Thursday, March 31, 2016

Belajar Sejarah di Monumen dan Museum PETA

Gerbang masuk Monumen dan Museum PETA
Kemarin saya menemani Zahra melakukan kunjungan bersama teman-teman sekolahnya ke Monumen dan Museum PETA di kota Bogor. Berangkat sekitar jam 6 pagi dari Pamulang--Tangerang Selatan, sekitar satu setengah jam kemudian kami sudah sampai di lokasi Monmus (Monumen dan Museum). Perjalanan bisa dibilang lancar. Mungkin karena arahnya yang menjauh dari Jakarta di pagi hari. Monmus ini berada di Jalan Jenderal Sudirman Nomer 35 Bogor.

Tiba setengah jam lebih awal dari jadwal yang direncanakan, anak-anak, para guru dan orang tua menggunakan kesempatan itu untuk berfoto-foto di halaman luar Monmus. Terdapat dua patung besar, dua tank, dan satu prasasti di halaman depan itu. Kondisinya sangat baik dan terawat, sangat cocok untuk dijadikan teman ber-selfie dan ber-selwee ria. Lingkungan halamannya juga hijau dan sangat asri. Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengabadikannya dalam sebuah foto.

Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman
Prasasti dari batu
Tank yang begitu gagah dan bersih
Jalan setapak yang dihiasi tanaman palm dan bunga-bunga
Melewati gerbang masuk Monmus, seperti melewati terowongan berjarak pendek. Kanan kirinya merupakan bangunan museum yang sudah ada berdiri sejak tahun 1900-an. Dalam bangunan itu terdapat beberapa diorama yang menggambarkan jejak pembentukan PETA dan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang merupakan cikal bakal terbentuknya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Berikut ini beberapa di antaranya:

Kesepakatan tokoh-tokoh negara Indonesia untuk mengupayakan berdirinya PETA (tahun 1943)
Kegiatan latihan di pusat pendidikan perwira PETA di Bogor (tahun 1943)
Pembentukan bataliyon-bataliyon PETA di daerah-daerah (tahun 1944)
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Jl. Pegangsaan Timur no. 56
Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI (22 Agustus 1945)
Pemilihan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (12 November 1945)
Dari diorama-diorama yang ada, nuansa Jepang begitu kental terlihat dari pakaian dan aksesoris yang digunakan tentara PETA. Berbicara tentang PETA memang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan tentara Jepang di negeri ini pada masa sebelum Indonesia merdeka, begitu kurang lebih penjelasan guide museum yang ada di sana. Informasi detil mengenai hal tersebut bisa ditanyakan langsung saat berkunjung ke Monmus yaaa...

Di dalam museum juga terdapat beberapa koleksi senjata. Yang unik, ternyata senjata-senjata itu berbahan kayu, hanya mesinnya saja yang dari besi. Dan untuk sementara, senjata-senjata itu non aktif, karena bagian mesinnya dilepas. Senjata-senjata itu merupakan hasil rampasan para pejuang Indonesia dari tangan Jepang. Jepang sendiri memperoleh senjata-senjata itu dari hasil merampas milik tentara sekutu. Haha, begitulah perang.

Beberapa koleksi senjata yang ada di dalam museum
Pemandangan halaman dalam Monmus tidak kalah menarik untuk dijadikan obyek foto-foto. Bangunan-bangunan lama yang khas, pepohonan yang rindang, serta jalan-jalan setapaknya yang bersih membuat saya betah berlama-lama duduk di kursi yang ada di beberapa sudut Monmus.

Halaman dalam Monmus
Nah, tunggu apalagi? Masih ingin menikmati diorama yang lainnya? Ingin menikmati suasana sejuk bernuansa militer? Atau ingin menikmati refreshing sarat ilmu, terutama tentang sejarah PETA? Segeralah berkunjung ke Monumen dan Museum PETA di kota Bogor ini ya...


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#24

Tuesday, March 29, 2016

Merenda Jalan Surga


Mentari belumlah tinggi
Saat tepat untuk pergi
Namun aku memilih berhenti
Meninggalkan seribu mimpi
Untuk mengukir satu janji
Di sini, aku akan mengabdi

...
Gerbang dunia baru terbentang di depan mata. Bayangan wajah ceria berbalut busana toga semakin nyata. Setelah sidang tertutup bersama delapan mata penuh wibawa. Akhirnya segala usaha itu akan juga berbuah tiga lembar kertas penuh makna. Bersama langkah mantap di panggung sakral bernama wisuda.

...
Iya, satu langkah akhirnya terlewati. Langkah yang sempat mendatangkan keraguan orangtuaku lantaran aku memutuskan mengakhiri masa lajang sebelum pendidikanku usai. Pernyataan bidan sebulan setelah akad terlaksana, menambah waswas orangtua bahwa aku akan kesulitan meraih gelar sarjana. Aku terlambat datang bulan, dan bidan menyatakan sudah ada janin yang menghuni rahimku. Tak bisa kugambarkan bagaimana suasana hatiku kala itu. Antara bahagia dan terbawa perasaan orangtua yang waswas dengan keadaanku.

Tepat seminggu setelah ujian akhir semester delapan, anak pertamaku lahir. Hampir semua matakuliah sudah aku selesaikan dengan nilai memadai saat itu. Namun skripsiku nyaris belum tersentuh sedikit pun. Merawat bayi seorang diri dan tinggal terpisah dengan suami, memaksaku sejenak melupakan skripsiku. Setelah jagoanku melewati tiga bulan pertamanya, aku mulai mengunjungi kampus setiap dua minggu sekali. Usaha yang berbuah manis enam bulan berikutnya.

...
"Kita ke Kalimantan, ya?" ucap suamiku dengan ekspresi penuh harap agar aku memenuhi ajakannya.
"Iya, terserah Ayah saja. Kalau memang itu baik menurut Ayah, saya akan ikut." jawabku dengan ekspresi yang sulit ditebak, antara iya atau tidak.
Jawaban dan ekspresi yang hampir selalu sama setiap aku merespon pertanyaan dan ajakan suami tentang keputusannya dalam menjalani kehidupan bersamaku. Entahlah, meski jawaban iyaku kadang tersamar, aku tidak pernah bisa menolak semua tawaran dan keputusan suamiku. Termasuk permintaannya untuk melangsungkan pernikahan sederhana, tanpa panggung, dan tanpa riasan pengantin. Aku pun memenuhinya dan mengabaikan keinginan orangtuaku yang ingin melihat putrinya tampil seperti ratu sehari kala itu.

...
Tepat setahun usia anakku, akhirnya aku, suami dan anakku berangkat ke Kalimantan. Keputusan yang aku pikir lebih baik, daripada aku ikut bekerja bersama suamiku di tempat kerja sebelumnya dan meninggalkan anakku tinggal bersama orangtuaku. Sekaligus memenuhi permintaan orangtua suamiku yang ingin agar salah satu anaknya ada yang bisa menjadi PNS, dalam hal ini sebagai guru. Kebetulan daerah transmigrasi tempat mertuaku tinggal, membuka SMA baru saat itu.

(bersambung)


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#22

Monday, March 28, 2016

Aktivitasku: Dari Bagi Tugas hingga Menjemput Tepat Waktu


"Pulangnya jam dua, lho! Bukan jam tiga." seru pak Ucup--bukan nama sebenarnya, penjaga sekolah Zahra.
"Okeee... Kalau saya yang kebagian tugas, insya Allah beres!" ujar saya menimpali teguran pak Ucup.
"Ayahnya ada acara hari ini." sambung saya lagi.

Begitulah perbincangan singkat antara saya dan pak Ucup pagi ini. Hari pertama di pekan terakhir Maret ini, pak Ucup mengingatkan saya tentang jam pulang sekolah Zahra. Bukannya tanpa alasan, hari kamis pekan sebelumnya, Zahra baru saya jemput jam tiga sore. Padahal pulang sekolahnya jam dua. Sungguh terlalu--mengutip kata-kata bang Roma Irama, haha...

Saya memang bukan "tukang ojek" tetap anak-anak meski pagi ini saya kebagian tugas itu. Bagian mengantar ke sekolah, hampir selalu suami saya yang jadi pemeran utamanya. Alhamdulillah, suami masuk kantornya agak siang--jam 08.30 WIB, jadi ada waktu cukup banyak untuk membantu menyelesaikan tugas pagi di rumah, termasuk mengantar anak-anak ke sekolah. Apalagi jarak dari rumah ke kantor suami juga dekat, hanya butuh 10 menit perjalanan menggunakan motor.

Begitu pula saat pulang sekolah. Kalau tidak ada urusan cukup penting yang tidak bisa ditinggal di kantor, maka suami pula yang jadi tokoh utama yang berperan sebagai "tukang ojek". Dan saya adalah pemeran pembantu yang hanya hadir saat pemeran utama berhalangan, seperti pagi ini. Sebenarnya jam kantor suami sampai jam 9 malam, namun siang dan sore hari ada istirahat, totalnya selama tiga jam. Itulah kenapa dari awal pindah ke sini--Tangerang Selatan, mengantar dan menjemput anak-anak menjadi tanggung jawab suami.

Tugas saya apa dong? Ya nguplek (sibuk sendiri) di rumah, mengerjakan semua hal sesuai kadar kesanggupan waktu dan tenaga saya. Kalau pas tidak kebagian tugas ngojek, saya biasanya tidur siang selepas waktu sholat duhur. Ini hampir menjadi kebiasaan, karena memang saya jarang menjemput anak-anak. Dan ini sepadan dengan ritme istirahat saya, dimana saya selalu menjadi yang pertama kali bangun di rumah. So, saya butuh dan harus tidur siang, demi kelancaran tugas utama saya di malam harinya--alesan ini mah, hihi... Tapi kalau tidak tidur siang, kepala saya bisa nggeliyeng (seperti berputar-putar gitu) akibat ngantuk yang tak tersalurkan, haha...

