Thursday, February 14, 2019

Berbagi atau Bertanyalah (Bagian 2)


Suami di ruang ICU

Salah Diagnosa

Setelah menanti cukup lama, akhirnya saya mendapat kabar dari dokter jaga. Dokter spesialis bedah syaraf sudah dihubungi, dia tidak bisa datang ke RS, namun hasil CT-Scan sudah dikirimkan melalui pesan gambar. Dari hasil CT-Scan yang dikirimkan itu, dokter bedah syaraf menyimpulkan bahwa suami saya belum membutuhkan tindakan operasi, tapi cukup dengan pengobatan saja. Alhamdulillah...

26 Januari 2018
Lebih dari 24 jam telah berlalu sejak suami dibawa ke RS. Tidak ada perubahan kondisi apapun yang berarti, malah suami terlihat semakin gelisah. Malam ke-2 di RS, teman-teman kerja suami yang terus menerus memantau dan secara bergantian mendampingi saya di RS, memanggil dan mengajak saya berbicara. Beberapa hal disampaikannya, khususnya tentang keadaan suami yang tidak menunjukkan tanda-tanda membaik setelah mendapat pengobatan selama 24 jam di RS. Hal lainnya berhubungan dengan pelayanan RS yang kurang memuaskan menurut mereka dan mereka sepakat ingin memindah suami ke RS lain yang lebih baik. Mereka menunggu persetujuan saya sebagai wakil dari pihak keluarga.

Saya menginginkan perawatan terbaik buat suami. Saya bukan dokter dan saya juga tidak mempunyai pengalaman menghadapi sakit seperti yang dialami suami. Maka saya mempunyai dua pilihan, tetap di RS itu dan mengikuti semua arahan dokter di sana, atau mengikuti saran teman-teman untuk pindah RS. Setelah mempertimbangkan beberapa hal berdasarkan logika terbatas yang saya miliki, saya memutuskan untuk mengikuti saran teman-teman suami yang memang secara intens terus memantau keadaan suami.

27 Januari 2018
Hari sabtu, sekitar pukul 06.00, saya menemui kepala perawat untuk minta pengajuan kepindahan RS. Prosedur yang harus diikuti ternyata lumayan menguji kesabaran. Step by step proses saya lakukan sesuai prosedur yang ada. Di antaranya adalah memastikan kesiapan RS yang akan dituju untuk menerima pasien dengan kondisi seperti yang dialami suami. Di sinilah "drama" dimulai. Proses kepindahan yang seharusnya hanya melibatkan petugas medis dari RS asal dengan petugas medis RS yang dituju terkesan rumit. Perawat jaga menginformasikan bahwa saya masih harus menunggu, karena ruang ICU RS yang dituju sedang penuh.

Bertanyalah saya yang "awam" ini kepadanya, "Mbak, kenapa kalau ke sana harus masuk ruang ICU? Sementara di sini hanya dirawat di ruang perawatan biasa."
"Mungkin pertimbangan dokter di sana berbeda dengan di sini, Bu," jawabnya.
"Oh, bisa begitu, ya?" Respon saya spontan mendengar jawabannya.

Bukan apa-apa, tapi sahabat suami yang mengurus persiapan di RS yang dituju sudah mencarikan kamar perawatan dan bukan ruang ICU. Akhirnya RS yang dituju digeser, karena sepertinya sudah akan sulit kalau memaksa tetap ke RS tujuan yang dipilih pertama, entah kenapa. Pilihan berikutnya masih di RS yang sama namun di lokasi yang berbeda. Tidak masalah, insyaAllah pelayanan lebih baik tetap akan diperoleh. Yang terpenting juga adalah tetap bisa bertemu dokter spesialis bedah syaraf yang sama yang masih ada hubungan saudara dengan sahabat suami.

Setelah menyelesaikan urusan administrasi yang memang dibayar secara mandiri, siang harinya, sekitar pukul 01.00 suami dibawa pindah RS menggunakan ambulan. Bukan ambulan RS asal dan saya hanya didampingi seorang perawat dengan berkas rekam medis yang dibawanya nyaris kosong, tanpa informasi berarti. Dokter jaga RS yang kami tuju menanyakan banyak hal terkait kondisi suami, karena informasi yang diperoleh dari perawat yang mengantar sangat terbatas.

