Mentari belumlah tinggi
Saat tepat untuk pergi
Namun aku memilih berhenti
Meninggalkan seribu mimpi
Untuk mengukir satu janji
Di sini, aku akan mengabdi
...
Gerbang dunia baru terbentang di depan mata. Bayangan wajah ceria berbalut busana toga semakin nyata. Setelah sidang tertutup bersama delapan mata penuh wibawa. Akhirnya segala usaha itu akan juga berbuah tiga lembar kertas penuh makna. Bersama langkah mantap di panggung sakral bernama wisuda.
...
Iya, satu langkah akhirnya terlewati. Langkah yang sempat mendatangkan keraguan orangtuaku lantaran aku memutuskan mengakhiri masa lajang sebelum pendidikanku usai. Pernyataan bidan sebulan setelah akad terlaksana, menambah waswas orangtua bahwa aku akan kesulitan meraih gelar sarjana. Aku terlambat datang bulan, dan bidan menyatakan sudah ada janin yang menghuni rahimku. Tak bisa kugambarkan bagaimana suasana hatiku kala itu. Antara bahagia dan terbawa perasaan orangtua yang waswas dengan keadaanku.
Tepat seminggu setelah ujian akhir semester delapan, anak pertamaku lahir. Hampir semua matakuliah sudah aku selesaikan dengan nilai memadai saat itu. Namun skripsiku nyaris belum tersentuh sedikit pun. Merawat bayi seorang diri dan tinggal terpisah dengan suami, memaksaku sejenak melupakan skripsiku. Setelah jagoanku melewati tiga bulan pertamanya, aku mulai mengunjungi kampus setiap dua minggu sekali. Usaha yang berbuah manis enam bulan berikutnya.
...
"Kita ke Kalimantan, ya?" ucap suamiku dengan ekspresi penuh harap agar aku memenuhi ajakannya.
"Iya, terserah Ayah saja. Kalau memang itu baik menurut Ayah, saya akan ikut." jawabku dengan ekspresi yang sulit ditebak, antara iya atau tidak.
Jawaban dan ekspresi yang hampir selalu sama setiap aku merespon pertanyaan dan ajakan suami tentang keputusannya dalam menjalani kehidupan bersamaku. Entahlah, meski jawaban iyaku kadang tersamar, aku tidak pernah bisa menolak semua tawaran dan keputusan suamiku. Termasuk permintaannya untuk melangsungkan pernikahan sederhana, tanpa panggung, dan tanpa riasan pengantin. Aku pun memenuhinya dan mengabaikan keinginan orangtuaku yang ingin melihat putrinya tampil seperti ratu sehari kala itu.
...
Tepat setahun usia anakku, akhirnya aku, suami dan anakku berangkat ke Kalimantan. Keputusan yang aku pikir lebih baik, daripada aku ikut bekerja bersama suamiku di tempat kerja sebelumnya dan meninggalkan anakku tinggal bersama orangtuaku. Sekaligus memenuhi permintaan orangtua suamiku yang ingin agar salah satu anaknya ada yang bisa menjadi PNS, dalam hal ini sebagai guru. Kebetulan daerah transmigrasi tempat mertuaku tinggal, membuka SMA baru saat itu.
(bersambung)
#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#22
Wah.. cerita perjalanan hidup yah, mbak.. selalu suka kalau ada yang berbagi pengalaman. Karena pasti ada moment yang gimanaaa gitu yah. Hihihi
ReplyDeleteIya mbak vinny, semoga "moment gimana"-nya ada hikmahnya ntar...
Deleteiya mb vinny, sy jg suka dgn kisah perjalanan hidup seseorang
ReplyDeletehihi... ayo mbak lisa, bagi kisahnya juga...
Deleteiya mb vinny, sy jg suka dgn kisah perjalanan hidup seseorang
ReplyDeleteKeknya cerita yang di kalimantan tambah seru nehhh..
ReplyDeletehehe... kayaknya siiih... tapi mungkin hanya sedikit yang saya ulas waktu di kalimantan... ^__^
Delete