Saturday, May 23, 2015

Aku dan Matematika (bagian 3)



Apa yang kau takutkan dengan angka

Jumlahnya tidak lebih banyak daripada aksara

Kalau kau bisa menguasai rangkaian aksara

Kau pasti mampu menaklukkan angka


               Jangan pernah ragu bermain-main dengan angka

               Semakin kau bermain-main dengan angka

               Kau akan semakin jatuh cinta

               Karena keindahannya melampaui cinta


Bersahabatlah lebih dekat dengan angka

Dengannya, kau akan mampu menguasai dunia




(Pamulang, 13 Maret 2015)

Wednesday, May 13, 2015

Menjejakkan Kaki di Kampung Baduy (Luar)

salah satu sudut perkampungan masyarakat Baduy luar

Baduy adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat adat sub etnis Sunda yang tinggal di pedalaman pegunungan di kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Masyarakat Baduy dikenal dengan komitmennya dalam menjaga kelestarian alam dan memegang tradisi yang mereka anut secara turun temurun. Begitu kuatnya dalam memegang tradisi sehingga bisa dikatakan bahwa mereka meng-"isolasi"-kan diri mereka dari dunia luar. Terutama masyarakat Baduy dalam, yang hampir menolak apa pun yang datang dari luar. Dengan adanya obyek wisata kampung masyarakat Baduy, kini orang-orang dari luar Baduy sudah bisa mengenal masyarakat Baduy dan budayanya dari dekat.

Bagi yang belum pernah menjejakkan kaki di perkampungan Baduy, berikut ini sedikit informasi tentang Baduy dan budayanya, rangkuman hasil kunjungan saya.

Baduy terbagi menjadi Baduy dalam dan Baduy luar. Orang-orang Baduy dalam bisa dikenali dari pakaiannya yang berwarna putih dengan ikat kepala putih, dan bawahan para prianya yang serupa sarung, dengan panjang tidak sampai selutut, yang juga berwarna putih. Sementara orang-orang Baduy luar pakaiannya hitam, dan bawahannya sudah menggunakan celana yang panjangnya sedikit melewati lutut.

Perkampungan Baduy luar berbatasan langsung dengan perkampungan non Baduy, sementara perkampungan Baduy dalam letaknya lebih jauh ke dalam. Namun kedua perkampungan itu sama-sama tidak ada yang dialiri listrik, lebih tepatnya sih, tidak boleh ada listrik. Bahkan penerangan lainnya pun juga tidak ada, baik siang maupun malam hari. Namun, justru gelapnya perkampungan Baduy saat malam hari inilah yang menjadi salah satu keunikan yang banyak dicari oleh pengunjung wisata kampung masyarakat Baduy. Jika ingin merasakan hidup tanpa listrik yang tidak dibuat-buat, maka datang dan bermalamlah di kampung Baduy. Untuk bermalam bisa menghubungi tetua kampung. Mereka tidak menetapkan tarif, namun berkisar antara Rp.100.000,- hingga Rp.300.000,- per malamnya, tergantung jumlah orang yang bermalam dalam satu rumah.

Untuk sampai di lokasi Kampung Wisata Masyarakat Baduy, ada beberapa jalur yang bisa dilalui, dengan pemberhentian yang sama, yaitu Terminal Ciboleger. Saya dan suami memilih untuk masuk Ciboleger melalui kota Rangkasbitung. Dari kota Rangkasbitung, kami mengikuti rambu penunjuk arah menuju Leuwidamar. Sampai di pertigaan depan pos polisi Leuwidamar, karena kami menggunakan kendaraan kecil, kami mengambil arah ke kanan. Namun untuk kendaraan besar seperti bus, biasanya akan diarahkan untuk lurus.

berpose di sisi tugu yang ada di terminal Ciboleger

Terminal Ciboleger adalah tempat pemberhentian semua kendaraan pengunjung kampung wisata masyarakat Baduy. Di sekitar terminal ada mini market dan toko-toko yang menjual makanan ringan. Ada juga beberapa warung makan dengan aneka masakan yang bisa jadi pilihan pengunjung yang ingin menambah isi perut sebelum berjalan kaki naik-turun gunung menuju kampung wisata masyarakat Baduy.

