Suami di ruang ICU |
Salah Diagnosa
Setelah menanti cukup lama, akhirnya saya mendapat kabar dari dokter jaga. Dokter spesialis bedah syaraf sudah dihubungi, dia tidak bisa datang ke RS, namun hasil CT-Scan sudah dikirimkan melalui pesan gambar. Dari hasil CT-Scan yang dikirimkan itu, dokter bedah syaraf menyimpulkan bahwa suami saya belum membutuhkan tindakan operasi, tapi cukup dengan pengobatan saja. Alhamdulillah...
26 Januari 2018
Lebih dari 24 jam telah berlalu sejak suami dibawa ke RS. Tidak ada perubahan kondisi apapun yang berarti, malah suami terlihat semakin gelisah. Malam ke-2 di RS, teman-teman kerja suami yang terus menerus memantau dan secara bergantian mendampingi saya di RS, memanggil dan mengajak saya berbicara. Beberapa hal disampaikannya, khususnya tentang keadaan suami yang tidak menunjukkan tanda-tanda membaik setelah mendapat pengobatan selama 24 jam di RS. Hal lainnya berhubungan dengan pelayanan RS yang kurang memuaskan menurut mereka dan mereka sepakat ingin memindah suami ke RS lain yang lebih baik. Mereka menunggu persetujuan saya sebagai wakil dari pihak keluarga.
Saya menginginkan perawatan terbaik buat suami. Saya bukan dokter dan saya juga tidak mempunyai pengalaman menghadapi sakit seperti yang dialami suami. Maka saya mempunyai dua pilihan, tetap di RS itu dan mengikuti semua arahan dokter di sana, atau mengikuti saran teman-teman untuk pindah RS. Setelah mempertimbangkan beberapa hal berdasarkan logika terbatas yang saya miliki, saya memutuskan untuk mengikuti saran teman-teman suami yang memang secara intens terus memantau keadaan suami.
27 Januari 2018
Hari sabtu, sekitar pukul 06.00, saya menemui kepala perawat untuk minta pengajuan kepindahan RS. Prosedur yang harus diikuti ternyata lumayan menguji kesabaran. Step by step proses saya lakukan sesuai prosedur yang ada. Di antaranya adalah memastikan kesiapan RS yang akan dituju untuk menerima pasien dengan kondisi seperti yang dialami suami. Di sinilah "drama" dimulai. Proses kepindahan yang seharusnya hanya melibatkan petugas medis dari RS asal dengan petugas medis RS yang dituju terkesan rumit. Perawat jaga menginformasikan bahwa saya masih harus menunggu, karena ruang ICU RS yang dituju sedang penuh.
Bertanyalah saya yang "awam" ini kepadanya, "Mbak, kenapa kalau ke sana harus masuk ruang ICU? Sementara di sini hanya dirawat di ruang perawatan biasa."
"Mungkin pertimbangan dokter di sana berbeda dengan di sini, Bu," jawabnya.
"Oh, bisa begitu, ya?" Respon saya spontan mendengar jawabannya.
Bukan apa-apa, tapi sahabat suami yang mengurus persiapan di RS yang dituju sudah mencarikan kamar perawatan dan bukan ruang ICU. Akhirnya RS yang dituju digeser, karena sepertinya sudah akan sulit kalau memaksa tetap ke RS tujuan yang dipilih pertama, entah kenapa. Pilihan berikutnya masih di RS yang sama namun di lokasi yang berbeda. Tidak masalah, insyaAllah pelayanan lebih baik tetap akan diperoleh. Yang terpenting juga adalah tetap bisa bertemu dokter spesialis bedah syaraf yang sama yang masih ada hubungan saudara dengan sahabat suami.
Setelah menyelesaikan urusan administrasi yang memang dibayar secara mandiri, siang harinya, sekitar pukul 01.00 suami dibawa pindah RS menggunakan ambulan. Bukan ambulan RS asal dan saya hanya didampingi seorang perawat dengan berkas rekam medis yang dibawanya nyaris kosong, tanpa informasi berarti. Dokter jaga RS yang kami tuju menanyakan banyak hal terkait kondisi suami, karena informasi yang diperoleh dari perawat yang mengantar sangat terbatas.
RS yang menjadi tujuan kami adalah RS Mayapada Tangerang. Sesampai di sana suami langsung mendapat penanganan super cepat. Perawat yang mengurus sangat cekatan dan terlihat sangat berpengalaman. Tes darah kembali dilakukan. Hasil foto rontgent dan CT-Scan tetap digunakan. Di sini kami (saya yang didampingi saudara dan sahabat) terkaget-kaget mendengar penjelasan dokter syaraf. Bagaimana tidak, dokter syaraf menyampaikan kalau hasil CT-Scan tidak menunjukkan adanya pendarahan. What???
Iya, dokter syaraf menyimpulkan kalau suami saya justru mengalami penyumbatan aliran darah yang menuju ke otak sebelah kanan. Untuk hasil analisa yang lebih akurat, kami sepakat untuk dilakukan tes MRI. Apalagi suami sudah memasuki hari ke-3 berada dalam kondisi yang sama bahkan cenderung menurun dari hari pertama masuk RS sebelumnya.
Kami masih harus menunggu beberapa menit untuk mendapatkan hasil tes MRI. Tapi ada rasa lega karena secepat mungkin membawa suami pindah RS. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau tetap di RS sebelumnya. Salah diagnosa, itu artinya terapi obat yang diberikan kepada suami kemungkinan besar juga tidak sesuai dengan yang dibutuhkan beliau. Pantaslah tidak menunjukkan adanya tanda-tanda membaik setelah menjalani pengobatan hampir 2 kali 24 jam.
Hasil MRI selesai. Dokter memanggil kami untuk menunjukkan dan membacakan hasilnya. Semakin jelas, suami saya memang tidak mengalami pendarahan, karena gejala fisis lanjutan dampak pendarahan tidak nampak. Namun sebaliknya, gejala fisis terjadinya penyumbatan nampak sangat jelas. Pembengkakan yang terjadi akibat adanya sumbatan berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya, mungkin akibat terapi obat yang tidak sesuai sebelumnya atau sebab lainnya. Entahlah. Yang jelas suami saya membutuhkan tindakan segera yang pastinya beresiko, apapun tindakan yang yang akan dipilih.
*bersambung...
#SemingguTigaPostingan
#day4