RS yang menjadi tujuan kami adalah RS Mayapada Tangerang. Sesampai di sana suami langsung mendapat penanganan super cepat. Perawat yang mengurus sangat cekatan dan terlihat sangat berpengalaman. Tes darah kembali dilakukan. Hasil foto rontgent dan CT-Scan tetap digunakan. Di sini kami (saya yang didampingi saudara dan sahabat) terkaget-kaget mendengar penjelasan dokter syaraf. Bagaimana tidak, dokter syaraf menyampaikan kalau hasil CT-Scan tidak menunjukkan adanya pendarahan. What???

Iya, dokter syaraf menyimpulkan kalau suami saya justru mengalami penyumbatan aliran darah yang menuju ke otak sebelah kanan. Untuk hasil analisa yang lebih akurat, kami sepakat untuk dilakukan tes MRI. Apalagi suami sudah memasuki hari ke-3 berada dalam kondisi yang sama bahkan cenderung menurun dari hari pertama masuk RS sebelumnya.

Kami masih harus menunggu beberapa menit untuk mendapatkan hasil tes MRI. Tapi ada rasa lega karena secepat mungkin membawa suami pindah RS. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau tetap di RS sebelumnya. Salah diagnosa, itu artinya terapi obat yang diberikan kepada suami kemungkinan besar juga tidak sesuai dengan yang dibutuhkan beliau. Pantaslah tidak menunjukkan adanya tanda-tanda membaik setelah menjalani pengobatan hampir 2 kali 24 jam.

Hasil MRI selesai. Dokter memanggil kami untuk menunjukkan dan membacakan hasilnya. Semakin jelas, suami saya memang tidak mengalami pendarahan, karena gejala fisis lanjutan dampak pendarahan tidak nampak. Namun sebaliknya, gejala fisis terjadinya penyumbatan nampak sangat jelas. Pembengkakan yang terjadi akibat adanya sumbatan berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya, mungkin akibat terapi obat yang tidak sesuai sebelumnya atau sebab lainnya. Entahlah. Yang jelas suami saya membutuhkan tindakan segera yang pastinya beresiko, apapun tindakan yang yang akan dipilih.

*bersambung...


#SemingguTigaPostingan
#day4

Tuesday, February 12, 2019

Ikhtiar Saja, Urusan Rezeki Serahkan Pada Allah

Rezeki tak selalu soal uang

Katanya, "banyak anak banyak rezeki." Alhamdulillah ... Allah memberi saya anak banyak, semoga rezeki (saya dan anak-anak) juga melimpah. (Allahumma aamiiin...) Tapi, please, jangan tanya itu kata siapa, ya? Karena saya benar-benar tidak tahu. Yang pasti, saya yakin kalau setiap anak itu punya rezekinya masing-masing. Tentang bagaimana rezeki bisa sampai kepada setiap anak, biarlah itu jadi rahasia Sang Maha Pemberi Rezeki.

Btw, itu rezeki anak-anak, lho yaaa... Kalau rezeki orang dewasa atau yang sudah punya tanggung jawab terhadap diri dan kehidupannya, bagaimana? Rezeki saya, misalnya. Ya, tentu harus ada ikhtiar untuk menjemputnya laaah. Sesedikit apapun, ikhtiar tetap harus dilakukan untuk bisa menjemput rezeki. Perkara dengan ikhtiar sedikit kemudian rezeki yang datang banyak (ngarep), itu juga biar jadi rahasia Sang Maha Pengatur.

Dari 18 tahun saya menjalani bahtera rumah tangga, (yaelah, bahasanya kok gini banget ya, hehe...) hanya dua tahun saja saya (dalam pandangan umum dianggap) bekerja. Dengan kata lain ada "usaha" yang saya lakukan untuk menjemput rezeki. Tahun ke-8 pernikahan saya bahkan berikrar untuk berhenti bekerja dan berhenti berburu pekerjaan lagi (masih dengan pekerjaan yang dalam pandangan orang kebanyakan dianggap bekerja). Ya, saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja.

Apakah kemudian dengan menjadi ibu rumah tangga saya tidak "bekerja"? Hehe, yang jadi ibu rumah tangga full time tanpa asisten rumah tangga pasti mengerti. Tapi kalau masih ada yang menganggap menjadi ibu rumah tangga bukanlah profesi, sah-sah saja, itu kan hak mereka mau bilang apa. Yang jelas, setelah saya niatkan diri menjadi ibu rumah tangga karena Allah semata, penghasilan suami perlahan namun pasti terus meningkat. Tak tanggung-tanggung, dalam hitungan bulan, meningkatnya hingga 10 kali lipat lebih.

