Saturday, January 17, 2015

Berhenti Minum ASI


          Saya punya empat orang anak. Masing-masing dari mereka memiliki masa yang berbeda dalam mengkonsumsi ASI (Air Susu Ibu). Mereka juga memiliki ceritanya masing-masing tentang cara dan proses yang mereka lalui sampai berhenti dari minum ASI. Berikut ulasannya:

Anak Pertama

          Sejak awal kelahirannya, anak laki-laki pertama saya alias si sulung, sudah biasa saya sambung dengan susu formula. Langkah ini diambil karena saat si sulung lahir, kuliah saya belum kelar. Jadi saya masih harus wira-wiri ke kampus untuk menyelesaikan skripsi. Tapi pada trimester pertama, pemberian susu formula cukup jarang dilakukan. (Note: saya masih belum terlalu paham tentang betapa PENTING-nya ASI ekslusif ya, hehe...)
          Agar penjagaan si sulung lebih mudah dan lebih aman selama saya tinggal ke kampus, sejak usia tiga bulan, saya mengajak si sulung tinggal bersama mbahnya. Dalam sepekan, biasanya akan saya tinggal ke kampus selama satu sampai dua hari. Nah, pemberian susu formula sangat membantu sekali saat si sulung ini saya tinggal.
          Empat bulan berikutnya, skripsi saya selesai. Saya tinggal menunggu pemberkasan akhir dan wisuda. Namun di saat yang sama saya memutuskan untuk bekerja. Karena lokasi tempat kerja yang jauh, daripada dititipkan pembantu, saya putuskan untuk meninggalkan si sulung bersama mbahnya saja. (Duh... Maafkan bunda, ya, Nak???) Sehingga tepat di usia 8 bulan, si sulung sudah benar-benar stop minum ASI. (Ini yang namanya anak jadi korban ibu bekerja, ah, sedihnya...)
          Jadi, tidak sulit bagi si sulung untuk melepas ASI, karena dia sudah terbiasa melewati masa-masa tanpa ASI. Selanjutnya, si sulung mengkonsumsi susu formula dengan menggunakan dot, sebagai pengganti 'nenen'-nya.

Anak Kedua

          Anak kedua, perempuan, adalah yang paling lama minum ASI, yaitu selama 30 bulan atau 2,5 tahun. Anak kedua sudah tidak saya beri susu formula alias full ASI, karena saya tidak sedang kuliah dan juga sudah tidak bekerja. Namun di sela-sela minum ASI, saya memberinya madu dengan menggunakan dot.
          Ada beberapa faktor yang membuat saya membiarkan dia netek selama itu. Anak kedua saya ini telat jalan dan bicaranya. Dia baru bisa berjalan pada usia 18 bulan. Hingga saya sapih, belum keluar sepatah pun kata dari mulutnya. Tapi saya tidak terlalu khawatir, karena dia masih bisa menangis dan bisa mendengar. Saat saya ajak bicara dia selalu merespon dengan tindakan, misalnya dengan menoleh atau memandangi saya. Saya terus mengajaknya bicara dan memperkenalkan berbagai hal kepadanya. Sehingga dia bisa mengerjakan dengan benar apa yang saya suruhkan kepadanya, meski dia tidak bicara. Dan ketika sudah bisa bicara, dia sudah mengenal banyak warna, mengenal bagian-bagian tubuhnya, mengenal angka dan hal-hal lain yang sudah saya kenalkan kepadanya.
          Karena jarak yang tidak terlalu jauh, saat suami libur, saya sering mengajak anak-anak berkunjung ke tempat mbahnya. Dekatnya si sulung dengan mbahnya, membuat adiknya ikut nyaman tinggal di tempat si mbah. Saat libur semester, si sulung banyak menghabiskannya di tempat mbahnya. Saya pun menjadikan momen libur semester untuk menyapih si adik yang sudah 2,5 tahun. Yaitu dengan meninggalkan anak kedua saya bersama si sulung di tempat mbahnya selama 2 minggu. Bisa ditebak, setelah 2 minggu si adik sudah tidak mau lagi minum ASI. Nah, ketika di tempat mbahnya, kalau dia ingin netek biasanya akan dialihkan perhatiannya ke hal-hal yang lain, seperti dengan mengajaknya bermain atau menggendongnya.
          Jadi, anak kedua saya melalui proses penyapihan dengan dipisah dari saya selama lebih kurang 2 minggu. Dengan bekal madu dan dot, serta banyaknya orang-orang yang menemaninya selama di tempat mbahnya, membuat proses penyapihan berjalan dengan lancar...

