Friday, August 22, 2014

Menanti Seulas Senyum di Pintu Tol


Oleh-oleh Liburan #2

            Jalan tol, menjadi jalur pilihan kami saat bepergian jauh dari dan ke kota Tangsel, terutama dalam perjalanan rutin kami menjenguk anak-anak yang mondok di daerah Klaten dan Sukoharjo. Begitu juga dengan perjalanan mudik pertama kami dari Tangsel menuju Malang. Jalan tol menjadi pilihan kami agar bisa berkendara dengan lebih nyaman dan leluasa, karena di jalan tol tidak ada sepeda motor yang kadang-kadang beberapa pengendaranya menggunakan jalan “seenaknya”.
Dengan melewati beberapa jalan tol yang berada di jalur pantura, juga terbukti membuat perjalanan kami menuju Klaten dan Sukoharjo menjadi lebih cepat. Kami bisa membandingkan lamanya perjalanan yang kami tempuh, karena kami sudah pernah melewati hampir semua jalur yang bisa dilewati untuk menuju Klaten dari kota Tangsel. Pertama kali menuju Klaten, kami malah melewati jalur selatan, dan sama sekali tidak melewati jalan tol. Perjalanan yang kami rasakan sangat jauh dan melelahkan. Kisah perjalanan pertama kami bisa dilihat di sini.
Pintu tol pertama yang kami lewati saat akan meninggalkan kota Tangsel menuju Malang adalah pintu tol yang berada di Pondok Indah dan keluar di pintu tol Cikampek. Lalu kami akan melewati tol lagi di daerah Palimanan, Cirebon hingga Pejagan, dan tol yang ada di daerah Semarang, mulai dari pintu tol Krapyak hingga pintu tol Bawen. Untuk bisa lewat jalan tol, kita punya kewajiban membayar biaya masuk tol, yang tarifnya berbeda di tiap-tiap jalan tol. Dari yang (menurut kami) cukup murah, hingga yang sangat mahal. Ukuran murah dan mahal bukan hanya kami nilai dari nominal rupiah saja, tapi juga dari jarak dan kualitas jalan tol yang kami lalui.
Membayar biaya masuk tol, lazimnya yang melakukan adalah suami, sebagai pengemudi. Namun, anak ke-3 kami yang aktif, pernah minta agar dia yang menyerahkan uang kepada petugas pintu tol. Dan sejak saat itu, apa yang dilakukannya mulai menjadi kebiasaan yang tidak hanya dilakukan oleh dia, tapi juga oleh anak-anak kami yang lain, termasuk si bungsu. Apa yang dilakukan anak-anak, selalu menjadi perhatian saya. Momen membayar biaya masuk tol menjadi kesempatan saya untuk mengajarkan anak-anak agar ramah dan memberikan senyuman saat berinteraksi dengan orang lain, termasuk saat akan menyerahkan uang kepada petugas pintu tol. Tidak lupa juga, ucapan terima kasih saat petugas menyerahkan struk pembayaran tarif tol kepada mereka.
Akan tetapi, perhatian saya tidak hanya tertuju kepada anak-anak, melainkan juga kepada petugas pintu tol yang sedang bertugas saat itu. Saat transaksi dilakukan, ada hal-hal yang menarik untuk saya perhatikan. Yaitu ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh petugas pintu tol ketika anak-anak menyerahkan sejumlah uang kepada mereka. Reaksi mereka juga berbeda-beda saat melihat anak-anak. Yang itu membuat saya tidak pernah melewatkan saat anak-anak akan membayar uang masuk tol.
Ada petugas yang begitu antusias menerima uang dari tangan anak-anak, lalu menyerahkan struk pembayaran sembari mengucapkan terima kasih dengan begitu manis. Kami pernah mendapati seorang petugas perempuan yang menyambut si bungsu dengan senyumnya yang manis. Saat akan menyodorkan uang, ternyata yang maju hanya tangannya saja, karena uangnya terjatuh sebelum tangan si bungsu keluar dari jendela mobil. Melihat wajah si bungsu yang bingung karena uangnya tidak ada di tangan, petugas itu terlihat menahan tawa. Begitu si bungsu bilang, “Lho...!” (karena uang tidak ada), petugas tersebut tidak lagi bisa menahan tawanya. Kami pun ikut tertawa. Namun, ada juga yang menerima uang dan menyerahkan struk tanpa ekspresi sama sekali, begitu dingin.
Sebagian besar dari mereka memang menunjukkan senyum manis saat tangan-tangan mungil anak-anak itu memberikan sejumlah uang. Hanya sedikit dari mereka yang menunjukkan wajah tanpa senyum dan tanpa ekspresi. Ternyata, bagi sebagian orang, senyum masih menjadi sesuatu yang sulit dilakukan, meski yang mereka hadapi adalah anak-anak. Tapi, alhamdulillah, karena yang menunjukkan senyum masih lebih banyak daripada yang tidak. Melihat orang lain tersenyum dan membalas senyum yang kita berikan, pasti memberi rasa bahagia buat kita. Karenanya, kami pun mencoba untuk selalu memberi senyuman, sekaligus menanti seulas senyum saat berada di pintu tol.

