Sunday, November 9, 2014

"Sekolah Ideal" Idaman Saya (bagian 2)

        Sebelumnya sudah saya tulis tentang "TK Ideal" menurut saya di sini. Nah, sebagai pelengkap, karena saya seorang muslim, akan sangat tepat kalau anak-anak diajak untuk menghafal Qur'an. Prinsipnya sama dengan menyanyi. Guru cukup membacakan ayat yang akan dihafal anak-anak, lalu anak-anak menirukan. Bisa per surat untuk surat-surat pendek, atau per ayat untuk surat-surat yang panjang. Jika dalam sehari ada satu ayat saja yang diingat oleh anak-anak, bayangkan berapa hasilnya dalam sebulan atau setahun? Dan, yang perlu diingat bahwa untuk menghafal, seorang anak tak perlu harus bisa membaca Qur'an terlebih dahulu. Baiklah, lanjut ke tingkat selanjutnya!

2. Sekolah Dasar (SD)
        Saya masuk SD pada tahun 1986, pada usia 6 tahun lebih 3 bulan. Sebagai generasi SD tahun 86, saya ingin katakan bahwa saya adalah generasi "ini budi". Karena untuk pertama kalinya saya dikenalkan dengan huruf dengan bagian pertamanya belajar membaca "ini budi". Yang juga masuk SD pada kisaran tahun yang sama pasti ingat bagaimana mengulang membaca "ini budi" ini hingga berulang-ulang. Lalu dilanjutkan dengan membaca sekaligus mengenal keluarga "budi" yang lain, seperti kakaknya yang bernama "wati" dan adiknya yang bernama "andi". Dan dilanjutkan dengan membaca sekaligus mengenal beberapa orang lain yang masih berhubungan dengan "budi", seperti "bu ani". Siapa yang masih ingat "bu ani"?
        Terkait bacaan tersebut, saya memang baru pertama mengenalnya. Oh, tulisan "ini budi" seperti itu ya? Begitulah kira-kira yang terlintas saat itu. Tapi ada hal lain yang bagus dari bacaan ini. Saya diajak untuk mengenal sosok "budi". Sebagai seorang anak tentu ini sangat mudah. Setelah mengenal tentang dirinya dengan "ini saya", memahami maksud "ini budi" tidak akan sulit. Sehingga melalui "ini budi", anak-anak tidak hanya belajar mengenal huruf dan membaca, tapi sekaligus juga memahami bacaan. Tapi memang, kecepatan masing-masing anak berbeda dalam mengenal huruf, membaca dan memahami bacaan. Menurut saya itu lumrah saja lah.
        Dalam belajar berhitung, di kelas 1 SD sudah mulai dikenalkan dengan angka sekaligus operasi penjumlahan. Ya, di samping membaca, di kelas 1 juga sudah diajarkan berhitung. Tapi, kembali lagi dengan lagu "dua mata saya", dengan sudah memahami angka menjadi mudah saat kita mengenalkan kepada anak-anak simbol dari angka-angka itu pada usia yang tepat, yaitu usia 6-7 tahun. Itu yang saya rasakan lho! Karena tinggal memindahkan angka yang sudah kita pahami menjadi simbol-simbol angka yang ada. Kalau kita mengerti bahwa dua (jambu) ditambah dua (jambu) sama dengan empat (jambu), maka setelah mengenal simbol dari angka dan lambang operasinya kita tinggal merubah apa yang kita pahami dalam simbol dan lambang menjadi: 2 + 2 = 4. Dan tidak akan ada lagi pertanyaan, kok bisa begitu?
        Mungkin ada yang bertanya, yang dipelajari sekarang dalam penjumlahan kan juga itu? Saya jawab, betul. Tapi sekarang ini, sedari TK anak-anak sudah dikenalkan pada simbol angka. Itu yang ingin saya tegaskan lagi, bahwa di TK tetap ajak anak untuk memahami angka-angka itu dari lagu-lagu dan dari permainan-permainan, tapi jangan dulu dikenalkan pada mereka seperti apa simbolnya. Dan menurut saya, mengenalkan simbol di usia yang tepat (6-7 tahun) akan lebih membuat anak lebih mudah memahami apa yang sedang dipelajarinya.
        Di bangku kelas 1 SD dulu, hanya ada dua pelajaran itu. Yaitu baca tulis dan hitung tulis. Maksudnya, membaca, lalu menyalin apa yang dibaca. Begitu juga dengan berhitung, setelah mengenal simbol-simbol angka, dilanjutkan dengan menuliskan simbol-simbol itu di buku tulis masing-masing. Lalu bagaimana dengan pelajaran lainnya? Pelajaran lainnya memang ada di kelas-kelas berikutnya, seingat saya kelas 3 SD (bisa diralat, mungkin saya lupa atau terlewat, soalnya saya tidak menempuh kelas 2 waktu SD).
