Monday, March 28, 2016

Aktivitasku: Dari Bagi Tugas hingga Menjemput Tepat Waktu


"Pulangnya jam dua, lho! Bukan jam tiga." seru pak Ucup--bukan nama sebenarnya, penjaga sekolah Zahra.
"Okeee... Kalau saya yang kebagian tugas, insya Allah beres!" ujar saya menimpali teguran pak Ucup.
"Ayahnya ada acara hari ini." sambung saya lagi.

Begitulah perbincangan singkat antara saya dan pak Ucup pagi ini. Hari pertama di pekan terakhir Maret ini, pak Ucup mengingatkan saya tentang jam pulang sekolah Zahra. Bukannya tanpa alasan, hari kamis pekan sebelumnya, Zahra baru saya jemput jam tiga sore. Padahal pulang sekolahnya jam dua. Sungguh terlalu--mengutip kata-kata bang Roma Irama, haha...

Saya memang bukan "tukang ojek" tetap anak-anak meski pagi ini saya kebagian tugas itu. Bagian mengantar ke sekolah, hampir selalu suami saya yang jadi pemeran utamanya. Alhamdulillah, suami masuk kantornya agak siang--jam 08.30 WIB, jadi ada waktu cukup banyak untuk membantu menyelesaikan tugas pagi di rumah, termasuk mengantar anak-anak ke sekolah. Apalagi jarak dari rumah ke kantor suami juga dekat, hanya butuh 10 menit perjalanan menggunakan motor.

Begitu pula saat pulang sekolah. Kalau tidak ada urusan cukup penting yang tidak bisa ditinggal di kantor, maka suami pula yang jadi tokoh utama yang berperan sebagai "tukang ojek". Dan saya adalah pemeran pembantu yang hanya hadir saat pemeran utama berhalangan, seperti pagi ini. Sebenarnya jam kantor suami sampai jam 9 malam, namun siang dan sore hari ada istirahat, totalnya selama tiga jam. Itulah kenapa dari awal pindah ke sini--Tangerang Selatan, mengantar dan menjemput anak-anak menjadi tanggung jawab suami.

Tugas saya apa dong? Ya nguplek (sibuk sendiri) di rumah, mengerjakan semua hal sesuai kadar kesanggupan waktu dan tenaga saya. Kalau pas tidak kebagian tugas ngojek, saya biasanya tidur siang selepas waktu sholat duhur. Ini hampir menjadi kebiasaan, karena memang saya jarang menjemput anak-anak. Dan ini sepadan dengan ritme istirahat saya, dimana saya selalu menjadi yang pertama kali bangun di rumah. So, saya butuh dan harus tidur siang, demi kelancaran tugas utama saya di malam harinya--alesan ini mah, hihi... Tapi kalau tidak tidur siang, kepala saya bisa nggeliyeng (seperti berputar-putar gitu) akibat ngantuk yang tak tersalurkan, haha...

Nah, terkait dengan kejadian kamis lalu, hari itu sebenarnya "hari tugas" suami. Tapi rupanya suami ada pekerjaan mendadak sehingga tidak bisa menjemput anak-anak. Dan karena suami juga tidak ada kesempatan untuk pulang, jadilah suami hanya mengirimkan pesan singkat yang isinya tentu saja meminta saya untuk menjemput anak-anak.

Pesan singkat sih masuknya sebelum jam 2. Tapi saat itu saya sedang terlelap tidur siang. Saya baru membuka mata sekitar pukul setengah tiga, dan baru memeriksa ponsel sepuluh menit kemudian. Setelah sekitar lima menit saya duduk dan menggenapkan kesadaran, saya pun bangun untuk pergi menjemput Zahra. Pukul 14.45, dan saya baru menyadari kalau sepeda motor dipakai suami ke kantor. Mau naik mobil? Aduh, jarak rumah ke sekolah Zahra tidak sampai 2 km. Tapi kalau harus jalan kaki, rasanya juga tidak sanggup, panas sekali cuaca hari itu. Walhasil, jadilah saya menjemput dengan sepeda mini Aisyah--anak kedua saya. Dan baru tiba di sekolah pada pukul 15.00, hihihi...

