Showing posts with label ODOP. Show all posts
Showing posts with label ODOP. Show all posts

Tuesday, April 26, 2016

Pantaskah Untuk Tidak Bersyukur?

Dalam beberapa hadits, Rasulullah beberapa kali menyebut, "Demi Dzat, yang jiwaku dalam genggaman-Nya." Dimana Dzat yang dimaksudkan oleh Rasulullah tentu saja adalah Allah Azza wa Jalla. Benar saja, Allah adalah penggenggam seluruh jiwa. Tak bisa dipungkiri, bahwa segala penentu hidup dan mati manusia adalah dalam kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak seseorang untuk tidak bangun lagi setelah tidurnya, maka jadilah orang itu tidak lagi bernyawa.

Akan tetapi, pernahkan kita menyadari bahwa penentu kehidupan setelah manusia pulas dalam tidurnya juga adalah kekuasaan Allah. Dengan seseorang bisa terbangun (lagi) di pagi hari, itu menunjukkan bahwa Allah mengembalikan jiwa orang itu ke dalam raganya. Yang beberapa saat sebelumnya, jiwanya ada dalam genggaman Allah.

Tidak hanya saat kita tertidur, ada keadaan lain di mana seseorang mengalami kehilangan kesadaran. Baik sesaat dalam hitungan detik saja, atau dalam waktu yang lama seperti seseorang yang mengalami pingsan atau koma. Hanya karena kuasa dan kehendak Allah sajalah jiwa seseorang bisa kembali ke dalam raganya. Tidak ada satu pun manusia yang bisa mengetahui, apakah dia bisa bangun lagi setelah tidurnya? Apakah dia bisa sadar kembali setelah pingsan atau komanya? Dan apakah seseorang bisa "selamat" setelah mengalami kejadian yang secara logika sungguh mengancam jiwanya?

Ketika seseorang selamat dari suatu peristiwa yang mengancam jiwanya, apa yang terpikir olehnya? Apa yang seharusnya pertama kali terucap dari lisannya? Terkadang manusia lupa, bahwa Allah-lah yang telah menyelamatkannya. Tidak sedikit dari mereka yang berkata, "Untung aku sigap menghadapi situasi darurat tadi, kalau tidak, nyawaku pasti melayang." Begitulah! Manusia merasa keselamatan itu diperoleh karena kehebatannya, dan lupa dengan keberadaan Robb-nya.

Ketika jiwa seseorang melayang, lebih mudah bagi manusia untuk mengatakan, "Semua terjadi atas kehendak Allah." Namun saat seseorang terselamatkan jiwanya, manusia seolah-olah lupa bahwa yang terjadi itu juga tidak lepas dari kehendak Allah, karena kasih sayang-Nya. Dimanakah rasa syukur kita? Setiap pagi terbangun dan bisa kembali menghirup udara pagi, adakah kita ingat untuk berterima kasih pada-Nya?

Kembali pada ucapan Rasulullah, "Demi Dzat, yang jiwaku dalam genggaman-Nya." Tersimpan makna yang dalam dari ucapan itu. Ada kesadaran dalam diri bahwa yang menentukan hidup dan mati seseorang ada di tangan Allah. Dengan begitu, bisa melahirkan rasa syukur atas setiap nikmat berupa kehidupan yang dianugerahi-Nya. Dan sudah sepantasnya ungkapan syukur kepada Allah disampaikan oleh setiap yang masih hidup. Karena orang yang sudah mati, tidak akan (lagi) bisa bersyukur.

Jika Rasulullah saja, begitu besar rasa syukurnya kepada Allah, yang menggenggam jiwanya. Pantaskah kita yang hanya memiliki sedikit amal untuk tidak bersyukur kepada-Nya?


Pamulang, 26 April 2016, 20:20 WIB
*Alhamdulillah, atas semua nikmat yang Allah berikan

#OneDayOnePost
#42

Monday, April 25, 2016

Menanam Memberi Manfaat

panenan terakhir, cukup buat beberapa hari

Beberapa hari yang lalu, saya melihat berita tentang 'Cabenisasi' di kota Jakarta. Sempat bertanya-tanya sebelum beritanya ditayangkan, "Cabenisasi? Kira-kira tentang apa ya?" Ternyata memang tidak jauh dari dugaan saya. Ya, tentang cabe, alias ada hubungannya dengan cabe. Apakah itu?

Gerakan cabenisasi adalah sebuah gerakan yang diluncurkan oleh bapak walikota Jakarta. Bapak walikota menganjurkan kepada warganya untuk mulai menanam di rumah masing-masing, terutama menanam cabe. Apa pasal? Apalagi kalau bukan harga cabe yang terus merangkak naik beberapa bulan terakhir ini. Terlebih saat ini mulai mendekati bulan puasa. Sepertinya sangat kecil kemungkinannya harga cabe akan turun. Yang ada mungkin malah akan tambah naik. Begitu kira-kira pertimbangan bapak walikota meluncurkan gerakan tersebut.

Ngomongin tentang menanam, itu hobbi saya banget dah. Ya, sejak menikah, menanam menjadi salah satu hiburan bagi saya mengisi waktu luang sekaligus mengusir kebosanan selama di rumah. Menanam benar-benar mengasyikkan. Meski saya tidak punya lahan cukup luas untuk menanam, saya terus berusaha mencari cara agar bisa menanam. Waktu masih tinggal di Malang, saya malah tidak punya "tanah" sedikit pun. Jadi, semua tanaman saya tanam di dalam pot. Bukan hanya bunga yang berfungsi sebagai hiasan dan penyejuk mata. Tapi juga tanaman seperti lombok dan tomat. Bahkan saya sempat menanam buah waktu di Malang, yaitu buah tin dan buah melon. Di pot, lho!

Alhamdulillah... Sejak pindah ke Pamulang, Tangerang Selatan, ada sedikit tanah terbuka untuk ditanami. Tadinya berisi bunga-bunga yang hanya daun. Bunga tapi daun? Ya, tanaman hias yang lebih dimanfaatkan daunnya itu lho. Tapi tidak ada bunganya. Tapi perlahan-lahan saya kurangi, dan saya ganti dengan tanaman buah dan sayur. By the way, menanam buah dan sayur buat saya lebih terasa manfaatnya. Dua tahun saya tinggal di Pamulang, saya sudah pernah menanam pepaya California dan sempat panen untuk sekali musim buah. Gak kebayang deh, rasa puas saya. Menanam buah sendiri, saya bisa menunggu si buah sampai benar-benar matang sebelum dipetik. Jadi, buah pepaya yang saya petik, rasanya, amboooiii manisnya. Warnanya juga merah menggoda. Sangat berbeda dengan pepaya California yang biasanya saya beli.

Saya juga sempat menanam tomat meskipun gagal. Dia tidak tumbuh subur seperti yang diharapkan. Sempat berbuah, tapi kecil-kecil dan hanya beberapa biji saja. Setelah itu kering dan mati. Tapi tidak demikian halnya dengan kacang panjang dan lombok.