        Nah, berikutnya berhubungan dengan moral. Sekolah saya di desa, tahun 86 masih sangat "desa" di wilayah bagian barat Situbondo. Listrik baru mau akan masuk saat itu. Namun, meski kelas 1 SD belum ada pelajaran PMP (sekarang PKN), guru dan sekolah sudah mengenalkan dengan pendidikan moral melalui interaksi sehari-hari. Upacara bendera tiap hari Senin juga mengenalkan kepada anak-anak tentang Pancasila. Sehingga ketika pelajaran PMP sudah diperoleh, yang ada anak-anak merasa bahwa rasa penasarannya selama mengikuti upacara terjawab melalui pelajaran itu.
        Nah, ini yang paling penting, waktu belajar anak. Dengan hanya ada dua pelajaran, plus muatan yang tidak begitu padat, maka jam belajar pun tidak dibutuhkan terlalu banyak. Sehingga sebelum duhur, anak SD sudah bisa pulang ke rumah. Bahkan ketika kelas 1 SD, anak-anak bisa pulang cukup jauh sebelum waktu duhur tiba. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena di usia 6-12 tahun, anak-anak sangat membutuhkan tidur siang, meski hanya sebentar. Di samping itu, sebagai muslim, disunnahkan untuk melakukan istirahat siang ini, tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga orang dewasa. Jadi orang tua bisa sejak dini membiasakan anak-anak untuk mengikuti tuntunan Rosulullah.
        Menurut saya ini sangat logis, karena anak-anak sudah harus bangun di kisaran jam 4 - 5 pagi. Mengapa sepagi itu? Iya lah, bukankah mereka juga harus sholat subuh? Kalau mereka selesai belajar di sekolah jam 11 atau jam 12, berarti mereka sudah terjaga dan beraktivitas selama 6 - 7 jam. Sudah waktunya otak dan tubuh diberikan kesempatan untuk istirahat. Dan istirahat yang disunnahkan adalah tidur walau hanya sebentar.
        Bagaimana dengan sekolah fullday? Ini masih pengalaman masa kecil saya. Sebagai anak yang hidup di desa, setelah pulang sekolah di jam yang masih relatif pagi (jam 10), bukan berarti tugas belajar saya selesai. Sebelum duhur saya pulang, dan sebelum atau sesudah sholat duhur saya tidur. Namun jam setengah dua siang saya harus bangun, karena saya harus mengikuti program diniyyah. Dimulainya sekitar jam setengah dua hingga jam dua, tergantung banyaknya anak yang datang, dan berakhir jam empat atau setengah lima, ini juga tergantung mood anak-anak sama yang mengajar. Ya, memang program ini non formal, tapi kalau serius mengikutinya, banyak manfaat yang bisa diperoleh, minimal mau mendengarkan lah...
        Apakah aktivitas belajar saya sudah selesai? Belum... Setelah mandi sore, sebelum masuk waktu maghrib saya harus berangkat ke musholla, untuk belajar ngaji (baca: baca Qur'an). Kegiatan ini berakhir hingga usai sholat isya'. Wah, kegiatan belajar saya dulu lebih fullday daripada program fullday yang ada sekarang ya? Tapi, apakah saya merasa lelah? Jawabannya tidak, karena waktu bermain di sela-sela belajar saya cukup banyak. Dan saya juga mempunyai teman bermain yang banyak, karena teman sekelas saya di SD belum tentu sekelas di diniyyah. Begitu juga dengan teman ngaji, di dalamnya berkumpul anak-anak dari kelas 1 hingga kelas 6 SD, tapi semuanya perempuan. Di desa saya, musholla untuk ngaji anak perempuan berbeda dengan musholla untuk ngaji anak laki-laki.
        Jadi, kesimpulannya, SD yang saya idamkan adalah sebuah sekolah yang memang diperuntukkan bagi anak-anak, dengan jam belajar yang pendek dan beban belajar yang juga tidak berat. Selain itu, anak-anak harus tetap mendapatkan jam tidur siangnya. Kalau ada program fullday juga tidak masalah, seperti yang biasa ada dalam sekolah terpadu. Tapi anak-anak harus diberi waktu untuk istirahat siang dengan tidur, bukan bermain. Karena tidur sebentar sekali pun tetap berbeda dengan bermain. Lha, kok jadi ruwet ya? Namanya juga sekolah idaman saya...