Nah, terkait dengan kejadian kamis lalu, hari itu sebenarnya "hari tugas" suami. Tapi rupanya suami ada pekerjaan mendadak sehingga tidak bisa menjemput anak-anak. Dan karena suami juga tidak ada kesempatan untuk pulang, jadilah suami hanya mengirimkan pesan singkat yang isinya tentu saja meminta saya untuk menjemput anak-anak.

Pesan singkat sih masuknya sebelum jam 2. Tapi saat itu saya sedang terlelap tidur siang. Saya baru membuka mata sekitar pukul setengah tiga, dan baru memeriksa ponsel sepuluh menit kemudian. Setelah sekitar lima menit saya duduk dan menggenapkan kesadaran, saya pun bangun untuk pergi menjemput Zahra. Pukul 14.45, dan saya baru menyadari kalau sepeda motor dipakai suami ke kantor. Mau naik mobil? Aduh, jarak rumah ke sekolah Zahra tidak sampai 2 km. Tapi kalau harus jalan kaki, rasanya juga tidak sanggup, panas sekali cuaca hari itu. Walhasil, jadilah saya menjemput dengan sepeda mini Aisyah--anak kedua saya. Dan baru tiba di sekolah pada pukul 15.00, hihihi...

Kalau terjadwal dari awal bahwa suami tidak bisa menjemput, biasanya suami ke kantornya saya antar sekalian--naik motor. Sehingga motor bisa saya pakai jemput anak-anak pada siang harinya. Naik mobil jika bukan karena terpaksa--misal karena hujan deras, sangat saya hindari untuk antar jemput anak-anak. Disamping jarak yang tidak terlalu jauh, kemacetan juga justru menambah lama perjalanan dari rumah ke sekolah atau sebaliknya, dari sekolah ke rumah. Jadi, sekali jadi tukang ojek, maka saya tidak hanya ngojek-in anak-anak, tapi juga ngojek-in suami, seperti hari ini.


Pamulang, 28 Maret 2016
*back to diary

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#21

Saturday, March 26, 2016

Ketika Ajal Mengintai

Pingsan! Adakah teman-teman yang pernah pingsan? Atau malah langganan pingsan? Pertama kali saya melihat orang pingsan adalah saat upacara bendera 17 Agustus, sekitar tahun 89-an atau 90-an, saya tidak ingat pasti. Yang jelas itu adalah upacara 17 Agustus pertama yang saya ikuti di lapangan kecamatan. Kalau upacara di halaman sekolah hampir tiap hari senin selalu ada ketika saya SD. Tapi belum pernah sampai ada yang pingsan. Mungkin karena halaman sekolah saya tidak terlalu panas dibandingkan lapangan kecamatan. Ditambah lagi, upacara di sekolah biasanya dilaksanakan pagi hari, sekitar pukul 07.00 WIB. Sementara kalau di lapangan kecamatan dimulainya lebih siang, yaitu sekitar pukul 09.00 WIB.

Melihat orang pingsan pertama kalinya, cukup membuat saya kaget dan jantung berdebar-debar karena tegang. Ya, tegang dan was-was penuh tanda tanya, apa yang terjadi? Tahu kan, biasanya orang kalau pingsan tiba-tiba jatuh begitu saja, tanpa ada memberitahu. (Hihi, ya iyalah, namanya pingsan itu, tiba-tiba.) Saya suka penasaran, kenapa orang itu bisa pingsan? Waktu itu saya hanya mendapat jawaban kalau yang pingsan itu belum sarapan, makanya pas upacara--berjemur di bawah panas matahari, mereka pingsan. Itu yang pingsannya pas upacara, yang ujug-ujug pingsan padahal tidak sedang upacara bagaimana?

Saat kuliah, ada teman yang tiba-tiba pingsan karena rasa takut luar biasa. Kejadiannya pas OSPEK. Saya yang agak "mokong" waktu OSPEK sampai ditanya sama senior, "Pernah pingsan, nggak?" Saya jawab tidak lah, karena memang tidak pernah. Jangankan pingsan, takut pun tidak saya rasakan meski kakak-kakak senior menyiapkan banyak atribut yang mengundang takut peserta OSPEK pada malam inaugurasi. Malam-malam, gelap, disuruh jalan dengan mata tertutup, melewati lintasan penuh semak dan berlubang di beberapa tempat. Lalu seperti ada sesuatu yang halus, berbulu--lembut gitu, bergerak-gerak, tiba-tiba menyentuh muka. Cihaaa, yang pingsan ya ada aja ternyata, malah lebih dari seorang. Padahal atribut yang dipakai untuk atraksi terakhir itu adalah sulak, hihihi...

penjelasan wikipedia tentang pingsan

Saya juga pernah mendapati teman kuliah yang tiba-tiba pingsan karena sakit perut hebat. Baru diketahui penyebab sakit perutnya setelah di rumah sakit. Ternyata kehamilannya yang baru berjalan tiga bulan, terjadi di luar rahim. Ada juga teman kerja yang "langganan" pingsan--karena seringnya, apalagi menjelang waktu atau pada saat menstruasi.

Begitulah! Saya beberapa kali harus melihat orang pingsan dengan berbagai sebab. Dan saya selalu penasaran, bagaimana rasanya pingsan. Hingga suatu ketika saya mengalami sebuah kecelakaan. Saat itu malam hari, saya dibonceng bapak naik motor dari rumah menuju tempat pemberhentian bus. Meski belum terlalu malam, entah mengapa, saya merasakan kantuk yang luar biasa. Sampai pada titik saya benar-benar terlelap beberapa saat, lalu dikagetkan oleh hentakan yang hebat. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa. Kejadiannya begitu cepat, dan saya tidak menyadarinya.

Sebelum mata saya benar-benar terbuka, saya merasa seperti berada di ambang kematian, atau mungkin malah sudah mati. Kalimat istighfar menjadi kalimat pertama yang keluar dari mulut saya, seperti menyadari kalau saya belum punya cukup bekal untuk menghadapi mati. Saya tidak ingat pasti berapa kali kalimat istighfar terucap hingga sayup-sayup saya melihat ada beberapa orang di sekeliling saya, termasuk adik saya. Masih sambil terus beristighfar, saya pun menyadari kalau saya sedang berada dalam sebuah mobil--menuju rumah sakit. Saat tersadar, saya pun mengurangi volume suara saya yang terus mengucap istighfar. "Ya Allah, saya belum mati?" bisik hati kecil saya.

Tiba di rumah sakit kecamatan sebelah, setelah diberi pertolongan pertama untuk luka-luka yang saya alami, pihak rumah sakit menyarankan agar saya dibawa ke RSUD saja--rumah sakit kabupaten. Mereka khawatir kalau-kalau saya mengalami cidera serius di bagian kepala, karena dahi kiri saya mengalami luka dan saya merasakan pusing yang membuat saya lebih banyak menutup mata. Sepanjang jalan menuju RSUD, saya terus terbayang akan kematian. Sehingga saya pun berusaha untuk terus terjaga dan terus beristighfar. Kondisi gelap di sekitar--karena malam hari, menambah ketakutan saya.

Sampai di RSUD, setelah memeriksa kondisi saya, dokter memberi obat untuk diminum malam itu. Sesaat kemudian saya pun tertidur, dan terbangun menjelang subuh. Menyadari benar-benar sudah bangun, hati saya berbisik, "Ya Allah, saya masih hidup!" Rasa syukur mendorong saya segera bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk berwudhu. Adik saya yang menunggui, ikut terbangun dan membantu saya. Kemudian saya melaksanakan sholat subuh dengan berbaring. Beberapa hari kemudian, saya diperbolehkan pulang dan dokter menyatakan kalau saya hanya mengalami cedera kepala ringan. Alhamdulillah...

Sungguh, saya benar-benar bersyukur atas peristiwa itu. Peristiwa sesaat yang saya anggap sebagai pingsan dan untuk pertama kalinya saya rasakan, sehingga sulit untuk dilupakan. Peristiwa sesaat yang menghilangkan beberapa menit waktu saya, namun mengajarkan banyak hal kepada saya. Terutama tentang kematian yang akan selalu mengintai setiap makhluk yang bernyawa. Tentang kematian yang bisa datang kapan saja tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Tentang singkatnya kehidupan yang pasti akan berakhir dan berganti dengan kematian. Mengingatkan saya masih ada kehidupan abadi setelah kematian, yang keadaan saat itu ditentukan oleh bagaimana kehidupan saat ini, sebelum ajal datang.




Pamulang, 26 Maret 2016
#mengingat (kembali) akan mati adalah sebaik-baik nasihat

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#16

Friday, March 25, 2016

Ini Tentang Jodoh dan Rasa



Pada suatu siang, si Fulanah sangat menginginkan seporsi rujak manis. Karena begitu inginnya, dia membayangkan rujak manis itu hingga liurnya menetes. Lalu tiba-tiba Fulan--suami si Fulanah, datang untuk istirahat siang dengan dua bungkus rujak manis di tangannya. Betapa senangnya si Fulanah. Apa yang dibayangkannya jadi kenyataan. Eh, padahal si Fulanah tidak memberitahu suaminya kalau dia sedang ingin rujak manis. Baik via sms, telpon, wa, bbm, messenger atau pun media lainnya. Dan si Fulanah juga belum begitu lama menikah dengan suaminya itu. Bagaimana bisa suaminya membawakan sesuatu persis seperti yang diinginkan Fulanah?

