Sunday, June 28, 2015

Ini Jilbab Kakakku


"Kata teman-temanku, aku pakai jilbabnya orang tua. Aku bilang, 'nggak lho... ini jilbab kakakku,'" kata putri saya (6 tahun) sepulang buka bersama di sekolahnya.

Saya tersenyum sambil memberi dua jempol dan bilang, "hebat!"

"Betapa lugunya kamu nak?" batin saya. Sepertinya dia betul-betul tidak mengerti kenapa teman-temannya berkomentar demikian terhadap jilbab besar yang dipakainya. Sehingga dia memberi jawaban jujur bahwa jilbab itu adalah milik kakaknya. Setelan gamis dan jilbab itu memang milik kakaknya, yang hanya terdiri dari dua warna, tanpa aksesoris, namun dengan model yang (menurut saya) masih tergolong anak-anak.

Bermula ketika dia masih di TK, ada hari yang temanya adalah hari abu-abu. Jadi siswa dianjurkan memakai baju warna abu-abu, sementara bagi yang tidak punya tetap memakai seragam sesuai hari tersebut. Putri saya kebetulan juga tidak punya, tapi kakaknya punya baju warna abu-abu. Setelah saya coba pakaikan baju kakaknya, ternyata hanya kepanjangan sedikit saja. Untuk menyenangkan putri saya dengan warna baju sesuai tema hari itu, saya menjahit satu bagian dari baju tersebut sehingga cukup untuk dia pakai.

Setelah baju itu dipakai, saya tidak langsung melepas jahitannya. Hingga tiba waktunya putri saya buka bersama di sekolah barunya yang tidak lagi di TK, melainkan sudah SD kelas satu. Dan saya memilihkan baju itu untuk dia pakai ke sekolah. Putri saya tidak menolak, karena memang dia suka meniru gaya berpakaian saya, termasuk memakai jilbab (sedikit) besar. Bahkan ketika saya memakai jilbab segi empat, dia ingin memakainya juga. Saya pun membuatkannya jilbab instan yang ketika dipakai seperti jilbab segi empat. Awalnya dia protes, karena maunya persis seperti saya, yang memakainya harus menggunakan peniti. Dengan sedikit penjelasan saya, bahwa peniti itu bisa berbahaya, barulah dia mau memakainya.

Berbeda dengan kakaknya yang sekarang sudah kelas lima SD. Meski keduanya sama-sama saya biasakan untuk memakai jilbab saat keluar rumah, namun kadang-kadang kakaknya menolak memakai jilbab besar. Saya tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi batasan melewati dada tetap tidak boleh dilanggar. Dan saat ramadan seperti sekarang ini, kakaknya justru lebih sering memilih jilbab besar. Karena dengan jilbab itu, dia tidak perlu lagi membawa mukenah untuk dipakai sholat. (Hmm, dia mulai berpikir tentang ke-praktisan rupanya.)

Tentang jilbab, tidak bisa dipungkiri, bahwa sebelum wanita berjilbab sebanyak sekarang, dulu jilbab atau kerudung itu memang identik dengan orang tua atau mereka yang sudah bergelar hajjah. Dan khusus jilbab besar, masih banyak orang islam sendiri yang menganggap bahwa itu hanyalah gaya berjilbab wanita muslimah dari golongan atau aliran tertentu saja, bukan dipandang sebagai gaya berpakaian muslimah yang umum, apalagi muslimah Indonesia. Tidak sedikit pula yang menyudutkan muslimah yang berjilbab besar. Padahal, jilbab besar mereka sama sekali tidak mengganggu dan merugikan pihak lain.

Kembali pada kejadian yang dialami putri saya dengan jilbab besarnya, bagaimana komentar tentang jilbab itu bisa muncul dari teman-temannya yang usianya masih berkisar 6-7 tahun itu? Melihat gaya dan model anak-anak itu berpakaian muslimah, terutama bentuk dan ukuran jilbabnya, ini yang bisa saya simpulkan:
  1. Mungkin mereka pernah melihat bahwa yang memakai gaya berjilbab seperti itu hanyalah orang-orang tua saja, sementara anak kecil tidak. 
  2. Atau mungkin orang tua mereka gaya berjilbabnya seperti itu, tapi mereka dipakaikan jilbab dengan gaya yang berbeda dengan orang tuanya, sehingga mereka menganggap bahwa gaya berjilbab seperti itu hanya untuk orang yang sudah tua saja.
  3. Atau mungkin juga karena memang warna dan modelnya bagi mereka mungkin dianggap "tidak menarik" dan hanya cocok dipakai oleh orang tua.
Tapi apapun alasannya, yang terpenting bagi saya adalah bagaimana putri saya menanggapi komentar teman-temannya. Saya merasa lega dengan jawaban putri saya. Yang berati bahwa putri saya tidak merasa minder dengan jilbab yang dipakainya. Dan ketertarikannya untuk tetap meniru penampilan saya, semoga menjadi modal pe-de bagi dia saat memakai busana muslimahnya, sebelum dia benar-benar bisa memahami bagaimana berbusana muslimah yang syar'i.