Kacang panjang yang saya tanam juga sukses seperti si buah pepaya. Bahkan buah kacang panjang yang dihasilkan gemuk-gemuk dan panjang. Lima lonjor kacang panjang saja sudah cukup untuk sekali tumis dan dimakan untuk satu keluarga. Sekali makan tentunya. Dan tidak lupa, sebagai tindakan berkelanjutan, buah pertamanya saya biarkan kering untuk persiapan benih menanam selanjutnya. Karena umur tumbuh kacang panjang tidak sepanjang buahnya, haha. Biasanya lama-lama pohon kacang panjang juga akan mengering sendiri seiring sudah tidak produktifnya si kacang panjang berbuah.

Naaah, yang asyik nih cerita si lombok. Saya menanamnya sudah lebih dari setahun yang lalu. Sebelum puasa tahun lalu saya sudah pernah panen buahnya. Dan masih produktif berbuah hingga saat ini, menjelang bulan puasa lagi. Alhamdulillah, semoga lombok itu bisa berkah dengan "tersebarnya" ke para tetangga. Tiap saya merapikan tanaman lombok itu, tetangga yang kebetulan lewat selalu berhenti dan memuji si lombok. (Eits, gak boleh takabbur, lho ya...) Kemarin malah ada tetangga yang ingin minta buahnya yang benar-benar tua untuk dijadikan bibit. Dan saya menjanjikan nanti kalau sudah ada yang merah lagi. Karena sekarang masih hijau-hijau setelah saya melakukan panen raya beberapa minggu sebelumnya.

sebelum dipanen, pohonnya melebihi tinggi pagar rumah

Berkah yang paling terasa dari si lombok, tentu saja saat harga si lombok melambung seperti saat ini. Sampai-sampai bakul sayur yang lewat depan rumah bilang, "Wah, enak mbak, nanam lombok sendiri, sekarang harga lombok mahal." Malah saya yang kaget! "Oya, Bu. Berapa harganya sekarang," tanya saya. Kata ibu bakul berkisar di enam puluh ribuan. Waw! Tinggi juga ya... Bukan apa-apa, sejak setahun yang lalu, saya memang tidak tahu berapa harga lombok, karena memang tidak pernah beli lombok lagi.

Pohon lombok saya memang hanya dua batang, tapi besar pohonnya lumayan lah. Tingginya sudah mencapai dua meter. Saya sampai harus menggunakan kursi jika akan memetik lombok yang ada di pucuk pohon. Dan saya tidak akan menebangnya sampai si lombok sudah tidak berbuah dan ada pohon pengganti yang menjadi generasi penerusnya. Kebayang kan, manfaatnya menanam. Menanam hanya sekali, tapi saya bisa panen lombok berkali-kali sepanjang tahun. Jadi, ayo menanam mulai sekarang.


Pamulang, 25 April 2016
*Ayo Bertanam

#OneDayOnePost
#41

Wednesday, April 20, 2016

Seru-seruan di Kampung Horta


Jam menunjukkan pukul 05.00 WIB.

"Zahra, bangun! Jadi jalan-jalan nggak?"
"Jam berapa ini, Bun?" Tanya Zahra yang langsung membuka mata setelah aku membangunkannya.
"Jam 5, masih ada cukup waktu untuk kamu siap-siap," jawabku.

Zahra pun bergegas bangkit dari tidurnya dan segera menuju ke kamar mandi. Saat akan bepergian seperti ini, Zahra memang mudah sekali dibangunkan. Dari dua hari sebelumnya dia berulang kali mengingatkanku agar tidak terlambat membangunkannya saat waktu jalan-jalan bersama teman-teman sekolahnya tiba. Begitu juga dengan hari ini. Jam tujuh nanti, dia dan teman-teman sekolahnya akan pergi ke Kampung Horta yang ada di kota Bogor, Jawa Barat.

Hmm, Kampung Horta. Dari namanya aku pikir pasti ada hubungannya dengan boneka Horta. Yaitu boneka yang dibuat dari serbuk gergaji kayu dan diberi benih-benih rumput pada bagian kepalanya. Dengan perawatan rutin, setelah beberapa hari benih itu akan tumbuh. Sehingga seolah-olah boneka itu mulai tumbuh rumput di kepalanya. Semakin hari rumput-rumput yang tumbuh akan makin banyak dan makin panjang. Tapi itu baru gambaran yang pernah aku dapatkan dari tayangan di televisi. Bagaimana bentuk aslinya, nanti aku akan mengetahuinya, karena aku turut pergi mendampingi Zahra dalam perjalanan kali ini.

"Kita akan mengetahuinya nanti," kataku kepada Zahra yang juga merasa penasaran dengan apa yang akan ditemukan dan dilakukannya di Kampung Horta nanti.

Kampung Horta bukan satu-satunya tujuan yang akan dikunjungi dalam perjalanan kala itu. Namun menjadi tujuan favorit yang sepertinya sudah ditunggu oleh Zahra dan teman-temannya. Entah gambaran seperti apa yang mereka dapat dari guru-gurunya sehingga mereka ingin bisa cepat-cepat sampai ke sana.

"Kampung Hortaaa..." Kata seorang guru pendamping yang ada di bus yang aku dan Zahra tumpangi begitu bus berhenti di suatu tempat.

Dari tempat parkir bus, kami harus jalan kaki menuju lokasi. Tidak terlalu jauh jaraknya, apalagi sesampai di lokasi, pemandangan hijaunya persawahan dan suasana tenang alam desa begitu kental terasa. Sesuatu yang tentunya baru dan menarik bagi Zahra dan teman-temannya yang sehari-hari hidup di antara hiruk pikuk macetnya kendaraan kota Jakarta. Semua anak-anak merasa takjub dengan apa yang telah dilihatnya.

"Bu, aku nanti boleh main air di situ?" Tanya salah seorang teman Zahra begitu melihat ada sepetak sawah yang belum ditanami dan terisi penuh air.
"Tentu saja, tapi sekarang kita masuk ke saung dulu, yuk," jawab bu guru.

Iya, di tempat itu ada saung yang cukup besar untuk tempat kami berkumpul dan meletakkan barang-barang bawaan. Dari saung itu, semua rangkaian kegiatan dimulai.

Setelah membuka acara, kegiatan pertama, anak-anak diajak membuat karya dari tanah liat. Rupanya mereka akan membuat tempat untuk meletakkan pensil yang dibentuk menyerupai gelas. Yaitu dengan memilin tanah liat menjadi seperti tali panjang, lalu membuat lingkaran-lingkaran dari pilinan tersebut. Kemudian lingkaran-lingkaran itu ditumpuk ke atas sampai didapat ketinggian yang cukup untuk menyimpan pensil di dalamnya.

Kegiatan berikutnya adalah menghiasi caping dengan cat. Anak-anak diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memberi gambar atau tulisan pada caping yang mereka dapatkan.

Selanjutnya, mereka menghias boneka Horta yang berbentuk beruang. Beruang itu belum memiliki alat indera. Anak-anak ditugaskan untuk melengkapi alat indera dan memberi aksesoris dengan menempel fanel yang sudah dibentuk sedemikian rupa ke tubuh si boneka beruang. Setelah selesai, anak-anak boleh menyimpan boneka Horta itu, dan membawanya pulang.

