Malam Pertama di Masjid Pertama
Saya sudah pernah sholat tarawih di masjid ini pada ramadhan tahun lalu. Sedikit banyak saya sudah mengerti bagaimana tata cara dan urutan-urutan ritual sholatnya. Dimulai dengan sholat isya berjamaah, lalu jeda sebentar untuk sholat sunnah bakdiyah, dan dilanjutkan dengan sholat tarawih berjamaah. Selepas sholat tarawih sebanyak dua kali 4 rakaat, lalu diisi dengan ceramah ramadhan dan ditutup dengan sholat witir 3 rakaat.
Di masjid ini jamaahnya cukup penuh, hingga sekitar sepertiga dari jamaah perempuan harus sholat di teras masjid. Karena teras masjid tidak diberi karpet dan saya juga tidak membawa sajadah, maka saya melaksanakan sholat dengan beralaskan lantai keramik. Namun sholat beralaskan lantai, bagi saya, tidak lebih mengganggu daripada jejeran shaf wanita yang masing-masing berdiri di atas sajadah yang lebarnya lebih dari 50cm. Kebayang kan, bagaimana jarang-jarangnya shaf wanita, yang jika dirapatkan, mungkin jamaah wanita tidak perlu ada yang sholat di teras masjid.
Untuk anak-anak, masjid pertama ini kurang aman sebetulnya, karena berada tepat di sisi jalan raya dan tidak berpagar. Namun anak-anak biasanya lebih banyak bermain di sekitar area masjid saja, tidak sampai ke jalan raya. Tapi ada hal lain yang perlu saya waspadai, yaitu tangga naik ke lantai dua, yang meskipun tidak dipakai untuk sholat, tangganya biasa dinaiki oleh anak-anak dan pegangannya dipakai untuk perosotan.
Malam Kedua di Masjid Kedua
Saya juga sudah pernah sholat tarawih di masjid ini ramadhan tahun lalu. Berbeda dengan masjid pertama, di masjid kedua ini, ceramah ramadhannya diberikan setelah sholat isya. Namun tarawih dan witirnya sama dengan masjid pertama, masing-masing 4 rakaat dan 3 rakaat.
Di masjid kedua ini, jamaahnya lebih banyak dari masjid pertama. Sehingga tidak hanya teras yang terisi jamaah wanita, tapi juga pelataran depan masjid yang berubin paving blok. Lagi-lagi, karena saya tidak membawa sajadah, saya harus sholat di atas paving blok yang hanya diberi alas perlak plastik yang permukaannya mulai mengelupas. Sehingga bagian kulit yang bersentuhan langsung dengan alas sholat, dipenuhi dengan serpihan kecil-kecil plastik.
Untuk anak-anak, masjid kedua relatif lebih aman, karena merupakan masjid kompleks yang lalulintasnya tidak terlalu ramai. Tangga masjid cukup aman, karena tidak terlalu bisa diakses dari lokasi jamaah wanita. Di sekitar masjid ada beberapa penjual makanan yang cukup menggoda anak-anak. But no! Saya mungkin tidak akan mengijinkan anak-anak membeli makanan, kecuali besoknya sudah tidak akan tarawih di masjid itu lagi.
Malam Ketiga di Masjid Ketiga
Lokasi masjidnya memang lebih jauh dibanding yang pertama dan kedua, tapi tidak terlalu jauh juga. Ini adalah kali pertama saya sholat tarawih di masjid ini. Berbeda dengan dua masjid sebelumnya, sholat tarawih dilaksanakan empat kali 2 rakaat. Bagi saya, sholat sunnah dua-dua itu terasa lebih ringan. Kalau urusan sunnah, 2 rakaat dan 4 rakaat sama-sama pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun ada aura berbeda yang saya rasakan. Bacaan imam sholatnya begitu indah. Iramanya seperti bacaan para hafidz qur'an yang berasal dari negeri asalnya, yaitu tanah arab, meski bukan orang arab. Saya bisa merasakan semangat yang sama dengan saat sholat tarawih di Malang beberapa tahun terakhir sebelum pindah ke Pamulang. Di Malang dulu, saya biasa memburu masjid yang imam sholatnya adalah para syeikh yang berasal dari negeri arab. Entahlah, saya bisa merasakan ketenangan mendengar bacaan qur'an mereka.
Ceramah ramadhan dilaksanakan selepas sholat tarawih, seperti pada masjid pertama. Namun lagi-lagi ada aura berbeda yang saya rasakan. Baru di masjid ketiga ini saya mendapati ceramahnya dibuka dengan membaca tiga ayat qur'an yang memang biasa saya dengar dari da'i-da'i waktu di Malang dulu. Nostalgiakah? Mungkin. Tapi urutan-urutan pembuka ceramah termasuk tiga ayat qur'an dan satu hadits itu seperti sudah menjadi bagian wajib bagi saya saat mendengarkan ceramah agama. Cara da'i di masjid ketiga ini menyampaikan ceramahnya juga berbeda, terasa lebih hidup. Beliau melakukan kontak dengan jamaah, sehingga kesan dakwahnya begitu terasa, bukan hanya asal ceramah. Satu lagi yang berbeda, ceramah ditutup dengan do'a kafaratul majelis, yang tidak saya dapati di masjid pertama dan kedua. Mungkin sudah lama saya tidak mendengarkan taushiyah dari ustadz-ustadz saya di Malang, namun apa-apa yang menjadi kebiasaan beliau-beliau saat memberikan taushiyah tidak bisa saya lupakan.
Jejeran shaf wanita di masjid ketiga tidak jauh berbeda dengan dua masjid sebelumnya. Bagi saya yang meyakini bahwa shaf yang rapat (benar-benar) menjadi penyempurna sholat, kadang saya merasa sedih. Bagaimana mereka bisa merasakan kebersamaan di saat sholat jika antara mereka dengan jamaah sholat lain begitu berjarak. Yang bersentuhan hanyalah sajadah mereka, yang bagi saya sajadah-sajadah itu cukup untuk tempat saya sholat berdua dengan putri saya yang berusia 10 tahun. Kali ini saya membawa sajadah, karena saya merasa kasihan pada anak-anak ketika sholat jika harus sholat tanpa sajadah. Namun begitu masuk masjid yang terlihat masih cukup longgar itu, permukaan lantainya sudah dipenuhi dengan karpet bagus sehingga tanpa sajadah pun sudah sangat nyaman.
Untuk anak-anak, masjid ketiga ini juga cukup aman, karena memang area masjid yang cukup luas. Karena begitu luasnya (atau jamaahnya yang sedikit ya), sehingga teras di sisi kanan, kiri dan depan masjid tidak sampai terisi oleh jamaah. Jadi, saya pun bisa melaksanakan sholat dengan lebih khusyuk.
Begitulah pengalaman yang saya rasakan dari tiga malam pertama saya sholat tarawih di Pamulang, di tiga masjid berbeda, pada ramadhan tahun ini. Kenyamanan memang sangat relatif. Tapi bagi mereka yang sudah pernah merasakan kenyamanan saat melakukan suatu ibadah, pasti ingin merasakan kembali hal yang sama. Terlebih lagi dalam ibadah sholat tarawih di bulan ramadhan yang hanya ada sebulan dalam satu tahun ini, pastilah kita ingin mencari tempat terbaik untuk ibadah di bulan terbaik.
Hmm, nanti malam tarawih dimana ya???
No comments:
Post a Comment