Sunday, December 14, 2014

Pacaran Terbuka: Sebuah Kerugian yang Banyak bagi Perempuan



Dan janganlah kalian mendekati zina,

sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.
(QS. Al Isra’: 32)



            Ayat ini sudah diturunkan sejad 14 abad yang lalu. Tapi pernahkah kita mencoba meresapi ayat ini dengan baik? Allah tidak melarang berzina, namun Allah melarang hambanya untuk mendekati zina. Jika mendekati saja sudah dilarang, bagaimana dengan melakukannya? Dan tidaklah Allah melarang kita berbuat sesuatu melainkan pasti hal itu untuk kebaikan kita.
            Salah satu bentuk mendekati zina yang sangat marak saat ini adalah pacaran yang terjadi di kalangan remaja. Gaya berpacaran remaja saat ini sungguh memprihatinkan. Mereka yang berpacaran tidak lagi malu-malu untuk bergandengan tangan, berpelukan dan bahkan berciuman di depan umum. Ucapan dan tindakan yang dilakukan sepasang kekasih yang sedang berpacaran tak ada bedanya dengan yang dilakukan sepasang suami istri. Kalau di depan umum saja mereka berani berbuat demikian, bagaimana jika mereka hanya berduaan saja di tempat yang tidak seorang pun melihat mereka?
            Bentuk pacaran yang ada sekarang ini, memang tidak bisa dilepaskan dari yang namanya seks bebas. Bahkan pacaran yang terjadi di kalangan anak yang masih termasuk remaja awal. Banyak penelitian yang menunjukkan hasil mencengangkan. Sebagian besar pelajar SMP sudah pernah pacaran, dan tidak sedikit yang sudah pernah melakukan hubungan seks. Kebanyakan dari remaja yang melakukannya menganggap itu sebagai hal yang biasa di kalangan mereka. Mereka bahkan menganggap remaja yang belum pernah pacaran sebagai remaja yang tidak gaul. Lantas, apakah masih bermakna pernikahan bagi mereka? Masih akan adakah kesakralan dan keistimewaan dari suatu pernikahan, jika semua hal yang seharusnya baru boleh mereka lakukan setelah menikah, sudah mereka lakukan?
            Sudah banyak dampak yang ditimbulkan dari berpacaran, salah satunya adalah pernikahan dini. Mereka yang berpacaran terpaksa harus menikah di usia muda, karena si perempuan sudah terlanjur hamil, atau biasa dikenal dengan istilah Married By Accident yang disingkat MBA. Namun begitu, perempuan yang mengakhiri hubungan pacarannya di kursi pelaminan masih bisa dikatakan “sedikit” beruntung. Karena beberapa dari perempuan itu ada yang harus menanggung sendiri derita akibat perbuatannya, lantaran sang pacar tidak mau bertanggung jawab terhadap janin yang dikandungnya. Bahkan ada laki-laki yang sama sekali tidak mau mengakui kalau janin itu adalah anaknya. Pada posisi ini, sangat jelas kalau perempuan sangat dirugikan.
            Akan tetapi, apakah karena terlanjur hamil saja, perempuan itu berada pada posisi yang merugi? Ternyata tidak. Ketika seorang perempuan berpacaran dan kemudian putus, laki-laki yang akan mendekatinya setelah itu mungkin akan berpikir dan mempertimbangkan siapa mantan pacar perempuan itu sebelum memutuskan untuk berpacaran dengannya. Tapi pada laki-laki, hal itu tidak terlalu berdampak. Perempuan yang terlihat berpacaran dengan bergandengan tangan dan berciuman di depan umum, mungkin akan dipandang rendah oleh sebagian laki-laki. Namun juga tidak begitu berpengaruh pada laki-laki. Dan kalau sampai terjadi hubungan seks antara laki-laki dan perempuan yang berpacaran, hal itu akan sedikit banyak berpengaruh pada si perempuan saat menikah, meskipun perempuan itu tidak hamil.
            Mengapa demikian? Karena tanda keperawanan pada perempuan sangat mudah dikenali oleh laki-laki saat mereka melakukan hubungan seks. Sementara tidak mudah bagi perempuan untuk mengenali apakah pasangannya sudah pernah melakukan hubungan seks atau tidak sebelumnya. Jika tidak ada komunikasi yang baik antara laki-laki dan perempuan tentang keadaan perempuan sebelum menikah (mengenai status keperawanannya), bagi sebagian laki-laki, hal itu bisa menjadi masalah bagi keberlangsungan pernikahan mereka.
            Lalu bagaimana dengan perempuan yang terlanjur hamil dan sang pacar tidak mau menikahinya? Beberapa laki-laki biasanya akan meminta pacarnya untuk menggugurkan kandungannya karena merasa belum siap untuk menikah. Beberapa lagi sama sekali tidak mau tahu tentang keadaan sang pacar, dan menganggap itu sebagai resiko yang memang mesti ditanggung olehnya. Alhasil, si perempuan harus melakukan sendiri aborsi (tanpa keterlibatan sang pacar) atau menyembunyikan kehamilannya sampai waktu melahirkan tiba dan kemudian membuang atau bahkan membunuh bayi yang dilahirkannya.
            Yang juga perlu untuk diketahui oleh perempuan adalah bahwa aborsi bukannya tanpa resiko. Pada saat aborsi, perempuan akan merasakan sakit yang sangat hebat dan pendarahan yang banyak. Tidak sedikit perempuan yang harus meregang nyawa di meja aborsi. Ada juga beberapa aborsi yang menyebabkan terancamnya sel telur pada rahim perempuan, sehingga setelah aborsi perempuan menjadi sulit atau bahkan tidak bisa hamil sama sekali. Belum lagi rasa malu yang harus ditanggung ketika apa yang dilakukannya diketahui oleh orang lain. Sungguh, perempuan akan selalu menjadi yang paling dirugikan sejak mereka memutuskan berpacaran.
            Maka dari itu, sangat penting bagi para remaja perempuan bisa berkata TIDAK untuk hubungan seks di luar nikah, bahkan menolak sama sekali ajakan berpacaran dalam bentuk apa pun. Romansa kehidupan dengan lawan jenis masih bisa dirasakan tanpa harus melalui pacaran, yaitu dengan menjadi pesaing sehat bagi mereka dalam mengukir prestasi atau ikut terlibat bersama mereka dalam kegiatan-kegiatan yang positif. Dan bagi para orang tua, mari jaga anak perempuan kita dari perilaku seks bebas. Jangan berikan mereka kesempatan berpacaran dengan terus memotivasi mereka untuk mengukir prestasi sejak dini dan memfasilitasi mereka dengan kegiatan-kegiatan yang positif.