Teman-teman yang sudah menikah, pernahkah mengalami kejadian seperti di atas? Saya pernah mengalaminya beberapa kali. Pernah juga saat saya dan suami keluar berdua untuk suatu keperluan, dalam hati saya berkata, "Asyik juga nih kalau mampir beli cemilan." Selesai dengan keperluan kami, sebelum pulang suami lalu bilang, "Bund, beli cemilan itu yuk!" Dan ternyata, cemilan yang kami inginkan sama persis. Nah, lho! Inikah cinta??? Haha... (Yang jomblo jangan ngiri ya..., saya doakan segera ketemu jodohnya, terutama kamuuu... iya, kamuuu...)

Lupakan dulu cinta, coba simak ayat berikut ini:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia telah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
(Al Qur'an surat Ar Ruum ayat 21)

Apa yang teman-teman ingat dari ayat Al Qur'an di atas? Iya, jawabannya seragam, tentang sebuah pernikahan. Ayat itu memang selalu menghiasi sebuah undangan pernikahan atau walimatul 'ursy. Pernahkah teman-teman resapi ayat itu? Cukup diresapi secara sederhana saja, setelah itu bolehlah di crosscek dengan berbagai tafsir yang ada.

"...Dia telah menciptakan untukmu istri-istri..."
Kalau dicermati, menurut penggalan ayat ini setiap manusia--terutama laki-laki, sudah memiliki pasangannya masing-masing. Atau gampangnya bisa dibilang, jodohnya sudah Allah sediakan. Jadi yang jomblo tidak usah khawatir ya... Hanya saja, ada (mungkin) yang dipertemukan di dunia dengan segera, dan ada yang diundur waktunya. Namun ada juga yang ditunda pertemuannya hingga nanti di akhirat. Ini berdasarkan fakta bahwa ada laki-laki yang belum menikah hingga akhir hayatnya. (Semoga yang terakhir ini tidak termasuk kamu... iya, kamuuu... hehe...)

"...supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya...)
Jangan dilupakan penggalan sebelumnya ya, yaitu istri yang Allah sediakan untukmu. Dari penggalan ayat ini, kecenderungan dan ketentraman itu hanya bisa diperoleh dari seseorang yang bertitel istri, bukan dari selainnya. Jadi kalau ada laki-laki yang mengaku merasa nyaman dengan seorang perempuan, padahal dia bukan istrinya, maka kenyamanannya itu adalah sesuatu yang menipu. Tidaklah rasa nyaman itu muncul melainkan peranan nafsu ada di dalamnya. Mau bilang "nggak"? Impossible! Tanyakan pada hatimu! Kenyamanan itu hanya bisa diperoleh dengan kedekatan. Dengan siapa laki-laki bisa dekat--sedekat-dekatnya, jika bukan dengan istrinya? Bukankah dekat dengan wanita yang bukan muhrim itu dilarang? Hmm...

"...dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang..."
Serupa dengan penggalan sebelumnya, Allah hanya akan menanamkan rasa kasih dan sayang itu pada sepasang suami-istri. Yang ini merupakan anugerah terbesar, hadiah terindah sebuah pernikahan, bagi pasangan suami istri. Anugerah dan hadiah yang datang langsung dari Allah. Sehingga darinya akan lahir sifat ramah, santun, peduli, dan sifat mulia lainnya.  Rasa ini pula yang jadi asbab dihadirkannya buah hati yang bisa menjadi penyenang hati bagi mereka. Jadi, sudah selayaknyalah sepasang suami-istri itu banyak bersyukur kepada Allah atas nikmat rasa kasih sayang yang diberikan kepada mereka. Bagaimana dengan pasangan suami istri yang di antara keduanya tidak ada rasa kasih dan sayang? Lihat penggalan berikutnya.

"...Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
Iya, kecenderungan, ketentraman dan rasa kasih sayang, hanya mungkin dirasakan oleh pasangan yang benar-benar berjodoh, seperti yang dipilihkan Allah. Karena tidak semua pasangan yang sudah menikah itu pasti berjodoh. Itulah kenapa ada saja pasangan yang sudah jadi suami istri, tapi di antara mereka tidak ada rasa kasih dan sayang. Tengoklah Fir'aun dan Asiyah. Mereka suami istri, tapi pasti Fir'aun bukanlah pasangan yang Allah sediakan bagi Aisyah. Allah pasti menyiapkan Asiyah untuk laki-laki terbaik yang baru akan dipertemukan kelak di surga. Namun bisa jadi, tidak adanya kasih sayang itu merupakan ujian bagi masing-masing pasangan, yang memang datang dari Allah. Dan dibutuhkan sebuah usaha untuk mewujudkannya.

Nah, kembali pada si Fulanah dan suaminya. Apa yang dialami Fulanah menunjukkan adanya kasih sayang di antara dia dan suaminya. Adanya kecenderungan terhadap istrinya, dan rasa tentram yang didapat dari istrinya, membuat suami Fulanah tergerak hatinya untuk menyenangkan istrinya siang itu dengan membawakannya rujak manis. Dan kenapa yang dipilihnya rujak manis? Sesungguhnya itu adalah rahasia Allah. Yang pasti Allah-lah yang menggerakkan hati suami Fulanah untuk melakukan apa yang telah dilakukannya. Itu bagian dari anugerah yang Allah berikan kepada pasangan yang menggukanan perasaannya di jalan yang benar dan halal. Inilah rasa yang bukan sembarang rasa. Rasa yang hadir pada sepasang kekasih yang telah terjalin sebuah ikatan halal bernama pernikahan. 

Dan apakah mereka berjodoh? Tidak perlu dijawab, tapi doakan saja mereka memang berjodoh. Begitu pula dengan mereka-mereka yang sudah menikah, termasuk saya dan suami. Semoga menjadi suami istri yang bahagia di dunia dan di surga. Bisa merasakan kasih sayang dari pasangan, serta ada cinta di antara kita dan pasangan. Yang terpenting juga adalah adanya usaha untuk mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang kepada pasangan jika rasa itu saat ini belum hadir. Kita tidak pernah tahu siapa "jodoh" yang Allah pilihkan untuk kita hingga kita merasakan kasih sayang sebagaimana yang Allah maksudkan, dan kita diwafatkan di atas keadaan itu.

Wallahu a'lam...


Pamulang, 25 Maret 2016#JumatBarokah
#OneDayOnePost
#20

Thursday, March 24, 2016

Tentang Rindu dan Cinta


Kala hati ini merindu
Setiap kata terasa syahdu
Alunan nada seakan merayu
Melagukan perasaan yang kelu
Hadirkan suasana penuh haru biru

Kala hati ini semakin merindu
Setiap detik waktu hanya ada kamu
Jalinan mimpi hadir bersama bayangmu
Terus menari menghiasi waktu malamku
Menghadirkan kembali kenangan masa lalu
Menghidupkan kembali asa tuk bisa bertemu

Kala hati ini mencinta
Setiap kata terasa romansa
Alunan nada seakan bercerita
Melagukan perasaan yang bergelora
Hadirkan suasana penuh suka cita

Kala hati ini semakin mencinta
Setiap detik menjadi begitu bermakna
Kebersamaan menjadi candu bagi raga
Kesetiaan terpupuk bersama indah pesona
Kebahagiaan menjadi tujuan akhir berdua
Mewujudkan mimpi sempurna, surga dunia


Pamulang, 24 Maret 2016
*kala rindu dan cinta menyapa


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#keepwriting
#19

Wednesday, March 23, 2016

Sejenak Melepas Penat di Pringsewu

Melakukan perjalanan darat dengan roda empat, menjadi bagian episode hidup tersendiri buat saya dan keluarga. Kendaraan roda empat yang Allah percayakan kepada kami beberapa bulan sebelum kelahiran anak keempat, menjadi teman setia kami dalam menempuh perjalanan darat yang cukup panjang itu. Perjalanan yang "harus" kami lakukan untuk kepentingan anak-anak, sesuai tujuan kami memutuskan membeli kendaraan tersebut, disamping tujuan-tujuan lainnya.

Sejak kami pindah dari kota Malang menuju Tangerang Selatan, perjalanan darat menjadi lebih sering kami lakukan. Perjalanan pulang pergi Jakarta Malang menjadi agenda setengah tahunan rutin yang hampir selalu kami lakukan. Melakukan kunjungan rutin menjenguk satu anak kami yang di pesantren juga menjadi agenda rutin penting lainnya. Perjalanan yang cukup memakan waktu dan tenaga.

Dalam perjalanan itu, kami hampir pasti mampir di beberapa warung makan untuk sekadar isi perut sekaligus istirahat sejenak untuk melepas penat selama berkendara. Salah satu warung yang sempat kami hampiri adalah Restoran Taman Pringsewu, yang memang ada di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Restoran ini menjadi pilihan karena anak-anak sangat menyukainya dan memang menjadi satu restoran yang menurut kami sangat ramah anak. Berikut beberapa hal menarik yang ada di Restoran Taman Pringsewu kota Tegal.

