Tuesday, August 26, 2014

Syeikh Muhammad, Zawjiy and Si Bungsu


Saking semangatnya pingin motret buat kenang-kenangan pernah bertemu Syeikh Muhammad, saya sampai lupa tidak minta dipotret bersama istri beliau kepada suami. Padahal pertemuan ini bermula saat saya dan istri beliau sama-sama lagi duduk-duduk di dekat pintu keluar Batu Secreet Zoo, areal Jatim Park 2. Kami duduknya jejer dan cukup dekat.
Di awal pertemuan, beberapa saat kami sama-sama diam. Kemudian saya melempar senyum, dan kami saling memberi salam. Tapi, setelah itu saya bingung mau bilang apa. Mengingat, saya belum bisa bahasa arab, dan bahasa inggris juga masih pas-pas-an. (Huhu..., balada ibu yang cuma bisa ber-bahasa indonesia, itu saja masih banyak melanggar EYD! Hehe...)
Setelah kembali terdiam beberapa saat, keluar juga sapaan dari mulut saya, "Eee, where do you come from?". (Kalau ingat kejadian ini, saya masih ingin ketawa sendiri, ini orang Arab sono, ditegurnya pakai bahasa inggris? Haha, gak salah tuh?)
Dan istri beliau menjawab, "...Riyadh", yang kemudian disambung dengan pertanyaan berbahasa arab, blablabla..., panjang banget.
Buru-buru saya jawab, "Afwan, laa adri...", sambil senyum-senyum.
Selanjutnya, kami terus berbincang-bincang, tentu saja menggunakan 4 bahasa yang saya tahu (bukan kuasai lho, ya!). Yaitu Indo, Arab, Inggris plus bahasa isyarat, karena istri beliau juga pas-pas-an bahasa inggrisnya. Kebayang kan, bagaimana jadinya? (Hehe..., kayak gado-gado...) Maka dari itu, judul cerita ini pun saya tulis dalam tiga bahasa.
Namun, keterbatasan bahasa yang “kami” (saya aja kalee...) miliki, tidak menghalangi kami untuk ngobrol lebih banyak. Dari obrolan “terbatas” itu saya jadi tahu, kalau kami sama-sama sedang menunggu suami masing-masing yang lagi sholat  ashar, tapi istri beliau tidak tahu kalau saya juga sedang menunggu suami saya.
Lalu suami saya datang, dan saya ceritakan kepadanya tentang wanita berpakaian serba hitam dan bercadar yang ada di sebelah saya.
 “Ooo, berarti yang ngimami sholat ashar di musholla itu..., tapi ayah sudah selesai, beliau (Syeikh Muhammad) baru datang.”, kata suami saya.
Tidak heran kalau orang-orang meminta beliau jadi imam sholat, lihat saja penampilan beliau di foto itu. Dan memang, kedatangan beliau ke sini (Indonesia), dalam rangka menjadi imam sholat tarawih di salah satu mesjid di daerah Puncak Dieng, Malang. Beberapa mesjid di Malang memang sudah biasa mendatangkan ulama-ulama dari luar saat ramadhan tiba, seperti dari Mekah, Yaman dan Palestina. Ada yang hanya beberapa hari, tapi ada juga yang sampai satu bulan penuh. Eh, back to my story...
Beberapa saat kemudian, Syeikh Muhammad muncul, dan langsung berbicara dengan istri beliau. Setelah memberi salam, suami berjabat tangan dengan beliau, dan berpelukan... (Kebiasaan orang arab nih, apalagi sesama muslim.) Lalu dimulailah obrolan antara saya, suami saya, Syeikh Muhammad dan istri beliau.
