Tuesday, March 8, 2016

Sekilas Tentang Saya

Pada postingan kemarin, "Di Atas Langit Masih Ada Langit", ada sedikit informasi tentang saya. Yaitu mengenai sekolah yang saya pilih dan pengalaman yang saya dapat selama di jenjang SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Informasi lainnya sebenarnya bisa digali dari blog ini, baik dari profil, maupun dari tulisan-tulisan yang pernah saya posting. (Maksudnya disuruh cari sendiri gitu? Hehe... Nggak kok...) Tapi agar teman-teman tidak ragu, silakan simak baik-baik ya, headset dan kacang goreng bisa ditaruh dulu, agar tidak terjadi kekeliruan dalam "menangkap" informasi... hahaha...

Nama. Dari mulai Akte Kelahiran, semua Ijazah (dari TK hingga S1), KTP, SIM, Paspor, hingga akun sosial media, persis sama, yaitu Kholifah Hariyani. Nama asli pemberian orangtua. Nama yang cukup mudah diucapkan, meski tidak jarang ada saja yang keliru menulis nama depan saya. Sering huruf "k"-nya tertinggal. Biasalah, kalau tidak memperhatikan makhraj, "kho" dan "ho", terdengarnya kadang sama di telinga. Hihihi...

Usia. Tentang usia, saya suka malu-malu "bangga" kalau ditanya. Meski sekarang saya sudah kepala tiga, tapi saya selalu "merasa" muda, yuhuuu... Itu karena saya terbawa "atmosfer", dimana selama 16 tahun menempuh pendidikan, dari SD hingga bangku kuliah, saya selalu menjadi yang termuda di kelas. Bahkan saking pede-nya, saya sering merasa paling muda di antara siapa pun. (Wkwkwk... balada emak-emak tidak siap tua.) Saya menjadi yang termuda, karena memang usia saya satu tahun di bawah usia rata-rata teman se-angkatan saya. Bukan karena saya masuk TK-nya kurang umur. Tapi karena pas kelas 1 SD, saya sering bikin "rusuh" kelas, hingga mengganggu tercapainya tujuan pendidikan yang semestinya. (Wkwkwk... ngomong opo seh?) Kok bisa? Ya, bisa. Jangan dibayangkan masa SD saya dulu seperti masa SD sekarang yang pelajarannya bejibun. Pas kelas 1, saya hanya belajar membaca dengan buku "Ini  Budi" yang melegenda itu, dan belajar berhitung yang kisaran angkanya antara 1 - 10 saja.
Untuk pelajaran berhitung, setelah menjelaskan, pak guru saya (yang tampan dan gagah itu, ini beneran lho!) biasanya akan memberikan soal-soal di papan tulis untuk disalin ke buku. Pada beberapa kesempatan, setelah menuliskan soal di papan tulis, pak guru kadang keluar kelas, entah ke kantor, entah ke kamar mandi. Naaah, saat itulah saya beraksi. Maju ke depan kelas, dan mengisi jawaban semua soal yang ada di papan tulis yang masih terbuat dari kayu itu. Benar-benar "tidak mencerdaskan"! Hahaha...
Sampai suatu ketika, pak guru memergoki saya melakukan perbuatan "tak mendidik" itu. Bukannya dimarahi, pak guru malah menghubungi bapak saya dan menyampaikan maksudnya untuk mengikutkan saya "tes uji soal berhitung" untuk kelas 2. Karena pak guru agak memaksa, bapak saya yang awalnya keberatan, akhirnya memberi ijin. Daaan..., saya berhasil mengimbangi kemampuan anak kelas 2 dalam berhitung. Jadilah saya yang di kelas 1, tahun berikutnya langsung dinaikkan ke kelas 3 saat kenaikan kelas, hehehe...

Status. Alhamdulillah, saya adalah istri sekaligus ibu yang hingga tahun 2016 ini, saya dianugerahi dua anak. Dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.

