Tuesday, March 15, 2016

Saya Menangis Membaca Buku Ini

Saya suka membaca, membaca apa saja, dan dimana saja. Dengan membaca saya bisa mendapat informasi tentang banyak hal. Membaca itu menambah wawasan dan pengetahuan saya, sekaligus juga membuat saya jadi makin "bodoh". Karena ternyata ada banyak hal yang belum saya ketahui. Buat saya, membaca itu bukan melulu soal buku. Tapi lebih dari itu. Dan saya memperoleh banyak sekali manfaat dari membaca. 

Jaman saya SD dulu, sekitar tahun 1986-1991, saya benar-benar menjadi kutu buku. Ya, saya suka sekali membaca buku kala itu. Hampir tiap hari saya mengunjungi perpustakaan sekolah. Berbagai jenis buku yang ada di perpustakaan itu, hampir semuanya pernah saya baca.

Menginjak masa SMP, saya sudah tidak lagi menjadi kutu buku. Meski membaca buku masih jadi kebiasaan, tapi intensitasnya sudah tidak sesering waktu di SD. Saya lebih banyak aktif di ekstrakurikuler pramuka. Untuk menunjang kegiatan kepramukaan, tentu saja saya harus tetap rajin membaca. Karena untuk bisa naik tingkat saya harus lulus ujian yang sebagiannya tentang pengetahuan seputar kepanduan. Bagaimana mungkin saya bisa mengetahuinya kalau tidak dengan membaca?

Di SMA, mata pelajaran yang diberikan lebih banyak dibandingkan di SMP. Itu menuntut saya untuk membaca lebih banyak buku pelajaran agar saya tidak jauh tertinggal. Entahlah, saat itu saya merasa lemah sekali dalam memahami pelajaran yang berisi banyak teori-teori, dan yang menuntut saya harus banyak menghafal. Saya hanya menyukai matematika, karena untuk tahu hasil kali suatu bilangan, saya kan tidak perlu menghafalnya. Tapi walaupun nilai matematika saya lumayan, kalau pelajaran yang lain jeblok, kan raport-nya jadi ikutan jeblok, hihi...

Memasuki bangku kuliah, sebetulnya saya punya waktu dan kesempatan lebih banyak untuk membaca. Namun kegiatan sebagai aktivis kampus terasa lebih menyenangkan sehingga saya menjadi tidak terlalu rajin membaca. Kalau pun sekali waktu saya berkunjung ke perpustakaan, itu karena tugas kuliah yang mengharuskan saya mencari jawaban di sana. Dan kalau saya terlihat banyak membaca, sangat sedikit dari yang saya baca itu yang bukan buku diktat kuliah. Anak kuliahan kan sudah biasa kemana-mana bawa buku, haha...

Menginjak semester lima, saya menikah. Beberapa orang berpikir, menikah sebelum kuliah kelar itu akan lebih banyak menghambat kuliah. Namun siapa sangka, yang saya rasakan justru sebaliknya. Saya yang dinyatakan hamil sebulan setelah menikah, justru merasakan lebih banyak kemudahan dalam studi S-1 saya. Saya bisa memahami materi perkuliahan dengan lebih mudah. Saya juga bisa menyelesaikan soal-soal geometri jauh lebih mudah dari sebelumnya. Sampai dosen geometri yang sudah pernah mengajar saya sebelumnya, mengira saya baru pertama kalinya mengikuti mata kuliah itu.

Merasakan kemudahan sejak dinyatakan hamil, saya jadi lebih semangat membaca. Hanya saja, saya memilih bacaan-bacaan yang saya "butuhkan", yaitu bacaan seputar pengetahuan bagaimana menjadi ibu baru dan tata cara mengasuh bayi. Sebagai anak gadis yang pertama kali menikah, sedikit pun saya tidak tahu menahu bagaimana merawat dan mengasuh bayi. Dan sebagai gadis yang dikenal sedikit "tomboy" dan "pemalas", banyak orang meragukan kemampuan saya untuk menjadi seorang ibu. Jangankan menjadi ibu, menjadi istri saja, kapabilitas saya banyak yang meragukan, haha...