Tiga kegiatan telah dilalui Zahra dan teman-temannya dengan penuh suka cita. Ketiganya merupakan hal baru bagi mereka, karena itu adalah pertama kali mereka melakukannya. Tapi kegiatan belum selesai. Tiba waktunya kegiatan yang ditunggu-tunggu, seru-seruan di kolam sawah.

Setelah ganti baju, Zahra dan teman-temannya berjejer di pematang sawah, menunggu komando dari petugas Kampung Horta untuk memasuki kolam sawah. Kali ini Zahra dan teman-temannya akan menangkap ikan mas yang ada di kolam sawah dengan tangan kosong.

Setelah bunyi pluit, anak-anak pun nyebur dan mulai mencari-cari si ikan mas. Cukup lama waktu yang dibutuhkan Zahra untuk bisa mendapatkan ikan pertamanya. Menangkap ikan itu memang bukan perkara mudah, apalagi di air yang keruh dan penuh lumpur. Dibutuhkan kejelian mata memperhatikan dimana ikan-ikan itu berada. Keseruan makin bertambah begitu ada anak yang berhasil menangkap ikan mas. Yang lain pun jadi kembali bersemangat, termasuk Zahra.

Kegiatan mencari ikan mas pun dinyatakan selesai yang ditutup dengan kejutan istimewa buat Zahra. Dia berhasil menangkap dua ikan mas, terbanyak di antara anak-anak perempuan. Karenanya Zahra berhak memperoleh bintang pertamanya. Sebuah pin berbentuk bintang, meski kadang hanya terbuat dari kertas asturo, bagi anak-anak itu istimewa dan sangat berharga.

Aktivitas berikutnya masih di kolam sawah, tapi yang ditangkap kali ini adalah seekor bebek. Namanya bebek, kalau dikejar-kejar, ya pasti lari. Anak-anak pun berlari lebih cepat untuk bisa menangkapnya, termasuk Zahra. Berhasil mendapatkan bintang pertama memacu Zahra untuk bisa meraih bintang kedua. Dengan semangat berapi-api dia pun berhasil menangkap bebek sebanyak dua kali. Sekaligus menjadikan dia pemenang di antara anak-anak perempuan dan kembali mendapatkan bintang.

Setelah seru-seruan bersama ikan mas dan bebek, Zahra dan teman-temannya pindah ke kolam sawah sebelahnya. Di sana sudah ada dua ekor kerbau yang setia menunggu anak-anak dari tadi. Kegiatan kali ini tidak dilombakan. Anak-anak diberi kebebasan bersenang-senang dengan kerbau. Zahra tidak ketinggalan untuk turut serta. Bahkan dia termasuk yang pertama menerima tawaran untuk mandi lumpur bareng kerbau dan naik ke punggung si kerbau.

Akhirnya semua kegiatan di Kampung Horta itu pun usai. Zahra terlihat sangat puas dan senang. Wajahnya berbinar bahagia. Benar-benar menjadi kunjungan yang seru dan menyenangkan. Aku yakin, semua yang dilakukan Zahra hari ini akan menjadi kenangan indah di masa yang akan datang. Dan suatu saat Zahra akan rindu dengan semua kenangan itu. Seperti aku rindu akan masa kecilku dan terbayar setelah melihat Zahra bermain-main dengan puas hari ini.

Tiba saatnya kembali pulang. Zahra sangat bersemangat membawa sendiri oleh-oleh yang didapatnya dari Kampung Horta. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu ayahnya dan bercerita banyak hal. Tapi mungkin dia harus menunggu hingga ayahnya datang jam 9 malam nanti. Padahal jam 7 kami sudah sampai di depan rumah. Hanya saja, kami tidak bisa masuk rumah, karena aku lupa membawa kunci serep tadi pagi. Itu artinya, aku harus meminta ayah pulang dulu sebentar untuk menyerahkan kunci. Tentu saja kesempatan itu tidak disia-siakan Zahra untuk menceritakan semua pengalamannya hari ini yang super seru di Kampung Horta.


#OneDayOnePost
#38

Monday, April 11, 2016

Korban Salah Paham

Tidak semua pernikahan bisa berjalan mulus tanpa hambatan. Bahkan sangat sedikit sekali yang benar-benar tidak menemui batu sandungan. Karena ujian merupakan bagian dari hidup setiap manusia. Yang membedakan adalah bagaimana manusia menyikapi setiap ujian yang hadir mewarnai hidupnya. Bagi mereka yang tahan banting, seolah-olah dalam hidupnya tidak ada ujian sama sekali. Padahal ujian juga menghampirinya, dengan bentuk yang berbeda.

Kalau perceraian dianggap sebagai kegagalan, maka kakak pertama saya bisa dikatakan gagal. Meski perceraian tidak diinginkannya, toh akhirnya terjadi juga. Kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga kakak dan istrinya, sama sekali tidak bisa menjadi perekat untuk tetap bisa mempertahankan rumah tangganya. Konflik keluarga kakak justru meruncing dengan adanya campur tangan keluarga besar dari kedua belah pihak.

Dan setelah perceraian terjadi, kakak seakan-akan tidak diijinkan untuk bertemu putrinya sendiri oleh keluarga besar mantan istrinya. Mereka memberi pembatasan yang menurut saya sangat berlebihan. Setidaknya begitu kesan yang saya tangkap berdasarkan cerita dari saudara-saudara saya yang lain di kampung. Saya yang bertempat tinggal jauh, memang tidak tahu persis bagaimana asal muasal kejadian yang menimpa keluarga kakak.

Qodarullah, beberapa bulan setelah perceraian, mantan istri kakak meninggal dunia. Karena saya sedang tidak di kampung, saya hanya bisa mendengar kisahnya dari cerita saudara-saudara yang ada di kampung. Bukannya memberi kesempatan lebih banyak kepada keponakan untuk lebih banyak bertemu dengan ayahnya, sebagai satu-satunya orang tua yang masih hidup. Konflik rumah tangga yang terjadi malah mulai merembet pada konflik "serius" antar keluarga besar.

Namun saya tetap menganggap bahwa saya tidak ada masalah dengan keluarga besar mantan istri kakak. Toh saya jarang pulang dan bertemu dengan mereka. Sehingga saat ada kesempatan pulang kampung, saya menyempatkan diri untuk berkunjung, dengan tujuan menjenguk keponakan dan menyerahkan sedikit buah tangan buat dia.

Akan tetapi, apa yang terjadi, sungguh di luar dugaan. Bukan disilahkan masuk, saya sudah diusir sebelum sempat mengetuk pintunya. Berbagai macam umpatan keluar dari mulut mereka yang ditujukan kepada saya dan keluarga besar saya. Saya berusaha tenang, dan menyampaikan maksud kedatangan saya sembari menyerahkan buah tangan yang saya bawa. Namun ditolak mentah-mentah.