Setelah melewati gerbang kampung Baduy, kita sudah bisa langsung menikmati suasana perkampungan masyarakat Baduy beserta aktivitas warganya. Rumah bambu yang cantik, dengan peralatan tenun yang menghiasi teras-teras rumah masyarakat Baduy, beserta para wanitanya yang sedang menenun, menjadi pemandangan yang sangat menarik. Karena lokasinya yang berada di bagian terluar, di depan rumah mereka juga dipajang kain-kain cantik hasil tenunan mereka yang bisa dibeli oleh pengunjung.

melihat wanita Baduy yang sedang menenun di teras rumah

kain dan selendang hasil tenunan wanita Baduy

Menyusuri perkampungan masyarakat Baduy, di sekitarnya kita akan banyak melihat rumah-rumah bambu berukuran kecil dengan satu daun pintu kecil yang terletak di bagian atas. Pintu itu hanya bisa dijangkau dengan menggunakan tangga. Rumah kecil itu adalah Leuit, yang merupakan lumbung padi milik masyarakat Baduy. Menumbuk padi menjadi beras adalah aktivitas lain wanita Baduy di samping menenun. Menenun dan menumbuk padi menjadi dua keahlian yang wajib dikuasai wanita Baduy. Hmm, kedua aktivitas itu memang berhubungan erat dengan kebutuhan dasar manusia, yaitu makan dan berpakaian.

berpose di depan sebuah Leuit

Antara kampung masyarakat Baduy yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh jalanan setapak yang tersusun dari bebatuan. Karena merupakan daerah pegunungan, jarang ada jalanan yang rata. Kalau tidak menanjak, ya, menurun. Bahkan beberapa ada yang cukup curam. Dan beberapa bagian jalan yang curam ada yang dibuat berundak seperti tangga, untuk memudahkan saat mendaki dan menurun.

 jalanan bebatuan yang sebagiannya dibuat berundak

Dari kampung terluar, jarak yang harus ditempuh untuk sampai kampung berikutnya cukup membuat saya berkeringat dan ngos-ngosan. Kampung berikutnya setelah kampung terluar adalah Balimbing. Pada kunjungan saya kali ini, Balimbing menjadi kampung terakhir yang bisa saya jangkau. Balimbing masih termasuk bagian dari kampung Baduy luar. Lokasi Baduy dalam masih lebih jauh ke dalam hutan.


suasana kampung Balimbing dan anak-anak kecilnya yang sedang bermain

Semua bangunan rumah masyarakat Baduy, baik luar maupun dalam, sama-sama terbuat dari anyaman bambu. Salah satu pembeda rumah Baduy dalam dan Baduy luar adalah pintunya. Rumah masyarakat Baduy dalam hanya memiliki satu pintu yang letaknya di samping dan harus menghadap ke utara atau selatan. Sementara Baduy luar banyaknya pintu dan letaknya sudah seperti rumah-rumah pada umumnya. Ada pintu depan, pintu samping, bahkan pintu belakang. Di beberapa rumah Baduy luar masih bisa didapati alat-alat elektronik sederhana seperti jam dinding, yang tidak mungkin bisa ditemui di rumah orang-orang Baduy dalam. Karena adat yang berlaku di Baduy dalam melarang benda apa pun dari luar masuk ke Baduy dalam. Di kampung Baduy luar, beberapa rumahnya juga sudah ada yang dilengkapi dengan sarana MCK.

bagian dalam salah satu rumah di Baduy luar

Antara Balimbing dan kampung berikutnya, yaitu kampung Gazebo, terdapat sungai yang cukup besar yang biasa digunakan sebagai tempat mandi dan cuci oleh masyarakat Baduy. Meski daerah pegunungan, ketersediaan air di sekitar perkampungan masyarakat Baduy sangat memadai. Justru kondisi hutan yang terjaga membuat kualitas air sangat baik dan terasa segar saat diminum.

