Monday, June 9, 2014

Saya dan Buah Mangga


       Do you like mango? Kalau saya yang ditanya, saya bingung mau menjawab apa. Kalau saya bilang suka, mungkin saya akan selalu memburu buah mangga bila musimnya tiba. Padahal saya tidak sampai melakukan hal itu. Dan kalau saya bilang tidak suka, rasanya juga kurang tepat, karena saya bisa menghabiskan satu buah mangga berukuran besar sendirian dalam sekali santap. Apalagi mangga yang masak di pohon. Hmm, it's so delicious...
       Mangga sudah menjadi bagian dari kehidupan saya. Karena saya lahir dan dibesarkan di salah satu kabupaten penghasil mangga yang ada di Jawa Timur, yaitu kabupaten Situbondo. Saya dan orang tua tinggal di salah satu desa yang berada di bagian barat kawasan Situbondo. Untuk ukuran di desa, pekarangan rumah tempat saya tinggal tidaklah terlalu luas, tapi masih cukup menampung sekitar 15-an lebih pohon mangga berbagai jenis kala itu. Diantaranya ada mangga gadung, manalagi, golek, madu jawa, kweni, dan mangga "aneh". Kami menyebutnya mangga "aneh", karena rasanya yang tidak sama pada satu pohon, kadang sangat manis, tapi juga kadang sangat kecut.
       Sejak kecil, mangga sudah menjadi "camilan" favorit saya. Kalau sudah musim mangga, hampir setiap hari saya makan buah mangga. Mangga muda biasanya saya bikin "rujak", dengan bumbu dari yang simple, yaitu dengan ulekan lombok dan garam, hingga bumbu yang membutuhkan bahan lebih banyak, seperti bumbu rujak manis. Rasa mangga sangat tergantung pada jenisnya. Yang paling saya sukai untuk dibuat rujak adalah mangga golek, karena rasa asamnya segar dan daging buahnya renyah. Cara lain yang saya suka dalam makan buah mangga adalah dengan dibuat sambal mangga muda. Cara membuatnya sangat mudah, bisa dilihat di sini.
       Keseringan saya makan buah mangga, sempat mengganggu kesehatan saya. Waktu kelas 4 SD saya terkena tiphus yang lumayan serius. Saya sampai harus istirahat total selama 2 minggu lebih. Setelah sembuh dari sakit itu, saya dilarang makan mangga oleh dokter. Beruntung, larangan itu tidak untuk selamanya. Tapi saya benar-benar tidak boleh "menyentuh" mangga selama minimal 3 bulan jika ingin benar-benar sembuh dan bisa makan mangga sepuas hati lagi. Karena saya orangnya patuh, ya saya ikuti apa kata dokter yang melegenda dalam hidup saya itu. Mungkin dia satu-satunya dokter yang menjenguk pasiennya.
       Kembali ke buah mangga. Akhirnya saya bisa menikmati buah itu lagi setelah 3 bulan lebih saya tidak "menyentuh"-nya. Tentu saja saya bertahap memakannya. Dan kalau lagi tidak musim mangga, saya akan dengan penuh kesabaran menunggu sampai musimnya lagi tiba. Karena selalu ada keyakinan bahwa tidak lama lagi pohon-pohon mangga itu akan kembali berbuah.
       Banyaknya pohon mangga di tempat tinggal saya menjadi salah satu sumber ekonomi bagi orang tua. Dulu orang tua saya biasa menjual buah mangga dengan cara diborong satu pohon sekaligus untuk beberapa kali berbuah sesuai perjanjian. Tapi saat ini, sistem penjualan seperti itu sudah jarang dipakai. Orang tua memilih untuk menjual buah mangga untuk sekali petik saja. Kadangkala malah dijual per buah. Jadi setelah dipetik, buah mangga itu dihitung lalu dikalikan dengan harga yang sudah disepakati per buahnya. Hanya saja harga jual buah mangga kian hari kian merosot. Harga satu buah mangga manalagi saat ini hanya bisa dijual paling mahal Rp1500,00. Tidak jarang para tengkulak buah mangga menawar hingga Rp250,00 per buah. Padahal kalau saya membeli di supermarket, 1 buah bisa Rp10000,00. Beda banyak sekali kan?
       Sejak saya pergi merantau jauh dari Situbondo, orang tua sudah sangat jarang menjual buah mangga kecuali harganya benar-benar cocok dan meng-"hasil"-kan. Kalau buah mangga dibeli dengan harga yang cukup tinggi, barulah orang tua saya mau melepasnya. Kan lumayan buat menambah income untuk tambahan biaya sekolah dan biaya hidup sehari-hari. Kalau tidak, orang tua saya memilih untuk memanennya sendiri lalu di-packing untuk dikirimkan pada saya, yang tinggal jauh di rantau. Lumayan, daripada harus membeli. Apalagi tempat tinggal saya sekarang tidak ada pohon mangganya. Satu-satunya cara untuk bisa memperoleh buah mangga ya hanya dengan membeli.
       Saat ini, pohon mangga di rumah orang tua saya sudah tidak sebanyak dulu. Karena sebagian tanah pekarangan digunakan untuk mendirikan bangunan. Pohonnya juga tidak besar-besar, karena pohon mangga yang ada sekarang merupakan pohon hasil mencangkok dari yang ada dulu. Jenisnya juga hanya tersisa 3 dari 6 jenis yang pernah ada. Tapi pohon mangga yang tersisa masih lebih dari cukup untuk bisa menikmati buah mangga sampai puas. Dan karena kalau membeli buah mangga di toko buah cukup mahal, maka saya memilih untuk menunggu saat musim buah mangga tiba untuk bisa menikmatinya. Yaitu dengan cara pulang kampung atau minta kiriman paketan mangga dari kampung, yang selisih harganya masih lumayan jauh bila dibandingkan dengan harus membeli di toko. Sementara pohon mangga di kampung belum berbuah atau buahnya belum tua, maka saya memilih bersabar untuk menunggunya berbuah dan matang di pohon. Karena rasanya akan lebih manis, lebih segar dan lebih lezat.
       Jadi, saya termasuk yang suka buah mangga atau tidak ya...?      


Thursday, June 5, 2014

Sambal Mangga Muda




Bahan:
-          1 buah mangga muda ukuran kecil/sedang
-          1 buah cabe rawit (kalau suka pedas bisa ditambah)
-          1 siung bawang putih (yang kecil saja)
-          Terasi, garam dan gula secukupnya

Cara buatnya:
Semua bahan kecuali mangga, dihaluskan.
Mangga dipotong-potong seperti batang korek api.
Lalu masukkan ke dalam bahan-bahan yang sudah dihaluskan tadi.
Sambal mangga muda yang simple, siap untuk disantap.

Catatan:
·         Jika tidak suka dengan bawang putih mentah, tinggal digoreng saja sebelum dihaluskan.
·         Rasa dan tekstur sambal mangga sangat dipengaruhi oleh jenis dan tingkat kematangan mangga, serta kesegaran buah mangga yang digunakan. Selamat mencoba!