Monday, January 21, 2019

Ketika Ananda (Siap) Toilet Training

Si anak ke-5 yang hobby basah-basahan 😄
Punya anak lima ternyata tidak membuat saya "mahir" mengatasi masalah "toilet training". (Hihi, parah nih si Emak...) Entahlah, saya merasa masing-masing anak memiliki kekhasan yang membuat mereka berbeda dalam menghadapi latihan belajar ke toilet sendiri. Ada yang mudah, namun juga ada yang terkesan sulit. Tapi memang kuncinya ada pada kesiapan kedua belah pihak, yaitu kesiapan orang tua dan kesiapan si anak. Itu menurut saya yaaa...

Flashback sedikit. Ketika masa anak pertama, saya belum mengenal pospak alias popok sekali pakai. Alhasil, sangat biasa saya mendapati dia pipis di mana saja saat dia lagi ingin pipis. Tentu saja di awal dia pipisnya masih di celana yang pada akhirnya dia sendiri merasa tidak nyaman mendapati celana basah oleh pipis. Keadaan yang pastinya berbeda dengan saat dia memang sedang beraktivitas melibatkan air. Kalau itu sih dia senang dan tak pernah bosan. Sepertinya tidak hanya dia yang suka, tapi hampir semua anak menyukainya.

Anak kedua saya mulai memakai pospak setelah usianya 6 bulan. Begitu juga dengan anak ke-3 dan ke-4. Mereka bertiga hampir melalui fase yang sama dalam penggunaan pospak. Namun masa pakai mereka berbeda, rata-rata 2 tahun kecuali anak ke-4. Anak ke-2 sempat mengalami kendala karena keterlambatan bicara yang dialaminya hingga usia 3 tahun, namun dia cukup berhasil sebelum usianya 2 tahun. Biasanya dia memberi isyarat kalau ingin pipis, meski tidak selalu dilakukannya. Anak ke-3 lancar, berhasil melewati toilet training sebelum usia 1,5 tahun. Sementara anak ke-4, hehe, dia mengalami keterlambatan toilet training, terlanjur merasa nyaman pakai pospak (salah emaknya kalau ini mah). Dibutuhkan tips khusus untuk mengatasinya. (Tips ala saya ada di sini)

Sebetulnya kapan sih waktu yang tepat untuk toilet training? Kalau dari penerawangan saya (yaelah), beberapa poin berikut bisa dijadikan dasar untuk mulai menerapkan toilet training, di antaranya:

1. Dia sudah bisa jongkok. Kemampuan jongkok dengan kuat saya jadikan pertimbangan pertama mengajari anak-anak buang air kecil (bak) dan buang air besar (bab) di kamar mandi. Jadi dari kecil saya mengajari mereka untuk bak dan bab secara duduk, termasuk anak laki-laki. Saya memang memilih untuk menanamkan kebiasaan baik kepada anak-anak sejak dini, terutama ditinjau dari sisi agama yang saya anut, atau yang lebih dikenal sebagai adab. Termasuk adab-adab ke kamar mandi di mana salah satunya adalah tidak bak sambil berdiri.

2. Dia bisa menyampaikan secara verbal atau non verbal keinginannya untuk bak dan bab. Karena tidak semua anak kemampuan berbicaranya sama, tentu dibutuhkan kemampuan lebih bagi orang tua untuk memahami maksud anak-anak saat memberi isyarat atau menyampaikan sesuatu yang belum jelas kepada mereka. Boleh jadi yang terdengar di telinga kita dari mulut bayi bermakna sama antara "pup" (pingin bab) dan "bubuk" (pingin tidur). Maka harus pintar-pintarnya orang tua melihat situasi dan kondisi, kira-kira anak kita pinginnya apa. Btw, saat ini saya dalam masa sedang berusaha keras memahami perkataan anak ke-5 yang kosakatanya bagi saya terdengar sama semua, hehe... (Peace ya, debay)

3. Dia memberi "pesan" atau isyarat bahwa dia "siap" belajar toilet training. Pesan dan isyarat yang ditunjukkan setiap anak bisa saja berbeda. Kalau anak ke-5 saya, dia mulai suka melepas popok, apalagi saat popoknya mulai basah. Saya belum tahu pasti apakah dia merasa tidak nyaman dengan popoknya atau dia merasa tidak nyaman dengan basahnya si popok. Pastinya ini adalah kesempatan untuk menyampaikan kepadanya kalau memakai popok itu memang tidak nyaman dan kita mesti bersiap untuk mulai mengajaknya bak dan bab di toilet.