sungai yang melintasi Balimbing dan Gazebo

Kaum pria suku Baduy biasa melakukan perjalanan, salah satu tujuannya adalah kantor pemerintahan untuk menghadap pada bupati dan menyerahkan hasil bumi mereka. Kebiasaan ini dikenal dengan Seba Baduy. Orang-orang Baduy melakukannya perjalanan itu dengan berjalan kaki, sesekali yang dari Baduy luar melakukannya dengan menaiki kendaraan. Namun orang-orang Baduy dalam hanya melakukannya dengan berjalan kaki.

Hal lain yang unik pada orang-orang Baduy adalah mereka biasa menikah di usia muda. Jadi jangan heran jika mendapati wanita suku Baduy yang masih terlihat belia (remaja) sudah menggendong bayi. Dan orang-orang Baduy hanya boleh menikah dengan orang Baduy juga. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian suku Baduy. Jika ada yang "memaksa" mau menikah dengan orang luar suku Baduy, maka mereka harus keluar dari kampung Baduy dan melepas status sebagai bagian masyarakat Baduy. Termasuk jika orang dari Baduy dalam menikah dengan orang dari Baduy luar, maka orang tersebut (Baduy dalam) sudah tidak boleh lagi menetap di kampung Baduy dalam. Namun mereka masih bisa saling mengunjungi.

Demikian sedikit informasi yang bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat, dan selamat menjejakkan kaki di Kampung Wisata Masyarakat Baduy.


Sunday, May 3, 2015

(Pernahkah) Kamu Tergesa-gesa?

Saya membaca Al Qur'an seperti biasanya. Namun sampai ayat 11 surah Al Israa', tiba-tiba saja saya ingin melihat terjemahnya, yang isinya, 

"Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. 
Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa."

Mak jleb! Terasa menohok tepat mengenai hati saya. Sesaat seolah tidak percaya bahwa ini adalah ayat Al Qur'an. Karena beberapa saat sebelumnya saya (merasa) melakukan hampir seperti yang tergambar dalam ayat ini. Sebagai manusia, saya sadar saya jauh dari sempurna. Saya punya banyak kelemahan dan beberapa kebiasaan buruk, salah satunya adalah tergesa-gesa. Namun mendapati ayat Al Qur'an yang saya baca, serupa dengan kejadian yang saya alami dan rasakan dalam waktu yang hampir bersamaan, memaksa saya untuk menelaah lebih jauh ayat itu.

Dari kejadian itu, saya pun lalu membuka tafsirnya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir tentang surah Al Israa' ayat 11, dijelaskan,

Allah -Subhanahu wa Ta'ala- menceritakan tentang ketergesaan ummat manusia dan doanya yang buruk berupa kematian, kebinasaan, kehancuran, laknat dan lain sebagainya yang mereka panjatkan pada beberapa kesempatan, terhadap diri mereka, anak, atau harta kekayaan mereka sendiri. Karena jika seandainya Rabb mereka mengabulkan, niscaya mereka akan binasa karena doanya tersebut. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah -Subhanahu wa Ta'ala- berikut ini: "Dan kalau sekiranya Allah menyegerakan kejahatan bagi manusia," dan ayat seterusnya. (QS. Yunus: 11).

Meski tidak sampai meminta kebinasaan dan kehancuran serta laknat, saya sempat meminta kematian atas diri saya. Dan dengan kejadian yang saya yakini bukanlah suatu kebetulan itu, saya merasa bahwa Allah (kembali) mengingatkan dan menyadarkan saya untuk tidak mudah berputus asa dari rahmat-Nya. Terlepas dari adanya hadits yang menerangkan tentang doa meminta mati, saya berpikir bahwa (setidaknya pada kasus yang saya alami), tidak berputus asa dari rahmat Allah dengan tidak meminta mati adalah lebih utama.

