Pada beberapa kasus pembunuhan
(pembunuhan murni atau penganiayaan yang berakhir dengan hilangnya nyawa), sebagian besar pihak korban merasa tidak puas dengan vonis
yang dijatuhkan terhadap si pelaku. Seperti yang baru-baru ini terjadi, yaitu
kasus penganiayaan terhadap siswa salah satu SMU di Jakarta. Muara dari ketidak puasan itu adalah adanya ketidak-adilan di dalam hukum.
Sejak 14 abad yang lalu, islam sudah mengatur hukum tentang
perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang melalui qishaash. Allah berfirman dalam Qur’an
surah Al Baqarah ayat 178, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash,
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih.”
Menurut catatan kaki ayat tersebut yang terdapat dalam Qur'an Robbani,
qishaash ialah mengambil pembalasan
yang sama. Qishaash itu tidak
dilakukan bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh,
yaitu dengan membayar diat (ganti
rugi) yang wajar. Pembayaran diat
diminta dengan baik, yaitu dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang
membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, yaitu dengan tidak
menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Allah menjelaskan
hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh
setelah menerima diat, maka
terhadapnya di dunia diambil qishaash
dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
Dalam ayat selanjutnya, yaitu Al Baqarah 179,
Allah menjelaskan, “Dan dalam qishaash
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertaqwa.”
Subhanallah,
sungguh indah agama ini mengatur hukum bagi manusia. Bahkan dalam kasus
pembunuhan, Allah secara tidak langsung menyerahkan penyelesaiannya kepada
pihak-pihak yang terkait, yaitu antara pelaku dan korban pembunuhan melalui syariat
qishaash. Sehingga pihak korban
sebagai pihak yang kehilangan anggota keluarganya karena terbunuh, akan merasa
puas dengan hukuman yang dijatuhkan. Karena pelaku akan mendapat balasan
setimpal dari perbuatannya, sekiranya pihak korban merasa berat untuk memberi
maaf kepada pelaku. Dan kalau pihak korban memaafkan pelaku dan memilih untuk
menerima diat saja (secara wajar
tentunya), maka diat itu bisa menjadi
hiburan bagi pihak korban yang terbunuh. Bagaimana pun, diat yang umumnya berupa harta atau sejumlah uang itu, tetap
merupakan sesuatu yang bisa memberi kesenangan bagi manusia, karena memang
begitulah kecenderungan manusia (terhadap dunia). Meski pun tentu bukan itu
yang dicari, karena kehilangan anggota keluarga tetap merupakan hal yang berat.
Tapi manusia juga tidak mungkin menghindari apa-apa yang sudah menjadi
ketetapan Allah.
Sebelum pelaksanaan qishaash, tentu ada pihak-pihak terkait yang akan melakukan investigasi. Sebagaimana
sidang-sidang yang biasa dilakukan di negeri ini, ada pengadilan yang akan
menetapkan benar atau tidak bahwa si pelaku telah melakukan pembunuhan. Salah satu
syarat yang wajib dipenuhi adalah dengan menghadirkan setidaknya dua orang
saksi laki-laki yang adil, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Setelah pelaku terbukti bersalah melakukan pembunuhan, barulah kemudian bisa ditetapkan
sanksinya, dengan qishaash atau
dengan membayar diat.
Hikmah diterapkannya qishaash adalah manusia menjadi lebih
hati-hati dan berpikir ulang sebelum dia memutuskan untuk menghilangkan nyawa
orang lain. Karena resikonya adalah dia juga akan dihukum mati atau harus
membayar sejumlah uang kepada pihak ahli waris dari orang yang dibunuhnya.
Sehingga dengan begitu, in sya Allah
bisa tercapailah apa yang kita kenal dengan rahmatan
lil alamin.
No comments:
Post a Comment