Kalau terjadwal dari awal bahwa suami tidak bisa menjemput, biasanya suami ke kantornya saya antar sekalian--naik motor. Sehingga motor bisa saya pakai jemput anak-anak pada siang harinya. Naik mobil jika bukan karena terpaksa--misal karena hujan deras, sangat saya hindari untuk antar jemput anak-anak. Disamping jarak yang tidak terlalu jauh, kemacetan juga justru menambah lama perjalanan dari rumah ke sekolah atau sebaliknya, dari sekolah ke rumah. Jadi, sekali jadi tukang ojek, maka saya tidak hanya ngojek-in anak-anak, tapi juga ngojek-in suami, seperti hari ini.


Pamulang, 28 Maret 2016
*back to diary

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#21

Saturday, March 26, 2016

Ketika Ajal Mengintai

Pingsan! Adakah teman-teman yang pernah pingsan? Atau malah langganan pingsan? Pertama kali saya melihat orang pingsan adalah saat upacara bendera 17 Agustus, sekitar tahun 89-an atau 90-an, saya tidak ingat pasti. Yang jelas itu adalah upacara 17 Agustus pertama yang saya ikuti di lapangan kecamatan. Kalau upacara di halaman sekolah hampir tiap hari senin selalu ada ketika saya SD. Tapi belum pernah sampai ada yang pingsan. Mungkin karena halaman sekolah saya tidak terlalu panas dibandingkan lapangan kecamatan. Ditambah lagi, upacara di sekolah biasanya dilaksanakan pagi hari, sekitar pukul 07.00 WIB. Sementara kalau di lapangan kecamatan dimulainya lebih siang, yaitu sekitar pukul 09.00 WIB.

Melihat orang pingsan pertama kalinya, cukup membuat saya kaget dan jantung berdebar-debar karena tegang. Ya, tegang dan was-was penuh tanda tanya, apa yang terjadi? Tahu kan, biasanya orang kalau pingsan tiba-tiba jatuh begitu saja, tanpa ada memberitahu. (Hihi, ya iyalah, namanya pingsan itu, tiba-tiba.) Saya suka penasaran, kenapa orang itu bisa pingsan? Waktu itu saya hanya mendapat jawaban kalau yang pingsan itu belum sarapan, makanya pas upacara--berjemur di bawah panas matahari, mereka pingsan. Itu yang pingsannya pas upacara, yang ujug-ujug pingsan padahal tidak sedang upacara bagaimana?

Saat kuliah, ada teman yang tiba-tiba pingsan karena rasa takut luar biasa. Kejadiannya pas OSPEK. Saya yang agak "mokong" waktu OSPEK sampai ditanya sama senior, "Pernah pingsan, nggak?" Saya jawab tidak lah, karena memang tidak pernah. Jangankan pingsan, takut pun tidak saya rasakan meski kakak-kakak senior menyiapkan banyak atribut yang mengundang takut peserta OSPEK pada malam inaugurasi. Malam-malam, gelap, disuruh jalan dengan mata tertutup, melewati lintasan penuh semak dan berlubang di beberapa tempat. Lalu seperti ada sesuatu yang halus, berbulu--lembut gitu, bergerak-gerak, tiba-tiba menyentuh muka. Cihaaa, yang pingsan ya ada aja ternyata, malah lebih dari seorang. Padahal atribut yang dipakai untuk atraksi terakhir itu adalah sulak, hihihi...

penjelasan wikipedia tentang pingsan

Saya juga pernah mendapati teman kuliah yang tiba-tiba pingsan karena sakit perut hebat. Baru diketahui penyebab sakit perutnya setelah di rumah sakit. Ternyata kehamilannya yang baru berjalan tiga bulan, terjadi di luar rahim. Ada juga teman kerja yang "langganan" pingsan--karena seringnya, apalagi menjelang waktu atau pada saat menstruasi.

