Monday, February 4, 2019

Membangkitkan Semangat Ngeblog dengan SETIP Bareng Estrilook


Awal bergabung dengan grup Estrilook di FB, niat saya sih mau ikutan menulis artikel di Estrilook.com seperti yang pernah saya lakukan di salah satu media online. Tapi ujian kecil datang di waktu yang hampir bersamaan. Waktu untuk menulis rasanya seperti tak ada atau tidak bisa saya buat ada. Atau mungkin saya yang kurang sungguh-sungguh mengusahakannya. Atau jangan-jangan menulis memang belum menjadi passion saya? Begitulah! Alasan kalau ditulis memang bisa sangat panjang. Bukankah akan selalu ada alasan untuk suatu "kegagalan"? Padahal alasan sebenarnya sederhana, saya sibuuuk dan sedikit malas. Tuh kan, beralasan lagi, haha... Tapi alasan terakhir benar-benar perlu diwaspadai. Hati-hati dengan virus "malas". Karena ini mudah sekali menyerang para emak seperti saya, hehe...

Sedikit flasback, tadinya saya tidak ada niat nyemplung ke dunia sosial media, termasuk "bermain-main" dengan blog. Saya memang lebih memilih untuk berkhidmat pada keluarga dan meletakkan urusan keluarga sebagai prioritas. ("Semua ibu dan istri sama kali, Maaak, bukan cuma situ doang, qiqiqi...") Tapi makin ke sini, tantangan yang saya hadapi sebagai ibu dan istri itu terasa kian berat. (Halah, kok jadi drama banget sih!) Mendapati suami sesekali mengisi waktu luangnya dengan ber-sosmed, jadilah saya kepingin juga. (Ngiri nih ye, hihi...) Ternyata ber-sosmed memberi hiburan tersendiri buat saya. Meski tak selalu bisa mengusir jenuh, menyimak status teman-teman di FB bisa juga meringankan beban dan membuat saya jadi lebih bersyukur. Alhamdulillah...

Dengan menyimak status teman-teman di FB, saya juga mulai belajar banyak hal, termasuk menulis. Awalnya saya hanya belajar menulis status. Ya, gampangnya biar pesan dari status yang saya tulis bisa sampai pada yang membaca. Tapi kemudian jadi galau juga. Kenapa yang mau saya tulis lebih banyak curhat-nya, ya? Lebih serius belajar menulis, agar tulisan tidak hanya berisi curhatan, saya pun bergabung dengan komunitas kepenulisan dan mulai ikut kelas menulis. Pertama kali yang saya ikuti adalah kelas menulis artikel. Dari ikut kelas itu saya jadi punya akun di Kompasiana. Salah satu tulisan sempat jadi trending topic pula. (Jadi bikin nagih buat terus menulis, hihi...) Tapi sepertinya itu keberuntungan sih, lebih karena tokoh yang saya tulis memang orang top. (Btw. saya masih kagum sama beliau nih sampai hari ini.)

Banyak keuntungan yang saya dapat dari bergabung dengan komunitas kepenulisan. Jadi lebih banyak teman yang memiliki ketertarikan sama untuk belajar menulis, itu pasti. Tapi yang paling menguntungkan adalah ilmu-ilmu kepenulisan yang mereka sebarkan di grup, luar biasa banyak dan selalu up to date. Mereka tidak segan berbagi ilmu, membuat saya jadi lebih semangat belajar menulis. Beberapa dari mereka ada yang memberikan ilmunya dengan membuka kelas-kelas gratis. Kalau sebelumnya saya mengikuti kelas berbayar untuk kelas menulis artikel, setelahnya saya berkesempatan mengikuti kelas gratis dan itu adalah kelas membuat blog. (Ah, emak paling suka kalau dapat yang gratisan, eh, saya aja kali, hihi...)

