Thursday, March 14, 2019

Nikmati Nabeez dan Dapatkan Manfaatnya


Air Nabeez Kurma Sukari

       Sejak 25 Januari 2018, hari pertama saya menemani suami di rumah sakit -ketika beliau sakit-, saya jadi jarang merasa lapar. Pernah ketika menunggu itu, dalam sehari saya hanya makan seporsi bubur ayam yang sempat saya lupakan keberadaannya semenjak pagi. (Alhamdulillah belum basi.) Saya baru memakannya lewat tengah hari dan tidak makan apa-apa lagi hingga keesokan harinya. Mungkin karena pikiran saya lebih fokus kepada suami yang terbaring sakit serta empat anak yang saya tinggalkan di rumah. (Ah, pingin mewek kalau ingat, huaaa...)

       Ada cukup makanan di meja dan di dalam lemari kecil ruang rawat inap yang ditempati suami. Tapi saya seperti tidak punya waktu meski sekadar untuk melihatnya. Biasanya makanan-makanan buah tangan teman-teman dan kerabat suami itu lebih sering saya bawa pulang untuk diberikan kepada anak-anak. Ya, setiap malam sekitar pukul 21.00 - 22.00 saya biasanya pulang ke rumah, lalu kembali ke RS pagi harinya. Butuh waktu sekitar satu jam perjalanan naik mobil dari RS ke rumah. Lumayan jauh, tapi tetap saya lakukan demi si bungsu yang masih ngASI. (Mungkin seperti mimpi buat dia, karena setiap saya datang, dia biasanya sudah tidur, dan saya berangkat lagi sebelum dia bangun, hiks.)

       Makan saya memang tidak banyak, tapi menjadi lebih sedikit dan lebih jarang lagi sejak suami sakit. Apalagi sebelumnya saya memang biasa sarapan buah saja di pagi hari. Dengan mengunyah buah secukupnya di pagi hari, saya bisa lupa makan setelahnya. Kalau akhirnya saya memasukkan sesuatu ke dalam mulut untuk dimakan, itu karena saya ingat punya kewajiban untuk memenuhi hak tubuh saya. Apalagi saya yang fulltime mengurus suami sempat drop beberapa hari waktu itu. Alhamdulillah, ada yang membantu mengurus empat anak saya selama saya fokus mengurus suami.

       Dari RS, saya lanjutkan mengurus suami di rumah. Menjadi istri, teman bicara, dokter, perawat, ahli gizi, sekaligus terapis suami menjadi aktivitas rutin saya di rumah. (Akhirnya semua cita-cita di bidang kesehatan yang dulu pernah terlintas, terealisasi juga, huhu...) Meski anak-anak sudah ada yang mengurus, untuk beberapa keperluan terkadang mereka masih mencari saya. Sebesar apapun usaha saya untuk menikmati semua kesibukan itu, kadang-kadang tubuh saya merasakan lelah, minta diistirahatkan sejenak.

       Waktu terus berjalan, hingga tak terasa sudah mendekati ramadhan kala itu. Ketika saya membeli beberapa kebutuhan di toko langganan, tidak sengaja saya melihat kurma Tunisia. Sudah lama tidak makan kurma, saya pun membelinya sebungkus. Sengaja saya pilih yang banyak isinya karena itu adalah kurma kesukaan saya. Hingga saat itu, kurma Tunisia memang menjadi kurma favorit saya.

       Biasanya saya mengonsumsi kurma dengan cara dimakan biasa. Ternyata mengunyah 3 atau 5 atau 7 butir kurma cukup membutuhkan waktu buat saya yang kalau mengunyah makanan suka lama. Tiba-tiba saya teringat bahwa kurma bisa dinikmati dengan cara berbeda. Cara yang sama yang biasa dipakai Rasulullah dalam menikmati buah kurma. Sudah cukup lama saya mengetahuinya, tapi saya belum pernah mencobanya. Pembuatannya tidak jauh berbeda dengan proses membuat infused water. Yaitu dengan merendam buah kurma di dalam air atau biasa dikenal dengan sebutan Nabeez.

       Pertama kali membuat air nabeez, saya tidak memperhatikan lama waktu merendamnya, karena saya lupa kalau sedang menyiapkan nabeez. Begitu ingat dan mencicipinya, saya langsung jatuh cinta. Rasa air rendaman kurmanya enak, manis dari kurmanya berasa. Begitu juga rasa kurmanya, menjadi makin lezat karena manisnya sudah berkurang. Membuat kurma Tunisia matang yang sangat manis itu menjadi terasa seperti kurma Tunisia segar dengan rasa manis yang pas di lidah saya. Selain itu, teksturnya juga jadi sangat lembut sehingga lebih mudah dikunyah dan ditelan. Mengonsumsi nabeez benar-benar menjadi cara menikmati kurma yang lezat dan praktis.