Tempat tinggal. Saya lahir dan dibesarkan di desa yang ada di kabupaten Situbondo. Kabupaten yang berada di wilayah timur Jawa, yang dulunya lebih dikenal dengan nama Panarukan. Ingat proyek jalan pantura yang dirintis Dendles? Dari Anyer sampai Panarukan. Itu adalah Panarukan yang sama. Meski saat ini Panarukan hanya menjadi nama sebuah kecamatan yang ada di kabupaten Situbondo, tapi di sana terdapat monumen 1000km-nya Anyer - Panarukan.

salah satu pemandangan pantai yang ada di Situbondo
lokasinya tepat di sebelah timurnya pantai Pasir Putih Situbondo

Selepas SMA saya pergi merantau untuk belajar di kota dingin Malang. Di kampus keguruan ternama di Malang itulah saya bertemu pria yang menjadi suami saya. Setelah menikah, saya sempat berpindah-pindah tempat meski tidak lama. Dari Malang, Solo, Semarang, hingga ke Kalimantan Timur, di tiga tahun pertama pernikahan. Lalu kembali lagi ke Malang untuk waktu yang cukup lama, yaitu sekitar sepuluh tahun. Dan sejak akhir 2013, pindah ke Pamulang, kota Tangerang Selatan, tempat saya tinggal sekarang.

Impian dan Cita-cita. Cita-cita saya selalu berubah dari waktu ke waktu. Keinginan saya terus berkembang seiring berubahnya cara pandang saya terhadap sesuatu. Dulu waktu kecil, saya pernah bercita-cita jadi dokter, cita-cita standarnya anak pinter yang tinggal di kampung. (Pede amat, ada yang pingin nimpuk?) Tapi sungguh, anak-anak kampung teman-teman saya dulu, suka bingung kalau ditanya soal cita-cita. Kalau ditanya pingin jadi apa besar nanti, paling jawabnya ya jadi orang kaya. Haha... Sepertinya kekayaan memang susah dilepaskan dari apa yang disebut kesuksesan.
Memasuki jenjang SMA, cita-cita saya mulai berubah. Menjadi seorang pakar atau ahli di bidang Matematika, pelajaran favorit saya. Cita-cita yang menurut saya lebih rasional untuk diraih. Karena biaya kuliah jurusan pendidikan adalah yang termurah dibandingkan jurusan lainnya. Ya, saya mengganti cita-cita hanya karena kuliah di kedokteran "katanya" membutuhkan biaya yang besar. Biaya yang orangtua saya tidak akan sanggup menanggungnya. Ternyata kabar burung itu sama sekali tidak benar, setidaknya untuk masa itu. Kalau sekarang, ya jangan ditanya. Nyaris tidak ada yang murah.
Delapan tahun setelah menikah, cita-cita saya mungkin masih sama. Namun obsesi ke arah itu tidak sebesar dulu lagi. Ya, sejak itu saya memilih untuk tidak bekerja dan tidak lagi memburu pekerjaan di luar. Yang saya inginkan sederhana, bisa menjadi wanita sholihah yang bisa memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain, menjadi sebaik-baik istri bagi suami dan menjadi sebaik-baik ibu bagi empat anak saya. Keinginan yang kemudian memberikan perubahan besar bagi saya dan keluarga. Insya Allah lain kesempatan akan saya bagi ceritanya di sini.

Informasinya cukup ya... Kalau ada yang butuh informasi lanjut, silakan menghubungi saya melalui FB dengan nama saya sebagai nama akunnya.

#OneDayOnePost
#keepwriting
#7

Monday, March 7, 2016

Di Atas Langit Masih Ada Langit


Setelah menulis tentang getuk beberapa hari yang lalu, ada teman kuliah saya yang komentar begini, "Baru weruh tibakno getuk asline cuma singkong rebus dilembutno." Yang artinya, "ternyata (saya) baru tahu, kalau getuk itu sebetulnya cuma singkong yang dihaluskan. Haha... Saya pun membalas dengan menulis, "... aseli, lagek weruh tenan aku... hihihi... Mending telat timbang ora tahu ngerti... iya, tho... wkwkwk". Artinya, "saya benar-benar baru mengetahuinya (tidak diragukan lagi), tapi lebih baik terlambat (mengetahui) daripada tidak pernah mengetahui, iya kan..." Hehe...

