Tuesday, March 29, 2016

Merenda Jalan Surga


Mentari belumlah tinggi
Saat tepat untuk pergi
Namun aku memilih berhenti
Meninggalkan seribu mimpi
Untuk mengukir satu janji
Di sini, aku akan mengabdi

...
Gerbang dunia baru terbentang di depan mata. Bayangan wajah ceria berbalut busana toga semakin nyata. Setelah sidang tertutup bersama delapan mata penuh wibawa. Akhirnya segala usaha itu akan juga berbuah tiga lembar kertas penuh makna. Bersama langkah mantap di panggung sakral bernama wisuda.

...
Iya, satu langkah akhirnya terlewati. Langkah yang sempat mendatangkan keraguan orangtuaku lantaran aku memutuskan mengakhiri masa lajang sebelum pendidikanku usai. Pernyataan bidan sebulan setelah akad terlaksana, menambah waswas orangtua bahwa aku akan kesulitan meraih gelar sarjana. Aku terlambat datang bulan, dan bidan menyatakan sudah ada janin yang menghuni rahimku. Tak bisa kugambarkan bagaimana suasana hatiku kala itu. Antara bahagia dan terbawa perasaan orangtua yang waswas dengan keadaanku.

Tepat seminggu setelah ujian akhir semester delapan, anak pertamaku lahir. Hampir semua matakuliah sudah aku selesaikan dengan nilai memadai saat itu. Namun skripsiku nyaris belum tersentuh sedikit pun. Merawat bayi seorang diri dan tinggal terpisah dengan suami, memaksaku sejenak melupakan skripsiku. Setelah jagoanku melewati tiga bulan pertamanya, aku mulai mengunjungi kampus setiap dua minggu sekali. Usaha yang berbuah manis enam bulan berikutnya.

...
"Kita ke Kalimantan, ya?" ucap suamiku dengan ekspresi penuh harap agar aku memenuhi ajakannya.
"Iya, terserah Ayah saja. Kalau memang itu baik menurut Ayah, saya akan ikut." jawabku dengan ekspresi yang sulit ditebak, antara iya atau tidak.
Jawaban dan ekspresi yang hampir selalu sama setiap aku merespon pertanyaan dan ajakan suami tentang keputusannya dalam menjalani kehidupan bersamaku. Entahlah, meski jawaban iyaku kadang tersamar, aku tidak pernah bisa menolak semua tawaran dan keputusan suamiku. Termasuk permintaannya untuk melangsungkan pernikahan sederhana, tanpa panggung, dan tanpa riasan pengantin. Aku pun memenuhinya dan mengabaikan keinginan orangtuaku yang ingin melihat putrinya tampil seperti ratu sehari kala itu.

...
Tepat setahun usia anakku, akhirnya aku, suami dan anakku berangkat ke Kalimantan. Keputusan yang aku pikir lebih baik, daripada aku ikut bekerja bersama suamiku di tempat kerja sebelumnya dan meninggalkan anakku tinggal bersama orangtuaku. Sekaligus memenuhi permintaan orangtua suamiku yang ingin agar salah satu anaknya ada yang bisa menjadi PNS, dalam hal ini sebagai guru. Kebetulan daerah transmigrasi tempat mertuaku tinggal, membuka SMA baru saat itu.

(bersambung)


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#22

Monday, March 28, 2016

Aktivitasku: Dari Bagi Tugas hingga Menjemput Tepat Waktu


"Pulangnya jam dua, lho! Bukan jam tiga." seru pak Ucup--bukan nama sebenarnya, penjaga sekolah Zahra.
"Okeee... Kalau saya yang kebagian tugas, insya Allah beres!" ujar saya menimpali teguran pak Ucup.
"Ayahnya ada acara hari ini." sambung saya lagi.

Begitulah perbincangan singkat antara saya dan pak Ucup pagi ini. Hari pertama di pekan terakhir Maret ini, pak Ucup mengingatkan saya tentang jam pulang sekolah Zahra. Bukannya tanpa alasan, hari kamis pekan sebelumnya, Zahra baru saya jemput jam tiga sore. Padahal pulang sekolahnya jam dua. Sungguh terlalu--mengutip kata-kata bang Roma Irama, haha...