Sesuai namanya, Restoran Taman Pringsewu, resto ini memang kesan "taman"-nya sangat terasa. Halamannya luas dengan desain eksterior yang menarik. Berbagai arena bermain alam ada di sana. Tempat makan berupa gazebo-gazebo untuk lesehan, sangat nyaman dan sangat cocok untuk keluarga dengan anak-anak yang masih kecil-kecil seperti kami. Tapi bagi yang ingin menikmati makan di atas meja--dan duduk di kursi, tempatnya juga tersedia cukup banyak.

ayunan dari ban


becak mini

Yang paling menarik buat anak-anak--khususnya anak-anak saya, adalah atraksi sulap kecil yang dipersembahkan oleh beberapa karyawan resto ini. Di samping sulap kecil, mereka juga tidak pernah lupa untuk memberikan balon yang sudah dibentuk sedemikian rupa. Dan alat-alat sulap kecil yang mereka gunakan--berupa kartu, juga akan diberikan kepada anak-anak untuk dibawa pulang.

pojok khusus yang berisi alat-alat sulap, kalau berminat pengunjung bisa membeli
anak-anak sedang menunggu satu karyawan resto membentuk balon buat mereka

Di resto ini juga terdapat pojok khusus yang disebut "Gazebo Pintar". Di gazebo itu ada sebuah Magic Box, lukisan Dinosaurus 4 dimensi, dan alat-alat permainan yang menggunakan konsep fisika, salah satunya perambatan suara/bunyi.

Gazebo Pintar
 gambar dinosaurus 4 dimensi

Magic Box

Ada satu lagi yang sering menarik perhatian pengunjung resto ini. Di resto ini ada segerombolan pemusik yang membawa galon, terompet dan alat-alat sederhana lain. Jangan kaget ketika mereka tiba-tiba memainkannya di salah satu gazebo lesehan pengunjung atau di sekitar meja pengunjung. Mereka bukan pengamen lho. Tapi mereka memainkan alat musik itu biasanya atas permintaan tamu di gazebo atau meja yang dimaksud. Itu karena satu dari pengunjung di situ biasanya ada yang lagi merayakan sesuatu, seperti ulang tahun dan hari jadi pernikahan.

segerombol pemusik sedang beratraksi

Resto ini juga menyediakan ruang khusus bagi ibu-ibu yang akan menyusui anaknya. Dan bagi yang ingin merasakan sensasi menikmati sajian resto di ketinggian, di sini juga ada rumah pohon yang bisa ditempati.

ruang untuk ibu menyusui

Beberapa kenyamanan lainnya, resto ini menyediakan tempat parkir yang tersebar di banyak tempat. Bahkan pengunjung bisa memilih untuk parkir di depan gazebo yang mereka pilih untuk tempat mereka makan. Fasilitas umum juga tersedia cukup di sini, yaitu toilet dan kamar mandi. Dan tentu saja, bagi yang muslim, di sini juga terdapat musholla untuk tempat beribadah.

Nah! Kalau teman-teman sedang melakukan perjalanan darat yang cukup jauh dan melintasi kota-kota yang terdapat Restoran Taman Pringsewu di sana, jangan ragu-ragu lagi untuk mampir ya. Nikmati sajian yang ada di sana, dan istirahatlah sejenak sembari menunggu makanan siap dihidangkan.


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#18

Monday, March 21, 2016

Doa dan Harapan Bunda

Hari jumat pekan lalu, seharusnya menjadi jumat kelima anak keempat saya ikut sholat jumat ke mesjid. Tapi batuk pileknya lumayan mengganggu--meler sangat, sehingga saya mencegahnya ikut. Karena saya khawatir "pileknya" akan mengganggu kehusyukan sholat ayahnya.

Anak keempat saya--laki-laki, usianya empat tahun september nanti. Tentu sholat jumat menjadi ibadah wajib baginya saat besar nanti. Saya sudah merencanakan sejak jauh-jauh hari untuk memulai pembiasaan pergi ke mesjid ini sedari dini. Tadinya kisaran usia lima tahun, akan saya pilih sebagai awal dia memulainya. Namun, lima jumat yang lalu, hal itu sudah mulai dilakukan.

Satu hal yang ingin saya ajarkan kepada anak laki-laki saya ini. Yaitu dia mengerjakan sesuatu--yang baik, karena dia memang ingin melakukannya. Bukan karena terpaksa dan dipaksa. Apalagi urusan pergi ke mesjid untuk sholat jumat. Sebisa mungkin harus karena keinginannya sendiri. Seperti yang terjadi lima jumat lalu.
"Ayah, mau ke mana?" tanya anak saya, dimana dia memang sudah biasa melihat ayahnya ke mesjid.
"Ya, ke mesjid laaah!" jawab ayahnya.
"Adik, mau ke mesjid juga?" tanya saya tanpa ada maksud apa-apa. Yang biasanya saya lanjutkan dengan mengatakan, "Nanti, ya, kalau sudah besar."
Tapi saat itu saya tidak melanjutkan dengan kata-kata yang sama, dan dia minta untuk ikut. Karena dia pas barusan mandi, masih wangi dan memakai baju rapi, ayahnya memilih untuk menurutinya. Dan ternyata, kesan ke mesjid hari jumat untuk pertama kalinya ini, benar-benar "menggoda". Jadilah jumat-jumat berikutnya dia kembali ikut dan ikut lagi, hingga jumat keempat.

Mungkin itu hal yang biasa dilakukan oleh para orang tua untuk melatih pembiasaan yang baik bagi anak-anak. Saya pun begitu. Tidak hanya itu, saya ingin anak-anak tidak hanya terbiasa melakukan kebiasaan-kebiasaan baik, tapi juga memiliki kemampuan menjaga untuk tetap selalu melakukannya. Atau bahasa kerennya, istiqomah. Termasuk dalam urusan sholat.

Bacaan-bacaan tentang biografi para sahabat dan tokoh-tokoh islam dunia, banyak mempengaruhi harapan-harapan saya terhadap anak-anak. Juga dalam hal keitiqomahan, yang saya begitu terkesan dengan sosok Sultan Muhammad al Fatih yang sholatnya selalu terjaga sejak usia belianya. Dan itulah yang saya harapkan pada anak laki-laki saya. Harapan-harapan besar yang tidak cukup hanya dengan pembiasaan saja, tapi juga dibutuhkan doa dari kedua-orangtuanya.

"Anakku, meski di jumat kelima kemarin, ikut ke mesjidnya harus tertunda karena bapil, semoga jumat-jumat selanjutnya Allah senantiasa memberikan kesehatan padamu, dan memudahkan langkahmu menuju mesjid-Nya. Amin..."


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#15

Thursday, March 17, 2016

Belajar dari Pengalaman

sekali bisa menaklukkan ombak, anak-anak akan mengulanginya lagi,
dan mereka pun jadi tahu, kapan harus melompat menghindari hempasan ombak

Pernah mengalami kejadian yang sama, di tempat yang sama, lebih dari sekali? Hal yang sangat mungkin bisa terjadi. Kalau kejadiannya menyenangkan sih, it's ok waelah. Tapi bagaimana dengan kejadian yang tidak menyenangkan? Hmm, sepertinya kalau kejadian yang tidak menyenangkan sampai terjadi lebih dari dua kali, kita benar-benar sedang butuh kehati-hatian ekstra. Kenapa begitu?

Ingat pepatah "keledai tidak akan terperosok dua kali di lubang yang sama"? Pepatah lama ini pantas rasanya untuk dijadikan bahan renungan. Kalau keledai saja bisa menghindar untuk tidak terperosok lagi di lubang yang sama, seharusnya kita kan bisa lebih pintar dari keledai. Apalagi keledai sudah biasa diidentikkan sebagai binatang yang bodoh. Nah, lho! Hihi...

Saya jadi ingat kejadian semalam. Tadi malam, untuk kali kedua saya memasuki ibu kota Jakarta dengan roda empat tanpa ditemani suami. Pada kali pertama, saya masuk ibu kota pada hari sabtu, hari dimana beberapa kantor tidak buka, alias libur. Saya kira lalulintas bakal sepi, tapi ternyata sama saja--macetnya. Karena tadi malam hari efektif, pastinya lalulintas bakal padat. Dan ternyata memang beneran padat, walau tidak di semua titik. Entah sudah biasa, atau hanya tadi malam, di titik-titik yang padat, beberapa polisi nampak berjaga-jaga.

Sampailah saya di sebuah pertigaan yang jalannya ada tiga lajur. Karena saya mau lurus, saya memilih lajur yang di tengah. Maksud hati agar aman dan tidak mengganggu kelancaran lalulintas. Tapi siapa sangka, ternyata dua lajur kanan dikhususkan untuk kendaraan yang akan berbelok ke kanan. Saya pun pasang aksi, menyalakan reting kiri untuk berjalan lurus. Dan tiba-tiba, "priiit..." suara pluit polisi mengagetkan saya. Ups! Jadi kena tilang deh, hihi...

Selama berkendara, hal yang sama pernah saya alami, tapi di tempat berbeda dan memang belum pernah disemprit polisi. Saya tidak terlalu mengerti "peraturan" yang macam begitu. Kalau kata pak polisi, tindakan saya itu mengganggu antrian orang lain. Hmm, okelah pak polisi, saya maklum saja. Mungkin karena padatnya lalulintas di Jakarta, sehingga yang seperti itu dianggap pelanggaran. Atau memang begitu aturannya? Hehe, entahlah. Karena bukan itu yang penting. Yang terpenting sekarang adalah, saya jadi tahu ada aturan seperti itu. Dan jangan sampai kejadian yang sama menimpa saya lagi--eman duite...