Sebelumnya orang tua saya memang menganjurkan agar saya tidak berkunjung ke sana, tapi saya tetap nekat untuk datang. Dan yang terjadi benar-benar mengagetkan saya. Seumur-umur, rasanya itu adalah kejadian pertama dan semoga menjadi yang terakhir kalinya, saya dimaki-maki habis-habisan, tanpa alasan yang tidak saya mengerti.

Sepertinya nasib saya memang kurang beruntung saat itu. Selain satu dua patah kata yang sempat saya ucapkan, selebihnya saya lebih banyak melongo dan berpikir, "Salah saya apa?" Ibarat sedang ramai-ramai makan nangka, saya tidak ikut makan, tapi saya ikut terkena getahnya. Nasib-nasib... #tepokjidat, hehe...


Pamulang, 11 April 2016
#analogi kehidupan

#OneDayOnePost
#31

Thursday, April 7, 2016

Ngomongin Solidaritas Nih

Sepertinya dua hari terakhir sedang ramai berita gosip seputar artis yang menggundul rambutnya dengan alasan "demi solidaritas bagi penderita kanker", ya... Sayup-sayup sih, saya dengarnya, dari media elektronik tetangga, haha...

Eh, tapi, pas buka fb pagi tadi, berita itu ada di halaman muka. Hmmm, buka, nggak, buka, nggak... Nggak jadi aja deh! Info berita gosip artis dari suami lebih hot kayaknya. Kata suami, teman-teman di kantornya pada suka gosipin artis, itulah kenapa dia tahu banyak tentang gosip artis terkini, hihi...

Eits! Stop! Jangan diteruskan. Dilarang nge-gosip, lho! Itu namanya ghibah. Kalau begitu saya tidak jadi membahas berita gosip artis deh. Tapi saya akan membahas seputar solidaritas saja, hehe...

Solidaritas. Menurut KBBI yang saya punya, solidaritas bermakna: sifat (perasaan) solider; sifat satu rasa (seperti senasib); dan perasaan setia kawan. Kalau solider bermakna: bersifat mempunyai atau memperlihatkan perasaan bersatu (senasib, sehina, semalu, dan sebagainya); (rasa) setia kawan.

Menurut saya, sifat solidaritas merupakan sifat yang terpuji. Namun tidak jarang, ada orang-orang yang menunjukkan sikap solider dengan cara yang keliru. Terutama di kalangan remaja, yang memang memiliki rasa setia kawan yang tinggi. Saya pernah mendapati seorang remaja yang merokok karena alasan klise, "teman-teman main saya semuanya merokok. Ya, saya ikut merokok laaah. Solider..." Begitu jawabannya. Haddeeeh...

Begitu juga dengan gosip yang lagi ramai media. Menurut saya, itu sudah termasuk berlebihan dalam menangkap sebuah makna solidaritas. Kalau hanya untuk menunjukkan rasa peduli terhadap penderita kanker, rasanya tidak perlu lah, harus dengan menggundul rambut. Masih banyak cara lain yang bisa ditempuh. Atau kalau berduit banyak, langsung saja berikan bantuan biaya pengobatan bagi para penderita kanker.

Itu sih menurut pendapat saya. Orang lain bisa saja memiliki pendapat yang berbeda. Eh, tadi itu yang digosipin siapa sih? Kok jadi membahas gosip lagi? Udahan aja deh! Daripada ntar malah keterusan... Ini juga sudah malam. Tunjukkan solidaritas kepada tetangga kanan dan kiri. Malam hari itu waktunya istirahat, jadi jangan membuat keributan. Apalagi dengan bergosip, hihi...


Pamulang, 7 April 2016
#menanggapi isu hangat negeriku tercinta

Monday, April 4, 2016

Lagi-lagi Korupsi Lagi

Uang yang selalu menggoda untuk dimiliki *)
Beberapa hari terakhir ini, warta di ponsel pintar saya selalu menghadirkan berita tentang seorang anggota partai politik yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kabar kasus suap yang melibatkan anggota parpol dan beberapa perusahaan besar yang terjadi beberapa hari yang lalu itu, bukanlah yang pertama kalinya. Sudah beberapa kali KPK berhasil melakukan tangkap tangan dengan kasus yang serupa. Kasus-kasus yang tidak jauh dari suap dan korupsi.

Dari beberapa persidangan kasus korupsi, hampir semua yang tertangkap tangan pada akhirnya terbukti dengan sengaja telah melakukan kesalahan. Anehnya, setelah beberapa kali hal yang sama terjadi, masih saja ada oknum-oknum pejabat pemerintah maupun anggota dewan yang mesti tertangkap tangan oleh KPK. Sepertinya mereka yang memang dengan sengaja melakukan tindakan korupsi dan suap itu, tidak memiliki rasa takut sedikit pun dengan KPK. Atau justru dengan hukum yang ada di negeri ini.

Ada apakah gerangan?

Sebagai warga negara biasa, saya hanya sesekali menyimak kabar-kabar kasus korupsi dan suap di negeri ini. Bukan saja tidak tertarik dengan berita serupa yang mesti berulang kali terjadi, tapi juga jengah mendapati para oknum yang terbukti bersalah hanya mendapat sanksi yang menurut saya tidak sebanding dengan kesalahan yang telah mereka lakukan.

Bagaimana korupsi tidak tumbuh subur di negeri ini. Mereka yang terbukti bersalah hanya mendapat hukuman penjara beberapa tahun saja dengan denda yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan kerugian yang dialami oleh negara. Hukuman yang sama sekali tidak memberi efek jera bagi pelakunya. Seperti tidak bisa, atau mungkin tidak mau belajar dari negara-negara yang berhasil menekan angka korupsi sedemikian rupa, pelaku korupsi dan suap di negeri ini bukannya berkurang, tapi terasa semakin bertambah saja.

Belum lagi sentimen antar parpol yang menyebabkan tidak hanya pelaku korupsi dan suap saja yang jadi terhukum. Namun nama parpol, almamater, agama dan atribut lain yang dianut pelaku korupsi dan suap, juga ikut terkena dampaknya. Tentu hal ini sangat tidak baik, terlebih bila sudah membawa-bawa nama agama. Seperti kasus tangkap tangan oleh KPK yang terjadi beberapa hari yang lalu.

Saya tidak sengaja membaca notifikasi fb yang membicarakan oknum yang tertangkap. Sebagai muslim tentu saja saya sangat tidak nyaman mendengarnya. Mau ustadz sekelas apa pun, pada saat melakukan kesalahan, tidak seharusnya kesalahan itu dihubungkan dengan agama yang dianutnya. Pelaku korupsi, suap, pencuri, atau yang lainnya, semua kesalahannya adalah akibat ulah mereka sendiri. Yang itu mungkin sudah menjadi karakter yang sulit dirubah pada diri si pelaku. Mau agamanya ganti, kalau sudah watak, ya akan selalu begitu perilakunya.