Jadilah sebuah buku panduan yang berisi informasi seputar kehamilan, kelahiran dan tata cara mengasuh bayi dari hari ke hari, sebagai teman saya mengisi waktu luang di sela-sela kuliah. Pilihan teman yang tepat bagi saya sebagai persiapan menanti kelahiran seorang bayi. Sekaligus menjadi hiburan bagi saya yang menjalani LDM (Long Distance Marriage) di tahun pertama pernikahan. Betul-betul buku panduan yang sarat pengetahuan, yang manfaatnya bisa saya rasakan di kemudian hari.

Setelah anak saya mulai besar, dan hadir anak-anak berikutnya, bacaan saya beralih pada buku-buku tentang pengasuhan. Saya rasakan betul, menjadi orang tua itu butuh terus dan terus belajar. Apalagi menjadi orang tua dengan banyak anak. Orang tua harus benar-benar bisa menjadi pengasuh yang multi talenta. Karena masing-masing anak pasti memiliki kekhasan yang berbeda satu sama lain. Yang itu berarti, mereka membutuhkan pendekatan berbeda dalam tata cara mengasuh dan mendidiknya.

Ketika anak-anak memasuki dunia sekolah, sekolah islam yang saya pilihkan untuk mereka memberi pengaruh besar terhadap pilihan bacaan saya selanjutnya. Saya yang biasanya membaca buku pengasuhan umum, mulai bergeser ke buku-buku pengasuhan yang islami. Diikuti dengan buku-buku motivasi yang islami. Saya seperti memasuki sebuah dunia baru. Mengenyam pendidikan dari TK hingga SMA di sekolah umum, dan kuliah di jurusan yang juga umum, "dunia islam" terasa sebagai sesuatu yang baru. 

Tidak cukup hanya membaca, saya mulai rajin mengikuti majelis taklim. Sebagai orang yang baru belajar, saya hadir di majelis ilmu laksana gelas yang kosong. Saya ingat, di tiga bulan pertama saya ikut kajian rutin seminggu sekali itu, tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulut saya. Pernah merasakan dunia perkuliahan, membuat saya bisa menahan diri untuk tidak bertanya sebelum saya mendapatkan jawaban dari membaca ulang materi yang disampaikan, agar saya jadi lebih paham. Pada saat itulah, saya menemukan sebuah buku tebal di antara tumpukan buku-buku milik suami. Sebuah buku agama yang merupakan hadiah dari teman suami beberapa bulan sebelumnya dan belum pernah dibaca.

Buku itu berjudul "Ar-Rahiq Al-Makhtum" karangan Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfuri (*) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebuah buku yang menceritakan tentang perjalanan hidup Rasulullah, dari awal--jauh sebelum beliau dilahirkan, hingga detik-detik wafatnya beliau. Dilengkapi dengan sumber referensi dan rujukan yang otentik, layaknya sebuah karya ilmiah. Karena memang buku itu adalah satu dari peserta kompetisi terbuka untuk buku Sirah Nabi pada tahun 1979 yang berhasil meraih juara pertama.

Sudah menjadi kebiasaan saya saat membaca buku, selalu membacanya dari lembar pertama. Yaitu halaman judul lalu lanjut ke halaman yang nomernya masih angka romawi. Sebuah pengantar yang sangat menarik. Keingintahuan saya yang makin besar mendorong saya untuk membaca dan terus membaca. Gairah yang saya rasakan dalam membaca buku tebal itu, bagaikan seorang yang sedang kehausan lalu dihadapkan pada saya segelas air segar yang siap menyejukkan. Minum berteguk-teguk serasa tak cukup saja.

Saya membacanya lembar demi lembar tanpa ada yang terlewat. Saya tidak ingat berapa lama saya menuntaskan membaca buku itu. Yang pasti saya memilih waktu dimana saya benar-benar telah selesai dengan segala urusan rumah tangga. Karena saya tidak hanya sekadar ingin membaca buku itu, tapi juga ingin meresapi dan memahami detil semua isinya. Dan benar-benar emosi saya turut larut saat membaca buku itu. Hingga ketika saya sampai pada detik-detik menjelang wafatnya Rasulullah, tetangga saya datang untuk suatu keperluan. Saya yang membukakan pintu masih dengan sisa-sisa air mata yang tadinya deras mengalir, langsung kaget dan mengira saya sedang ada masalah. Setelah saya menjelaskan apa yang terjadi, tetangga saya pun mengerti.