Sunday, November 9, 2014

"Sekolah Ideal" Idaman Saya (bagian 2)

        Sebelumnya sudah saya tulis tentang "TK Ideal" menurut saya di sini. Nah, sebagai pelengkap, karena saya seorang muslim, akan sangat tepat kalau anak-anak diajak untuk menghafal Qur'an. Prinsipnya sama dengan menyanyi. Guru cukup membacakan ayat yang akan dihafal anak-anak, lalu anak-anak menirukan. Bisa per surat untuk surat-surat pendek, atau per ayat untuk surat-surat yang panjang. Jika dalam sehari ada satu ayat saja yang diingat oleh anak-anak, bayangkan berapa hasilnya dalam sebulan atau setahun? Dan, yang perlu diingat bahwa untuk menghafal, seorang anak tak perlu harus bisa membaca Qur'an terlebih dahulu. Baiklah, lanjut ke tingkat selanjutnya!

2. Sekolah Dasar (SD)
        Saya masuk SD pada tahun 1986, pada usia 6 tahun lebih 3 bulan. Sebagai generasi SD tahun 86, saya ingin katakan bahwa saya adalah generasi "ini budi". Karena untuk pertama kalinya saya dikenalkan dengan huruf dengan bagian pertamanya belajar membaca "ini budi". Yang juga masuk SD pada kisaran tahun yang sama pasti ingat bagaimana mengulang membaca "ini budi" ini hingga berulang-ulang. Lalu dilanjutkan dengan membaca sekaligus mengenal keluarga "budi" yang lain, seperti kakaknya yang bernama "wati" dan adiknya yang bernama "andi". Dan dilanjutkan dengan membaca sekaligus mengenal beberapa orang lain yang masih berhubungan dengan "budi", seperti "bu ani". Siapa yang masih ingat "bu ani"?
        Terkait bacaan tersebut, saya memang baru pertama mengenalnya. Oh, tulisan "ini budi" seperti itu ya? Begitulah kira-kira yang terlintas saat itu. Tapi ada hal lain yang bagus dari bacaan ini. Saya diajak untuk mengenal sosok "budi". Sebagai seorang anak tentu ini sangat mudah. Setelah mengenal tentang dirinya dengan "ini saya", memahami maksud "ini budi" tidak akan sulit. Sehingga melalui "ini budi", anak-anak tidak hanya belajar mengenal huruf dan membaca, tapi sekaligus juga memahami bacaan. Tapi memang, kecepatan masing-masing anak berbeda dalam mengenal huruf, membaca dan memahami bacaan. Menurut saya itu lumrah saja lah.
        Dalam belajar berhitung, di kelas 1 SD sudah mulai dikenalkan dengan angka sekaligus operasi penjumlahan. Ya, di samping membaca, di kelas 1 juga sudah diajarkan berhitung. Tapi, kembali lagi dengan lagu "dua mata saya", dengan sudah memahami angka menjadi mudah saat kita mengenalkan kepada anak-anak simbol dari angka-angka itu pada usia yang tepat, yaitu usia 6-7 tahun. Itu yang saya rasakan lho! Karena tinggal memindahkan angka yang sudah kita pahami menjadi simbol-simbol angka yang ada. Kalau kita mengerti bahwa dua (jambu) ditambah dua (jambu) sama dengan empat (jambu), maka setelah mengenal simbol dari angka dan lambang operasinya kita tinggal merubah apa yang kita pahami dalam simbol dan lambang menjadi: 2 + 2 = 4. Dan tidak akan ada lagi pertanyaan, kok bisa begitu?
        Mungkin ada yang bertanya, yang dipelajari sekarang dalam penjumlahan kan juga itu? Saya jawab, betul. Tapi sekarang ini, sedari TK anak-anak sudah dikenalkan pada simbol angka. Itu yang ingin saya tegaskan lagi, bahwa di TK tetap ajak anak untuk memahami angka-angka itu dari lagu-lagu dan dari permainan-permainan, tapi jangan dulu dikenalkan pada mereka seperti apa simbolnya. Dan menurut saya, mengenalkan simbol di usia yang tepat (6-7 tahun) akan lebih membuat anak lebih mudah memahami apa yang sedang dipelajarinya.
        Di bangku kelas 1 SD dulu, hanya ada dua pelajaran itu. Yaitu baca tulis dan hitung tulis. Maksudnya, membaca, lalu menyalin apa yang dibaca. Begitu juga dengan berhitung, setelah mengenal simbol-simbol angka, dilanjutkan dengan menuliskan simbol-simbol itu di buku tulis masing-masing. Lalu bagaimana dengan pelajaran lainnya? Pelajaran lainnya memang ada di kelas-kelas berikutnya, seingat saya kelas 3 SD (bisa diralat, mungkin saya lupa atau terlewat, soalnya saya tidak menempuh kelas 2 waktu SD).