Apalagi dengan "ringan"nya hukuman bagi para pelaku korupsi dan suap. Maka bisa dijamin mereka tetap akan melancarkan aksinya sampai kapan pun. Bahkan meski sudah pernah merasakan tinggal di balik jeruji, mereka mungkin akan kembali mencoba melakukannya. Malah bisa semakin menjadi. Karena mereka akan berpikir, "Ah, dipenjara sebentar aja kok!" Atau mereka akan berkomentar, "Korupsi yang banyak sekalian saja, paling dendanya tidak sampai 50% dari uang yang dikorupsi, kan kita masih bisa untung." Komentar yang tentu saja bisa melahirkan pelaku-pelaku korupsi baru.

Ya, korupsi di negeri ini akan terus terjadi selama pengelolaan dan sanksi hukum terhadap pelaku korupsi dan suap masih sama, sama sekali tidak memberi efek jera bagi pelakunya.


Pamulang, 4 April 2016
#korupsi oh korupsi
*) foto diambil dari kabar24.bisnis.com

#OneDayOnePost
#26

Monday, March 14, 2016

Sepaket Hadiah Cinta, Demi Hobbi

 

"Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang engkau dustakan?"

Punya wifi tanpa laptop dan ponsel pintar itu, sepertinya memang "kurang" berguna. Sejak sekitar dua minggu yang lalu suami menyediakan wifi di rumah, hampir tiap hari wifi itu aktif saya gunakan. Lumayan, saya tidak perlu repot-repot lagi memikirkan quota ponsel yang hampir tiap bulan sekali harus saya isi pulsa minimal Rp50000 untuk bisa internet-an. Saya juga bisa nge-blog lagi, dan mulai rajin menulis--semoga konsisten. Apalagi saya memutuskan ikut ODOP (One Day One Post). Kini, hampir tiap hari saya menulis dan menulis. Walau kadang tidak semua yang saya tulis saya putuskan untuk di-publish.

Sekarang saya sudah bisa memaksimalkan fungsi tablet untuk aktivitas nge-blog. Namun, untuk urusan menulis yang cukup banyak, laptop tetap lebih nyaman buat saya. Dan karena laptop saya rusak, sejak ada wifi itu, saya menggunakan laptop milik suami untuk menulis dan nge-blog. Padahal waktu pagi menjadi waktu terbaik saya untuk menulis, yaitu antara pukul 08.00 hingga pukul 11.00. Waktu dimana saya selesai dengan urusan pagi, dan anak-anak sudah berangkat ke sekolah. Selain pagi, saya juga punya jam menulis malam, yaitu setelah anak-anak tidur dan sebelum suami pulang dari kantor. Tapi itu tidak lebih banyak dibanding waktu pagi jelang siang.

Kalau suami ada jam mengajar pagi, maka saya tidak bisa menggunakan laptop untuk saat itu. Otomatis saya hanya menggunakan waktu malam untuk kegiatan menulis. Hal itu sempat membuat saya beberapa kali harus tidur terlalu larut. Begitulah kalau menulis sudah jadi hobbi. Entah karena alasan saya tidur larut malam, atau agar aktivitas nge-blog saya tidak lagi mengganggu laptop suami, suami memutuskan untuk membelikan saya laptop sendiri. Jadilah pagi ini dan insya Allah untuk pagi-pagi selanjutnya, laptop cantik hadiah dari suami (yang sekarang saya gunakan) siap menemani saya. Alhamdulillah, suami saya memang baik hati, mengerti banget hobbi istri, hihi...

Selain untuk menulis, laptop juga memudahkan saat membaca. Dengan layar lebih lebar, saya bisa membaca lebih cepat dan mudah menangkap pesan tulisan yang saya baca. By the way, saya itu lebih banyak membaca daripada menulis saat laptop dan internet bersanding. Mulai dari membaca status teman, berita di media, hingga berbagai pengetahuan yang bisa langsung dari sumbernya. Jadi waktu yang saya habiskan di depan laptop berjam-jam itu, tidak semuanya hanya untuk menulis.

Saya memang suka baca, sejak awal mula saya bisa membaca. Membaca selalu menjadi poin wajib yang selalu saya cantumkan di kolom hobbi saat mengisi daftar riwayat hidup. Bukan daftar riwayat hidup buat cari pekerjaan, lho. Tapi sebatas daftar identitas yang biasanya saling dibagikan antar teman dan sahabat pena waktu masih a-be-ge dulu.

Mengingat kembali hobbi membaca, waktu SD dulu saya sampai kehabisan stok buku untuk dibaca. Maklumlah, SD negeri di desa, koleksi perpustakaannya tidak seberapa. Apalagi saya membaca tidak hanya pada hari sekolah, tapi saat liburan juga. Saya pernah, menjelang libur panjang--yang dulu hampir sebulan, melobi petugas perpustakaan agar bisa meminjam banyak buku. Kalau hari efektif sekolah, biasanya hanya bisa meminjam dua buku, lalu mengganti dengan buku yang baru di hari berikutnya. Tapi kalau liburan kan perpustakaannya ikut tutup? Jadi saya meminjam 15 buku sekaligus, maksudnya untuk stok selama liburan. Berhasilkah saya? Tentu saja. Itu salah satu keuntungan jadi anak pak guru, haha...

Membaca adalah hobbi yang asyik. Apalagi jaman sekarang, tidak harus punya buku untuk bisa membaca setiap hari. Menulis juga menyenangkan. Menulis bisa menjadi terapi untuk meringankan beban pikiran yang sulit diungkapkan dengan lisan. Kegiatan membaca dan menulis juga bisa "menghasilkan", lho--apalagi kalau bukan uang, haha. Nah, dengan punya laptop sendiri, layanan wifi on sepanjang hari, dan secangkir kopi, apalagi yang saya cari pagi ini? Saya tinggal duduk depan laptop, dan siap menikmati hobbi. "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Saya tidak pilih-pilih jenis buku untuk dibaca. Mulai dari buku cerita, hikayat, hingga prakarya. Tapi itu dulu, waktu saya masih di SD. Seiring waktu, banyak hal telah berubah pada diri saya. Pada masa SMP, saya lebih banyak beraktivitas di kepanduan ketimbang membaca. SMA, beda lagi prioritasnya. Meski tetap saja, motto "Tiada Hari Tanpa Membaca" jadi pegangan, namun buku yang saya baca terus berubah dari waktu ke waktu. Bacaan seperti apa yang menarik buat saya sekarang? Buku apa yang paling berkesan dan menjadi buku terbaik yang pernah saya baca? Akan saya ceritakan kisahnya pada tulisan selanjutnya.

 

#OneDayOnePost
#keepwriting
#11

Tuesday, March 8, 2016

Sekilas Tentang Saya

Pada postingan kemarin, "Di Atas Langit Masih Ada Langit", ada sedikit informasi tentang saya. Yaitu mengenai sekolah yang saya pilih dan pengalaman yang saya dapat selama di jenjang SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Informasi lainnya sebenarnya bisa digali dari blog ini, baik dari profil, maupun dari tulisan-tulisan yang pernah saya posting. (Maksudnya disuruh cari sendiri gitu? Hehe... Nggak kok...) Tapi agar teman-teman tidak ragu, silakan simak baik-baik ya, headset dan kacang goreng bisa ditaruh dulu, agar tidak terjadi kekeliruan dalam "menangkap" informasi... hahaha...

