Saturday, May 27, 2017

Cerita tentang Rasa Keadilan Bunda, Shaf Sholat, dan Gawai


Alhamdulillah ... sampai juga saya di bulan suci ramadhan tahun 1438 Hijriyah.

Malam pertama ramadhan, agenda pertama tentu saja sholat tarawih. Meski harus membawa dua anak gadis--yang banyakan "ribut"-nya dibanding akurnya, satu balita yang (alhamdulillah) aktif banget, plus satu bayi 5,5 bulan, dengan bismillah, saya tetap memilih tarawih di mesjid.

Kami tiba di mesjid tepat saat azan isya' berkumandang. Mesjid ramai tentu saja. Membawa bayi yang mulai suka guling-guling sesuka hati, saya memilih posisi di tepi untuk mengikuti sholat berjamaah. Drama yang menguji kesabaran seorang ibu sekaligus insan yang mencoba taat pun dimulai.

Duo gadis berebut ingin berada di dekat si bayi. Hampir saja suasana sejuk dan nyaman di dalam mesjid yang dirasakan bundanya terganggu oleh ulah mereka. Akhirnya saya putuskan adik bayi berada paling tepi, lalu berurutan di sebelahnya si sholih yang aktif, bunda, anak gadis ke-2, dan anak gadis pertama. Bersiap sholat...

Takbir penanda sholat dimulai pun terdengar. Shaf mulai merapat otomatis. Namun ada ruang kosong tanpa makmum di sebagian barisan ke-2 dan ke-3 pada shaf di depan saya. Melihat hal itu, hati mulai tidak nyaman. Apalagi ingat perintah untuk rapatkan shaf dari sang imam. Kalau saya yang mengisinya, bagaimana dengan bayi yang saya bawa? Dia bisa saja tiba-tiba menangis minta ASI di pertengahan sholat. Barisan yang berada tepat di depan saya sepertinya sudah tidak mungkin diharapkan, karena mereka sudah memulai sholatnya.

Alhamdulillah ... tiba-tiba datang beberapa rombongan jamaah wanita. Saya meminta mereka untuk mengisi shaf kosong itu dan mereka tidak keberatan. Alfatihah pun selesai dibacakan oleh imam saat saya bergabung mengikuti sholat jamaah isya' semalam. Lebih baik terlambat sedikit asal hati tenang melihat shaf di depan kita terisi penuh.

Sholat jamaah isya' berlangsung dengan khidmat. Lalu dilanjutkan dengan sholat tarawih berjamaah. Alhamdulillah, adik bayi bisa tenang sepanjang sholat meski sedang tidak dalam kondisi tertidur. Stok kesabaran bunda justru diuji dengan tingkah si sholih, tapi masih bisa diatasi dengan baik.

Selepas sholat tarawih, sebelum sholat witir, ada ceramah ramadhan. Biasanya ceramahnya cukup panjang. Duo gadis yang katanya sudah lelah sholat memaksa saya untuk memilih keluar dari barisan sholat menuju mobil. Saya kan tetap bisa ikut sholat witir sementara duo gadis menjaga adik bayinya di mobil.

Saat saya bangkit, terlihatlah pemandangan memprihatinkan. Memang tidak semua jamaah, mungkin malah tidak sampai separuh. Hanya saja pemandangan itu begitu tampak terlihat. Sebagian jamaah sedang asyik dengan gawai di tangannya.

Yaaa ... ini memang era gawai. Tapi alangkah baiknya jika gawai itu diberi istirahat beberapa waktu hingga prosesi jamaah sholat tarawih dan witir selesai. Atau jika memang terpaksa harus membuka gawai, keluarlah dulu dari barisan shaf sholat jamaah. Atau dengan cara yang lain agar majelis tarawih bisa terasa "hidup" dan khusyuk. Karena "hidup" dan khusyuknya suatu majelis tergantung bagaimana jamaahnya.

Akhirnya malam pertama ramadhan bisa saya lewati dengan mengikuti sholat tarawih berjamaah di mesjid. Ada rasa senang, bahagia, sekaligus kecewa. Tapi tetap, bismillah saja, dan segala puji bagi-Nya untuk tiap-tiap keadaan.

#RamadhanKarim
#Ramadhan1438Hijriyah
#DiaryRamadhan
#RamadhanHariPertama
#CatatanBunda 
#1Ramadhan1438H 

Tuesday, May 31, 2016

Surga Menanti, Film Religi yang Menginspirasi dan Menguras Emosi

Semalam, untuk pertama kalinya saya bisa turut serta menghadiri sebuah acara bersama teman-teman dari Blogger Mungil (BloMil). Yaitu menyaksikan pemutaran film perdana dari Khanza Film Production yang bekerja sama dengan Yayasan Syekh Ali Jaber, sekaligus konperensi pers bersama para pemeran film tersebut. Acara ini juga menjadi liputan film pertama bagi tim BloMil.

Tayang Perdana pada 2 Juni
"Surga Menanti", begitu judul film yang dibintangi oleh "Umi" Pipik Dian Irawati dan Agus Kuncoro ini. Sebuah film religi tentu saja. Film yang berkisah tentang seorang Daffa yang diperankan oleh Syakir Daulay, dalam perjuangannya menjadi seorang hafidh qur'an. Sebuah cita-cita yang tidak muncul begitu saja pada diri Daffa, akan tetapi tidak lepas dari impian, motivasi, doa-doa dan usaha kedua orang tua Daffa, yaitu Yusuf (Agus Kuncoro) dan Humairoh (Umi Pipik).