By the way, urusan tilang menilang, pengendara tentunya akan terbiasa dan tahu titik mana saja ada polisi yang siaga. Dan biasanya pengendara akan lebih hati-hati untuk melakukan pelanggaran di tempat-tempat tersebut agar tidak terkena tilang dari polisi. Pesan penting dari hal tersebut adalah bagaimana seseorang itu belajar dari peristiwa yang pernah dialaminya. Dipilihnya tindakan untuk lebih berhati-hati, karena seseorang tentu tidak ingin terkena sanksi hukum dari pelanggarannya, alias kena tilang... #mbayar

Kembali pada si keledai. Keledai adalah makhluk Allah dari kelompok binatang. Sebagai sesama makhluk, manusia diberi kelebihan dibandingkan keledai, yaitu pada akal yang dimiliki manusia. Jadi sudah seharusnya manusia jauh lebih baik dari keledai. Maka dari itu, agar tidak terperosok ke lubang yang sama, ada baiknya seseorang mulai belajar. Menjadikan pengalamannya di masa lalu sebagai guru dan pengingat untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi di masa yang akan datang. Ya, belajar dari pengalaman. Kalaulah belum pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, ambillah pengalaman orang lain sebagai contoh untuk lebih mawas diri terhadap peristiwa serupa. 


#OneDayOnePost
#keepwriting
#14

Wednesday, March 16, 2016

Sahabat Senyap


Senyap
Rindu merayap
Tak pernah terungkap
Yang ada hanyalah ratap

Dimana sikap
Yang pernah hinggap
Bisakah kembali walau sekejap
Sebelum datang masa yang gelap

Tapi semua lenyap
Saat langit masih gemerlap
Telah sirna sebait untaian harap
Yang tersisa hanya mimpi sebelum lelap

Senyap
Aku terkesiap
Memandang penuh tatap
Pada tanya yang tak terjawab


Pamulang, 12 Maret 2016
*untuk sahabat dalam senyap


#OneDayOnePost
#keepwriting
#13

Tuesday, March 15, 2016

Saya Menangis Membaca Buku Ini

Saya suka membaca, membaca apa saja, dan dimana saja. Dengan membaca saya bisa mendapat informasi tentang banyak hal. Membaca itu menambah wawasan dan pengetahuan saya, sekaligus juga membuat saya jadi makin "bodoh". Karena ternyata ada banyak hal yang belum saya ketahui. Buat saya, membaca itu bukan melulu soal buku. Tapi lebih dari itu. Dan saya memperoleh banyak sekali manfaat dari membaca. 

Jaman saya SD dulu, sekitar tahun 1986-1991, saya benar-benar menjadi kutu buku. Ya, saya suka sekali membaca buku kala itu. Hampir tiap hari saya mengunjungi perpustakaan sekolah. Berbagai jenis buku yang ada di perpustakaan itu, hampir semuanya pernah saya baca.

Menginjak masa SMP, saya sudah tidak lagi menjadi kutu buku. Meski membaca buku masih jadi kebiasaan, tapi intensitasnya sudah tidak sesering waktu di SD. Saya lebih banyak aktif di ekstrakurikuler pramuka. Untuk menunjang kegiatan kepramukaan, tentu saja saya harus tetap rajin membaca. Karena untuk bisa naik tingkat saya harus lulus ujian yang sebagiannya tentang pengetahuan seputar kepanduan. Bagaimana mungkin saya bisa mengetahuinya kalau tidak dengan membaca?

Di SMA, mata pelajaran yang diberikan lebih banyak dibandingkan di SMP. Itu menuntut saya untuk membaca lebih banyak buku pelajaran agar saya tidak jauh tertinggal. Entahlah, saat itu saya merasa lemah sekali dalam memahami pelajaran yang berisi banyak teori-teori, dan yang menuntut saya harus banyak menghafal. Saya hanya menyukai matematika, karena untuk tahu hasil kali suatu bilangan, saya kan tidak perlu menghafalnya. Tapi walaupun nilai matematika saya lumayan, kalau pelajaran yang lain jeblok, kan raport-nya jadi ikutan jeblok, hihi...

Memasuki bangku kuliah, sebetulnya saya punya waktu dan kesempatan lebih banyak untuk membaca. Namun kegiatan sebagai aktivis kampus terasa lebih menyenangkan sehingga saya menjadi tidak terlalu rajin membaca. Kalau pun sekali waktu saya berkunjung ke perpustakaan, itu karena tugas kuliah yang mengharuskan saya mencari jawaban di sana. Dan kalau saya terlihat banyak membaca, sangat sedikit dari yang saya baca itu yang bukan buku diktat kuliah. Anak kuliahan kan sudah biasa kemana-mana bawa buku, haha...

Menginjak semester lima, saya menikah. Beberapa orang berpikir, menikah sebelum kuliah kelar itu akan lebih banyak menghambat kuliah. Namun siapa sangka, yang saya rasakan justru sebaliknya. Saya yang dinyatakan hamil sebulan setelah menikah, justru merasakan lebih banyak kemudahan dalam studi S-1 saya. Saya bisa memahami materi perkuliahan dengan lebih mudah. Saya juga bisa menyelesaikan soal-soal geometri jauh lebih mudah dari sebelumnya. Sampai dosen geometri yang sudah pernah mengajar saya sebelumnya, mengira saya baru pertama kalinya mengikuti mata kuliah itu.

Merasakan kemudahan sejak dinyatakan hamil, saya jadi lebih semangat membaca. Hanya saja, saya memilih bacaan-bacaan yang saya "butuhkan", yaitu bacaan seputar pengetahuan bagaimana menjadi ibu baru dan tata cara mengasuh bayi. Sebagai anak gadis yang pertama kali menikah, sedikit pun saya tidak tahu menahu bagaimana merawat dan mengasuh bayi. Dan sebagai gadis yang dikenal sedikit "tomboy" dan "pemalas", banyak orang meragukan kemampuan saya untuk menjadi seorang ibu. Jangankan menjadi ibu, menjadi istri saja, kapabilitas saya banyak yang meragukan, haha...

Jadilah sebuah buku panduan yang berisi informasi seputar kehamilan, kelahiran dan tata cara mengasuh bayi dari hari ke hari, sebagai teman saya mengisi waktu luang di sela-sela kuliah. Pilihan teman yang tepat bagi saya sebagai persiapan menanti kelahiran seorang bayi. Sekaligus menjadi hiburan bagi saya yang menjalani LDM (Long Distance Marriage) di tahun pertama pernikahan. Betul-betul buku panduan yang sarat pengetahuan, yang manfaatnya bisa saya rasakan di kemudian hari.

Setelah anak saya mulai besar, dan hadir anak-anak berikutnya, bacaan saya beralih pada buku-buku tentang pengasuhan. Saya rasakan betul, menjadi orang tua itu butuh terus dan terus belajar. Apalagi menjadi orang tua dengan banyak anak. Orang tua harus benar-benar bisa menjadi pengasuh yang multi talenta. Karena masing-masing anak pasti memiliki kekhasan yang berbeda satu sama lain. Yang itu berarti, mereka membutuhkan pendekatan berbeda dalam tata cara mengasuh dan mendidiknya.

Ketika anak-anak memasuki dunia sekolah, sekolah islam yang saya pilihkan untuk mereka memberi pengaruh besar terhadap pilihan bacaan saya selanjutnya. Saya yang biasanya membaca buku pengasuhan umum, mulai bergeser ke buku-buku pengasuhan yang islami. Diikuti dengan buku-buku motivasi yang islami. Saya seperti memasuki sebuah dunia baru. Mengenyam pendidikan dari TK hingga SMA di sekolah umum, dan kuliah di jurusan yang juga umum, "dunia islam" terasa sebagai sesuatu yang baru. 

Tidak cukup hanya membaca, saya mulai rajin mengikuti majelis taklim. Sebagai orang yang baru belajar, saya hadir di majelis ilmu laksana gelas yang kosong. Saya ingat, di tiga bulan pertama saya ikut kajian rutin seminggu sekali itu, tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulut saya. Pernah merasakan dunia perkuliahan, membuat saya bisa menahan diri untuk tidak bertanya sebelum saya mendapatkan jawaban dari membaca ulang materi yang disampaikan, agar saya jadi lebih paham. Pada saat itulah, saya menemukan sebuah buku tebal di antara tumpukan buku-buku milik suami. Sebuah buku agama yang merupakan hadiah dari teman suami beberapa bulan sebelumnya dan belum pernah dibaca.

Buku itu berjudul "Ar-Rahiq Al-Makhtum" karangan Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfuri (*) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebuah buku yang menceritakan tentang perjalanan hidup Rasulullah, dari awal--jauh sebelum beliau dilahirkan, hingga detik-detik wafatnya beliau. Dilengkapi dengan sumber referensi dan rujukan yang otentik, layaknya sebuah karya ilmiah. Karena memang buku itu adalah satu dari peserta kompetisi terbuka untuk buku Sirah Nabi pada tahun 1979 yang berhasil meraih juara pertama.

Sudah menjadi kebiasaan saya saat membaca buku, selalu membacanya dari lembar pertama. Yaitu halaman judul lalu lanjut ke halaman yang nomernya masih angka romawi. Sebuah pengantar yang sangat menarik. Keingintahuan saya yang makin besar mendorong saya untuk membaca dan terus membaca. Gairah yang saya rasakan dalam membaca buku tebal itu, bagaikan seorang yang sedang kehausan lalu dihadapkan pada saya segelas air segar yang siap menyejukkan. Minum berteguk-teguk serasa tak cukup saja.