Nama. Dari mulai Akte Kelahiran, semua Ijazah (dari TK hingga S1), KTP, SIM, Paspor, hingga akun sosial media, persis sama, yaitu Kholifah Hariyani. Nama asli pemberian orangtua. Nama yang cukup mudah diucapkan, meski tidak jarang ada saja yang keliru menulis nama depan saya. Sering huruf "k"-nya tertinggal. Biasalah, kalau tidak memperhatikan makhraj, "kho" dan "ho", terdengarnya kadang sama di telinga. Hihihi...

Usia. Tentang usia, saya suka malu-malu "bangga" kalau ditanya. Meski sekarang saya sudah kepala tiga, tapi saya selalu "merasa" muda, yuhuuu... Itu karena saya terbawa "atmosfer", dimana selama 16 tahun menempuh pendidikan, dari SD hingga bangku kuliah, saya selalu menjadi yang termuda di kelas. Bahkan saking pede-nya, saya sering merasa paling muda di antara siapa pun. (Wkwkwk... balada emak-emak tidak siap tua.) Saya menjadi yang termuda, karena memang usia saya satu tahun di bawah usia rata-rata teman se-angkatan saya. Bukan karena saya masuk TK-nya kurang umur. Tapi karena pas kelas 1 SD, saya sering bikin "rusuh" kelas, hingga mengganggu tercapainya tujuan pendidikan yang semestinya. (Wkwkwk... ngomong opo seh?) Kok bisa? Ya, bisa. Jangan dibayangkan masa SD saya dulu seperti masa SD sekarang yang pelajarannya bejibun. Pas kelas 1, saya hanya belajar membaca dengan buku "Ini  Budi" yang melegenda itu, dan belajar berhitung yang kisaran angkanya antara 1 - 10 saja.
Untuk pelajaran berhitung, setelah menjelaskan, pak guru saya (yang tampan dan gagah itu, ini beneran lho!) biasanya akan memberikan soal-soal di papan tulis untuk disalin ke buku. Pada beberapa kesempatan, setelah menuliskan soal di papan tulis, pak guru kadang keluar kelas, entah ke kantor, entah ke kamar mandi. Naaah, saat itulah saya beraksi. Maju ke depan kelas, dan mengisi jawaban semua soal yang ada di papan tulis yang masih terbuat dari kayu itu. Benar-benar "tidak mencerdaskan"! Hahaha...
Sampai suatu ketika, pak guru memergoki saya melakukan perbuatan "tak mendidik" itu. Bukannya dimarahi, pak guru malah menghubungi bapak saya dan menyampaikan maksudnya untuk mengikutkan saya "tes uji soal berhitung" untuk kelas 2. Karena pak guru agak memaksa, bapak saya yang awalnya keberatan, akhirnya memberi ijin. Daaan..., saya berhasil mengimbangi kemampuan anak kelas 2 dalam berhitung. Jadilah saya yang di kelas 1, tahun berikutnya langsung dinaikkan ke kelas 3 saat kenaikan kelas, hehehe...

Status. Alhamdulillah, saya adalah istri sekaligus ibu yang hingga tahun 2016 ini, saya dianugerahi dua anak. Dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.

Tempat tinggal. Saya lahir dan dibesarkan di desa yang ada di kabupaten Situbondo. Kabupaten yang berada di wilayah timur Jawa, yang dulunya lebih dikenal dengan nama Panarukan. Ingat proyek jalan pantura yang dirintis Dendles? Dari Anyer sampai Panarukan. Itu adalah Panarukan yang sama. Meski saat ini Panarukan hanya menjadi nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Situbondo, tapi di sana terdapat monumen 1000km-nya Anyer - Panarukan.

salah satu pemandangan pantai yang ada di Situbondo
lokasinya tepat di sebelah timurnya pantai Pasir Putih Situbondo

Selepas SMA saya pergi merantau untuk belajar di kota dingin Malang. Di kampus keguruan ternama di Malang itulah saya bertemu pria yang menjadi suami saya. Setelah menikah, saya sempat berpindah-pindah tempat meski tidak lama. Dari Malang, Solo, Semarang, hingga ke Kalimantan Timur, di tiga tahun pertama pernikahan. Lalu kembali lagi ke Malang untuk waktu yang cukup lama, yaitu sekitar sepuluh tahun. Dan sejak akhir 2013, pindah ke Pamulang, kota Tangerang Selatan, tempat saya tinggal sekarang.

Impian dan Cita-cita. Cita-cita saya selalu berubah dari waktu ke waktu. Keinginan saya terus berkembang seiring berubahnya cara pandang saya terhadap sesuatu. Dulu waktu kecil, saya pernah bercita-cita jadi dokter, cita-cita standarnya anak pinter yang tinggal di kampung. (Pede amat, ada yang pingin nimpuk?) Tapi sungguh, anak-anak kampung teman-teman saya dulu, suka bingung kalau ditanya soal cita-cita. Kalau ditanya pingin jadi apa besar nanti, paling jawabnya ya jadi orang kaya. Haha... Sepertinya kekayaan memang susah dilepaskan dari apa yang disebut kesuksesan.
Memasuki jenjang SMA, cita-cita saya mulai berubah. Menjadi seorang pakar atau ahli di bidang Matematika, pelajaran favorit saya. Cita-cita yang menurut saya lebih rasional untuk diraih. Karena biaya kuliah jurusan pendidikan adalah yang termurah dibandingkan jurusan lainnya. Ya, saya mengganti cita-cita hanya karena kuliah di kedokteran "katanya" membutuhkan biaya yang besar. Biaya yang orangtua saya tidak akan sanggup menanggungnya. Ternyata kabar burung itu sama sekali tidak benar, setidaknya untuk masa itu. Kalau sekarang, ya jangan ditanya. Nyaris tidak ada yang murah.
Delapan tahun setelah menikah, cita-cita saya mungkin masih sama. Namun obsesi ke arah itu tidak sebesar dulu lagi. Ya, sejak itu saya memilih untuk tidak bekerja dan tidak lagi memburu pekerjaan di luar. Yang saya inginkan sederhana, bisa menjadi wanita sholihah yang bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain, menjadi sebaik-baik istri bagi suami dan menjadi sebaik-baik ibu bagi empat anak saya. Keinginan yang kemudian memberikan perubahan besar bagi saya dan keluarga. Insya Allah lain kesempatan akan saya bagi ceritanya di sini.

Informasinya cukup ya... Kalau ada yang butuh informasi lanjut, silakan menghubungi saya melalui FB dengan nama saya sebagai nama akunnya.

#OneDayOnePost
#keepwriting
#7

Thursday, March 3, 2016

Belajar Dari Getuk

Semalam saya merasakan kantuk yang teramat sangat, tidak seperti biasanya. Padahal saya belum membuat tulisan untuk di-posting hari ini. Bagaimana nggak ngantuk, kemarin saya tidak sempat tidur siang. Ngojek anak-anak yang biasanya adalah tugas suami, harus saya gantikan karena suami ada pekerjaan kantor yang tidak bisa ditinggal. Padahal ada dua anak di sekolah berbeda dengan jadual pulang yang juga berbeda. Ditambah harus ngojek suami pula. Maklum, sepeda motor cuma satu. Dan suami paling malas kalau ke kantor naik mobil. Begitulah kalau kantor dan rumah jaraknya dekat, hehe.. (#bersyukuuur...)