Thursday, June 25, 2015

Tiga Malam di Tiga Masjid Berbeda, Ini Yang Saya Rasakan


Setelah kembali dari perjalanan panjang Jakarta-Malang selama lima hari awal ramadhan plus satu hari sebelum masuk ramadhan, hari senin menjadi hari pertama saya menjalankan puasa di Pamulang tahun ini. Setelah lima malam saya tidak melaksanakan tarawih di masjid, maka malam selasa saya mulai bisa merasakan nuansa ramadhan dengan mengisi malamnya untuk tarawih di masjid. Ini memang bukan ramadhan pertama saya di sini, tapi tahun lalu belum semua masjid saya sambangi sebagai tempat melaksanakan ibadah sholat tarawih. Dengan tujuan mencari masjid yang paling nyaman, "versi saya", untuk tarawih, saya mulai melaksanakan tarawih dari masjid terdekat dari rumah. Nyaman versi saya memang lebih kepada ritual ibadah yang dilaksanakan, walaupun ada hal lain yang jadi pertimbangan mengingat saya tarawih dengan membawa tiga anak kecil yang salah satunya batita.

Malam Pertama di Masjid Pertama

Saya sudah pernah sholat tarawih di masjid ini pada ramadhan tahun lalu. Sedikit banyak saya sudah mengerti bagaimana tata cara dan urutan-urutan ritual sholatnya. Dimulai dengan sholat isya berjamaah, lalu jeda sebentar untuk sholat sunnah bakdiyah, dan dilanjutkan dengan sholat tarawih berjamaah. Selepas sholat tarawih sebanyak dua kali 4 rakaat, lalu diisi dengan ceramah ramadhan dan ditutup dengan sholat witir 3 rakaat.

Di masjid ini jamaahnya cukup penuh, hingga sekitar sepertiga dari jamaah perempuan harus sholat di teras masjid. Karena teras masjid tidak diberi karpet dan saya juga tidak membawa sajadah, maka saya melaksanakan sholat dengan beralaskan lantai keramik. Namun sholat beralaskan lantai, bagi saya, tidak lebih mengganggu daripada jejeran shaf wanita yang masing-masing berdiri di atas sajadah yang lebarnya lebih dari 50cm. Kebayang kan, bagaimana jarang-jarangnya shaf wanita, yang jika dirapatkan, mungkin jamaah wanita tidak perlu ada yang sholat di teras masjid.

Untuk anak-anak, masjid pertama ini kurang aman sebetulnya, karena berada tepat di sisi jalan raya dan tidak berpagar. Namun anak-anak biasanya lebih banyak bermain di sekitar area masjid saja, tidak sampai ke jalan raya. Tapi ada hal lain yang perlu saya waspadai, yaitu tangga naik ke lantai dua, yang meskipun tidak dipakai untuk sholat, tangganya biasa dinaiki oleh anak-anak dan pegangannya dipakai untuk perosotan. 

Malam Kedua di Masjid Kedua

Saya juga sudah pernah sholat tarawih di masjid ini ramadhan tahun lalu. Berbeda dengan masjid pertama, di masjid kedua ini, ceramah ramadhannya diberikan setelah sholat isya. Namun tarawih dan witirnya sama dengan masjid pertama, masing-masing 4 rakaat dan 3 rakaat.

Di masjid kedua ini, jamaahnya lebih banyak dari masjid pertama. Sehingga tidak hanya teras yang terisi jamaah wanita, tapi juga pelataran depan masjid yang berubin paving blok. Lagi-lagi, karena saya tidak membawa sajadah, saya harus sholat di atas paving blok yang hanya diberi alas perlak plastik yang permukaannya mulai mengelupas. Sehingga bagian kulit yang bersentuhan langsung dengan alas sholat, dipenuhi dengan serpihan kecil-kecil plastik.

