Setelah menulis tentang getuk beberapa hari yang lalu, ada teman kuliah saya yang komentar begini, "Baru weruh tibakno getuk asline cuma singkong rebus dilembutno." Yang artinya, "ternyata (saya) baru tahu, kalau getuk itu sebetulnya cuma singkong yang dihaluskan. Haha... Saya pun membalas dengan menulis, "... aseli, lagek weruh tenan aku... hihihi... Mending telat timbang ora tahu ngerti... iya, tho... wkwkwk". Artinya, "saya benar-benar baru mengetahuinya (tidak diragukan lagi), tapi lebih baik terlambat (mengetahui) daripada tidak pernah mengetahui, iya kan..." Hehe...
Pada paragraf keempat tulisan tentang getuk, saya juga menulis secara gamblang bahwasanya saya memang baru mengetahui (asal muasal getuk). Sehingga memunculkan "keraguan" saya saat harus membedakan antara singkong rebus dengan getuk. Ya, begitulah keadaannya. Saya sengaja menulisnya secara gamblang, karena (pastinya) ada hal-hal yang orang lain (mungkin) sudah tahu, sementara (ternyata) saya belum mengetahuinya. Dan ketika saya mengetahui satu hal, maka pada saat yang sama, saya pun menyadari ada lebih dari satu hal yang belum saya ketahui. Begitu pula saat saya menguasai satu hal (dengan ijin-Nya), maka saya juga menyadari bahwa akan ada banyak hal yang belum dan (mungkin) tidak akan pernah bisa saya kuasai.
Itulah keadaan dimana saya memandang ungkapan "di atas langit masih ada langit" sangat tepat untuk menggambarkannya. Keadaan yang bukan sekadar saya coba pahami secara teori, tapi juga pernah (bahkan sering) saya alami. Meski kadang saya "lupa" akan peribahasa itu saat menghadapi suatu keadaan, namun biasanya saya bisa segera (kembali) menyadarinya. Salah satu keadaan yang membuat saya yakin akan kebenaran ungkapan itu, pernah saya alami ketika berada di jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Kenapa dengan saya waktu SMA? Hmm, serius amat ya, haha...
Ini sedikit cerita tentang diri saya. Saya berasal dari satu desa di bagian barat wilayah kabupaten Situbondo. Saya menempuh SD dan SMP tidak jauh dari tempat saya tinggal (desa juga pastinya). Namun saat akan memasuki jenjang SMA saya memilih untuk melanjutkannya di (kota) kabupaten Situbondo. Yaitu SMA Negeri 1 Situbondo (SMASA), yang merupakan sekolah favorit di kabupaten Situbondo. Ada hal yang tidak akan pernah saya lupa selama menempuh pendidikan di SMASA, yaitu "prestasi" saya di kelas. Lebih tepatnya sih, ranking yang saya raih. Sebagai siswa yang nyaris selalu berada di tiga teratas di kelas selama SD dan SMP, pada catur wulan pertama kelas 1 SMA, saya berada di urutan ke-18.
Am I shock? Nggak juga... Kan dari awal saya sudah tahu kalau SMA yang saya masuki adalah sekolah favorit. Dari daftar NEM (Nilai Ebtanas Murni) SMP teman-teman yang diterima di SMASA, saya bisa mengukur kemampuan saya yang jauh di bawah mereka. Namun, dari ranking yang saya dapat itulah, saya jadi betul-betul bisa merasakan kebenaran ungkapan "di atas langit masih ada langit". Yang dari keadaan itu saya bisa belajar satu hal, bahwa tidak ada yang pantas untuk disombongkan. Namun, sebagai manusia, tentu saja kadang saya khilaf. Ada hal-hal yang saya lakukan, entah disengaja atau tidak, (mungkin) telah menunjukkan kesombongan. Astaghfirullah al adzim...
Semoga saya dan sahabat semua bisa dijauhkan dari sifat sombong, karena Allah tidak menyukainya. Sebagaimana firman-Nya dalam al Qur'an surah Luqman ayat 31, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Sungguh, tidak ada manusia yang sempurna. Setiap yang memiliki kelebihan, pasti juga memiliki kekurangan. "Di atas langit, masih ada langit".
#OneDayOnePost
#keepwriting
#6