Sambil menunjuk Zangi, anak saya yang bungsu, Syeikh Muhammad bertanya dalam bahasa arab kepada suami, apakah anak itu putranya? (Ya, nyebut-nyebut ibnu-ibnu gitu...)
Saya jawab, “Na’am, huwa ibnu Amin”, dengan cukup pe-de. Karena saya “kebetulan” ngerti apa yang ditanyakan dan tahu mesti jawab apa.
Lalu beliau menanyakan, apakah saya juga putrinya?
Haha, saya menahan tawa dan segera menjawab, “La, la, huwa zawjiy...” Sambil mikir juga sih, hehe. Semuda itukah saya, sampai dikira anak dari suami sendiri. (Benerin kerudung dulu deh, biar tambah kelihatan lebih muda gitu lho...)
Obrolan berlanjut... Beliau pun menanyakan anak saya semua berapa? Yang lain sekarang dimana? Bersama siapa? Macam-macam deh. Sampai menanyakan maksud dari sms berbahasa indonesia yang dikirim oleh seseorang ke HP beliau. Suami sih senyum-senyum saja. Kalau bahasa arab, ya, lumayan lebih bisa saya lah (dikit...) daripada suami. (Hehe, maaf ya sayang..., setelah ini kita belajar bahasa arab sama-sama, yuk? Kesempatan buat ngerayu nih, biar dibolehin ikut kursus bahasa arab.)
Pas suami lagi pergi, karena mengikuti si bungsu yang berlarian kesana kemari, Syeikh Muhammad pergi ke sebuah kedai tidak jauh dari tempat kami. Kemudian beliau kembali dengan membawa 4 gelas plastik jus jeruk, 2 untuk beliau dan istri, yang 2 lagi untuk saya dan suami.
Jadi ingat, betapa luar biasanya orang arab kalau sedang menyambut tamu. Seolah pantang bagi mereka tamunya tidak mendapati apa-apa saat berkunjung ke rumahnya. Ini kami hanya bertemu di tempat umum, Syeikh Muhammad sudah membelikan kami jus jeruk. Bagaimana kalau saya berkunjung ke rumah beliau ya...? (Haha, ngarep.) Mestinya kan saya yang melayani beliau, karena beliau tamu di sini (Indonesia), dan saya adalah tuan rumahnya. Jadi malu... (Hihi..., tutup muka pake apa ya?)
Setelah kami sama-sama minum jus jeruk, dari kejauhan terlihat rombongan Syeikh Muhammad yang lain. Maka beliau dan istri pun pamit, dan memberi salam pada kami. Kami menjawab salam beliau dan menutup dengan satu kata pamungkas, “Jazakumullah khoir, ya Syeikh...” Beliau dan istri pun tersenyum sembari berlalu dari hadapan kami.
Sungguh pertemuan yang berkesan buat kami. Kami tidak mungkin bisa “ngobrol” banyak dengan Syeikh Muhammad, meski kami bisa bertemu beliau di masjid setiap malam selama ramadhan. Karena urusan dan suasananya jelas berbeda, ditambah kami tidak bisa bahasa arab untuk mengajak beliau ngobrol. Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi pertemuan ini, dan semoga lain waktu kami dipertemukan kembali dalam suasana yang penuh dengan keimanan. Dan yang tidak kalah penting, semoga saat itu tiba, saya sudah lancar berbicara dalam bahasa arab. Aamiin...
 



