Saya tersenyum sambil memberi dua jempol dan bilang, "hebat!"
"Betapa lugunya kamu nak?" batin saya. Sepertinya dia betul-betul tidak mengerti kenapa teman-temannya berkomentar demikian terhadap jilbab besar yang dipakainya. Sehingga dia memberi jawaban jujur bahwa jilbab itu adalah milik kakaknya. Setelan gamis dan jilbab itu memang milik kakaknya, yang hanya terdiri dari dua warna, tanpa aksesoris, namun dengan model yang (menurut saya) masih tergolong anak-anak.
Bermula ketika dia masih di TK, ada hari yang temanya adalah hari abu-abu. Jadi siswa dianjurkan memakai baju warna abu-abu, sementara bagi yang tidak punya tetap memakai seragam sesuai hari tersebut. Putri saya kebetulan juga tidak punya, tapi kakaknya punya baju warna abu-abu. Setelah saya coba pakaikan baju kakaknya, ternyata hanya kepanjangan sedikit saja. Untuk menyenangkan putri saya dengan warna baju sesuai tema hari itu, saya menjahit satu bagian dari baju tersebut sehingga cukup untuk dia pakai.
Setelah baju itu dipakai, saya tidak langsung melepas jahitannya. Hingga tiba waktunya putri saya buka bersama di sekolah barunya yang tidak lagi di TK, melainkan sudah SD kelas satu. Dan saya memilihkan baju itu untuk dia pakai ke sekolah. Putri saya tidak menolak, karena memang dia suka meniru gaya berpakaian saya, termasuk memakai jilbab (sedikit) besar. Bahkan ketika saya memakai jilbab segi empat, dia ingin memakainya juga. Saya pun membuatkannya jilbab instan yang ketika dipakai seperti jilbab segi empat. Awalnya dia protes, karena maunya persis seperti saya, yang memakainya harus menggunakan peniti. Dengan sedikit penjelasan saya, bahwa peniti itu bisa berbahaya, barulah dia mau memakainya.
Berbeda dengan kakaknya yang sekarang sudah kelas lima SD. Meski keduanya sama-sama saya biasakan untuk memakai jilbab saat keluar rumah, namun kadang-kadang kakaknya menolak memakai jilbab besar. Saya tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi batasan melewati dada tetap tidak boleh dilanggar. Dan saat ramadan seperti sekarang ini, kakaknya justru lebih sering memilih jilbab besar. Karena dengan jilbab itu, dia tidak perlu lagi membawa mukenah untuk dipakai sholat. (Hmm, dia mulai berpikir tentang ke-praktisan rupanya.)
Tentang jilbab, tidak bisa dipungkiri, bahwa sebelum wanita berjilbab sebanyak sekarang, dulu jilbab atau kerudung itu memang identik dengan orang tua atau mereka yang sudah bergelar hajjah. Dan khusus jilbab besar, masih banyak orang islam sendiri yang menganggap bahwa itu hanyalah gaya berjilbab wanita muslimah dari golongan atau aliran tertentu saja, bukan dipandang sebagai gaya berpakaian muslimah yang umum, apalagi muslimah Indonesia. Tidak sedikit pula yang menyudutkan muslimah yang berjilbab besar. Padahal, jilbab besar mereka sama sekali tidak mengganggu dan merugikan pihak lain.
Kembali pada kejadian yang dialami putri saya dengan jilbab besarnya, bagaimana komentar tentang jilbab itu bisa muncul dari teman-temannya yang usianya masih berkisar 6-7 tahun itu? Melihat gaya dan model anak-anak itu berpakaian muslimah, terutama bentuk dan ukuran jilbabnya, ini yang bisa saya simpulkan:
- Mungkin mereka pernah melihat bahwa yang memakai gaya berjilbab seperti itu hanyalah orang-orang tua saja, sementara anak kecil tidak.
- Atau mungkin orang tua mereka gaya berjilbabnya seperti itu, tapi mereka dipakaikan jilbab dengan gaya yang berbeda dengan orang tuanya, sehingga mereka menganggap bahwa gaya berjilbab seperti itu hanya untuk orang yang sudah tua saja.
- Atau mungkin juga karena memang warna dan modelnya bagi mereka mungkin dianggap "tidak menarik" dan hanya cocok dipakai oleh orang tua.