Begitulah! Buku tebal itu menjadi buku religi pertama yang utuh saya baca hingga tuntas. Menjadi buku tebal terbaik dan paling berkesan yang pernah saya baca. Buku yang tidak hanya memberi saya banyak informasi tentang kehidupan Rasulullah, tapi juga membuat saya turut merasakan apa yang Rasulullah rasakan. Hingga saat saya membaca kisah tentang perang beliau, saya seakan-akan juga ikut berperang bersama beliau. Dan di detik-detik menjelang wafat beliau, seolah-olah saya juga berada di antara para sahabat yang menunggu dengan linangan air mata melepas kepergian beliau.

Buku itu telah mengantarkan saya pada semangat keislaman baru yang hingga kini terus mengalir dalam darah, mengiringi setiap desah nafas dan mewarnai hidup saat mimpi maupun terjaga. Sayang, buku itu kini tidak jelas keberadaannya. Sepertinya banyak berpindah tangan membuat buku itu tidak bisa kembali pulang. Hingga saya pun tidak bisa mengabadikannya dalam gambar--sedih...


(*) Ar-Rahiq-ul-Makhtum adalah buku Sirah Nabi Islam, Muhammad, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Urdu oleh Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfuri. Versi bahasa Arab-nya dianugerahi juara pertama oleh Liga Muslim Dunia, dalam Islamic Conference on Seerah, menyusul kompetisi terbuka untuk buku Sirah Rasul Allah pada tahun 1979. Buku ini bersaing dengan 170 manuskrip lainnya, 84 dalam bahasa Arab, 64 dalam bahasa Urdu, 21 dalam bahasa Inggris satu dalam bahasa Prancis dan satu dalam bahasa Hausa. Buku ini menceritakan berbagai fase kehidupan Muhammad. Buku ini juga menyediakan rujukan otentik yang menjadikannya lebih terpercaya dan tidak terlalu kontroversial. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Sealed Nectar. 
(Sumber: Wikipedia, dengan sedikit edit tulisan yang dianggap perlu)


#OneDayOnePost
#keepwriting
#12

Monday, March 14, 2016

Sepaket Hadiah Cinta, Demi Hobbi

 

"Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang engkau dustakan?"

Punya wifi tanpa laptop dan ponsel pintar itu, sepertinya memang "kurang" berguna. Sejak sekitar dua minggu yang lalu suami menyediakan wifi di rumah, hampir tiap hari wifi itu aktif saya gunakan. Lumayan, saya tidak perlu repot-repot lagi memikirkan quota ponsel yang hampir tiap bulan sekali harus saya isi pulsa minimal Rp50000 untuk bisa internet-an. Saya juga bisa nge-blog lagi, dan mulai rajin menulis--semoga konsisten. Apalagi saya memutuskan ikut ODOP (One Day One Post). Kini, hampir tiap hari saya menulis dan menulis. Walau kadang tidak semua yang saya tulis saya putuskan untuk di-publish.

Sekarang saya sudah bisa memaksimalkan fungsi tablet untuk aktivitas nge-blog. Namun, untuk urusan menulis yang cukup banyak, laptop tetap lebih nyaman buat saya. Dan karena laptop saya rusak, sejak ada wifi itu, saya menggunakan laptop milik suami untuk menulis dan nge-blog. Padahal waktu pagi menjadi waktu terbaik saya untuk menulis, yaitu antara pukul 08.00 hingga pukul 11.00. Waktu dimana saya selesai dengan urusan pagi, dan anak-anak sudah berangkat ke sekolah. Selain pagi, saya juga punya jam menulis malam, yaitu setelah anak-anak tidur dan sebelum suami pulang dari kantor. Tapi itu tidak lebih banyak dibanding waktu pagi jelang siang.