Friday, August 22, 2014

Menanti Seulas Senyum di Pintu Tol


Oleh-oleh Liburan #2

            Jalan tol, menjadi jalur pilihan kami saat bepergian jauh dari dan ke kota Tangsel, terutama dalam perjalanan rutin kami menjenguk anak-anak yang mondok di daerah Klaten dan Sukoharjo. Begitu juga dengan perjalanan mudik pertama kami dari Tangsel menuju Malang. Jalan tol menjadi pilihan kami agar bisa berkendara dengan lebih nyaman dan leluasa, karena di jalan tol tidak ada sepeda motor yang kadang-kadang beberapa pengendaranya menggunakan jalan “seenaknya”.
Dengan melewati beberapa jalan tol yang berada di jalur pantura, juga terbukti membuat perjalanan kami menuju Klaten dan Sukoharjo menjadi lebih cepat. Kami bisa membandingkan lamanya perjalanan yang kami tempuh, karena kami sudah pernah melewati hampir semua jalur yang bisa dilewati untuk menuju Klaten dari kota Tangsel. Pertama kali menuju Klaten, kami malah melewati jalur selatan, dan sama sekali tidak melewati jalan tol. Perjalanan yang kami rasakan sangat jauh dan melelahkan. Kisah perjalanan pertama kami bisa dilihat di sini.
Pintu tol pertama yang kami lewati saat akan meninggalkan kota Tangsel menuju Malang adalah pintu tol yang berada di Pondok Indah dan keluar di pintu tol Cikampek. Lalu kami akan melewati tol lagi di daerah Palimanan, Cirebon hingga Pejagan, dan tol yang ada di daerah Semarang, mulai dari pintu tol Krapyak hingga pintu tol Bawen. Untuk bisa lewat jalan tol, kita punya kewajiban membayar biaya masuk tol, yang tarifnya berbeda di tiap-tiap jalan tol. Dari yang (menurut kami) cukup murah, hingga yang sangat mahal. Ukuran murah dan mahal bukan hanya kami nilai dari nominal rupiah saja, tapi juga dari jarak dan kualitas jalan tol yang kami lalui.
Membayar biaya masuk tol, lazimnya yang melakukan adalah suami, sebagai pengemudi. Namun, anak ke-3 kami yang aktif, pernah minta agar dia yang menyerahkan uang kepada petugas pintu tol. Dan sejak saat itu, apa yang dilakukannya mulai menjadi kebiasaan yang tidak hanya dilakukan oleh dia, tapi juga oleh anak-anak kami yang lain, termasuk si bungsu. Apa yang dilakukan anak-anak, selalu menjadi perhatian saya. Momen membayar biaya masuk tol menjadi kesempatan saya untuk mengajarkan anak-anak agar ramah dan memberikan senyuman saat berinteraksi dengan orang lain, termasuk saat akan menyerahkan uang kepada petugas pintu tol. Tidak lupa juga, ucapan terima kasih saat petugas menyerahkan struk pembayaran tarif tol kepada mereka.
Akan tetapi, perhatian saya tidak hanya tertuju kepada anak-anak, melainkan juga kepada petugas pintu tol yang sedang bertugas saat itu. Saat transaksi dilakukan, ada hal-hal yang menarik untuk saya perhatikan. Yaitu ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh petugas pintu tol ketika anak-anak menyerahkan sejumlah uang kepada mereka. Reaksi mereka juga berbeda-beda saat melihat anak-anak. Yang itu membuat saya tidak pernah melewatkan saat anak-anak akan membayar uang masuk tol.
Ada petugas yang begitu antusias menerima uang dari tangan anak-anak, lalu menyerahkan struk pembayaran sembari mengucapkan terima kasih dengan begitu manis. Kami pernah mendapati seorang petugas perempuan yang menyambut si bungsu dengan senyumnya yang manis. Saat akan menyodorkan uang, ternyata yang maju hanya tangannya saja, karena uangnya terjatuh sebelum tangan si bungsu keluar dari jendela mobil. Melihat wajah si bungsu yang bingung karena uangnya tidak ada di tangan, petugas itu terlihat menahan tawa. Begitu si bungsu bilang, “Lho...!” (karena uang tidak ada), petugas tersebut tidak lagi bisa menahan tawanya. Kami pun ikut tertawa. Namun, ada juga yang menerima uang dan menyerahkan struk tanpa ekspresi sama sekali, begitu dingin.
Sebagian besar dari mereka memang menunjukkan senyum manis saat tangan-tangan mungil anak-anak itu memberikan sejumlah uang. Hanya sedikit dari mereka yang menunjukkan wajah tanpa senyum dan tanpa ekspresi. Ternyata, bagi sebagian orang, senyum masih menjadi sesuatu yang sulit dilakukan, meski yang mereka hadapi adalah anak-anak. Tapi, alhamdulillah, karena yang menunjukkan senyum masih lebih banyak daripada yang tidak. Melihat orang lain tersenyum dan membalas senyum yang kita berikan, pasti memberi rasa bahagia buat kita. Karenanya, kami pun mencoba untuk selalu memberi senyuman, sekaligus menanti seulas senyum saat berada di pintu tol.