(bersambung, insya Allah...)

Thursday, November 6, 2014

"Sekolah Ideal" Idaman Saya (bagian 1)

Aktivitas anak saya (berkerudung) bersama teman-temannya usai berkebun di sekolah

        Membahas tentang sekolah yang ideal, pasti setiap orang punya pendapat masing-masing. Dan tulisan ini murni merupakan pendapat saya pribadi mengenai sekolah ideal yang saya idamkan. Saya menulis berdasarkan pengalaman pribadi saya dan merupakan buah pikir dari perjalanan saya dalam menempuh dunia pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga bangku kuliah. Berikut ini saya ulas satu persatu ya, mulai dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi.

1. Taman Kanak-kanak (TK)
        Sebelum mengenal dunia sekolah, saya menghabiskan waktu dua tahun di TK. Jangan dibayangkan bahwa "suasana" TK saya dulu sama dengan TK sekarang pada umumnya. Di TK saya dulu belum diajari membaca dan menulis. Bahkan dikenalkan dengan huruf pun tidak. Saya hanya bermain-main dan bernyanyi. Mungkin karena usia yang masih berkisar antara 4-6 tahun, sampai hari ini saya masih ingat dan hafal beberapa lagu yang pernah diajarkan waktu di TK. Kadangkala guru mengajak saya dan teman-teman bermain di luar kelas. Itu sangat menyenangkan. Tapi aktivitas di dalam kelas pun sangat saya sukai, karena hampir kebanyakan adalah aktivitas fisik, seperti: bermain balok dan bermain puzzle.


        Kalau berhitung, secara tidak langsung guru saya mengajarinya. Seperti menunjukkan kepada saya dan teman-teman berapa roda sepeda dan berapa roda mobil. Tapi saya belum dikenalkan dengan simbol angka. Masih ingat kan lagu "dua mata saya"? Nah, guru saya benar-benar menyanyikan lagu itu dengan setulus hati sambil menunjukkan bagian-bagian yang disebutkan dalam lagu itu. Dan hasilnya, saya mengerti yang dimaksud dua itu "berapa" dan satu itu "berapa", tanpa saya harus mengenal angka. Sesekali guru saya meminta saya atau teman-teman untuk tampil menyanyi di depan kelas. Sepertinya, karena kebiasaan itulah, sejak kecil saya termasuk anak yang cukup percaya diri. Entah bagaimana dengan teman-teman yang lain. Tapi, jangan dilihat dari sisi "sombong"nya ya... Lihatlah bagaimana pengajaran itu bisa begitu bermakna!

        Jadi, TK ideal menurut saya, adalah TK yang di dalamnya anak-anak betul-betul diperlakukan seperti anak-anak. Yaitu seorang manusia kecil yang lebih banyak suka bermain. Dengan kata lain, di sekolah kegiatannya ya "hanya" bermain. Dan dengan aktivitas-aktivitas yang bisa memupuk rasa percaya diri anak dan mengasah kemampuan anak dalam berbicara serta memahami apa yang dibicarakan oleh orang lain. Anak-anak tetap mendapat "beban" belajar, tapi belajar dari aktivitas melihat, mendengar dan merasakan sesuatu, bukan dari membaca. Ketika anak memahami "dua" itu seperti apa, anak akan mengerjakan apa yang kita suruh dengan benar, seperti mengambil dua buah jeruk, tanpa mereka harus tahu simbol angka "dua" itu seperti apa. Bahkan penjumlahan dan pengurangan pun bisa dikuasai anak tanpa mereka harus mengenal simbol angkanya. (Saya dulu sudah membuktikannya, lho!)

(bersambung, ditunggu ya..., laptop harus menjalankan tugas lain.)