Tentang Tergesa-gesa

Di Al Qur'an setidaknya terdapat tujuh ayat yang dalam terjemahnya terdapat kata "tergesa-gesa". Dalam tujuh ayat itu, kata "tergesa-gesa" semuanya ditujukan pada sifat yang dimiliki manusia. Salah satu ayatnya adalah surah Al Israa' ayat 11, seperti tersebut di atas. Sedangkan enam ayat lainnya adalah:

  1. An Nisaa' ayat 6, yang artinya: "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). 
  2. Maryam ayat 84, yang artinya: "maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksa terhadap mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti."
  3. Thaahaa ayat 114, yang artinya: "Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: 'Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.'"
  4. Al Anbiyaa' ayat 13, yang artinya: Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik), supaya kamu ditanya." 
  5. Al Anbiyaa' ayat 37, yang artinya: "Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera."
  6. Ash Shaaffaat ayat 70, yang artinya:  "Lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu."
Dari terjemah ayat-ayat di atas, sepertinya tergesa-gesa memang menjadi tabiat (buruk) manusia. Namun adanya perintah dari Allah untuk berdoa kepada-Nya, menjadi kewajiban kita untuk memohon perlindungan kepada Allah dari ketergesa-gesaan dan keburukan yang bisa ditimbulkannya. Dan semoga Allah memberi kita kemudahan untuk senantiasa taat kepada-Nya dalam segala keadaan, yang dengan ketaatan itu Allah akan memberikan karunia-Nya berupa sifat yang baik kepada kita. Allahumma aamiiiin...


Saturday, May 2, 2015

Buah Didikan "Keras" Buat Saya

Baru nyadar, hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional. Bukan apa-apa, saya tidak biasa mengkhususkan sesuatu pada saat-saat tertentu, termasuk saat hardiknas ini. Apalagi aktivitas mendidik memang sesuatu yang harus saya lakukan setiap hari, yang obyeknya bukan hanya anak-anak, tapi juga mendidik diri sendiri agar bisa lebih baik dari waktu ke waktu.

Berbicara masalah pendidikan, tidak terlepas dari bagaimana pola mendidik. Sampai hari ini saya masih terus mencari pola yang tepat dalam mendidik anak-anak. Saya punya empat anak dengan model yang berbeda, sehingga saya juga harus memberikan pola yang berbeda pada masing-masing dari mereka. Tentu saja ada nilai-nilai yang saya tanamkan pada anak-anak dan berlaku rata bagi semuanya. Tapi kali ini saya bukan ingin share tentang bagaimana saya mendidik anak-anak saya, melainkan saya akan share bagaimana orang tua mendidik saya.

Saya tinggal di kampung. Secara umum, pola pendidikan yang saya dapatkan dari orang tua tidak jauh berbeda dengan pola asuh keluarga lainnya. Namun ada beberapa nilai yang penanamannya sangat kuat bagi kami, dan "pembangkangan" atas hal itu berarti hukuman yang cukup "serius". Berikut ini beberapa di antaranya.

 
>>Perintah Melaksanakan Sholat 

Sholat menjadi aktivitas yang tidak boleh ditinggalkan dalam keluarga saya. Kalau perintah melaksanakan sholat tidak segera saya lakukan, maka ibu akan memberikan "omelan sayang"-nya pada saya. Ibu saya tinggal di rumah, alias tidak bekerja di luar, jadi ibu bisa memantau semua aktivitas anak-anaknya, termasuk urusan sholat. Rasanya tidak mungkin untuk mengatakan sudah sholat dan ibu tidak mengetahui bahwa saya belum sholat. Tapi, kalau kami membangkang, yang turun tangan biasanya bapak. Bapaklah yang berperan memberi hukuman bagi yang melanggar. Lumayan, sebuah cubitan yang meninggalkan bekas biru di paha membuat saya punya "sedikit" rasa jera. Namun dari pola tersebutlah, sholat mulai menjadi kebiasaan saya. Dan melaksanakan sholat pun menjadi aktivitas yang tanpa disuruh-suruh lagi, kecuali hanya sesekali saja ibu mengingatkan. Sehingga pada saat pertama kali saya mendapatkan haidh, ibu sudah bisa menebaknya hanya karena saya tidak bersegera sholat dan ketika disuruh, saya hanya senyam senyum.
 