        Nah, berikutnya berhubungan dengan moral. Sekolah saya di desa, tahun 86 masih sangat "desa" di wilayah bagian barat Situbondo. Listrik baru mau akan masuk saat itu. Namun, meski kelas 1 SD belum ada pelajaran PMP (sekarang PKN), guru dan sekolah sudah mengenalkan dengan pendidikan moral melalui interaksi sehari-hari. Upacara bendera tiap hari Senin juga mengenalkan kepada anak-anak tentang Pancasila. Sehingga ketika pelajaran PMP sudah diperoleh, yang ada anak-anak merasa bahwa rasa penasarannya selama mengikuti upacara terjawab melalui pelajaran itu.
        Nah, ini yang paling penting, waktu belajar anak. Dengan hanya ada dua pelajaran, plus muatan yang tidak begitu padat, maka jam belajar pun tidak dibutuhkan terlalu banyak. Sehingga sebelum duhur, anak SD sudah bisa pulang ke rumah. Bahkan ketika kelas 1 SD, anak-anak bisa pulang cukup jauh sebelum waktu duhur tiba. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena di usia 6-12 tahun, anak-anak sangat membutuhkan tidur siang, meski hanya sebentar. Di samping itu, sebagai muslim, disunnahkan untuk melakukan istirahat siang ini, tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga orang dewasa. Jadi orang tua bisa sejak dini membiasakan anak-anak untuk mengikuti tuntunan Rosulullah.
        Menurut saya ini sangat logis, karena anak-anak sudah harus bangun di kisaran jam 4 - 5 pagi. Mengapa sepagi itu? Iya lah, bukankah mereka juga harus sholat subuh? Kalau mereka selesai belajar di sekolah jam 11 atau jam 12, berarti mereka sudah terjaga dan beraktivitas selama 6 - 7 jam. Sudah waktunya otak dan tubuh diberikan kesempatan untuk istirahat. Dan istirahat yang disunnahkan adalah tidur walau hanya sebentar.
        Bagaimana dengan sekolah fullday? Ini masih pengalaman masa kecil saya. Sebagai anak yang hidup di desa, setelah pulang sekolah di jam yang masih relatif pagi (jam 10), bukan berarti tugas belajar saya selesai. Sebelum duhur saya pulang, dan sebelum atau sesudah sholat duhur saya tidur. Namun jam setengah dua siang saya harus bangun, karena saya harus mengikuti program diniyyah. Dimulainya sekitar jam setengah dua hingga jam dua, tergantung banyaknya anak yang datang, dan berakhir jam empat atau setengah lima, ini juga tergantung mood anak-anak sama yang mengajar. Ya, memang program ini non formal, tapi kalau serius mengikutinya, banyak manfaat yang bisa diperoleh, minimal mau mendengarkan lah...
        Apakah aktivitas belajar saya sudah selesai? Belum... Setelah mandi sore, sebelum masuk waktu maghrib saya harus berangkat ke musholla, untuk belajar ngaji (baca: baca Qur'an). Kegiatan ini berakhir hingga usai sholat isya'. Wah, kegiatan belajar saya dulu lebih fullday daripada program fullday yang ada sekarang ya? Tapi, apakah saya merasa lelah? Jawabannya tidak, karena waktu bermain di sela-sela belajar saya cukup banyak. Dan saya juga mempunyai teman bermain yang banyak, karena teman sekelas saya di SD belum tentu sekelas di diniyyah. Begitu juga dengan teman ngaji, di dalamnya berkumpul anak-anak dari kelas 1 hingga kelas 6 SD, tapi semuanya perempuan. Di desa saya, musholla untuk ngaji anak perempuan berbeda dengan musholla untuk ngaji anak laki-laki.
        Jadi, kesimpulannya, SD yang saya idamkan adalah sebuah sekolah yang memang diperuntukkan bagi anak-anak, dengan jam belajar yang pendek dan beban belajar yang juga tidak berat. Selain itu, anak-anak harus tetap mendapatkan jam tidur siangnya. Kalau ada program fullday juga tidak masalah, seperti yang biasa ada dalam sekolah terpadu. Tapi anak-anak harus diberi waktu untuk istirahat siang dengan tidur, bukan bermain. Karena tidur sebentar sekali pun tetap berbeda dengan bermain. Lha, kok jadi ruwet ya? Namanya juga sekolah idaman saya...