Saya membacanya lembar demi lembar tanpa ada yang terlewat. Saya tidak ingat berapa lama saya menuntaskan membaca buku itu. Yang pasti saya memilih waktu dimana saya benar-benar telah selesai dengan segala urusan rumah tangga. Karena saya tidak hanya sekadar ingin membaca buku itu, tapi juga ingin meresapi dan memahami detil semua isinya. Dan benar-benar emosi saya turut larut saat membaca buku itu. Hingga ketika saya sampai pada detik-detik menjelang wafatnya Rasulullah, tetangga saya datang untuk suatu keperluan. Saya yang membukakan pintu masih dengan sisa-sisa air mata yang tadinya deras mengalir, langsung kaget dan mengira saya sedang ada masalah. Setelah saya menjelaskan apa yang terjadi, tetangga saya pun mengerti.

Begitulah! Buku tebal itu menjadi buku religi pertama yang utuh saya baca hingga tuntas. Menjadi buku tebal terbaik dan paling berkesan yang pernah saya baca. Buku yang tidak hanya memberi saya banyak informasi tentang kehidupan Rasulullah, tapi juga membuat saya turut merasakan apa yang Rasulullah rasakan. Hingga saat saya membaca kisah tentang perang beliau, saya seakan-akan juga ikut berperang bersama beliau. Dan di detik-detik menjelang wafat beliau, seolah-olah saya juga berada di antara para sahabat yang menunggu dengan linangan air mata melepas kepergian beliau.

Buku itu telah mengantarkan saya pada semangat keislaman baru yang hingga kini terus mengalir dalam darah, mengiringi setiap desah nafas dan mewarnai hidup saat mimpi maupun terjaga. Sayang, buku itu kini tidak jelas keberadaannya. Sepertinya banyak berpindah tangan membuat buku itu tidak bisa kembali pulang. Hingga saya pun tidak bisa mengabadikannya dalam gambar--sedih...


(*) Ar-Rahiq-ul-Makhtum adalah buku Sirah Nabi Islam, Muhammad, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Urdu oleh Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfuri. Versi bahasa Arab-nya dianugerahi juara pertama oleh Liga Muslim Dunia, dalam Islamic Conference on Seerah, menyusul kompetisi terbuka untuk buku Sirah Rasul Allah pada tahun 1979. Buku ini bersaing dengan 170 manuskrip lainnya, 84 dalam bahasa Arab, 64 dalam bahasa Urdu, 21 dalam bahasa Inggris satu dalam bahasa Prancis dan satu dalam bahasa Hausa. Buku ini menceritakan berbagai fase kehidupan Muhammad. Buku ini juga menyediakan rujukan otentik yang menjadikannya lebih terpercaya dan tidak terlalu kontroversial. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Sealed Nectar. 
(Sumber: Wikipedia, dengan sedikit edit tulisan yang dianggap perlu)


#OneDayOnePost
#keepwriting
#12

Monday, March 14, 2016

Sepaket Hadiah Cinta, Demi Hobbi

 

"Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang engkau dustakan?"

Punya wifi tanpa laptop dan ponsel pintar itu, sepertinya memang "kurang" berguna. Sejak sekitar dua minggu yang lalu suami menyediakan wifi di rumah, hampir tiap hari wifi itu aktif saya gunakan. Lumayan, saya tidak perlu repot-repot lagi memikirkan quota ponsel yang hampir tiap bulan sekali harus saya isi pulsa minimal Rp50000 untuk bisa internet-an. Saya juga bisa nge-blog lagi, dan mulai rajin menulis--semoga konsisten. Apalagi saya memutuskan ikut ODOP (One Day One Post). Kini, hampir tiap hari saya menulis dan menulis. Walau kadang tidak semua yang saya tulis saya putuskan untuk di-publish.

Sekarang saya sudah bisa memaksimalkan fungsi tablet untuk aktivitas nge-blog. Namun, untuk urusan menulis yang cukup banyak, laptop tetap lebih nyaman buat saya. Dan karena laptop saya rusak, sejak ada wifi itu, saya menggunakan laptop milik suami untuk menulis dan nge-blog. Padahal waktu pagi menjadi waktu terbaik saya untuk menulis, yaitu antara pukul 08.00 hingga pukul 11.00. Waktu dimana saya selesai dengan urusan pagi, dan anak-anak sudah berangkat ke sekolah. Selain pagi, saya juga punya jam menulis malam, yaitu setelah anak-anak tidur dan sebelum suami pulang dari kantor. Tapi itu tidak lebih banyak dibanding waktu pagi jelang siang.

Kalau suami ada jam mengajar pagi, maka saya tidak bisa menggunakan laptop untuk saat itu. Otomatis saya hanya menggunakan waktu malam untuk kegiatan menulis. Hal itu sempat membuat saya beberapa kali harus tidur terlalu larut. Begitulah kalau menulis sudah jadi hobbi. Entah karena alasan saya tidur larut malam, atau agar aktivitas nge-blog saya tidak lagi mengganggu laptop suami, suami memutuskan untuk membelikan saya laptop sendiri. Jadilah pagi ini dan insya Allah untuk pagi-pagi selanjutnya, laptop cantik hadiah dari suami (yang sekarang saya gunakan) siap menemani saya. Alhamdulillah, suami saya memang baik hati, mengerti banget hobbi istri, hihi...

Selain untuk menulis, laptop juga memudahkan saat membaca. Dengan layar lebih lebar, saya bisa membaca lebih cepat dan mudah menangkap pesan tulisan yang saya baca. By the way, saya itu lebih banyak membaca daripada menulis saat laptop dan internet bersanding. Mulai dari membaca status teman, berita di media, hingga berbagai pengetahuan yang bisa langsung dari sumbernya. Jadi waktu yang saya habiskan di depan laptop berjam-jam itu, tidak semuanya hanya untuk menulis.

Saya memang suka baca, sejak awal mula saya bisa membaca. Membaca selalu menjadi poin wajib yang selalu saya cantumkan di kolom hobbi saat mengisi daftar riwayat hidup. Bukan daftar riwayat hidup buat cari pekerjaan, lho. Tapi sebatas daftar identitas yang biasanya saling dibagikan antar teman dan sahabat pena waktu masih a-be-ge dulu.

Mengingat kembali hobbi membaca, waktu SD dulu saya sampai kehabisan stok buku untuk dibaca. Maklumlah, SD negeri di desa, koleksi perpustakaannya tidak seberapa. Apalagi saya membaca tidak hanya pada hari sekolah, tapi saat liburan juga. Saya pernah, menjelang libur panjang--yang dulu hampir sebulan, melobi petugas perpustakaan agar bisa meminjam banyak buku. Kalau hari efektif sekolah, biasanya hanya bisa meminjam dua buku, lalu mengganti dengan buku yang baru di hari berikutnya. Tapi kalau liburan kan perpustakaannya ikut tutup? Jadi saya meminjam 15 buku sekaligus, maksudnya untuk stok selama liburan. Berhasilkah saya? Tentu saja. Itu salah satu keuntungan jadi anak pak guru, haha...

Membaca adalah hobbi yang asyik. Apalagi jaman sekarang, tidak harus punya buku untuk bisa membaca setiap hari. Menulis juga menyenangkan. Menulis bisa menjadi terapi untuk meringankan beban pikiran yang sulit diungkapkan dengan lisan. Kegiatan membaca dan menulis juga bisa "menghasilkan", lho--apalagi kalau bukan uang, haha. Nah, dengan punya laptop sendiri, layanan wifi on sepanjang hari, dan secangkir kopi, apalagi yang saya cari pagi ini? Saya tinggal duduk depan laptop, dan siap menikmati hobbi. "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Saya tidak pilih-pilih jenis buku untuk dibaca. Mulai dari buku cerita, hikayat, hingga prakarya. Tapi itu dulu, waktu saya masih di SD. Seiring waktu, banyak hal telah berubah pada diri saya. Pada masa SMP, saya lebih banyak beraktivitas di kepanduan ketimbang membaca. SMA, beda lagi prioritasnya. Meski tetap saja, motto "Tiada Hari Tanpa Membaca" jadi pegangan, namun buku yang saya baca terus berubah dari waktu ke waktu. Bacaan seperti apa yang menarik buat saya sekarang? Buku apa yang paling berkesan dan menjadi buku terbaik yang pernah saya baca? Akan saya ceritakan kisahnya pada tulisan selanjutnya.

 

#OneDayOnePost
#keepwriting
#11

Friday, March 11, 2016

Taubat Sebelum Tamat


          Sampai kapan engkau akan berbuat maksiat
          Tidak adakah keinginanmu untuk bertaubat
          Waktumu di dunia ini hanyalah sesaat
          Jangan habiskan untuk sesuatu yang dilaknat

                    Sampai kapan engkau akan berbuat maksiat
                    Tidak adakah keinginanmu untuk bertaubat
                    Jangan hanya karena ingin dibilang moderat
                    Engkau ingkar dan menyimpang dari syariat

          Jika engkau ingin mendapat rasa hormat
          Tak perlu pikirkan harkat dan martabat
          Tapi mulailah berbuat sesuatu yang manfaat

                    Kelak akan tiba masa engkau berada di akhirat
                    Saat tak ada yang bisa engkau andalkan selain taat
                    Yang dengan bekal itu maka engkau akan selamat

          Jangan tunda lagi, segeralah engkau bertaubat
          Segera kembali ke jalan-Nya sebelum terlambat
          Sebelum malaikat maut datang mendekat
          Sebelum semua tentangmu berakhir dan tamat


Pamulang, 11 Maret 2016


#OneDayOnePost
#keepwriting
#10

Alhamdulillah, Terima Kasih, Ya Allah

Hingga pukul 21.00 malam ini, saya belum posting tulisan. Keluhan PMS (Pre Menstruasi Sindrom) yang saya rasakan dua hari ini memang cukup mengganggu. Entah kenapa, keluhan rutin yang selama dua bulan terakhir sudah mulai menghilang, kini muncul kembali. Tapi saya tetap berusaha untuk menyelesaikan tulisan sebelum hari berganti. Dan harus gagal pada hari ini...