Begitulah! Saya beberapa kali harus melihat orang pingsan dengan berbagai sebab. Dan saya selalu penasaran, bagaimana rasanya pingsan. Hingga suatu ketika saya mengalami sebuah kecelakaan. Saat itu malam hari, saya dibonceng bapak naik motor dari rumah menuju tempat pemberhentian bus. Meski belum terlalu malam, entah mengapa, saya merasakan kantuk yang luar biasa. Sampai pada titik saya benar-benar terlelap beberapa saat, lalu dikagetkan oleh hentakan yang hebat. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa. Kejadiannya begitu cepat, dan saya tidak menyadarinya.

Sebelum mata saya benar-benar terbuka, saya merasa seperti berada di ambang kematian, atau mungkin malah sudah mati. Kalimat istighfar menjadi kalimat pertama yang keluar dari mulut saya, seperti menyadari kalau saya belum punya cukup bekal untuk menghadapi mati. Saya tidak ingat pasti berapa kali kalimat istighfar terucap hingga sayup-sayup saya melihat ada beberapa orang di sekeliling saya, termasuk adik saya. Masih sambil terus beristighfar, saya pun menyadari kalau saya sedang berada dalam sebuah mobil--menuju rumah sakit. Saat tersadar, saya pun mengurangi volume suara saya yang terus mengucap istighfar. "Ya Allah, saya belum mati?" bisik hati kecil saya.

Tiba di rumah sakit kecamatan sebelah, setelah diberi pertolongan pertama untuk luka-luka yang saya alami, pihak rumah sakit menyarankan agar saya dibawa ke RSUD saja--rumah sakit kabupaten. Mereka khawatir kalau-kalau saya mengalami cidera serius di bagian kepala, karena dahi kiri saya mengalami luka dan saya merasakan pusing yang membuat saya lebih banyak menutup mata. Sepanjang jalan menuju RSUD, saya terus terbayang akan kematian. Sehingga saya pun berusaha untuk terus terjaga dan terus beristighfar. Kondisi gelap di sekitar--karena malam hari, menambah ketakutan saya.

Sampai di RSUD, setelah memeriksa kondisi saya, dokter memberi obat untuk diminum malam itu. Sesaat kemudian saya pun tertidur, dan terbangun menjelang subuh. Menyadari benar-benar sudah bangun, hati saya berbisik, "Ya Allah, saya masih hidup!" Rasa syukur mendorong saya segera bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk berwudhu. Adik saya yang menunggui, ikut terbangun dan membantu saya. Kemudian saya melaksanakan sholat subuh dengan berbaring. Beberapa hari kemudian, saya diperbolehkan pulang dan dokter menyatakan kalau saya hanya mengalami cedera kepala ringan. Alhamdulillah...

Sungguh, saya benar-benar bersyukur atas peristiwa itu. Peristiwa sesaat yang saya anggap sebagai pingsan dan untuk pertama kalinya saya rasakan, sehingga sulit untuk dilupakan. Peristiwa sesaat yang menghilangkan beberapa menit waktu saya, namun mengajarkan banyak hal kepada saya. Terutama tentang kematian yang akan selalu mengintai setiap makhluk yang bernyawa. Tentang kematian yang bisa datang kapan saja tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Tentang singkatnya kehidupan yang pasti akan berakhir dan berganti dengan kematian. Mengingatkan saya masih ada kehidupan abadi setelah kematian, yang keadaan saat itu ditentukan oleh bagaimana kehidupan saat ini, sebelum ajal datang.




Pamulang, 26 Maret 2016
#mengingat (kembali) akan mati adalah sebaik-baik nasihat

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#16