(bersambung, insya Allah...)

Thursday, November 6, 2014

"Sekolah Ideal" Idaman Saya (bagian 1)

Aktivitas anak saya (berkerudung) bersama teman-temannya usai berkebun di sekolah

        Membahas tentang sekolah yang ideal, pasti setiap orang punya pendapat masing-masing. Dan tulisan ini murni merupakan pendapat saya pribadi mengenai sekolah ideal yang saya idamkan. Saya menulis berdasarkan pengalaman pribadi saya dan merupakan buah pikir dari perjalanan saya dalam menempuh dunia pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga bangku kuliah. Berikut ini saya ulas satu persatu ya, mulai dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi.

1. Taman Kanak-kanak (TK)
        Sebelum mengenal dunia sekolah, saya menghabiskan waktu dua tahun di TK. Jangan dibayangkan bahwa "suasana" TK saya dulu sama dengan TK sekarang pada umumnya. Di TK saya dulu belum diajari membaca dan menulis. Bahkan dikenalkan dengan huruf pun tidak. Saya hanya bermain-main dan bernyanyi. Mungkin karena usia yang masih berkisar antara 4-6 tahun, sampai hari ini saya masih ingat dan hafal beberapa lagu yang pernah diajarkan waktu di TK. Kadangkala guru mengajak saya dan teman-teman bermain di luar kelas. Itu sangat menyenangkan. Tapi aktivitas di dalam kelas pun sangat saya sukai, karena hampir kebanyakan adalah aktivitas fisik, seperti: bermain balok dan bermain puzzle.


        Kalau berhitung, secara tidak langsung guru saya mengajarinya. Seperti menunjukkan kepada saya dan teman-teman berapa roda sepeda dan berapa roda mobil. Tapi saya belum dikenalkan dengan simbol angka. Masih ingat kan lagu "dua mata saya"? Nah, guru saya benar-benar menyanyikan lagu itu dengan setulus hati sambil menunjukkan bagian-bagian yang disebutkan dalam lagu itu. Dan hasilnya, saya mengerti yang dimaksud dua itu "berapa" dan satu itu "berapa", tanpa saya harus mengenal angka. Sesekali guru saya meminta saya atau teman-teman untuk tampil menyanyi di depan kelas. Sepertinya, karena kebiasaan itulah, sejak kecil saya termasuk anak yang cukup percaya diri. Entah bagaimana dengan teman-teman yang lain. Tapi, jangan dilihat dari sisi "sombong"nya ya... Lihatlah bagaimana pengajaran itu bisa begitu bermakna!

        Jadi, TK ideal menurut saya, adalah TK yang di dalamnya anak-anak betul-betul diperlakukan seperti anak-anak. Yaitu seorang manusia kecil yang lebih banyak suka bermain. Dengan kata lain, di sekolah kegiatannya ya "hanya" bermain. Dan dengan aktivitas-aktivitas yang bisa memupuk rasa percaya diri anak dan mengasah kemampuan anak dalam berbicara serta memahami apa yang dibicarakan oleh orang lain. Anak-anak tetap mendapat "beban" belajar, tapi belajar dari aktivitas melihat, mendengar dan merasakan sesuatu, bukan dari membaca. Ketika anak memahami "dua" itu seperti apa, anak akan mengerjakan apa yang kita suruh dengan benar, seperti mengambil dua buah jeruk, tanpa mereka harus tahu simbol angka "dua" itu seperti apa. Bahkan penjumlahan dan pengurangan pun bisa dikuasai anak tanpa mereka harus mengenal simbol angkanya. (Saya dulu sudah membuktikannya, lho!)

(bersambung, ditunggu ya..., laptop harus menjalankan tugas lain.)

Tuesday, November 4, 2014

Nikmat di Balik Musibah

"Tidaklah Allah memberi ketetapan pada kita, melainkan ketetapan itu pastilah yang terbaik untuk kita."