Wednesday, August 13, 2014

Perjalanan Pertama Dari dan Ke Tangerang Selatan



Ini tentang perjalanan jauh pertama kami sejak tinggal di Tangerang Selatan. Sebagai penduduk baru di Tangsel, saat itu kami belum terlalu mengenal jalan-jalan yang harus ditempuh untuk masuk dan keluar dari Jakarta maupun Tangsel. Padahal sekitar 1 atau 2 bulan sekali kami harus meninggalkan Tangsel untuk menjenguk dua anak kami yang tinggal di pesantren. Yang satu di Klaten dan satu lagi di Sukoharjo. Perjalanan pertama ini dalam rangka menjenguk mereka.
Pertama kali meninggalkan Tangsel, kami memilih jalur selatan, yaitu via Bogor, Bandung, Garut, Tasik, Purwokerto dan Jogja. Jalur itu kami pilih setelah melihat peta di Google Map. Yang menurut perkiraan kami, jarak yang ditempuh melalui jalur selatan lebih pendek dibandingkan jalur utara. Karena masih pertama, jauhnya jarak dan lamanya waktu yang kami butuhkan untuk sampai di Klaten, kami anggap hal yang biasa. Jadi, kembali ke Tangsel, kami tetap melalui jalur selatan.
Dalam perjalanan kembali, sepanjang jalan dari Jogja kami banyak melihat mobil plat B juga melalui jalan yang sama. Dugaan kami, mereka menuju Jakarta. Jadi, kami bisa mengikuti mobil-mobil itu menuju Jakarta, karena jarak Tangsel dengan Jakarta Selatan cukup dekat. Namun, begitu sampai daerah Purwokerto, sekitar daerah Wangon, kami perhatikan, sudah tidak banyak lagi mobil plat B yang lewat. Kami berpikir, pasti mereka melalui jalan lain yang tentunya lebih cepat dan lebih dekat menuju Jakarta. Akan tetapi, kami tetap memilih untuk meneruskan perjalanan via jalur selatan.
Perjalanan pertama kami yang bersamaan dengan libur panjang Idul Adha (tahun lalu), membuat lalulintas padat merayap. Melalui jalur selatan yang hanya dua lajur, kanan dan kiri, membutuhkan kesabaran ekstra dalam berkendara. Jalannya yang kebanyakan berkelok-kelok juga perlu kehati-hatian dan konsentrasi yang tinggi. Terutama ketika melalui jalan lingkar Nagrek. Jalan yang sebelumnya hanya kami ketahui dari berita televisi saat musim mudik. Beberapa mobil terpaksa berhenti karena mengalami gosong pada kampas kopling. Alhamdulillah, suami sudah pernah mengalami waktu masih di Malang. Jadi bisa mengantisipasi untuk tidak mengalami hal yang sama.
Sebelum sampai di Bandung, kami memutuskan untuk lewat tol Cipularang saja, yaitu tol yang menghubungkan Bandung dan Jakarta, dan tidak lagi lewat Bogor. Dengan pertimbangan, lewat tol bisa lebih nyaman, lebih lapang dan tidak ada sepeda motor, sehingga bisa memacu kendaraan lebih cepat. Namun tetap saja, jarak tempuh tol sekitar 150 km itu adalah jarak yang jauh dan cukup melelahkan.
Sebelum masuk tol, suami sempat menanyakan pada beberapa orang, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di Jakarta. Dan yang tidak kalah penting, menanyakan di mana kami harus keluar nanti kalau kami ingin menuju Tangsel. Kami mendapat dua kata kunci, yaitu Cikunir dan Kampung Rambutan. Jadilah sampai di pintu tol Cikunir, kami keluar, yang ternyata masih daerah Bekasi. Kami pun bertanya lagi, bagaimana cara untuk sampai di Tangsel. Kami disarankan untuk masuk tol lagi, yang untuk menemukan pintu masuknya, kami sangat kesulitan. (Tablet Advan belum di tangan, No GPS, cuma bisa tanya-tanya saja!)
Jadilah, perjalanan masuk Jakarta yang dikemudikan sendiri oleh suami, sebagai perjalanan yang panjang. Kami sempat keluar masuk tol beberapa kali, bahkan keluar dan masuk di jalan tol yang sama. Setiap lewat pintu tol, kami selalu bertanya kepada petugas tol, dimana kami harus keluar untuk bisa sampai di Tangsel. Seingat saya, jawaban yang mereka berikan tidak sama, sehingga sempat membuat kami bingung. Sampai akhirnya kami masuk tol yang menuju Serpong, dan petugas menyuruh kami keluar di Lebak Bulus. Kami pun lega, karena kami sudah sedikit mengenal daerah Lebak Bulus, yang berarti jarak rumah sudah cukup dekat.

Alhamdulillah..., akhirnya sampai juga kami kembali ke Pamulang, Tangsel. Benar-benar perjalanan panjang yang melelahkan, terutama bagi suami yang menyetir sendiri kendaraan kami, tanpa ada yang menggantikan. Namun, dari perjalanan itu kami bisa tahu daerah-daerah yang harus dilalui via jalur selatan, yang hingga saat ini belum pernah kami lalui lagi. Karena ternyata, lewat jalur pantura, terasa lebih dekat, lebih mudah dan lebih nyaman. Lebih dekat jaraknya, yaitu melalui Cikampek menuju Semarang, lalu ke tempat yang akan kami tuju, yaitu Klaten dan Sukoharjo. Lebih mudah, karena jalannya yang relatif lurus, alias tidak banyak berkelok. Dan lebih nyaman, karena jalannya lebar, dengan masing-masing ruas ada dua lajur.



ini adalah salah satu tempat peristirahatan di tol Pejagan yang biasa kami kunjungi