Anak Ketiga

          Anak ketiga saya, perempuan juga, mendapat asupan ASI tepat selama 2 tahun penuh. Anak ketiga saya sudah bisa berjalan di usia 11 bulan dan sudah lancar bicara menjelang usia 2 tahun. Sehingga pada proses penyapihan bisa saya komunikasikan secara mudah dengan dia.
          Saat proses menyapih anak ketiga, saya hanya melibatkan ayahnya. Cara yang saya gunakan untuk menghentikannya minum ASI adalah dengan mengoleskan jintan hitam atau habbatus sauda pada payudara saya setiap kali dia minta mimik. Kemampuannya berbicara memudahkan dia mengungkapkan apa yang dirasakannya. Dalam dua hari dia sudah tidak mau mimik lagi, katanya karena mimiknya terasa pedas. Dan secara psikologis, dia terlihat biasa saja setelah saya stop minum ASI. Dia tetap beraktivitas seperti biasa, dan dia juga bisa tidur dengan mudah, cukup dengan membacakannya cerita, dia akan dengan mudah bisa tidur.
          Anak ketiga saya juga menggunakan madu sebagai teman ASI. Namun bedanya dengan anak kedua, anak ketiga saya tidak menggunakan dot. Setelah disapih, dia jadi lebih banyak minum madu. Saya juga mengenalkannya dengan susu segar dan susu kedelai sebagai pengganti asupan ASI-nya.

Anak Keempat

          Nah, pada anak keempat atau si adek, laki-laki, saya "sedikit" merasa ada kendala saat menyapihnya. Saat usianya hampir 2 tahun, saya sempat bingung bagaimana cara menyapihnya. Bukan karena faktor dengan apa menyapih, tapi lebih karena saya merasa bahwa dia belum siap untuk disapih. Saya pernah mencobanya dengan habbatus sauda saat usianya tepat 2 tahun. Namun karena setiap mau tidur dia selalu menangis, dan rekan saya selama proses menyapih, yaitu si ayah, tidak sanggup mengatasinya, jadilah dia mimik lagi.
          Ide si ayah untuk menitipkan si adek di mbahnya, bukanlah ide yang baik menurut saya. Karena tempat tinggal kami sudah tidak lagi dekat dengan rumah si mbah. Selain itu, setiap bangun tidur, si adek selalu menangis mencari saya dan baru berhenti setelah saya menggendongnya.
          Pada usia 27 bulan, saya kembali mencoba untuk menyapihnya, dan kali ini menggunakan minyak kayu putih. Kuatnya keinginan untuk mimik membuat si adek tidak kehilangan akal, sementara waktu dia menolak, tapi akan mencoba mimik lagi beberapa saat kemudian. Dan kalau pada percobaan keduanya itu dia masih mendapati rasa atau aroma kayu putih, dia akan menangis dan baru berhenti setelah mimik. Usaha kedua pun kembali menemui kegagalan.
          Akhirnya, sementara waktu saya memutuskan untuk menunda penyapihannya. Namun dari perjalanan liburan selama 2 minggu, saya merasa perlu untuk kembali mencobanya. Masih dengan cara yang sama, tapi prosesnya dilakukan selama perjalanan kembali dari berlibur yang memakan waktu hampir 2 X 24 jam dengan mobil. Cairan yang saya gunakan kali ini adalah fresh***. Saya juga harus lebih sigap mengoleskan cairan itu pada setiap sebelum si adek minta mimik.
          Kesempatan dalam perjalanan ini saya manfaatkan karena biasanya kalau di jalan si adek jarang mimik. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan menikmati perjalanan, dan cukup dengan dipangku saja dia sudah bisa tertidur. Dan setiba di rumah, setelah 2 X 24 jam, mencium aroma cairan di baju saja, si adek sudah tidak jadi mimik. Dalam sepekan pertama setelah disapih, kadang-kadang si adek juga menangis, tapi tidak seheboh tangisan dua hari pertama pada percobaan pertama.

          Nah, bagaimana cara Anda saat akan menyapih sang buah hati???

Sunday, December 14, 2014

Pacaran Terbuka: Sebuah Kerugian yang Banyak bagi Perempuan



Dan janganlah kalian mendekati zina,

sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.
(QS. Al Isra’: 32)



