersih rumah, memasak, dan mencuci pun menjadi kegiatan rutin yang "wajib" hukumnya. Sebagai hiburan di sela-sela kesibukan itu, saya memilih untuk membersihkan dan mengatur tanaman. Itu kesibukan emak juga sih ya ... tapi karena saya menyukainya, aktivitas itu jadi berasa sebagai hiburan di antara aktivitas rutin lainnya.

Keesokan harinya saya menjemput anak ke-2 di Terminal Arjosari, Malang, setelah dia menempuh perjalanan dari tempatnya nyantri di Kudus, Jawa Tengah. Dua hari kemudian giliran anak pertama yang datang setelah dia melalui petualangan perjalanannya dengan kereta api dari Purwokerto menuju Surabaya dan selang sehari dilanjutkan perjalanan darat dengan kendaraan pribadi bersama 7 orang temannya menuju ke Malang. Anak-anak sudah punya agenda masing-masing untuk mengisi liburan mereka di Malang, terutama anak pertama yang menghabiskan liburan di Malang kali ini bersama 7 orang temannya. Emaknya? Jangankan liburan, aktivitas saya malah lebih padat dari sebelumnya. Tapi bahagia rasanya melihat anak-anak bisa berkumpul dan mereka bisa menikmati liburannya.

Senin kemarin, usailah sudah anak-anak menghabiskan sepekan pertama liburannya di Malang. Sesuai rencana, tiba waktunya melanjutkan liburan yang tersisa sepekan itu di Situbondo. Pakdhe-nya sempat berpesan untuk memberi kabar kalau saat perjalanan ke Situbondo dari Malang perlu dibantu nyetir. Tapi saya putuskan untuk menyetir sendiri saja. Jadilah perjalanan ke Situbondo kali ini sebagai perjalanan pertama yang saya tempuh hanya bersama anak-anak (tanpa ayah mereka, hiks).

Perkiraan saya lalulintas akan lancar karena sudah memasuki puncak liburan dengan asumsi bahwa orang-orang yang mau liburan sudah di lokasi, jadi jalanan bakal sepi. Apalagi sebuah surat kabar Malang sempat mengabarkan kalau Tol Mapan akan dibuka sementara selama masa liburan dari tanggal 21 Desember 2018 hingga tanggal 1 Januari 2019. Tapi ternyata perkiraan saya meleset. Ruas jalan dari arah Kota Malang justru lebih padat dari ruas arah sebaliknya. Tol Mapan juga hanya dibuka satu arah saja, yaitu yang menuju Malang. Alamaaak ... macetnya sungguh tak terduga! Syukurlah saya cukup punya pengalaman menikmati kemacetan selama beberapa tahun tinggal di dekat Kota Jakarta. Setidaknya kesabaran menghadapi kemacetan sudah cukup terlatih, haha ....

Macetnya biasa ... kesabaran menghadapi macet terlatih. Tapi waktu tempuh yang dibutuhkan tetap menjadi lebih lama dan tidak ada yang menggantikan saya pegang kemudi. Aha ... saatnya saya berperan sebagai "Ayah" yang selama saya belum bisa pegang kemudi selalu menyetir sendiri tanpa lelah. ("Terima kasih, Ayah, sudah mengajariku bersabar di jalan.")

Bahkan saya harus berperan sebagai emak sekaligus ketika anak saya yang masih bayi ingin "dekat" dengan bundanya. Agar tidak menambah lama waktu tempuh perjalanan, saya memilih sesekali menyetir sambil memangku si bayi. Sekali waktu saya juga sempatkan menyetir sambil ngASI hingga si bayi tertidur di pangkuan sementara saya terus pegang kemudi.

Alhamdulillah ... akhirnya kami tiba juga di Situbondo dengan dua kali berhenti sebentar untuk sholat dan membeli makanan kecil. Lama perjalanan menjadi 2 jam lebih lama, dari yang biasanya 4 jam menjadi 6 jam. Di luar kemacetan sepanjang jalur Malang - Purwodadi, kondisi lalulintas secara umum cukup ramai. Tapi itu menjadi berkah buat saya. Karena lalulintas ramai membuat saya yang menyetir selama 6 jam terhindar dari rasa mengantuk.

Ini cerita liburan saya bersama anak-anak. Bagaimana cerita liburan, Emak? Yuuuk berbagi di komen...

#CeritaLiburanku