>>Perintah Untuk Mengaji (Belajar Baca Tulis Qur'an)

Di kampung saya dulu, mengajinya malam hari. Saya berangkat menuju langgar (sebutan lain untuk mushola) sekitar 15-30 menit sebelum maghrib. Nah, pada 15-30 menit sebelumnya, kalau saya masih asyik bermain, ibu pasti sudah bersiap-siap memanggil. Seingat saya, ibu lebih sering memanggil baru kemudian saya berhenti bermain dan pulang, dibanding berhenti bermain dan pulang dengan kesadaran sendiri. (Nyadar, dulu kecil kadang "bandel" juga, hehe...) Saya tidak membayangkan kalau dulu, ibu tidak memberi "omelan sayang" dan membiarkan saja saya bermain. Mungkin saya tidak akan pernah bisa membaca Al Qur'an.
Oya, sedikit cerita tentang suasana mengaji saya. Biasanya sebelum masuk langgar, saya dan anak-anak yang lain kadang-kadang bersih-bersih santai sekitar mushola. Kalau sudah bersih, ya, kami tidak perlu bersih-bersih lagi. Begitu azan maghrib, kami masuk langgar dan melaksanakan sholat maghrib berjamaah dengan pengasuh atau pendidik langgar. Tempat mengaji saya dulu khusus anak-anak perempuan saja, jadi terpisah dengan anak laki-laki. Setelah sholat maghrib, kami mulai membaca Qur'an bersama-sama dan bergantian menemui pengasuh di depan untuk memeriksa bacaan. Selepas isya', setelah sholat, barulah kami pulang ke rumah masing-masing.

>>Larangan Mengucapkan Kata-kata Yang Buruk

Mengucapkan kata-kata buruk versi otang tua saya, seperti: kurang ajar, goblok, mesuh-mesuh serta mengucapkan kata-kata yang tabu untuk diucapkan, dan tidaklah kata-kata itu diucapkan melainkan saat orang bertengkar, sangat-sangat DILARANG. Kata-kata yang dilarang itu cukup biasa saya dengar dari tetangga sekitar rumah saat mereka bertengkar. (Maaf, tetangga saya dari suku di bagian timur Jawa ini kalau sudah bertengkar, banyak sekali mengeluarkan kata-kata "jorok".) Apalagi pertengkaran tetangga sekitar cukup sering terjadi. Mungkin karena hal itulah, larangan mengucapkan kata-kata buruk ini muncul. Dan kalau sampai kata-kata itu keluar dari mulut saya, disengaja atau tidak, setelah peringatan pertama, maka lomboklah yang akan mendarat di bibir dan mulut saya. No kompromi! Hehe, saya pun pernah merasakan lombok pedas itu mendarat di mulut saya. Walhasil, setelah dua atau tiga kali, saya jadi kapok. Alhamdulillah, saya merasa bersyukur, karenanya mulut saya jadi terjaga.

Itulah tiga hal yang paling ketat pemantauannya dari orang tua saya. Hal-hal lainnya masih ada, namun ketatnya tiga hal tersebut membuat saya belajar untuk hati-hati. Begitu ada isyarat "tidak boleh" dari orang tua, maka saya biasanya "mundur" perlahan, tidak memaksakan dirilah...  

Dari pengalaman yang saya rasakan waktu kecil, untuk hal-hal tertentu, mendidik dengan cara yang sedikit "keras" ternyata tidak terlalu buruk akibatnya. Namun sebaliknya, justru saya harus berterima kasih kepada orang tua saya. Karena dengan didikan "keras" merekalah, saya bisa terjaga dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak semua orang bisa melakukannya. Dan dengan didikan "keras" itu juga, saya menjadi disiplin.