       Bagi saya, ungkapan itu bukan ungkapan sederhana. Mungkin mudah untuk memahami maksudnya, namun setiap kali ketetapan Allah datang menghampiri saya, selalu saja memunculkan respon yang sedikit berbeda pada awalnya. Meskipun pada akhirnya saya bisa menerima ketetapan itu dan mengembalikan semuanya hanya pada Allah. Karena itulah, saya tidak berhenti untuk selalu mengingat ungkapan itu dan terus menerus menanamkan keyakinan di dalam hati, bahwa setiap ketetapan Allah buat saya, pastilah baik buat saya.
       Begitu pula halnya saat saya dan suami mengalami kejadian yang di luar kuasa kami sekitar dua bulan yang lalu. Kala itu kami dalam perjalanan kembali dari Malang menuju Jakarta. Di tengah perjalanan, karena rasa lelah dan kantuk yang tidak dapat ditahan, suami memilih berhenti untuk istirahat. Saya yang memang sudah lebih dulu terlelap beberapa saat sebelum berhenti, dalam keadaan setengah tersadar sempat bangun, namun akhirnya tidur lagi. Sementara suami saya, sudah bisa dipastikan dia tidur, karena memang berhenti tujuannya untuk tidur.
       Beberapa saat kemudian saya terbangun. Dan entah secara tiba-tiba perasaan tidak enak muncul sembari saya langsung membangunkan suami dan menanyakan dimana handphone-nya. Setelah dicari tidak juga ditemukan, saya pun menanyakan dimana dompetnya. Tidak biasanya, dompet itu justru ada di depan saya, dan benar saja, uangnya sudah tidak ada. Alhamdulillah, semua kartu masih lengkap, meski uang yang tidak seberapa itu hilang, karena memang suami jarang bawa uang banyak. Biasa, saya bendaharanya. Jadi saya yang pegang uang. Kalau suami butuh membeli sesuatu, tinggal minta ke saya. Dan HP yang raib juga HP jadul yang chasing-nya terdiri dari tiga unsur. Body bawaan HP yang asli, keypad dan bagian belakang berasal dari HP saya yang sudah rusak namun satu tipe, dan bagian depan adalah chasing hasil beli yang bagian lainnya sudah rusak. (Hehe..., komplit rusaknya, dijamin nyesel deh yang ngambil...)
       Setelah beberapa saat terdiam dan tidak habis pikir peristiwa itu bisa terjadi, mengingat kami berhenti di sebuah pom bensin, saya minta suami untuk mengecek tas yang ada di jok belakang. Setelah jok belakang di-ubek-ubek sampai ke bawah, ternyata tas suami raib, tentu saja bersama seluruh isinya. Di dalamnya ada laptop (yang batray-nya bermasalah), alat tulis suami untuk mengajar, dan satu set pakaian suami, lengkap dari luar sampai dalam. Tapi alhamdulillah..., mungkin karena tampangnya yang lusuh dan bagian luarnya terdapat tulisan Pondok Pesantren Ibnu Abbas (tas itu memang dari PPIA ketika anak saya ikut PPDB di sana), tas yang berisi barang-barang saya tidak dibawa. Padahal isinya juga laptop (malah lebih bagus dari milik suami), dan ada kamera digital. Dompet saya yang berada di tengah, di sisi hand rem dan tidak sengaja tertutupi sweater suami, juga masih ditakdirkan tetap menjadi milik kami. Begitu juga tablet saya yang sebelum kejadian saya simpan di dashboard, mungkin juga belum waktunya pindah tangan. SubhanAllah...
       Adakah yang tidak harus kami syukuri? Rasanya terlalu banyak nikmat yang Allah berikan dibalik peristiwa itu. Nikmat paling besar yang kami rasakan adalah, dua anak kami yang tertidur lelap di kursi tengah masih Allah percayakan untuk berada dalam pengasuhan kami. Kami menganggap peristiwa itu sebagai pengingat agar kami mau (kembali) berbagi dengan sesama, dan lebih hati-hati dalam menjaga amanah yang Allah titipkan pada kami. Dan kami juga menganggap bahwa segala sesuatu yang hilang dan terlewat dari kami, mungkin sejatinya memang bukan ditetapkan untuk diamanahkan kepada kami. Insya Allah ada orang lain yang lebih amanah dan lebih bisa menjaga barang-barang itu.
       Dan bagi saya pribadi, dengan hilangnya laptop suami, maka saya harus mengikhlashkan laptop saya sementara waktu dipakai oleh suami sampai suami bisa membeli laptop yang baru. Belum bisa dipastikan kapan, karena masih banyak kebutuhan lain yang perlu diprioritaskan. Alhasil waktu yang biasanya saya habiskan di depan laptop jadi berkurang. Karena saya hanya bisa menggunakan laptop itu di atas jam 10 malam atau pada hari minggu saja. Sementara di hari-hari biasa hanya bisa digunakan pas suami tidak mengajar atau laptop sedang tidak dibutuhkan oleh suami (seperti saat ini). Sehingga waktu-waktu yang biasa saya habiskan di depan laptop bisa saya manfaatkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang tertunda penyelesaiannya, seperti menyetrika. Saya juga bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak-anak. Alhamdulillah...
       SubhanAllah, ternyata dari kejadian yang "kurang menyenangkan" itu, masih ada nikmat yang bisa kita rasakan, dan dari setiap peristiwa yang Allah tetapkan bagi kita pasti ada hikmah di baliknya. Jadi, tetaplah bersyukur dengan semua keadaan yang Allah tetapkan bagi kita.