4. Ini poin utamanya. Kita sebagai orang tua sudah benar-benar siap dengan segala resiko yang ditimbulkan saat anak mulai belajar toilet training. Kesiapannya meliputi fisik maupun mental.
Kesiapan fisik di antaranya mesti bersiap dengan tenaga lebih manakala anak tiba-tiba bak atau bab di celana tanpa memberitahu. Otomatis ini akan menambah banyaknya cucian. Siapkan juga tenaga untuk lebih sering lagi mengepel lantai, apalagi jika kita memutuskan untuk menjaga lantai tetap selalu dalam keadaan suci. Karena menjaga kesucian lantai lebih tidak mudah dari pada sekadar menjaga kebersihannya.
Kesiapan mental di antaranya dengan menambah stok kesabaran mendapati "kejutan" dari si kecil serta kesabaran dalam memberikan motivasi dan dorongan kepada si kecil agar semangat untuk terus belajar. Kelihatannya gampang, tapi tidak mudah saat menghadapinya. Apalagi jika si kecil memberi "kejutan" tak terduga di waktu-waktu yang kurang pas menurut kita. Ingat! Tetap sabaaar...

Itu 4 poin yang menurut saya penting, meliputi 3 poin dasar (nomer 1 - 3) dan 1 poin utama (poin 4). Untuk poin utama kita perlu menyiapkannya sejak anak setidaknya berusia 1 hingga 1,5 tahun. Setelah itu, bersiaplah menunggu 3 poin dasar muncul pada diri anak. Begitu terlihat, segeralah tangkap peluang untuk mengajarkan anak toilet training. Jangan sampai terlambat!

Naaah, saat ini sepertinya saya sudah harus mulai menerapkan toilet training pada anak ke-5. Karena 3 poin dasar sudah dia perlihatkan, tinggal saya yang masih maju mundur menyiapkan poin utamanya, hihi... (Please deh, Mak!)


#TulisanParenting
#ToiletTraining

*Pantun Ria
Kota Malang sedang musim hujan
Emak pakai jaket agar badan hangat
Tulis di komen kalau ada kritik saran
InsyaAllah jadi masukan bermanfaat

Thursday, December 27, 2018

Anak-anak Libur, Saatnya Melakoni Peran Sebagai "Emak" Sekaligus "Ayah"

Berkendara bersama krucils

Emak, liburan akhir tahun ini ke mana?
Adakah yang seperti saya?
Saat anak-anak liburan, saya bukannya "nyantai", tapi justru inilah waktu di mana saya benar-benar berperan sebagai "emak" sekaligus "ayah".
Kenapa begitu?

Sejak tahun ajaran baru ini, sudah dua dari lima anak saya yang masuk pesantren dan satu lagi tinggal bersama mbah-nya. Meski dua anak saya yang lain masih terbilang kecil-kecil (satu lagi malah masih bayi), tapi sejak tiga anak tidak lagi tinggal di rumah, terasa benar perbedaannya. Berasa ada sesuatu yang hilang dari kehidupan saya. "Beban kerja" terasa lebih ringan namun saya merasa ada yang kurang dari aktivitas keseharian saya yang memang lebih banyak fokus pada suami.

Ternyata saat anak-anak "pergi" dari rumah, hal-hal unik dari masing-masing mereka menjadi sesuatu yang terkadang dirindukan. Tak ada lagi yang hampir tiap hari pegang ulekan buat bikin sambal geprek. Tak terdengar lagi permintaan membuat mie instan yang kadang membuat saya harus bawel mengingatkan untuk tidak sering-sering makan mie. Tak ada lagi yang bisa dicerewetin (anak-anak yang masih di rumah kan belum cukup umur buat dicerewetin, hihi, alesan ini mah). Tak ada lagi ....

Liburan akhir tahun ini, yang juga menjadi masa liburan anak-anak tanpa keberadaan ayahnya, saya dan anak-anak sudah menyusun rencana. Lewat kontak via telepon dengan anak-anak yang di pesantren, kami sepakat merencanakan liburan di dua tempat. Sepekan pertama di Malang dan sepekan berikutnya di Situbondo. Agar rencana berjalan lancar, saya harus memulainya dengan menyusun agenda pribadi A sampai Z yang akan saya lakukan. Inti agendanya sih sederhana, saya hanya harus benar-benar menjadi "emak", sebuah peran yang selama 4-5 bulan terakhir seolah "terlupakan".