Saya memang bukan "tukang ojek" tetap anak-anak meski pagi ini saya kebagian tugas itu. Bagian mengantar ke sekolah, hampir selalu suami saya yang jadi pemeran utamanya. Alhamdulillah, suami masuk kantornya agak siang--jam 08.30 WIB, jadi ada waktu cukup banyak untuk membantu menyelesaikan tugas pagi di rumah, termasuk mengantar anak-anak ke sekolah. Apalagi jarak dari rumah ke kantor suami juga dekat, hanya butuh 10 menit perjalanan menggunakan motor.

Begitu pula saat pulang sekolah. Kalau tidak ada urusan cukup penting yang tidak bisa ditinggal di kantor, maka suami pula yang jadi tokoh utama yang berperan sebagai "tukang ojek". Dan saya adalah pemeran pembantu yang hanya hadir saat pemeran utama berhalangan, seperti pagi ini. Sebenarnya jam kantor suami sampai jam 9 malam, namun siang dan sore hari ada istirahat, totalnya selama tiga jam. Itulah kenapa dari awal pindah ke sini--Tangerang Selatan, mengantar dan menjemput anak-anak menjadi tanggung jawab suami.

Tugas saya apa dong? Ya nguplek (sibuk sendiri) di rumah, mengerjakan semua hal sesuai kadar kesanggupan waktu dan tenaga saya. Kalau pas tidak kebagian tugas ngojek, saya biasanya tidur siang selepas waktu sholat duhur. Ini hampir menjadi kebiasaan, karena memang saya jarang menjemput anak-anak. Dan ini sepadan dengan ritme istirahat saya, dimana saya selalu menjadi yang pertama kali bangun di rumah. So, saya butuh dan harus tidur siang, demi kelancaran tugas utama saya di malam harinya--alesan ini mah, hihi... Tapi kalau tidak tidur siang, kepala saya bisa nggeliyeng (seperti berputar-putar gitu) akibat ngantuk yang tak tersalurkan, haha...

Nah, terkait dengan kejadian kamis lalu, hari itu sebenarnya "hari tugas" suami. Tapi rupanya suami ada pekerjaan mendadak sehingga tidak bisa menjemput anak-anak. Dan karena suami juga tidak ada kesempatan untuk pulang, jadilah suami hanya mengirimkan pesan singkat yang isinya tentu saja meminta saya untuk menjemput anak-anak.

Pesan singkat sih masuknya sebelum jam 2. Tapi saat itu saya sedang terlelap tidur siang. Saya baru membuka mata sekitar pukul setengah tiga, dan baru memeriksa ponsel sepuluh menit kemudian. Setelah sekitar lima menit saya duduk dan menggenapkan kesadaran, saya pun bangun untuk pergi menjemput Zahra. Pukul 14.45, dan saya baru menyadari kalau sepeda motor dipakai suami ke kantor. Mau naik mobil? Aduh, jarak rumah ke sekolah Zahra tidak sampai 2 km. Tapi kalau harus jalan kaki, rasanya juga tidak sanggup, panas sekali cuaca hari itu. Walhasil, jadilah saya menjemput dengan sepeda mini Aisyah--anak kedua saya. Dan baru tiba di sekolah pada pukul 15.00, hihihi...

Kalau terjadwal dari awal bahwa suami tidak bisa menjemput, biasanya suami ke kantornya saya antar sekalian--naik motor. Sehingga motor bisa saya pakai jemput anak-anak pada siang harinya. Naik mobil jika bukan karena terpaksa--misal karena hujan deras, sangat saya hindari untuk antar jemput anak-anak. Disamping jarak yang tidak terlalu jauh, kemacetan juga justru menambah lama perjalanan dari rumah ke sekolah atau sebaliknya, dari sekolah ke rumah. Jadi, sekali jadi tukang ojek, maka saya tidak hanya ngojek-in anak-anak, tapi juga ngojek-in suami, seperti hari ini.


Pamulang, 28 Maret 2016
*back to diary

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#21