Friday, October 24, 2014

MAHAR

"Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang sholihah"

         Dalam memilih calon suami/istri, Rosulullah berpesan agar menjadikan agama sebagai alasan yang utama. Bagi wanita, memilih calon suami yang baik agamanya (sangat) mutlak dibutuhkan. Karena suami adalah imam yang akan menjaga dan membimbing keluarganya selama di dunia. Bagi laki-laki, memilih calon istri yang baik agamanya juga (sangat) diperlukan. Karena di tangan seorang istri-lah nantinya suami menitipkan anak-anak dan hartanya selama sang suami menunaikan kewajiban mencari nafkah, yang kemungkinan akan lebih banyak berada di luar rumah.
         Sebelum terjadi pernikahan, tentunya ada proses dan beberapa syarat yang mesti disiapkan. Umumnya laki-laki merupakan subyek, yang lebih aktif mencari calon istri, melihat dan mencari informasi yang cukup mengenai wanita yang ingin dinikahinya, dan yang datang untuk meminang si wanita. Sementara wanita (lebih) sebagai obyek, yaitu yang didatangi untuk dilihat, dan menunggu hingga ada yang datang untuk meminangnya, tentu saja dengan tetap memiliki kewenangan untuk mengetahui siapa laki-laki yang datang meminangnya, sehingga wanita pun (diharapkan bisa) mengetahui laki-laki itu sholih atau tidak. Namun, tidak dilarang seorang wanita datang untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang sholih, seperti pernah terjadi di zaman Rosulullah. Akan tetapi hal itu tidak merubah syarat sah yang harus dipenuhi dalam pernikahan. Yang salah satunya adalah MAHAR, atau kalau di Indonesia dikenal sebagai mas kawin.
         Yang wajib mengeluarkan mahar adalah pihak laki-laki. Meski ada wanita yang datang menawarkan diri untuk dinikahi, tetap saja ketika menikah, pihak calon suamilah yang wajib memberi mahar. Dalam salah satu hadits, disebutkan bahwa wanita yang baik adalah yang paling mudah (bukan murah) maharnya. Kenapa wanita? Karena yang menentukan mahar adalah dari pihak wanita. Boleh saja laki-laki menawarkan sesuatu sebagai mahar, namun tetap harus dengan persetujuan pihak wanita.
         Kembali pada pesan Rosulullah tentang pedoman memilih calon suami/istri, kalau wanita sudah mendapati ada laki-laki sholih yang datang meminangnya, yang baik adalah wanita itu menerima dengan mahar yang mudah. Yaitu mahar yang sesuai dengan kadar kesanggupan laki-laki tersebut. Atau kalau laki-laki itu menawarkan sejumlah mahar, maka terimalah mahar itu sebagai pemberian yang baik. Karena jika terjadi penolakan dari si wanita, belum tentu yang datang setelah itu adalah laki-laki yang sholih. Terkait dengan hal ini, ada hadits lain yang menjelaskan bahwa wanita yang menolak pinangan laki-laki yang sholih, maka akan datang fitnah kepada wanita tersebut.
         Dan bagi laki-laki, sekiranya dia sudah menemukan wanita sholihah sebagai calon istrinya, maka sudah sepantasnyalah laki-laki itu memberikan mahar yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Apalah arti 500 ekor unta dan kebun yang luas bila dibandingkan dengan perhiasan terbaik dunia yang akan diperolehnya nanti. Toh, mahar itu juga diberikan kepada wanita yang akan menemaninya seumur hidupnya, wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Yang boleh jadi (mahar itu) akan kembali kepadanya karena kesholihahan wanita yang dipilihnya sebagai istri. Adakah yang disayangkan dari memberi mahar terbaik kepada wanita yang sholihah???
         Jadi, wahai muslim, berilah yang terbaik dari apa yang kamu punya sebagai mahar untuk wanita sholihah yang kamu pilih sebagai teman hidupmu di dunia sekaligus calon ibu dari anak-anakmu. Dan untukmu wahai muslimah, ambillah yang terbaik dari apa yang mampu diberikan oleh laki-laki sholih yang akan menjadi teman hidupmu di dunia sekaligus calon ayah dari anak-anakmu.

Wallahu a'lam...