Kalau hanya tidak tidur siang, kadang saya masih kuat melek hingga tengah malam. Namun, malam sebelumnya waktu tidur saya sudah terkurangi. Ada kesibukan mendadak yang harus dilakukan untuk tugas sekolah Aisyah, anak saya yang ke-2. Saya harus menyiapkan singkong rebus untuk dibawa ke sekolah Aisyah besok paginya. Bisa saja singkongnya direbus pagi-pagi sekali, tapi akan lebih aman kalau 2kg singkong itu sudah saya kupas dulu. Buat jaga-jaga, kalau-kalau saya mbangkong, hihi...

Buat apa singkong rebus? Kata Aisyah, akan ada kegiatan membuat "getuk". Ya, getuk. Ngomongin getuk, saya jadi ingat kota Malang, dimana penjaja getuk lindri mudah sekali ditemukan di sana. Dan selama hampir dua tahun saya tinggal di Tangerang Selatan, belum pernah saya bertemu dengan penjual getuk lindri seperti di Malang. Membuat saya semakin rindu akan suasana kota yang selama hampir 15 tahun saya tinggali itu. (hiks..hiks.. kangeeenn)

Oya, ada yang gak tahu getuk? Getuk itu jenis penganan yang berbahan dasar singkong. Bahan-bahan lainnya baru saya ketahui kemarin, setelah melihat daftar bahan-bahan membuat getuk milik Aisyah. Tapi kemudian saya jadi ragu, getuk ini olahan singkong rebus atau sejatinya memang singkong rebus? Karena selain singkong rebus, hanya perlu penambahan gula jika suka manis. Lah, kalau tidak suka, ya sudah, singkong rebus saja dihaluskan. Lalu bahan lain lagi, yaitu pewarna, yang tentu saja fungsinya adalah untuk memberi warna. Kalau suka yang alami (warna "singkong" maksudnya), kan berarti tidak perlu pewarna. So, tetap singkong rebus kan?

"Getuk" 
(Foto diambil dari sini)

Tapi di situlah ada pelajaran yang bisa saya petik. Namanya singkong rebus itu, biasanya merupakan makanan murah dan identik dengan makanan "orang udik". Yang cara membuatnya pun mudah, yaitu dengan mengupas singkong terus direbus. Jadi deeeh! Hehe..

Naaah, kalau singkong rebus itu dihaluskan, sehingga mudah dan terasa lembut saat dikunyah, kan jadi berbeda. Apalagi kalau ditambahkan gula. Hmm, tentu rasanya jadi lebih manis, rasa yang umumnya lebih disukai banyak orang. Kemudian kalau ditambahkan pewarna, pasti jadi makin cantik aja tuh. Lanjut lagi dengan proses pencetakan dan pemberian hiasan di atasnya (toping..toping.. iya tahu..), lalu dihidangkan dengan wadah menarik dan disajikan di meja sebuah restoran berbintang. Kira-kira apa yang terjadi ya??? Yang jelas penampilan si singkong rebus sudah mengalami banyak perubahan. Dan pastinya akan mempengaruhi nilai jual si singkong. Mungkin sepotong dengan berat 100g, akan berharga sama dengan singkong 1kg atau bahkan lebih. Perubahan yang luar biasa bukan? Padahal esensinya sama, sama-sama singkong rebus, hihi..

Begitu pula dengan sebuah tulisan. Boleh jadi hal yang ingin disampaikan dari sekian banyak tulisan itu sama. Namun dengan pemilihan kata, rangkaian kalimat dan alur cerita yang berbeda, juga akan memberi kesan yang berbeda kepada pembacanya. Yang jadi masalah adalah saya belum bisa memilih kata yang tepat dan merangkai kalimat dengan baik, apalagi menentukan alur cerita yang menarik. Jadi kalau harus memilih, antara meracik sebuah tulisan dengan merubah singkong rebus menjadi getuk yang cantik, sepertinya saat ini saya lebih siap untuk membuat getuk saja, haha...

Gara-gara getuk, rencana tema tulisan saya untuk hari ini berubah getuk. Padahal tadinya bukan mau membahas getuk. Tapi getuk sudah membuat saya berpikir sambil mantuk-mantuk. Dan karena getuk, sekarang pun saya masih mengantuk. Ah, sudahlah, semoga saya bisa belajar dari si getuk. Getuuuk...


#OneDayOnePost
#keepwriting
#4

Wednesday, March 2, 2016

Cerita Di Balik Siaga ODOP (2, habis)


Laptop rusak itu, tidak hanya mengganggu aktivitas nge-blog, tapi juga semua yang berhubungan dengan internet, termasuk ber-sosial media. Ah, gak kebayang kalau di era internet harus hidup tanpa sosmed. Kalau kata orang-orang perpajakan sih, bisa begini jadinya, "hari gini hidup tanpa sosmed, apa kata dunia?" Haha... Cari jalan, cari jalan.. tak ada laptop, minimal ada smartphone. Harus mulai melancarkan aksi, melobi yang punya doku (#lirik suami).

Alhamdulillah, dua minggu kemudian di acc, boleh beli smartphone. Alasan saya simple, pihak sekolah anak-anak berkoordinasi dengan walimurid melalui grup whatsapp (wa) dan bbm. Dengan ponsel yang saya pegang saat itu, tidak memungkinkan untuk dipasang aplikasi wa & bbm, kecuali di-upgrade dulu. Dengan kondisi ponsel yang memang "kurang sehat", daripada upgrade, saya memilih membeli. Dan karena saya gaptek, saya minta mas yang jual smartphone untuk langsung memasang dua aplikasi tersebut. Jadilah saya membawa pulang ponsel pintar dengan wa dan bb yang siap digunakan.

Wa siap, tapi boro-boro meminta walikelas anak-anak untuk memasukkan saya ke grup kelas, saya justru menghubungi teman SMU dan memintanya untuk memasukkan saya ke grup alumni. Sekitar 15tahun-an tidak bertemu, bisa dibayangkan seperti apa hebohnya grup itu. Ya, nostalgia masa SMU. Pernah dengar kan, masa-masa SMU adalah masa-masa paling indah. Setidaknya selama dua pekan saya terlena dan tenggelam bersama wa, sampai lupa kalau saya juga punya akun sosmed lain. Hihi...

Puas menikmati wa pada dua minggu pertama, sesekali saya mulai menjenguk akun fb. Kalau ingat fb, pasti terpikir untuk update status. Update itu ya kudu nulis. Kalau sudah ingat menulis, langsung deh ingat blog (lagi). Pernah mencoba intip-intip link blog saya lewat ponsel, tapi susah luar biasa. Entah karena jaringan yang memang lemmot, atau kapasitas ponsel yang kurang memadai. Jadinya saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan ber-wa. Lalu bertemulah saya dengan grup wa yang bertajuk kulwap (kuliah via whatsapp) seputar dunia Parenting and Marriage, melalui fb. Saya pun memilih untuk langsung bergabung, karena saya butuh banyak belajar mengenai ke-dua hal tersebut.