            Ayat ini sudah diturunkan sejad 14 abad yang lalu. Tapi pernahkah kita mencoba meresapi ayat ini dengan baik? Allah tidak melarang berzina, namun Allah melarang hambanya untuk mendekati zina. Jika mendekati saja sudah dilarang, bagaimana dengan melakukannya? Dan tidaklah Allah melarang kita berbuat sesuatu melainkan pasti hal itu untuk kebaikan kita.
            Salah satu bentuk mendekati zina yang sangat marak saat ini adalah pacaran yang terjadi di kalangan remaja. Gaya berpacaran remaja saat ini sungguh memprihatinkan. Mereka yang berpacaran tidak lagi malu-malu untuk bergandengan tangan, berpelukan dan bahkan berciuman di depan umum. Ucapan dan tindakan yang dilakukan sepasang kekasih yang sedang berpacaran tak ada bedanya dengan yang dilakukan sepasang suami istri. Kalau di depan umum saja mereka berani berbuat demikian, bagaimana jika mereka hanya berduaan saja di tempat yang tidak seorang pun melihat mereka?
            Bentuk pacaran yang ada sekarang ini, memang tidak bisa dilepaskan dari yang namanya seks bebas. Bahkan pacaran yang terjadi di kalangan anak yang masih termasuk remaja awal. Banyak penelitian yang menunjukkan hasil mencengangkan. Sebagian besar pelajar SMP sudah pernah pacaran, dan tidak sedikit yang sudah pernah melakukan hubungan seks. Kebanyakan dari remaja yang melakukannya menganggap itu sebagai hal yang biasa di kalangan mereka. Mereka bahkan menganggap remaja yang belum pernah pacaran sebagai remaja yang tidak gaul. Lantas, apakah masih bermakna pernikahan bagi mereka? Masih akan adakah kesakralan dan keistimewaan dari suatu pernikahan, jika semua hal yang seharusnya baru boleh mereka lakukan setelah menikah, sudah mereka lakukan?
            Sudah banyak dampak yang ditimbulkan dari berpacaran, salah satunya adalah pernikahan dini. Mereka yang berpacaran terpaksa harus menikah di usia muda, karena si perempuan sudah terlanjur hamil, atau biasa dikenal dengan istilah Married By Accident yang disingkat MBA. Namun begitu, perempuan yang mengakhiri hubungan pacarannya di kursi pelaminan masih bisa dikatakan “sedikit” beruntung. Karena beberapa dari perempuan itu ada yang harus menanggung sendiri derita akibat perbuatannya, lantaran sang pacar tidak mau bertanggung jawab terhadap janin yang dikandungnya. Bahkan ada laki-laki yang sama sekali tidak mau mengakui kalau janin itu adalah anaknya. Pada posisi ini, sangat jelas kalau perempuan sangat dirugikan.
            Akan tetapi, apakah karena terlanjur hamil saja, perempuan itu berada pada posisi yang merugi? Ternyata tidak. Ketika seorang perempuan berpacaran dan kemudian putus, laki-laki yang akan mendekatinya setelah itu mungkin akan berpikir dan mempertimbangkan siapa mantan pacar perempuan itu sebelum memutuskan untuk berpacaran dengannya. Tapi pada laki-laki, hal itu tidak terlalu berdampak. Perempuan yang terlihat berpacaran dengan bergandengan tangan dan berciuman di depan umum, mungkin akan dipandang rendah oleh sebagian laki-laki. Namun juga tidak begitu berpengaruh pada laki-laki. Dan kalau sampai terjadi hubungan seks antara laki-laki dan perempuan yang berpacaran, hal itu akan sedikit banyak berpengaruh pada si perempuan saat menikah, meskipun perempuan itu tidak hamil.
            Mengapa demikian? Karena tanda keperawanan pada perempuan sangat mudah dikenali oleh laki-laki saat mereka melakukan hubungan seks. Sementara tidak mudah bagi perempuan untuk mengenali apakah pasangannya sudah pernah melakukan hubungan seks atau tidak sebelumnya. Jika tidak ada komunikasi yang baik antara laki-laki dan perempuan tentang keadaan perempuan sebelum menikah (mengenai status keperawanannya), bagi sebagian laki-laki, hal itu bisa menjadi masalah bagi keberlangsungan pernikahan mereka.
            Lalu bagaimana dengan perempuan yang terlanjur hamil dan sang pacar tidak mau menikahinya? Beberapa laki-laki biasanya akan meminta pacarnya untuk menggugurkan kandungannya karena merasa belum siap untuk menikah. Beberapa lagi sama sekali tidak mau tahu tentang keadaan sang pacar, dan menganggap itu sebagai resiko yang memang mesti ditanggung olehnya. Alhasil, si perempuan harus melakukan sendiri aborsi (tanpa keterlibatan sang pacar) atau menyembunyikan kehamilannya sampai waktu melahirkan tiba dan kemudian membuang atau bahkan membunuh bayi yang dilahirkannya.
            Yang juga perlu untuk diketahui oleh perempuan adalah bahwa aborsi bukannya tanpa resiko. Pada saat aborsi, perempuan akan merasakan sakit yang sangat hebat dan pendarahan yang banyak. Tidak sedikit perempuan yang harus meregang nyawa di meja aborsi. Ada juga beberapa aborsi yang menyebabkan terancamnya sel telur pada rahim perempuan, sehingga setelah aborsi perempuan menjadi sulit atau bahkan tidak bisa hamil sama sekali. Belum lagi rasa malu yang harus ditanggung ketika apa yang dilakukannya diketahui oleh orang lain. Sungguh, perempuan akan selalu menjadi yang paling dirugikan sejak mereka memutuskan berpacaran.
            Maka dari itu, sangat penting bagi para remaja perempuan bisa berkata TIDAK untuk hubungan seks di luar nikah, bahkan menolak sama sekali ajakan berpacaran dalam bentuk apa pun. Romansa kehidupan dengan lawan jenis masih bisa dirasakan tanpa harus melalui pacaran, yaitu dengan menjadi pesaing sehat bagi mereka dalam mengukir prestasi atau ikut terlibat bersama mereka dalam kegiatan-kegiatan yang positif. Dan bagi para orang tua, mari jaga anak perempuan kita dari perilaku seks bebas. Jangan berikan mereka kesempatan berpacaran dengan terus memotivasi mereka untuk mengukir prestasi sejak dini dan memfasilitasi mereka dengan kegiatan-kegiatan yang positif.