Monday, September 8, 2014

Qishaash


Pada beberapa kasus pembunuhan (pembunuhan murni atau penganiayaan yang berakhir dengan hilangnya nyawa), sebagian besar pihak korban merasa tidak puas dengan vonis yang dijatuhkan terhadap si pelaku. Seperti yang baru-baru ini terjadi, yaitu kasus penganiayaan terhadap siswa salah satu SMU di Jakarta. Muara dari ketidak puasan itu adalah adanya ketidak-adilan di dalam hukum.
Sejak 14 abad yang lalu, islam sudah mengatur hukum tentang perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang melalui qishaash. Allah berfirman dalam Qur’an surah Al Baqarah ayat 178, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Menurut catatan kaki ayat tersebut yang terdapat dalam Qur'an Robbani, qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, yaitu dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, yaitu dengan tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Allah menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
 Dalam ayat selanjutnya, yaitu Al Baqarah 179, Allah menjelaskan, “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”
Subhanallah, sungguh indah agama ini mengatur hukum bagi manusia. Bahkan dalam kasus pembunuhan, Allah secara tidak langsung menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak-pihak yang terkait, yaitu antara pelaku dan korban pembunuhan melalui syariat qishaash. Sehingga pihak korban sebagai pihak yang kehilangan anggota keluarganya karena terbunuh, akan merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan. Karena pelaku akan mendapat balasan setimpal dari perbuatannya, sekiranya pihak korban merasa berat untuk memberi maaf kepada pelaku. Dan kalau pihak korban memaafkan pelaku dan memilih untuk menerima diat saja (secara wajar tentunya), maka diat itu bisa menjadi hiburan bagi pihak korban yang terbunuh. Bagaimana pun, diat yang umumnya berupa harta atau sejumlah uang itu, tetap merupakan sesuatu yang bisa memberi kesenangan bagi manusia, karena memang begitulah kecenderungan manusia (terhadap dunia). Meski pun tentu bukan itu yang dicari, karena kehilangan anggota keluarga tetap merupakan hal yang berat. Tapi manusia juga tidak mungkin menghindari apa-apa yang sudah menjadi ketetapan Allah.
Sebelum pelaksanaan qishaash, tentu ada pihak-pihak terkait yang akan  melakukan investigasi. Sebagaimana sidang-sidang yang biasa dilakukan di negeri ini, ada pengadilan yang akan menetapkan benar atau tidak bahwa si pelaku telah melakukan pembunuhan. Salah satu syarat yang wajib dipenuhi adalah dengan menghadirkan setidaknya dua orang saksi laki-laki yang adil, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Setelah pelaku terbukti bersalah melakukan pembunuhan, barulah kemudian bisa ditetapkan sanksinya, dengan qishaash atau dengan membayar diat.
Hikmah diterapkannya qishaash adalah manusia menjadi lebih hati-hati dan berpikir ulang sebelum dia memutuskan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Karena resikonya adalah dia juga akan dihukum mati atau harus membayar sejumlah uang kepada pihak ahli waris dari orang yang dibunuhnya. Sehingga dengan begitu, in sya Allah bisa tercapailah apa yang kita kenal dengan rahmatan lil alamin.