Alhasil, sejak awal tahun 2014 saya resmi punya blog. Sayangnya saya yang aslinya memang gaptek ini tidak serius ngeblog.  Jadi meski usia blog sudah lama, isinya banyakan zonk-nya, hehe... Kalau dilihat dari riwayat postingan blog, benar-benar deh, saya memang belum pantas disebut blogger. Sempat semangat ngeblog di kisaran tahun 2016, berkat ikut tantangan ODOP alias One Day One Post. Tapi setelah tantangan selesai seolah selesai pula kegiatan menulis saya. Ujung-ujungnya saya seperti mundur teratur dari dunia blog, lalu menyerah dengan berbagai alasan. Tahun 2017 dan 2018 menjadi tahun paling "mengenaskan" bagi blog saya. Dalam setahun hanya bisa posting 4 dan 2 tulisan. (Tepok jidat! Gitu mau ngaku blogger. Melasnya saya...)

Tapi, tentu saja saya tetap menyimpan bara semangat untuk suatu saat kembali menulis di blog. (Lebay! Biarin!) Kapankah waktu itu tiba? Mungkin saat ini. Saya memutuskan untuk mengikuti tantangan menulis blog untuk menjaga semangat menulis agar tetap onfire. Oya, meski lama tidak ngeblog, saya memilih untuk tetap bergabung dalam beberapa komunitas blogger. (Untung nggak ditendang dari grup, hihi...) Sejak awal tahun saya sudah ingin mulai ngeblog (lagi), tapi masih maju mundur mau ikut tantangan menulis. Karena biasanya tantangan yang ada adalah ODOP. Jujur, saya belum berani untuk saat ini. Rasanya akan terlalu berat buat saya, yang itu pasti lebih berat dari rasa rindu si Dilan. (Hayyah... makin lebay aja jadinya.)



Alhamdulillah, saya merasa beruntung bergabung dengan Estrilook. Meski bukan grup khusus blogger, Estrilook juga memberi ruang buat yang suka ngeblog. Beberapa kali Estrilook mengadakan tantangan ODOP. Tapi kali ini Estrilook memberikan tantangan baru dalam menulis blog yang friendly banget buat yang baru belajar ngeblog atau yang mau memulai ngeblog lagi setelah sekian lama "raib". Itulah kenapa saya memutuskan untuk ikut tantangan SETIP yang diadakan Estrilook. SETIP alias Seminggu Tiga Postingan, cocok banget kan buat yang "sedikit malas" menulis blog seperti saya. Harapannya SETIP ini bisa menghapus kemalasan dalam menulis blog, khususnya menghapus kemalasan saya, haha...

Jadi, ada yang sudah punya blog tapi masih punya "virus malas" buat mengisinya? Ayo, buruan ikutan SETIP bareng Estrilook. InsyaAllah, dengan SETIP ini menulis blognya nggak perlu terlalu ngos-ngosan, hihi... Yuuuk, ah, mumpung baru aja mulai. Masih banyak kesempataaan...


*Tulisan ini diikutsertakan dalam tantangan SETIP bareng Estrilook


#SETIP
#SemingguTigaPostingan
#KenapaIkutSETIP

Friday, February 1, 2019

Berbagi atau Bertanyalah (Bagian 1)

Suami yang terbaring di RS

Mendapat Kabar Duka

25 Januari 2018
Sore itu saya mendapat kabar dari rekan suami kalau suami tak sadarkan diri di kantornya. Saya yang ("merasa") paham betul "bagaimana" suami, cukup was-was. Fisik beliau cukup kuat, rasanya tidak mungkin kalau sampai tidak sadarkan diri. "Semoga tidak ada yang serius." Gumam saya mengusir kepanikan yang muncul sesaat.

Ya, beberapa detik panik itu sempat datang. Saya hanya bisa menghela napas. Berada jauh dari keluarga besar bersama 4 anak yang belum bisa ditinggal, saya harus berpikir cepat untuk bisa segera menemui suami yang sudah dibawa ke rumah sakit. Saya pun menghubungi seorang teman untuk datang lebih dulu ke RS sementara saya bersiap dan menyiapkan keperluan anak-anak.