Sekitar pukul 21.00 tadi, setelah ketiga anak saya tidur, saya sudah siap di depan laptop bersama segelas jahe hangat. Ada beberapa topik yang ingin saya tulis, tapi belum ada yang tuntas hingga suami saya datang setengah jam kemudian. Setelah menyambut suami dan berbincang sebentar, sekitar setengah jam-an, saya bermaksud melanjutkan lagi untuk menulis. Baru 10 menit saya berada di depan laptop, tiba-tiba terdengar suara reruntuhan sesuatu. Tidak terlalu keras suaranya, namun cukup menyita perhatian saya.

Saya pun pergi mencari sumber suara reruntuhan itu di dapur, tapi tidak menemukan apa-apa. Lalu saya berpindah ke kamar saya dan suami, dimana anak-anak juga ikut tidur di kamar itu tadi. Dan betapa kagetnya saya melihat reruntuhan dinding yang memang mulai keropos menimpa bantal yang digunakan putri kedua saya. Lalu putri saya bagaimana?

SubhanAllah walhamdulillah, putri kedua saya yang tidurnya "munyer" (muter-muter ke sana ke mari), sudah tidak di atas bantal itu lagi. Dia sudah berada jauh di bagian tepi kasur yang jauh dari dinding. Dan ternyata, beberapa saat sebelumnya, suami sempat berpikir untuk memindah putri kedua saya ke tempat semula. Sementara itu, putri ketiga saya tidurnya berada agak jauh di sebelah kakaknya yang bantalnya tertimpa reruntuhan. Sehingga kedua putri saya tidak ada yang tertimpa langsung reruntuhan dinding yang sebagiannya cukup besar-besar itu. Hanya serpihan debu bercampur pasir halus yang sedikit menggangu kenyamanan tidur mereka.

"Ya Allah... malam ini Engkau benar-benar menunjukkan kebesaran-Mu pada kami. Sungguh, sedikit pun kami tidak ragu akan kekuasaan-Mu. Engkau telah menunjukkan pada kami, bahwa Engkaulah Sang Maha Penyelamat dari segala keburukan. Engkau telah mengingatkan kami untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang Engkau berikan. Terima kasih, ya Allah... Jagalah kami selalu dengan sebenar-benar Penjagaan-Mu. Hanya kepada Engkaulah kami titipkan jiwa dan raga kami."

#OneDayOnePost
#keepwriting
#9

Wednesday, March 9, 2016

Pesona Mini Afrika-nya Indonesia

Pernah dengar tidak, kalau Indonesia punya miniatur Afrika? Kawasan hutan yang sengaja dijadikan Taman Nasional, dan "tertutup" dari aktivitas dan hunian manusia. Ya, itulah Taman Nasional Baluran.

Taman Nasional Baluran berada di bagian timur pulau Jawa. Tepatnya di ujung timur wilayah kabupaten Situbondo, tanah kelahiran saya. Lokasinya yang berjarak sekitar 271 km dari Surabaya, ibu kota propinsi Jawa Timur ini, sangat mudah dijangkau. Hanya ada satu jalur untuk menuju ke sana dari Surabaya, yaitu dengan perjalanan darat via jalur pantura. Pengunjung yang datang ke sana bisa memasuki area wisata dengan mengendarai mobil, motor, atau pun jalan kaki. Kalau jalan kaki, siapkan saja tenaga dan perbekalan yang cukup.

Selamat Datang di Baluran

Taman Nasional Baluran memang dikenal sebagai "Mini Afrika"-nya Indonesia. Sebutan itu bukan tanpa alasan. Hal ini karena di Taman Nasional Baluran terdapat padang savana yang menyerupai padang savana di daratan Afrika. Pengunjung bisa menikmati pemandangan padang savana ini dari beberapa sisi yang berbeda, tentu dengan latar yang juga berbeda. Untuk menikmatinya pun, cukup dari jalan yang memang disediakan untuk dilalui kendaraan. Padang savana Bekol, adalah padang savana terluas yang ada di sana.

Ada beberapa lokasi unggulan yang bisa dinikmati pengunjung di Taman Nasional Baluran. Yang utama tentu saja pemandangan alamnya. Dimana perbedaan ekstrim terjadi di dua musim berbeda. Yaitu nuansa warna hijau di musim hujan dan nuansa kecoklatan saat musim kemarau. Begitu juga dengan pepohonan yang ada, akan terlihat rimbun oleh dedaunan dan menghijau di musim hujan, namun daun-daun itu rontok saat musim kemarau.

pemandangan padang savana di musim kemarau dengan latar pepohonan

pemandangan padang savana di musim kemarau dengan latar gunung Baluran

Nama Baluran sendiri merupakan nama gunung yang berdiri kokoh di kawasan Taman Nasional Baluran. Gunung itu tidak hanya menambah indah pemandangan, tapi juga menjadi pelindung bagi beberapa spesies binatang yang hidup dengan bebas di sana. Diantaranya ada rusa, banteng, kerbau, burung merak, monyet dan beberapa spesies lainnya. Dengan terjaganya kawasan Taman Nasional Baluran dari aktivitas dan hunian manusia, berbagai spesies binatang dapat hidup dan berkembang biak dengan bebas di sana. Kalau beruntung, pengunjung bisa melihat berbagai spesies binatang itu sekaligus dalam satu kunjungan. Menurut info dari petugas di sana, bulan September dan Oktober adalah bulan yang cocok untuk berkunjung ke sana. Di bulan-bulan itu, sebagian besar binatang akan mudah terlihat, karena masa itu adalah musim kawin.

pepohonan sekitar gunung Baluran yang terlihat mengering di musim kemarau

Selain hutan, padang savana, dan binatang-binatangnya, di Taman Nasional Baluran juga terdapat pantai yang indah, yaitu Pantai Bama. Pemandangan dan suasana alamnya begitu nyaman untuk dinikmati. Terumbu karangnya juga tidak kalah indah dan cukup terjaga. Karena itu snorkling menjadi aktivitas yang sayang untuk dilewatkan ketika berkunjung ke pantai ini. Hanya saja untuk snorkling, tidak bisa setiap saat dilakukan. Hal ini karena keterbatasan petugas yang melayani kebutuhan pengunjung untuk snorkling. Akan lebih baik jika saat di pintu masuk sudah terlebih dahulu memberitahukan kepada petugas rencana untuk snorkling, sekaligus memperoleh kepastian bisa atau tidaknya snorkling saat itu. Karena jarak pantai dengan pintu masuk lumayan jauh.

  pesona Pantai Bama

Dan bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana malam ala hutan, bisa memilih untuk bermalam. Taman Nasional Baluran menyediakan beberapa pondokan kayu sederhana sebagai tempat menginap. Biayanya juga sangat terjangkau, yaitu kisaran 150 ribu hingga 300 ribu rupiah saja per malam, tergantung jenis pondok yang dipilih. Untuk menjaga suasana alami hutan, ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi pengunjung yang menginap, terutama pada malam hari. Sebaiknya tidak keluar pada malam hari, untuk menghindari serangan binatang buas. Nikmati saja nyanyian angin hutan dan suara-suara binatang malam dari dalam pondok. Meski jarang muncul, macan tutul termasuk spesies yang kabarnya juga menghuni Taman Nasional Baluran.

Bagaimana? Siap menguji nyali untuk berkunjung dan bermalam di sana?

#OneDayOnePost
#keepwriting
#8

Tuesday, March 8, 2016

Sekilas Tentang Saya

Pada postingan kemarin, "Di Atas Langit Masih Ada Langit", ada sedikit informasi tentang saya. Yaitu mengenai sekolah yang saya pilih dan pengalaman yang saya dapat selama di jenjang SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Informasi lainnya sebenarnya bisa digali dari blog ini, baik dari profil, maupun dari tulisan-tulisan yang pernah saya posting. (Maksudnya disuruh cari sendiri gitu? Hehe... Nggak kok...) Tapi agar teman-teman tidak ragu, silakan simak baik-baik ya, headset dan kacang goreng bisa ditaruh dulu, agar tidak terjadi kekeliruan dalam "menangkap" informasi... hahaha...

Nama. Dari mulai Akte Kelahiran, semua Ijazah (dari TK hingga S1), KTP, SIM, Paspor, hingga akun sosial media, persis sama, yaitu Kholifah Hariyani. Nama asli pemberian orangtua. Nama yang cukup mudah diucapkan, meski tidak jarang ada saja yang keliru menulis nama depan saya. Sering huruf "k"-nya tertinggal. Biasalah, kalau tidak memperhatikan makhraj, "kho" dan "ho", terdengarnya kadang sama di telinga. Hihihi...