Setelah penantian panjang, dapat juga laptop yang baru. Namun ada kendala lain, yaitu pada modem. Entah karena lama tidak dipakai atau memang kualitas jaringan yang butuh di-upgrade, modem lama saya jadi super lemmot. Pas akhir tahun lalu sih, memang ada tawaran untuk tukar tambah modem sejenis dengan kualitas jaringan yang lebih tinggi. Tapi tawaran itu tidak terlalu saya hiraukan (salah saya ini mah). Jadi mesti menahan diri dulu untuk online via laptop dan membuka blog, tentu sambil lirak-lirik untuk mencari gantinya.

Akhirnya, minggu lalu saya mendapatkan modem pengganti sesuai keinginan. Semangat untuk menulis pun hadir kembali, yang saya wujudkan dengan langsung menjenguk blog serta mengisinya hari itu juga. Selang sehari kemudian, melalui grup kulwap Parenting and Marriage yang saya ikuti, saya mendapat info tentang ODOP dari mbak Julia Rosmaya. ODOP, One Day One Post, satu posting per hari, dengan tantangan menulis yang berbeda tiap pekannya. Hmm, sepertinya akan seru dan benar-benar menantang. Dengan semangat memakai wifi baru yang kenceng, dan niat menulis di blog yang tidak kalah kenceng, saya pun minta kepada mbak Julia untuk mengikutsertakan saya dalam komunitas ODOP.

Dan kini, saya telah tergabung dalam grup One Day One Post Batch 2 di wa, dan menjadi satu dari seratusan lebih anggotanya. Grup yang selalu ramai dan "on" hingga 24 jam membahas tentang blog dan kepenulisan. Ini mungkin bukan langkah awal saya dalam menulis, tapi di sinilah saya akan mulai mengukir sejarah untuk konsisten dan berkomitmen menulis setiap hari. Bravo ODOP! Semangaaat...

#OneDayOnePost
#keepwriting

Tuesday, March 1, 2016

Cerita Di Balik Siaga ODOP (1)


Ngomongin ODOP, ya ngomongin blog. Ngomongin blog, berarti ngomongin tulisan. Hehe... Saya pribadi sadar, sesadar-sadarnya bahwa blog itu dibuat ya untuk diisi dengan tulisan. Tapi ya, ternyata tidak mudah bagi saya untuk bisa menulis tiap hari, apalagi atas inisiatif sendiri. Kalau pun ada ide, kadang hanya sepintas lalu, kemudian mandeg saat akan meng-eksekusinya menjadi sebuah tulisan. Padahal rumus yang saya dapat tentang menulis cukup sederhana. Yang dibutuhkan hanyalah, menulis, menulis dan menulis. Karena memang tidak perlu menunggu mahir menulis untuk punya sebuah blog. Jadi yaaa, menulis saja! Tapi praktiknya, tetap beraaat... huhu... (Ih, lebay!)

Sebelum kenal blog, saya sudah lebih dulu belajar kepenulisan. Sekitar akhir tahun 2013, saya mulai bergabung dengan grup kepenulisan di sosial media, mengikuti training kepenulisan (fiksi dan non fiksi, pernah saya coba), hingga mengikuti event menulis. Dari teman-teman grup yang kebanyakan sudah profesional menulis itu juga, untuk pertama kalinya saya mengenal blog, sekaligus belajar kepada mereka. Nah, lho! Teruuus... (Jangan pelototin saya kayak gitu dong... hua...)

Saya mulai menulis di blog pada awal tahun 2014. Kebanyakan yang saya tulis adalah pengalaman pribadi. Terasa lebih mudah saja, seperti menulis diary. Namun karena menulisnya masih mengikuti suasana hati, jadinya ya, kadang menulis, kadang nggak. Hasilnya, 21 tulisan dalam setahun. (Hihi... tutup muka) Tapi kalau ada event, saya biasanya jadi semangat, sehingga bisa menyelesaikan tulisan sesuai tema yang diminta. Semoga di ODOP nanti juga bisa begitu, selalu semangat menerima tantangan yang diberikan. Amin...

Tahun berikutnya, saya lebih semangat untuk menulis. Saya sudah berencana untuk rutin menulis setiap bulan, kalau perlu postingan bertambah dari bulan ke bulan (niatnya). Hasilnya sih lumayan, rencana saya bisa berjalan hingga bulan ke-7. Tapi di bulan ke-8, laptop mengalami "kecelakaan" (jadi korban ketidak-sengajaan balita, haha...). Sempat mencoba dengan smartphone, tapi sangat tidak memuaskan, lelet luar biasa. Paling kesel, ketika tiba-tiba keluar (sendiri) dari aplikasi blog saat nulis belum selesai. Dan setelah mencoba masuk lagi, tulisan sudah nggak ada. Alhasil, sejak itu, aktivitas nge-blog pun jadi terhenti. (Hehe, alesaaan...)

*bersambung

#OneDayOnePost

Monday, February 29, 2016

Bismillah... Siap Siaga ODOP


Setelah lima bulan lebih tidak mengisi blog dengan tulisan, minggu lalu saya menerima sebuah tantangan untuk bergabung dengan komunitas ODOP. Yup, ODOP, akronim dari One Day One Post. Itu artinya saya harus posting satu tulisan per hari. Hmm... ini betul-betul tantangan. Karena sebesar apa pun usaha yang saya coba selama ini, saya selalu dan selalu gagal untuk melakukannya. Apakah akan berhasil dengan ODOP? Kita lihat saja nanti, hihi...

Saya sengaja menerima tantangan ini, karena saya termasuk tipe penulis "putri malu", yang hanya bereaksi saat ada yang menyentuh. Nah, sepertinya ODOP siap memberi "sentuhan" itu melalui tantangan-tantangan menulis yang akan diberikan setiap bulannya. Sekali sebulan, Bang Syaiha sebagai penggagas ODOP, telah menyiapkan menu tantangan per pekannya. Kalau ada tantangan, biasanya saya akan lebih fokus menulis. Jadi, tidak bingung lagi mau menulis apa. Ah, masak siiih...

Banyak harapan saya selipkan di hati, kenapa saya memutuskan bergabung dengan ODOP. Yang utama tentu saja agar terbiasa rutin menulis. Selain itu, melalui komunitas ODOP yang tergabung dalam grup wa, saya juga bisa belajar tentang kepenulisan dan mendapat semangat untuk terus menulis dari teman-teman di grup. Dan dengan aktivitas menulis yang rutin, semoga saya bisa belajar bagaimana mengatur waktu di sela-sela kesibukan sebagai ibu rumah tangga dengan empat orang anak tanpa art.

Akhirnya, bismillah, mulai hari ini, saya menyatakan siap siaga untuk ODOP...

#OneDayOnePost