Saya percaya, walau ada yang menganggap ibu rumah tangga bukan profesi, namun dalam pandangan Allah itu pastilah profesi yang mulia. Meski ada yang mengganggap menjadi IRT itu bukan pekerjaan, namun Allah pasti meletakkan IRT sebagai pekerjaan utama seorang wanita yang telah menyandang gelar sebagai istri sekaligus ibu. Dan tersebab hal itulah maka Allah menurunkan rezeki bagi seorang istri lewat materi yang diperoleh sang suami. (Maaf, kalau ada yang mau protes, tolong jangan di sini, japri saja, mari kita diskusi, hihi...)

Bagaimana jika suatu ketika karena suatu hal seorang suami meninggalkan istrinya yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Percayalah, Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang sudah bersusah payah melakukan ketaatan (termasuk dengan memilih profesi IRT). Lihatlah lebih ke dalam lagi, seorang wanita yang ditinggal suaminya pasti sudah Allah siapkan "bekal" untuk dia bisa melanjutkan kehidupannya tanpa keberadaan suami. Yang dibutuhkan seorang wanita saat ditinggal suaminya tetaplah ketaatan yang sama kepada Allah dan kepasrahan akan semua takdir yang diterimanya, yaitu penerimaan yang ikhlas dan pengakuan bahwa semua yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.

Alhamdulillah ... sebelum Allah berkehendak memanggil suami saya kembali kepada-Nya, Allah menitipkan kepada saya satu keahlian, yaitu berkendara. Tidak hanya skill menyetir, tapi kendaraan dan surat izin mengemudi alias SIM juga sudah tersedia. Bukankah itu menjadi satu media yang Allah sediakan untuk saya bisa ikhtiar menjemput rezeki-Nya? Atau bisa saja saya memanfaatkan kendaraannya saja sebagai alat ikhtiar menjemput rezeki. Apapun itu, tugas kita adalah ikhtiar dengan bersungguh-sungguh, urusan rezeki biarlah Allah yang memutuskan wujud dan besarannya. 


Sedikit cerita, salah satu cara Allah mengalirkan rezeki-Nya, saya rasakan pekan lalu. Pasti sudah menjadi bagian dari rencana Allah, pas lagi di kampung tanah kelahiran, pas ada serombongan ibu-ibu yang butuh tumpangan. Akhirnya saya terima keinginan mereka mencarter mobil yang biasa saya kendarai. Akad terjadi dan harga disepakati. Saya pun menjalankan tugas dengan sepenuh hati, layaknya sopir pribadi. Saya antarkan mereka pulang dan pergi. Menyusuri jalanan berkelok dengan tanjakan di sana-sini. Bukan apa-apa, lokasi yang dituju memang dataran tinggi, hihi...

Alhamdulillah, tugas selesai di ujung siang. Ibu-ibu terlihat senang hingga saya pun tenang. Ibu terakhir turun sambil memberikan sejumlah uang. Tak hanya itu, dia juga menyampaikan pesan bahwa ada tambahan tips dari salah satu penumpang. Sebagai imbalan terima kasih karena sudah diantar hingga ke tanah lapang. (Itu adalah titik terdekat dengan rumah si ibu, Maaang, hehe...) Kebayang, kan, betapa saya girang. Belum lagi dapat bonus melihat pemandangan alam sekitar yang membuat hati riang. Sungguh, Allah memang Maha Penyayang. Rezeki-Nya sering kali tak berbilang. (Cerita tentang lokasi yang saya kunjungi ada di sini)

Begitulah! Ketika ikhtiar dilakukan dengan sungguh-sungguh sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, Dia pasti akan memenuhi janji-Nya untuk mencukupkan kebutuhan hamba-Nya. Kalaulah tidak, mungkin Allah hendak mengujinya. Yang itu berarti bahwa Allah sangat mencintainya. Maka iringilah ikhtiar itu dengan penuh kesabaran dan doa-doa yang tak henti dipanjatkan.

Sekian!
Semoga Allah memudahkan segala urusan.


*tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook

#SemingguTigaPostingan
#day3