Untuk mewujudkan impiannya--memiliki seorang anak yang hafidh qur'an, Yusuf dan Humairoh mengirimkan Daffa--anak semata wayangnya, ke pesantren tahfidh. Tempat yang jauh dan harus berpisah dengan sang buah hati, tidak menjadi halangan bagi mereka. Begitu juga dengan Daffa, dia benar-benar telah siap berpisah untuk sementara dengan orang tuanya, demi mewujudkan impiannya yang juga impian kedua orang tuanya.

Namun, untuk meraih impian sebagai hafidh qur'an ternyata bukanlah perkara yang mudah. Berbagai halangan dan rintangan menunggu sepanjang perjalanan dalam meraihnya. Belum sampai usai pendidikan Daffa di pesantren, belum juga tercapai cita-citanya menjadi seorang hafidh, Yusuf menjemput Daffa pulang. Kondisi Humairoh yang sakit dan fisiknya yang terus melemah, memaksa Yusuf untuk menjemput Daffa. Sebuah keputusan yang berat tidak hanya bagi Yusuf dan Humairoh, tapi juga Daffa.

Memang bukan tidak mungkin bisa meraih gelar hafidh di luar pesantren. Tapi tantangannya pasti jauh lebih berat bila dibandingkan di pesantren. Lingkungan yang kurang mendukung dan pandangan "miring" sebagian orang terhadap mereka yang tsiqoh memegang agamanya--termasuk mereka yang berkeinginan menjadi hafidh qur'an, menjadi ujian yang berat. Hal itu juga dialami Daffa di kampung halamannya. Bahkan penghalang terberat justru datang dari tetangga yang rumahnya berada tepat di sebelah rumah orang tua Daffa. Seolah tak bosan-bosannya bu Asri--tokoh antagonis dalam film ini yang diperankan oleh Della Puspita, memandang sebelah mata dan selalu berusaha mengendurkan semangat Daffa untuk menjadi hafidh.

Belum lagi kondisi Humairoh yang terus memburuk. Daffa pun mengetahui keadaan umminya setelah dia mendapati hidung umminya mengeluarkan darah. Humairoh yang tadinya selalu berusaha menyembunyikan sakitnya dari Daffa, serta berpura-pura tegar dan kuat saat di hadapan putranya, akhirnya harus menyerah juga pada sakitnya. Beberapa kali Humairoh harus keluar masuk rumah sakit. Keadaan yang tentu saja tidak mudah dihadapi oleh seorang anak, termasuk Daffa. Hal itu cukup membebani pikiran Daffa. Namun di dalam sakitnya, Humairoh tak henti-hentinya terus menyemangati Daffa untuk bisa segera meraih impiannya. Begitu juga dengan Yusuf. Yusuf begitu tegar dan bersemangat dalam memotivasi Daffa. Meski sesungguhnya Yusuf pun tak tega melihat kondisi Humairoh--istrinya, hingga diam-diam terkadang Yusuf pun menitikkan air mata.

Kehadiran dr. Fitri dalam film ini memberikan warna tersendiri. Berbeda dengan karakter bu Asri, empati dr. Fitri terhadap kondisi keluarga Yusuf-Humairo dan Daffa menjadikan dr. Fitri sebagai sosok teman sekaligus tetangga yang patut dicontoh. Sikap empati dan simpati yang ditunjukkan dr. Fitri terpancar dari tutur kata dan perilakunya. Begitu juga dengan kehadiran dua orang tuna netra yang merupakan sepasang ayah dan anak. Pesan Syekh Ali Jaber kepada mereka berdua, serta petuah yang disampaikan sang ayah kepada anaknya, sangatlah indah.

Ini benar-benar film religi yang patut ditonton. Sangat menginspirasi. Terutama bagi para orang tua yang juga sangat menginginkan anaknya menjadi hafidh qur'an, film ini sangat recommended untuk ditonton. Ada banyak pesan-pesan penting dalam film ini yang bisa menjadi suntikan semangat untuk tetap menjaga cita-cita mulia sebagai seorang hafidh qur'an dan atau menjadikan buah hatinya sebagai hafidh qur'an.

Sebagai orang tua yang juga memiliki impian sama seperti Yusuf dan Humairoh, saya tidak bisa menahan emosi selama menonton film ini. Meski berusaha untuk menahannya, air mata saya tetap saja keluar. Salah satunya adalah adegan saat Daffa harus dijemput dari pesantren dan berpisah dengan teman-temannya. Ingatan saya segera melayang kepada anak pertama yang juga berada di pesantren.

Seperti apakah pesan-pesan yang terkandung dalam film ini? Dan bagaimanakah akhir kisah film ini? Berhasilkah Daffa mewujudkan cita-citanya sebagai hafidh? Bagaimana pula dengan kondisi kesehatan Humairoh? Untuk mengetahui jawabannya, jangan lupa datang dan saksikan film ini di jaringan bioskop 21 mulai tanggal 2 Juni nanti.

Berpose seusai nonton film Surga Menanti
Suasana Konferensi Pers 


Pamulang, 31 Mei 2016
#liputanfilm