Anak-anak sudah mandi semua, makanan buat mereka siap, dan si bungsu juga sudah dipuaskan ngASI-nya. Saya sendiri juga bersiap seperti saat saya bersiap menjelang suami pulang kantor. Saya tanamkan keyakinan dalam hati, "Saat tiba di RS, suami akan buka mata dan yang pertama kali dilihatnya adalah saya dengan penampilan terbaik saya." 

Iya, saya membangun optimisme sejak awal. Tiba di RS, suami masih di ruangan CT-Scan. Saya menunggu sambil sesekali menemui dokter jaga untuk menanyakan keadaan suami serta menyelesaikan beberapa urusan terkait administrasi. Sebagai orang "awam" medis, saya tidak punya cukup pengetahuan tentang kondisi suami. Saya pun mempercayakan suami kepada tim dokter yang menanganinya.

Kalau pun bertanya, pertanyaan saya sangat umum dan lebih mengandalkan logika pikir saya yang bukan seorang dokter. Pertanyaan seperti, apa yang terjadi dengan suami saya? Kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana saran dokter terhadap suami? Tindakan apa yang dibutuhkan oleh suami? Dan pertanyaan lain yang sebagian besar kesimpulan jawabannya adalah "sedang diobservasi".

Dari ruangan CT-Scan saya mendapati keadaan suami saya seperti sedang tertidur. Ketika tangan kanannya bergerak, saya mendekati dan membisikkan sesuatu kepada beliau. Ternyata beliau masih bisa mendengar perkataan saya. Bahkan beliau juga bisa merespon pertanyaan-pertanyaan saya dengan anggukan kepala atau menggeleng. Tapi beliau tidak berbicara dan tidak membuka mata.

Dari hasil laboratorium dan foto rontgent, saya mendapatkan penjelasan yang "memuaskan". Optimisme saya tetap terjaga hingga saya bertemu dengan dokter spesialis syaraf yang menyampaikan hasil CT-Scan. Dokter perempuan yang masih muda itu berkata kalau suami saya mengalami pendarahan.

Saya pun bertanya, "Apa yang memicu terjadinya pendarahan, Dokter?"
"Pasti karena trauma."
"Trauma bagaimana?"
"Trauma karena benturan, Bu. Bapak jatuh kan?"
"Oh, saya tidak tahu, Dokter. Karena Bapak tidak sadarkan diri di kantor. Tapi informasi yang saya dapat, Bapak tidak jatuh."
"Loh, ini infonya di sini (laporan medis pelapor yang membawa suami ke RS) Bapak jatuh."
"Coba nanti saya tanyakan lagi, Dokter. Tapi apakah ada kemungkinan pemicu lain selain benturan, Dokter?" Tanya saya karena saya yakin dengan informasi yang saya dapatkan bahwa suami saya tidak jatuh.
"Pasti karena benturan, Bu. Nggak ada sebab lainnya." 
Mungkin dokter menyampaikan pernyataan ini karena tensi darah suami yang normal, bukan karena sang dokter kurang pengalaman meski dia masih sangat muda.
"Ok, Dok. Jadi tindakan apa yang Dokter sarankan untuk suami saya?"
"Harus operasi, Bu. Tapi tunggu dulu, saya akan konsulkan hasil CT-Scan-nya ke dokter spesialis bedah syaraf."
"Baik, Dokter. Saya tunggu info selanjutnya."

Di sela-sela menunggu para dokter datang dan memanggil saya untuk menghadap, saya mulai menghubungi keluarga besar saya dan suami serta beberapa sahabat untuk meminta bantuan doa. Secara umum mereka semua menunggu kabar dan keputusan dokter terhadap suami saya. Ada beberapa saran tindakan non medis dari beberapa teman, tapi saya kesulitan untuk melakukannya sendiri.

*bersambung...