Tuesday, August 26, 2014

Syeikh Muhammad, Zawjiy and Si Bungsu


Saking semangatnya pingin motret buat kenang-kenangan pernah bertemu Syeikh Muhammad, saya sampai lupa tidak minta dipotret bersama istri beliau kepada suami. Padahal pertemuan ini bermula saat saya dan istri beliau sama-sama lagi duduk-duduk di dekat pintu keluar Batu Secreet Zoo, areal Jatim Park 2. Kami duduknya jejer dan cukup dekat.
Di awal pertemuan, beberapa saat kami sama-sama diam. Kemudian saya melempar senyum, dan kami saling memberi salam. Tapi, setelah itu saya bingung mau bilang apa. Mengingat, saya belum bisa bahasa arab, dan bahasa inggris juga masih pas-pas-an. (Huhu..., balada ibu yang cuma bisa ber-bahasa indonesia, itu saja masih banyak melanggar EYD! Hehe...)
Setelah kembali terdiam beberapa saat, keluar juga sapaan dari mulut saya, "Eee, where do you come from?". (Kalau ingat kejadian ini, saya masih ingin ketawa sendiri, ini orang Arab sono, ditegurnya pakai bahasa inggris? Haha, gak salah tuh?)
Dan istri beliau menjawab, "...Riyadh", yang kemudian disambung dengan pertanyaan berbahasa arab, blablabla..., panjang banget.
Buru-buru saya jawab, "Afwan, laa adri...", sambil senyum-senyum.
Selanjutnya, kami terus berbincang-bincang, tentu saja menggunakan 4 bahasa yang saya tahu (bukan kuasai lho, ya!). Yaitu Indo, Arab, Inggris plus bahasa isyarat, karena istri beliau juga pas-pas-an bahasa inggrisnya. Kebayang kan, bagaimana jadinya? (Hehe..., kayak gado-gado...) Maka dari itu, judul cerita ini pun saya tulis dalam tiga bahasa.
Namun, keterbatasan bahasa yang “kami” (saya aja kalee...) miliki, tidak menghalangi kami untuk ngobrol lebih banyak. Dari obrolan “terbatas” itu saya jadi tahu, kalau kami sama-sama sedang menunggu suami masing-masing yang lagi sholat  ashar, tapi istri beliau tidak tahu kalau saya juga sedang menunggu suami saya.
Lalu suami saya datang, dan saya ceritakan kepadanya tentang wanita berpakaian serba hitam dan bercadar yang ada di sebelah saya.
 “Ooo, berarti yang ngimami sholat ashar di musholla itu..., tapi ayah sudah selesai, beliau (Syeikh Muhammad) baru datang.”, kata suami saya.
Tidak heran kalau orang-orang meminta beliau jadi imam sholat, lihat saja penampilan beliau di foto itu. Dan memang, kedatangan beliau ke sini (Indonesia), dalam rangka menjadi imam sholat tarawih di salah satu mesjid di daerah Puncak Dieng, Malang. Beberapa mesjid di Malang memang sudah biasa mendatangkan ulama-ulama dari luar saat ramadhan tiba, seperti dari Mekah, Yaman dan Palestina. Ada yang hanya beberapa hari, tapi ada juga yang sampai satu bulan penuh. Eh, back to my story...
Beberapa saat kemudian, Syeikh Muhammad muncul, dan langsung berbicara dengan istri beliau. Setelah memberi salam, suami berjabat tangan dengan beliau, dan berpelukan... (Kebiasaan orang arab nih, apalagi sesama muslim.) Lalu dimulailah obrolan antara saya, suami saya, Syeikh Muhammad dan istri beliau.
Sambil menunjuk Zangi, anak saya yang bungsu, Syeikh Muhammad bertanya dalam bahasa arab kepada suami, apakah anak itu putranya? (Ya, nyebut-nyebut ibnu-ibnu gitu...)
Saya jawab, “Na’am, huwa ibnu Amin”, dengan cukup pe-de. Karena saya “kebetulan” ngerti apa yang ditanyakan dan tahu mesti jawab apa.
Lalu beliau menanyakan, apakah saya juga putrinya?
Haha, saya menahan tawa dan segera menjawab, “La, la, huwa zawjiy...” Sambil mikir juga sih, hehe. Semuda itukah saya, sampai dikira anak dari suami sendiri. (Benerin kerudung dulu deh, biar tambah kelihatan lebih muda gitu lho...)
Obrolan berlanjut... Beliau pun menanyakan anak saya semua berapa? Yang lain sekarang dimana? Bersama siapa? Macam-macam deh. Sampai menanyakan maksud dari sms berbahasa indonesia yang dikirim oleh seseorang ke HP beliau. Suami sih senyum-senyum saja. Kalau bahasa arab, ya, lumayan lebih bisa saya lah (dikit...) daripada suami. (Hehe, maaf ya sayang..., setelah ini kita belajar bahasa arab sama-sama, yuk? Kesempatan buat ngerayu nih, biar dibolehin ikut kursus bahasa arab.)
Pas suami lagi pergi, karena mengikuti si bungsu yang berlarian kesana kemari, Syeikh Muhammad pergi ke sebuah kedai tidak jauh dari tempat kami. Kemudian beliau kembali dengan membawa 4 gelas plastik jus jeruk, 2 untuk beliau dan istri, yang 2 lagi untuk saya dan suami.
Jadi ingat, betapa luar biasanya orang arab kalau sedang menyambut tamu. Seolah pantang bagi mereka tamunya tidak mendapati apa-apa saat berkunjung ke rumahnya. Ini kami hanya bertemu di tempat umum, Syeikh Muhammad sudah membelikan kami jus jeruk. Bagaimana kalau saya berkunjung ke rumah beliau ya...? (Haha, ngarep.) Mestinya kan saya yang melayani beliau, karena beliau tamu di sini (Indonesia), dan saya adalah tuan rumahnya. Jadi malu... (Hihi..., tutup muka pake apa ya?)
Setelah kami sama-sama minum jus jeruk, dari kejauhan terlihat rombongan Syeikh Muhammad yang lain. Maka beliau dan istri pun pamit, dan memberi salam pada kami. Kami menjawab salam beliau dan menutup dengan satu kata pamungkas, “Jazakumullah khoir, ya Syeikh...” Beliau dan istri pun tersenyum sembari berlalu dari hadapan kami.
Sungguh pertemuan yang berkesan buat kami. Kami tidak mungkin bisa “ngobrol” banyak dengan Syeikh Muhammad, meski kami bisa bertemu beliau di masjid setiap malam selama ramadhan. Karena urusan dan suasananya jelas berbeda, ditambah kami tidak bisa bahasa arab untuk mengajak beliau ngobrol. Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi pertemuan ini, dan semoga lain waktu kami dipertemukan kembali dalam suasana yang penuh dengan keimanan. Dan yang tidak kalah penting, semoga saat itu tiba, saya sudah lancar berbicara dalam bahasa arab. Aamiin...