Perjalanan untuk melakoni peran "emak" pun dimulai dari Situbondo, di mana anak ke-3 dan ke-4 sekarang tinggal. Hampir sebulan terakhir ini saya memang berada di Situbondo. Bersama pakdhe-nya anak-anak, saya dan anak ke-5 berangkat ke Malang lebih awal untuk menyiapkan rumah yang sudah tidak ditinggali selama 5 bulan terakhir. Emak pasti tahu apa yang akan dan harus saya lakukan. Karena emaklah yang paling tahu seperti apa kondisi rumah yang dibiarkan tak berpenghuni dalam waktu cukup lama, hehe... 😍

Saya punya waktu 3 hari untuk menyiapkan rumah menjadi siap ditempati. Karena pada hari ke-4, anak ke-3 dan ke-4 yang mulai libur sekolah akan datang menyusul ke Malang bersama bulik-nya. Pada hari yang sama, pakdhe-nya kembali ke Situbondo untuk menyelesaikan pekerjaan di sana. Jadi saya harus menjemput sendiri anak-anak ke tempat bulik-nya yang selama di Malang tinggal bersama keluarga besar suaminya. Setelah itu, bersih-bersih rumah, memasak, dan mencuci pun menjadi kegiatan rutin yang "wajib" hukumnya. Sebagai hiburan di sela-sela kesibukan itu, saya memilih untuk membersihkan dan mengatur tanaman. Itu kesibukan emak juga sih ya ... tapi karena saya menyukainya, aktivitas itu jadi berasa sebagai hiburan di antara aktivitas rutin lainnya.

Keesokan harinya saya menjemput anak ke-2 di Terminal Arjosari, Malang, setelah dia menempuh perjalanan dari tempatnya nyantri di Kudus, Jawa Tengah. Dua hari kemudian giliran anak pertama yang datang setelah dia melalui petualangan perjalanannya dengan kereta api dari Purwokerto menuju Surabaya dan selang sehari dilanjutkan perjalanan darat dengan kendaraan pribadi bersama 7 orang temannya menuju ke Malang. Anak-anak sudah punya agenda masing-masing untuk mengisi liburan mereka di Malang, terutama anak pertama yang menghabiskan liburan di Malang kali ini bersama 7 orang temannya. Emaknya? Jangankan liburan, aktivitas saya malah lebih padat dari sebelumnya. Tapi bahagia rasanya melihat anak-anak bisa berkumpul dan mereka bisa menikmati liburannya.

Senin kemarin, usailah sudah anak-anak menghabiskan sepekan pertama liburannya di Malang. Sesuai rencana, tiba waktunya melanjutkan liburan yang tersisa sepekan itu di Situbondo. Pakdhe-nya sempat berpesan untuk memberi kabar kalau saat perjalanan ke Situbondo dari Malang perlu dibantu nyetir. Tapi saya putuskan untuk menyetir sendiri saja. Jadilah perjalanan ke Situbondo kali ini sebagai perjalanan pertama yang saya tempuh hanya bersama anak-anak (tanpa ayah mereka, hiks).

Perkiraan saya lalulintas akan lancar karena sudah memasuki puncak liburan dengan asumsi bahwa orang-orang yang mau liburan sudah di lokasi, jadi jalanan bakal sepi. Apalagi sebuah surat kabar Malang sempat mengabarkan kalau Tol Mapan akan dibuka sementara selama masa liburan dari tanggal 21 Desember 2018 hingga tanggal 1 Januari 2019. Tapi ternyata perkiraan saya meleset. Ruas jalan dari arah Kota Malang justru lebih padat dari ruas arah sebaliknya. Tol Mapan juga hanya dibuka satu arah saja, yaitu yang menuju Malang. Alamaaak ... macetnya sungguh tak terduga! Syukurlah saya cukup punya pengalaman menikmati kemacetan selama beberapa tahun tinggal di dekat Kota Jakarta. Setidaknya kesabaran menghadapi kemacetan sudah cukup terlatih, haha ....

Macetnya biasa ... kesabaran menghadapi macet terlatih. Tapi waktu tempuh yang dibutuhkan tetap menjadi lebih lama dan tidak ada yang menggantikan saya pegang kemudi. Aha ... saatnya saya berperan sebagai "Ayah" yang selama saya belum bisa pegang kemudi selalu menyetir sendiri tanpa lelah. ("Terima kasih, Ayah, sudah mengajariku bersabar di jalan.")

Bahkan saya harus berperan sebagai emak sekaligus ketika anak saya yang masih bayi ingin "dekat" dengan bundanya. Agar tidak menambah lama waktu tempuh perjalanan, saya memilih sesekali menyetir sambil memangku si bayi. Sekali waktu saya juga sempatkan menyetir sambil ngASI hingga si bayi tertidur di pangkuan sementara saya terus pegang kemudi.

Alhamdulillah ... akhirnya kami tiba juga di Situbondo dengan dua kali berhenti sebentar untuk sholat dan membeli makanan kecil. Lama perjalanan menjadi 2 jam lebih lama, dari yang biasanya 4 jam menjadi 6 jam. Di luar kemacetan sepanjang jalur Malang - Purwodadi, kondisi lalulintas secara umum cukup ramai. Tapi itu menjadi berkah buat saya. Karena lalulintas ramai membuat saya yang menyetir selama 6 jam terhindar dari rasa mengantuk.

Ini cerita liburan saya bersama anak-anak. Bagaimana cerita liburan, Emak? Yuuuk berbagi di komen...

#CeritaLiburanku