Friday, October 24, 2014

MAHAR

"Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang sholihah"

         Dalam memilih calon suami/istri, Rosulullah berpesan agar menjadikan agama sebagai alasan yang utama. Bagi wanita, memilih calon suami yang baik agamanya (sangat) mutlak dibutuhkan. Karena suami adalah imam yang akan menjaga dan membimbing keluarganya selama di dunia. Bagi laki-laki, memilih calon istri yang baik agamanya juga (sangat) diperlukan. Karena di tangan seorang istri-lah nantinya suami menitipkan anak-anak dan hartanya selama sang suami menunaikan kewajiban mencari nafkah, yang kemungkinan akan lebih banyak berada di luar rumah.
         Sebelum terjadi pernikahan, tentunya ada proses dan beberapa syarat yang mesti disiapkan. Umumnya laki-laki merupakan subyek, yang lebih aktif mencari calon istri, melihat dan mencari informasi yang cukup mengenai wanita yang ingin dinikahinya, dan yang datang untuk meminang si wanita. Sementara wanita (lebih) sebagai obyek, yaitu yang didatangi untuk dilihat, dan menunggu hingga ada yang datang untuk meminangnya, tentu saja dengan tetap memiliki kewenangan untuk mengetahui siapa laki-laki yang datang meminangnya, sehingga wanita pun (diharapkan bisa) mengetahui laki-laki itu sholih atau tidak. Namun, tidak dilarang seorang wanita datang untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang sholih, seperti pernah terjadi di zaman Rosulullah. Akan tetapi hal itu tidak merubah syarat sah yang harus dipenuhi dalam pernikahan. Yang salah satunya adalah MAHAR, atau kalau di Indonesia dikenal sebagai mas kawin.
         Yang wajib mengeluarkan mahar adalah pihak laki-laki. Meski ada wanita yang datang menawarkan diri untuk dinikahi, tetap saja ketika menikah, pihak calon suamilah yang wajib memberi mahar. Dalam salah satu hadits, disebutkan bahwa wanita yang baik adalah yang paling mudah (bukan murah) maharnya. Kenapa wanita? Karena yang menentukan mahar adalah dari pihak wanita. Boleh saja laki-laki menawarkan sesuatu sebagai mahar, namun tetap harus dengan persetujuan pihak wanita.
         Kembali pada pesan Rosulullah tentang pedoman memilih calon suami/istri, kalau wanita sudah mendapati ada laki-laki sholih yang datang meminangnya, yang baik adalah wanita itu menerima dengan mahar yang mudah. Yaitu mahar yang sesuai dengan kadar kesanggupan laki-laki tersebut. Atau kalau laki-laki itu menawarkan sejumlah mahar, maka terimalah mahar itu sebagai pemberian yang baik. Karena jika terjadi penolakan dari si wanita, belum tentu yang datang setelah itu adalah laki-laki yang sholih. Terkait dengan hal ini, ada hadits lain yang menjelaskan bahwa wanita yang menolak pinangan laki-laki yang sholih, maka akan datang fitnah kepada wanita tersebut.
         Dan bagi laki-laki, sekiranya dia sudah menemukan wanita sholihah sebagai calon istrinya, maka sudah sepantasnyalah laki-laki itu memberikan mahar yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Apalah arti 500 ekor unta dan kebun yang luas bila dibandingkan dengan perhiasan terbaik dunia yang akan diperolehnya nanti. Toh, mahar itu juga diberikan kepada wanita yang akan menemaninya seumur hidupnya, wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Yang boleh jadi (mahar itu) akan kembali kepadanya karena kesholihahan wanita yang dipilihnya sebagai istri. Adakah yang disayangkan dari memberi mahar terbaik kepada wanita yang sholihah???
         Jadi, wahai muslim, berilah yang terbaik dari apa yang kamu punya sebagai mahar untuk wanita sholihah yang kamu pilih sebagai teman hidupmu di dunia sekaligus calon ibu dari anak-anakmu. Dan untukmu wahai muslimah, ambillah yang terbaik dari apa yang mampu diberikan oleh laki-laki sholih yang akan menjadi teman hidupmu di dunia sekaligus calon ayah dari anak-anakmu.

Wallahu a'lam...

Monday, September 8, 2014

Qishaash


Pada beberapa kasus pembunuhan (pembunuhan murni atau penganiayaan yang berakhir dengan hilangnya nyawa), sebagian besar pihak korban merasa tidak puas dengan vonis yang dijatuhkan terhadap si pelaku. Seperti yang baru-baru ini terjadi, yaitu kasus penganiayaan terhadap siswa salah satu SMU di Jakarta. Muara dari ketidak puasan itu adalah adanya ketidak-adilan di dalam hukum.
Sejak 14 abad yang lalu, islam sudah mengatur hukum tentang perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang melalui qishaash. Allah berfirman dalam Qur’an surah Al Baqarah ayat 178, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Menurut catatan kaki ayat tersebut yang terdapat dalam Qur'an Robbani, qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, yaitu dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, yaitu dengan tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Allah menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
 Dalam ayat selanjutnya, yaitu Al Baqarah 179, Allah menjelaskan, “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”
Subhanallah, sungguh indah agama ini mengatur hukum bagi manusia. Bahkan dalam kasus pembunuhan, Allah secara tidak langsung menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak-pihak yang terkait, yaitu antara pelaku dan korban pembunuhan melalui syariat qishaash. Sehingga pihak korban sebagai pihak yang kehilangan anggota keluarganya karena terbunuh, akan merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan. Karena pelaku akan mendapat balasan setimpal dari perbuatannya, sekiranya pihak korban merasa berat untuk memberi maaf kepada pelaku. Dan kalau pihak korban memaafkan pelaku dan memilih untuk menerima diat saja (secara wajar tentunya), maka diat itu bisa menjadi hiburan bagi pihak korban yang terbunuh. Bagaimana pun, diat yang umumnya berupa harta atau sejumlah uang itu, tetap merupakan sesuatu yang bisa memberi kesenangan bagi manusia, karena memang begitulah kecenderungan manusia (terhadap dunia). Meski pun tentu bukan itu yang dicari, karena kehilangan anggota keluarga tetap merupakan hal yang berat. Tapi manusia juga tidak mungkin menghindari apa-apa yang sudah menjadi ketetapan Allah.
Sebelum pelaksanaan qishaash, tentu ada pihak-pihak terkait yang akan  melakukan investigasi. Sebagaimana sidang-sidang yang biasa dilakukan di negeri ini, ada pengadilan yang akan menetapkan benar atau tidak bahwa si pelaku telah melakukan pembunuhan. Salah satu syarat yang wajib dipenuhi adalah dengan menghadirkan setidaknya dua orang saksi laki-laki yang adil, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Setelah pelaku terbukti bersalah melakukan pembunuhan, barulah kemudian bisa ditetapkan sanksinya, dengan qishaash atau dengan membayar diat.
Hikmah diterapkannya qishaash adalah manusia menjadi lebih hati-hati dan berpikir ulang sebelum dia memutuskan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Karena resikonya adalah dia juga akan dihukum mati atau harus membayar sejumlah uang kepada pihak ahli waris dari orang yang dibunuhnya. Sehingga dengan begitu, in sya Allah bisa tercapailah apa yang kita kenal dengan rahmatan lil alamin.