Pada paragraf keempat tulisan tentang getuk, saya juga menulis secara gamblang bahwasanya saya memang baru mengetahui (asal muasal getuk). Sehingga memunculkan "keraguan" saya saat harus membedakan antara singkong rebus dengan getuk. Ya, begitulah keadaannya. Saya sengaja menulisnya secara gamblang, karena (pastinya) ada hal-hal yang orang lain (mungkin) sudah tahu, sementara (ternyata) saya belum mengetahuinya. Dan ketika saya mengetahui satu hal, maka pada saat yang sama, saya pun menyadari ada lebih dari satu hal yang belum saya ketahui. Begitu pula saat saya menguasai satu hal (dengan ijin-Nya), maka saya juga menyadari bahwa akan ada banyak hal yang belum dan (mungkin) tidak akan pernah bisa saya kuasai. 

Itulah keadaan dimana saya memandang ungkapan "di atas langit masih ada langit" sangat tepat untuk menggambarkannya. Keadaan yang bukan sekadar saya coba pahami secara teori, tapi juga pernah (bahkan sering) saya alami. Meski kadang saya "lupa" akan peribahasa itu saat menghadapi suatu keadaan, namun biasanya saya bisa segera (kembali) menyadarinya. Salah satu keadaan yang membuat saya yakin akan kebenaran ungkapan itu, pernah saya alami ketika berada di jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Kenapa dengan saya waktu SMA? Hmm, serius amat ya, haha...

Ini sedikit cerita tentang diri saya. Saya berasal dari satu desa di bagian barat wilayah kabupaten Situbondo. Saya menempuh SD dan SMP tidak jauh dari tempat saya tinggal (desa juga pastinya). Namun saat akan memasuki jenjang SMA saya memilih untuk melanjutkannya di (kota) kabupaten Situbondo. Yaitu SMA Negeri 1 Situbondo (SMASA), yang merupakan sekolah favorit di kabupaten Situbondo. Ada hal yang tidak akan pernah saya lupa selama menempuh pendidikan di SMASA, yaitu "prestasi" saya di kelas. Lebih tepatnya sih, ranking yang saya raih. Sebagai siswa yang nyaris selalu berada di tiga teratas di kelas selama SD dan SMP, pada catur wulan pertama kelas 1 SMA, saya berada di urutan ke-18.

Am I shock? Nggak juga... Kan dari awal saya sudah tahu kalau SMA yang saya masuki adalah sekolah favorit. Dari daftar NEM (Nilai Ebtanas Murni) SMP teman-teman yang diterima di SMASA, saya bisa mengukur kemampuan saya yang jauh di bawah mereka. Namun, dari ranking yang saya dapat itulah, saya jadi betul-betul bisa merasakan kebenaran ungkapan "di atas langit masih ada langit". Yang dari keadaan itu saya bisa belajar satu hal, bahwa tidak ada yang pantas untuk disombongkan. Namun, sebagai manusia, tentu saja kadang saya khilaf. Ada hal-hal yang saya lakukan, entah disengaja atau tidak, (mungkin) telah menunjukkan kesombongan. Astaghfirullah al adzim...

Semoga saya dan sahabat semua bisa dijauhkan dari sifat sombong, karena Allah tidak menyukainya. Sebagaimana firman-Nya dalam al Qur'an surah Luqman ayat 31, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Sungguh, tidak ada manusia yang sempurna. Setiap yang memiliki kelebihan, pasti juga memiliki kekurangan. "Di atas langit, masih ada langit".
 
#OneDayOnePost
#keepwriting
#6