Untuk anak-anak, masjid kedua relatif lebih aman, karena merupakan masjid kompleks yang lalulintasnya tidak terlalu ramai. Tangga masjid cukup aman, karena tidak terlalu bisa diakses dari lokasi jamaah wanita. Di sekitar masjid ada beberapa penjual makanan yang cukup menggoda anak-anak. But no! Saya mungkin tidak akan mengijinkan anak-anak membeli makanan, kecuali besoknya sudah tidak akan tarawih di masjid itu lagi.

Malam Ketiga di Masjid Ketiga

Lokasi masjidnya memang lebih jauh dibanding yang pertama dan kedua, tapi tidak terlalu jauh juga. Ini adalah kali pertama saya sholat tarawih di masjid ini. Berbeda dengan dua masjid sebelumnya, sholat tarawih dilaksanakan empat kali 2 rakaat. Bagi saya, sholat sunnah dua-dua itu terasa lebih ringan. Kalau urusan sunnah, 2 rakaat dan 4 rakaat sama-sama pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun ada aura berbeda yang saya rasakan. Bacaan imam sholatnya begitu indah. Iramanya seperti bacaan para hafidz qur'an yang berasal dari negeri asalnya, yaitu tanah arab, meski bukan orang arab. Saya bisa merasakan semangat yang sama dengan saat sholat tarawih di Malang beberapa tahun terakhir sebelum pindah ke Pamulang. Di Malang dulu, saya biasa memburu masjid yang imam sholatnya adalah para syeikh yang berasal dari negeri arab. Entahlah, saya bisa merasakan ketenangan mendengar bacaan qur'an mereka.

Ceramah ramadhan dilaksanakan selepas sholat tarawih, seperti pada masjid pertama. Namun lagi-lagi ada aura berbeda yang saya rasakan. Baru di masjid ketiga ini saya mendapati ceramahnya dibuka dengan membaca tiga ayat qur'an yang memang biasa saya dengar dari da'i-da'i waktu di Malang dulu. Nostalgiakah? Mungkin. Tapi urutan-urutan pembuka ceramah termasuk tiga ayat qur'an dan satu hadits itu seperti sudah menjadi bagian wajib bagi saya saat mendengarkan ceramah agama. Cara da'i di masjid ketiga ini menyampaikan ceramahnya juga berbeda, terasa lebih hidup. Beliau melakukan kontak dengan jamaah, sehingga kesan dakwahnya begitu terasa, bukan hanya asal ceramah. Satu lagi yang berbeda, ceramah ditutup dengan do'a kafaratul majelis, yang tidak saya dapati di masjid pertama dan kedua. Mungkin sudah lama saya tidak mendengarkan taushiyah dari ustadz-ustadz saya di Malang, namun apa-apa yang menjadi kebiasaan beliau-beliau saat memberikan taushiyah tidak bisa saya lupakan.

Jejeran shaf wanita di masjid ketiga tidak jauh berbeda dengan dua masjid sebelumnya. Bagi saya yang meyakini bahwa shaf yang rapat (benar-benar) menjadi penyempurna sholat, kadang saya merasa sedih. Bagaimana mereka bisa merasakan kebersamaan di saat sholat jika antara mereka dengan jamaah sholat lain begitu berjarak. Yang bersentuhan hanyalah sajadah mereka, yang bagi saya sajadah-sajadah itu cukup untuk tempat saya sholat berdua dengan putri saya yang berusia 10 tahun. Kali ini saya membawa sajadah, karena saya merasa kasihan pada anak-anak ketika sholat jika harus sholat tanpa sajadah. Namun begitu masuk masjid yang terlihat masih cukup longgar itu, permukaan lantainya sudah dipenuhi dengan karpet bagus sehingga tanpa sajadah pun sudah sangat nyaman.

Untuk anak-anak, masjid ketiga ini juga cukup aman, karena memang area masjid yang cukup luas. Karena begitu luasnya (atau jamaahnya yang sedikit ya), sehingga teras di sisi kanan, kiri dan depan masjid tidak sampai terisi oleh jamaah. Jadi, saya pun bisa melaksanakan sholat dengan lebih khusyuk.

Begitulah pengalaman yang saya rasakan dari tiga malam pertama saya sholat tarawih di Pamulang, di tiga masjid berbeda, pada ramadhan tahun ini. Kenyamanan memang sangat relatif. Tapi bagi mereka yang sudah pernah merasakan kenyamanan saat melakukan suatu ibadah, pasti ingin merasakan kembali hal yang sama. Terlebih lagi dalam ibadah sholat tarawih di bulan ramadhan yang hanya ada sebulan dalam satu tahun ini, pastilah kita ingin mencari tempat terbaik untuk ibadah di bulan terbaik.

Hmm, nanti malam tarawih dimana ya???