Saturday, November 3, 2018

Kembali Dengan Kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammadar Rasulullah


Laailaaha illallah Muhammadar rasulullah

Satu kalimat yang merupakan kunci keislaman seseorang, pembeda antara mukmin dan kafir. Satu kalimat di mana seorang muslim sejati tidak hanya ingin hidup tapi juga ingin mati di atas kalimat itu.

Beberapa waktu yang lalu, negeri mayoritas muslim sekaligus negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini dihebohkan dengan pembakaran bendera tauhid. Yakni sebuah bendera yang di atasnya tertulis kalimat tauhid, laa ilaaha illallah muhammadar rasulullah.

Mendengar berita itu, saya sebagai muslim yang baru beberapa hari sebelumnya ditinggal suami berpulang ke pangkuan Ilahi, saat itu hanya bisa menggelengkan kepala lemah. Ada rasa kesal, marah, heran, aneh, gak habis pikir, melongo, gak percaya, dan berbagai perasaan yang entah saya sendiri bingung mana yang harus saya tunjukkan kepada mereka yang telah melakukan pembakaran. Tidak lain alasannya adalah karena informasi yang saya dapatkan mengabarkan bahwa pelakunya nota bene juga muslim. Tidak mengertikah mereka (para pembakar bendera itu) akan bendera dan panji Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?

Saya hanyalah satu dari sekian orang yang merasa bangga dengan lambang bendera tauhid. Saya bersyukur Allah memberi kesempatan pada saya untuk mengenal kalimat yang memang sejak pertama kali hadir di dunia, ayah saya sudah memperdengarkannya kepada saya sebelum kalimat-kalimat lainnya. Lantunan adzan suami saya -yang di dalamnya terkandung kalimat tahuhid itu- juga menjadi kalimat pembuka yang pertama kali diperdengarkan sangat dekat dengan telinga lima orang putra-putri saya. 

Sebuah kesaksian yang secara formal kami (saya dan suami sebagai orang tua) buktikan kepada Allah sebagai kewajiban pertama dan utama dalam mengenalkan anak keturunan kami kepada Robb-nya, Allah Sang Kholiq, Yang Maha Menciptakan mereka. Sebuah pengajaran tauhid yang memang menjadi fitrah setiap makhluk sejak mereka masih berupa nutfah. Sebagaimana firman-Nya:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini," atau agar kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan (yang datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?""
(QS. Al A'raf: 172-173)

Ya, sejak masih dikeluarkan dari sulbi, setiap kita sudah memberikan pernyataan kesaksian akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan kesaksian akan pengakuan penghambaan kita sebagai makhluk bahwa hanya Allah-lah sesembahan kita, bukan yang lainnya. Maka ritual pengumandangan adzan kepada bayi yang baru dilahirkan menjadi pengingat akan kesaksian tersebut dan tunailah satu kewajiban pertama sebagai orang tua terhadap anak keturunannya. Setelah itu dilanjutkan dengan tugas berikutnya, yaitu mendidik dan mengajarkan anak-anak sesuai fitrahnya yang berlandaskan pada ketauhidan. Wujud dari ketauhidan itu adalah dengan menjadi sebenar-benar hamba yang beribadah hanya kepada Allah semata. Sebagaimana firman-Nya:

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
(QS. Adz Dzariyat: 56)

Sungguh, menjalankan kehidupan dengan tetap istiqomah untuk beribadah hanya kepada Allah semata itu bukanlah hal yang mudah. Ada banyak sekali rintangan menghadang, baik dari setan yang memang menjadi musuh nyata bagi manusia, maupun rintangan yang datang dari setan berwujud manusia. Bahkan meski jelas bagi kita bahwa suatu amal perbuatan itu bisa mengantarkan kita kepada surganya atau nerakanya Allah, masih banyak manusia yang lalai dan tertipu oleh tipu daya setan yang memang selalu ingin menyesatkan manusia.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat." (HR. Muslim)

Akan tetapi, selama hayat masih dikandung badan, kesempatan untuk selalu kembali kepada jalan yang disediakan Allah akan selalu ada. Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang akan selalu memberikan ampunan kepada siapa saja yang memohon ampunan kepada-Nya, kecuali saat nafas sudah tersisa di tenggorokan dan kematian sudah sangat dekat. Itulah kenapa tidak menunda-nunda waktu untuk bertaubat dari semua dosa dan kesalahan kepada Allah sangat diperlukan. Yaitu agar kita bisa kembali menghadap Allah dalam keadaan berserah diri hanya kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun (bertauhid). Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim."
(QS. Ali Imran: 102)

Beberapa hadits juga menunjukkan bahwa balasan surga itu bisa diperoleh dengan melaksanakan kewajiban mentauhidkan Allah, di antaranya:

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Tidaklah seorang hamba mengucapkan: Laa ilaaha illallaah (tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah) kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, kecuali ia masuk surga." Aku (Abu Dzar radhiyallahu 'anhu) bertanya, "Meskipun ia berzina dan mencuri?" Beliau menjawab, "Meskipun ia berzina dan mencuri." Beliau mengulanginya tiga kali, (hingga) kemudian pada kali keempat beliau bersabda, "Meskipun Abu Dzar radhiyallahu 'anhu tidak menyukainya." Abu Dzar radhiyallahu 'anhu pun keluar dan berkata, "Kendati Abu Dzar tidak menyukainya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, "Tidaklah seorang hamba bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah (Laa ilaaha illallaah) dan bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. melainkan Allah mengharamkannya atas neraka."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "Sesunngguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah (laa ilaaha illallaah),' dan ia mencari wajah Allah dengannya (kalimat laa ilaaha illallaah)."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dan kalimat tauhid itu pulalah yang saya harapkan Allah anugerahkan kepada suami saya untuk bisa mengucapkannya menjelang detik-detik akhir kehidupannya, disertai kalimat istighfar yang terus saya bisikkan ke telinganya. Diawali dengan istighfar dan ditutup dengan ikrar kalimat tauhid, yang dengan keduanya saya berharap agar Allah memberikan ampunan atas segala dosa dan khilaf suami, serta menerima iman dan islamnya. Sehingga suami saya bisa meraih akhir kehidupan yang baik atau husnul khotimah.

Tak ada satu pun muslim yang tidak ingin meninggal dalam keadaan husnul khotimah, karena itulah sebaik-baik keadaan saat kita kembali ke pangkuan-Nya. Hanya dengan keadaan itulah, insya Allah kita bisa terhindar dari siksa kubur dan azab neraka, serta surga yang dijanjikan-Nya bisa diraih.


#CurhatSeorangIstri

Wednesday, May 31, 2017

Tarawih di Rumah


Alhamdulillah ... sudah masuk hari ke-5 Ramadhan. Masih terhitung permulaan, semangat puasa dan tarawih pasti masih tinggi. Namun bagaimana jika ada halangan untuk pergi tarawih ke masjid?

Kemarin pagi tetangga saya sebelah rumah ada yang meninggal. Mereka keluarga non muslim. Meski sempat bingung karena tidak tahu bagaimana tradisi menjenguk orang non muslim yang meninggal (versi mereka tentu saja), pagi itu juga sebelum mengantar anak-anak ke sekolah saya datang menemui mereka. Saya sampaikan ucapan belasungkawa kepada mereka, dan berpesan agar mereka bersabar, terutama kepada putri keluarga itu yang ditinggal pergi sang ayah untuk selamanya.

Beranjak siang, tetangga sekitar mulai berdatangan. Terop didirikan dengan kursi yang ditata menghadap ke rumah mereka. Awalnya saya kira hanya untuk tamu-tamu yang datang silih berganti itu. Ternyata malam harinya ada ritual, mungkin doa bersama untuk melepas kepergian yang meninggal.

Lalu hubungannya dengan sholat tarawih apa? Hehe, akses jalan depan rumah saya itu buntu. Dengan adanya terop yang sudah penuh kursi, hanya orang yang bisa lewat, tapi mobil tidak. Bisa saja sih mobil lewat dengan menggeser kursi, tapi ah, tidak etis rasanya merepotkan orang yang lagi kesusahan. Salah saya tidak mengeluarkan mobil terlebih dahulu dan meletakkannya di tempat yang memungkinkan saya menggunakannya setiap saat.

Alhasil, menjelang tarawih saya sampaikan pada suami untuk sholat tarawih di rumah saja. Karena tidak mungkin pergi ke masjid naik motor membawa tujuh orang. Ada sih masjid terdekat yang bisa ditempuh dengan jalan kaki, tapi tidak begitu luas. Saya tidak mungkin datang membawa bayi yang suka guling-guling dan balita yang aktif ke sana, karena akan sangat berpotensi mengganggu jamaah yang lain.

Sebagai wanita sebenarnya tidak ada kewajiban bagi saya untuk sholat di masjid. Justru sebaik-baik tempat sholat bagi wanita itu adalah tempat yang paling tersembunyi yang ada di rumahnya. Seperti disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sholat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada sholatnya di pintu-pintu rumahnya, dan sholat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya.” (HR. Abu Daud)

Tapi bukan berarti Islam tidak memberi ruang bagi wanita untuk sholat di masjid, apalagi di bulan Ramadhan begini. Sholat tarawih di masjid begitu dianjurkan tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga wanita. Malah ada larangan kepada laki-laki yang berstatus suami untuk menghalangi istrinya yang ingin sholat di masjid. Sebagaimana hadits berikut:

Dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin kepada kalian, maka izinkanlah dia.’” (HR. Muslim)

Tapi harus diperhatikan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wanita sebelum pergi ke masjid. Diantaranya adalah berpakaian yang menutup aurat dengan baik dan tidak memakai harum-haruman (parfum). Wallahu a’lam...

#RamadhanKarim
#Ramadhan1438Hijriyah
#DiaryRamadhan
#RamadhanHariKelima
#CatatanBunda
#5Ramadhan1438H