Kalau suami ada jam mengajar pagi, maka saya tidak bisa menggunakan laptop untuk saat itu. Otomatis saya hanya menggunakan waktu malam untuk kegiatan menulis. Hal itu sempat membuat saya beberapa kali harus tidur terlalu larut. Begitulah kalau menulis sudah jadi hobbi. Entah karena alasan saya tidur larut malam, atau agar aktivitas nge-blog saya tidak lagi mengganggu laptop suami, suami memutuskan untuk membelikan saya laptop sendiri. Jadilah pagi ini dan insya Allah untuk pagi-pagi selanjutnya, laptop cantik hadiah dari suami (yang sekarang saya gunakan) siap menemani saya. Alhamdulillah, suami saya memang baik hati, mengerti banget hobbi istri, hihi...

Selain untuk menulis, laptop juga memudahkan saat membaca. Dengan layar lebih lebar, saya bisa membaca lebih cepat dan mudah menangkap pesan tulisan yang saya baca. By the way, saya itu lebih banyak membaca daripada menulis saat laptop dan internet bersanding. Mulai dari membaca status teman, berita di media, hingga berbagai pengetahuan yang bisa langsung dari sumbernya. Jadi waktu yang saya habiskan di depan laptop berjam-jam itu, tidak semuanya hanya untuk menulis.

Saya memang suka baca, sejak awal mula saya bisa membaca. Membaca selalu menjadi poin wajib yang selalu saya cantumkan di kolom hobbi saat mengisi daftar riwayat hidup. Bukan daftar riwayat hidup buat cari pekerjaan, lho. Tapi sebatas daftar identitas yang biasanya saling dibagikan antar teman dan sahabat pena waktu masih a-be-ge dulu.

Mengingat kembali hobbi membaca, waktu SD dulu saya sampai kehabisan stok buku untuk dibaca. Maklumlah, SD negeri di desa, koleksi perpustakaannya tidak seberapa. Apalagi saya membaca tidak hanya pada hari sekolah, tapi saat liburan juga. Saya pernah, menjelang libur panjang--yang dulu hampir sebulan, melobi petugas perpustakaan agar bisa meminjam banyak buku. Kalau hari efektif sekolah, biasanya hanya bisa meminjam dua buku, lalu mengganti dengan buku yang baru di hari berikutnya. Tapi kalau liburan kan perpustakaannya ikut tutup? Jadi saya meminjam 15 buku sekaligus, maksudnya untuk stok selama liburan. Berhasilkah saya? Tentu saja. Itu salah satu keuntungan jadi anak pak guru, haha...

Membaca adalah hobbi yang asyik. Apalagi jaman sekarang, tidak harus punya buku untuk bisa membaca setiap hari. Menulis juga menyenangkan. Menulis bisa menjadi terapi untuk meringankan beban pikiran yang sulit diungkapkan dengan lisan. Kegiatan membaca dan menulis juga bisa "menghasilkan", lho--apalagi kalau bukan uang, haha. Nah, dengan punya laptop sendiri, layanan wifi on sepanjang hari, dan secangkir kopi, apalagi yang saya cari pagi ini? Saya tinggal duduk depan laptop, dan siap menikmati hobbi. "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Saya tidak pilih-pilih jenis buku untuk dibaca. Mulai dari buku cerita, hikayat, hingga prakarya. Tapi itu dulu, waktu saya masih di SD. Seiring waktu, banyak hal telah berubah pada diri saya. Pada masa SMP, saya lebih banyak beraktivitas di kepanduan ketimbang membaca. SMA, beda lagi prioritasnya. Meski tetap saja, motto "Tiada Hari Tanpa Membaca" jadi pegangan, namun buku yang saya baca terus berubah dari waktu ke waktu. Bacaan seperti apa yang menarik buat saya sekarang? Buku apa yang paling berkesan dan menjadi buku terbaik yang pernah saya baca? Akan saya ceritakan kisahnya pada tulisan selanjutnya.

 

#OneDayOnePost
#keepwriting
#11