Usia. Tentang usia, saya suka malu-malu "bangga" kalau ditanya. Meski sekarang saya sudah kepala tiga, tapi saya selalu "merasa" muda, yuhuuu... Itu karena saya terbawa "atmosfer", dimana selama 16 tahun menempuh pendidikan, dari SD hingga bangku kuliah, saya selalu menjadi yang termuda di kelas. Bahkan saking pede-nya, saya sering merasa paling muda di antara siapa pun. (Wkwkwk... balada emak-emak tidak siap tua.) Saya menjadi yang termuda, karena memang usia saya satu tahun di bawah usia rata-rata teman se-angkatan saya. Bukan karena saya masuk TK-nya kurang umur. Tapi karena pas kelas 1 SD, saya sering bikin "rusuh" kelas, hingga mengganggu tercapainya tujuan pendidikan yang semestinya. (Wkwkwk... ngomong opo seh?) Kok bisa? Ya, bisa. Jangan dibayangkan masa SD saya dulu seperti masa SD sekarang yang pelajarannya bejibun. Pas kelas 1, saya hanya belajar membaca dengan buku "Ini  Budi" yang melegenda itu, dan belajar berhitung yang kisaran angkanya antara 1 - 10 saja.
Untuk pelajaran berhitung, setelah menjelaskan, pak guru saya (yang tampan dan gagah itu, ini beneran lho!) biasanya akan memberikan soal-soal di papan tulis untuk disalin ke buku. Pada beberapa kesempatan, setelah menuliskan soal di papan tulis, pak guru kadang keluar kelas, entah ke kantor, entah ke kamar mandi. Naaah, saat itulah saya beraksi. Maju ke depan kelas, dan mengisi jawaban semua soal yang ada di papan tulis yang masih terbuat dari kayu itu. Benar-benar "tidak mencerdaskan"! Hahaha...
Sampai suatu ketika, pak guru memergoki saya melakukan perbuatan "tak mendidik" itu. Bukannya dimarahi, pak guru malah menghubungi bapak saya dan menyampaikan maksudnya untuk mengikutkan saya "tes uji soal berhitung" untuk kelas 2. Karena pak guru agak memaksa, bapak saya yang awalnya keberatan, akhirnya memberi ijin. Daaan..., saya berhasil mengimbangi kemampuan anak kelas 2 dalam berhitung. Jadilah saya yang di kelas 1, tahun berikutnya langsung dinaikkan ke kelas 3 saat kenaikan kelas, hehehe...

Status. Alhamdulillah, saya adalah istri sekaligus ibu yang hingga tahun 2016 ini, saya dianugerahi dua anak. Dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.

Tempat tinggal. Saya lahir dan dibesarkan di desa yang ada di kabupaten Situbondo. Kabupaten yang berada di wilayah timur Jawa, yang dulunya lebih dikenal dengan nama Panarukan. Ingat proyek jalan pantura yang dirintis Dendles? Dari Anyer sampai Panarukan. Itu adalah Panarukan yang sama. Meski saat ini Panarukan hanya menjadi nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Situbondo, tapi di sana terdapat monumen 1000km-nya Anyer - Panarukan.

salah satu pemandangan pantai yang ada di Situbondo
lokasinya tepat di sebelah timurnya pantai Pasir Putih Situbondo

Selepas SMA saya pergi merantau untuk belajar di kota dingin Malang. Di kampus keguruan ternama di Malang itulah saya bertemu pria yang menjadi suami saya. Setelah menikah, saya sempat berpindah-pindah tempat meski tidak lama. Dari Malang, Solo, Semarang, hingga ke Kalimantan Timur, di tiga tahun pertama pernikahan. Lalu kembali lagi ke Malang untuk waktu yang cukup lama, yaitu sekitar sepuluh tahun. Dan sejak akhir 2013, pindah ke Pamulang, kota Tangerang Selatan, tempat saya tinggal sekarang.

Impian dan Cita-cita. Cita-cita saya selalu berubah dari waktu ke waktu. Keinginan saya terus berkembang seiring berubahnya cara pandang saya terhadap sesuatu. Dulu waktu kecil, saya pernah bercita-cita jadi dokter, cita-cita standarnya anak pinter yang tinggal di kampung. (Pede amat, ada yang pingin nimpuk?) Tapi sungguh, anak-anak kampung teman-teman saya dulu, suka bingung kalau ditanya soal cita-cita. Kalau ditanya pingin jadi apa besar nanti, paling jawabnya ya jadi orang kaya. Haha... Sepertinya kekayaan memang susah dilepaskan dari apa yang disebut kesuksesan.
Memasuki jenjang SMA, cita-cita saya mulai berubah. Menjadi seorang pakar atau ahli di bidang Matematika, pelajaran favorit saya. Cita-cita yang menurut saya lebih rasional untuk diraih. Karena biaya kuliah jurusan pendidikan adalah yang termurah dibandingkan jurusan lainnya. Ya, saya mengganti cita-cita hanya karena kuliah di kedokteran "katanya" membutuhkan biaya yang besar. Biaya yang orangtua saya tidak akan sanggup menanggungnya. Ternyata kabar burung itu sama sekali tidak benar, setidaknya untuk masa itu. Kalau sekarang, ya jangan ditanya. Nyaris tidak ada yang murah.
Delapan tahun setelah menikah, cita-cita saya mungkin masih sama. Namun obsesi ke arah itu tidak sebesar dulu lagi. Ya, sejak itu saya memilih untuk tidak bekerja dan tidak lagi memburu pekerjaan di luar. Yang saya inginkan sederhana, bisa menjadi wanita sholihah yang bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain, menjadi sebaik-baik istri bagi suami dan menjadi sebaik-baik ibu bagi empat anak saya. Keinginan yang kemudian memberikan perubahan besar bagi saya dan keluarga. Insya Allah lain kesempatan akan saya bagi ceritanya di sini.

Informasinya cukup ya... Kalau ada yang butuh informasi lanjut, silakan menghubungi saya melalui FB dengan nama saya sebagai nama akunnya.

#OneDayOnePost
#keepwriting
#7

Monday, March 7, 2016

Di Atas Langit Masih Ada Langit


Setelah menulis tentang getuk beberapa hari yang lalu, ada teman kuliah saya yang komentar begini, "Baru weruh tibakno getuk asline cuma singkong rebus dilembutno." Yang artinya, "ternyata (saya) baru tahu, kalau getuk itu sebetulnya cuma singkong yang dihaluskan. Haha... Saya pun membalas dengan menulis, "... aseli, lagek weruh tenan aku... hihihi... Mending telat timbang ora tahu ngerti... iya, tho... wkwkwk". Artinya, "saya benar-benar baru mengetahuinya (tidak diragukan lagi), tapi lebih baik terlambat (mengetahui) daripada tidak pernah mengetahui, iya kan..." Hehe...

Pada paragraf keempat tulisan tentang getuk, saya juga menulis secara gamblang bahwasanya saya memang baru mengetahui (asal muasal getuk). Sehingga memunculkan "keraguan" saya saat harus membedakan antara singkong rebus dengan getuk. Ya, begitulah keadaannya. Saya sengaja menulisnya secara gamblang, karena (pastinya) ada hal-hal yang orang lain (mungkin) sudah tahu, sementara (ternyata) saya belum mengetahuinya. Dan ketika saya mengetahui satu hal, maka pada saat yang sama, saya pun menyadari ada lebih dari satu hal yang belum saya ketahui. Begitu pula saat saya menguasai satu hal (dengan ijin-Nya), maka saya juga menyadari bahwa akan ada banyak hal yang belum dan (mungkin) tidak akan pernah bisa saya kuasai. 

Itulah keadaan dimana saya memandang ungkapan "di atas langit masih ada langit" sangat tepat untuk menggambarkannya. Keadaan yang bukan sekadar saya coba pahami secara teori, tapi juga pernah (bahkan sering) saya alami. Meski kadang saya "lupa" akan peribahasa itu saat menghadapi suatu keadaan, namun biasanya saya bisa segera (kembali) menyadarinya. Salah satu keadaan yang membuat saya yakin akan kebenaran ungkapan itu, pernah saya alami ketika berada di jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Kenapa dengan saya waktu SMA? Hmm, serius amat ya, haha...

Ini sedikit cerita tentang diri saya. Saya berasal dari satu desa di bagian barat wilayah kabupaten Situbondo. Saya menempuh SD dan SMP tidak jauh dari tempat saya tinggal (desa juga pastinya). Namun saat akan memasuki jenjang SMA saya memilih untuk melanjutkannya di (kota) kabupaten Situbondo. Yaitu SMA Negeri 1 Situbondo (SMASA), yang merupakan sekolah favorit di kabupaten Situbondo. Ada hal yang tidak akan pernah saya lupa selama menempuh pendidikan di SMASA, yaitu "prestasi" saya di kelas. Lebih tepatnya sih, ranking yang saya raih. Sebagai siswa yang nyaris selalu berada di tiga teratas di kelas selama SD dan SMP, pada catur wulan pertama kelas 1 SMA, saya berada di urutan ke-18.

Am I shock? Nggak juga... Kan dari awal saya sudah tahu kalau SMA yang saya masuki adalah sekolah favorit. Dari daftar NEM (Nilai Ebtanas Murni) SMP teman-teman yang diterima di SMASA, saya bisa mengukur kemampuan saya yang jauh di bawah mereka. Namun, dari ranking yang saya dapat itulah, saya jadi betul-betul bisa merasakan kebenaran ungkapan "di atas langit masih ada langit". Yang dari keadaan itu saya bisa belajar satu hal, bahwa tidak ada yang pantas untuk disombongkan. Namun, sebagai manusia, tentu saja kadang saya khilaf. Ada hal-hal yang saya lakukan, entah disengaja atau tidak, (mungkin) telah menunjukkan kesombongan. Astaghfirullah al adzim...

Semoga saya dan sahabat semua bisa dijauhkan dari sifat sombong, karena Allah tidak menyukainya. Sebagaimana firman-Nya dalam al Qur'an surah Luqman ayat 31, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Sungguh, tidak ada manusia yang sempurna. Setiap yang memiliki kelebihan, pasti juga memiliki kekurangan. "Di atas langit, masih ada langit".
 
#OneDayOnePost
#keepwriting
#6