Cara mudah membuat air nabeez

       Sejak saat itu, saya hampir selalu menyantap kurma dengan dijadikan nabeez terlebih dahulu. Memasuki bulan ramadhan, saya pernah lupa belum menyiapkan air nabeez, padahal waktu berbuka tinggal beberapa jam lagi. Untuk mempercepat proses kurma menjadi cepat lembek, saya pun menggunakan air panas. Dari sisi rasa dan lembutnya kurma, cara ini berhasil, tapi saya tidak tahu pasti bagaimana kadar gizinya. Apakah berkurang karena penambahan air pada suhu panas atau tidak. Jadi penambahan air panas saya lakukan hanya ketika kondisi darurat saja, demi bisa menikmati buah kurma dengan cara direndam air.

       Selain rasanya yang lezat, mengonsumsi air nabeez nyata terasa manfaatnya buat saya. Mata yang menjadi gelap saat saya tiba-tiba bangun dari posisi duduk yang pernah saya rasakan ketika lupa makan, tidak terasa lagi. Air nabeez benar-benar memberi saya cukup energi. Saya jadi tidak khawatir lagi meski lupa makan. Selama puasa, air nabeez menjadi solusi praktis sebagai sajian berbuka dan sahur. Berbuka dengan air nabeez yang dibuat dari 7 butir kurma mampu menyumbang kalori yang membuat saya kuat tidak makan hingga saat sahur tiba.

       Selain manfaat nyata yang sudah saya buktikan, masih banyak manfaat lainnya. Berikut ini beberapa di antara manfaat air nabeez yang saya rangkum dari berbagai sumber:
  1. Membantu Proses Detoksifikasi
  2. Membantu Proses Metabolisme
  3. Membersihkan Sisa Metabolisme
  4. Meningkatkan Fungsi Pencernaan
  5. Menurunkan Kadar Keasaman pada Lambung
  6. Menstabilkan Tekanan Darah
  7. Membantu Menghilangkan Kolesterol Jahat dalam Tubuh
  8. Membantu Meningkatkan Daya Tahan Tubuh
  9. Membantu Memperbaiki Masalah Hati dan Limpa
  10. Sangat Baik Dikonsumsi oleh Ibu Hamil dan Menyusui

       Alhamdulillah ... setelah hampir enam bulan saya tidak menikmati nabeez, kemarin saya bisa menikmatinya lagi. Kali ini saya tidak memakai kurma Tunisia, tapi memakai kurma Sukari, karena saya memang memesan kurma Sukari. Kalau dikonsumsi langsung, kurma Tunisia dan kurma Sukari terasa bedanya. Namun jika dijadikan nabeez, perbedaannya tidak terlalu kentara. Rasa lezat dan lembutnya kedua jenis kurma tersebut setelah direndam air beberapa jam, hampir sama.

       Sebetulnya sudah sejak lama saya ingin membeli kurma, tapi agak sulit juga mendapatkannya. Begitu ketemu di super market langganan, saya tidak jadi beli karena harganya kurang bersahabat buat saya. Entah memang harga kurma yang tinggi atau karena bukan bulan ramadhan jadi yang menyediakan kurma belum banyak sehingga harganya menjadi tinggi.

       Alhamdulillah lagi ... saya mempunyai teman fb yang menjual kurma secara online. Harganya mungkin tidak terlalu jauh berbeda dengan di pasaran, tapi jaminan kualitas yang ditawarkan membuat saya tertarik membelinya.

       Kualitas buah-buahan yang akan dikonsumsi sangat penting, lho, termasuk buah kurma. Saya beberapa kali membeli kurma dengan harga murah (karena memang mencari yang murah). Tampilan luar kurmanya memang bagus, tapi begitu dibuka, bagian dalamnya kering dan di sekitar bijinya terdapat binatang-binatang kecil. Meskipun bisa dibersihkan tapi kan bikin be-te pas mau makan. Kurma yang seperti itu menunjukkan bahwa kualitas kurmanya tidak bagus atau bisa karena kurmanya sudah beredar cukup lama.

       Selain membeli kurma, ternyata saya juga mendapat kesempatan untuk bergabung sebagai reseller. Ini kesempatan emas, saya pun memutuskan untuk bergabung, sehingga saya bisa memperoleh dua keuntungan. Yaitu mendapatkan kurma berkualitas dengan mudah dan memiliki kesempatan memulai usaha. (Bismillah ... mohon doanya semoga jadi usaha yang berkah ya, Mak.)

       Nah, teman-teman ada yang belum mencoba menikmati air nabeez? Sok atuh, dicoba dan rasakan manfaatnya. Cara bikinnya gampang banget, kan? Kalau kesulitan mendapatkan buah kurmanya, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi saya. (*eh, hehe... sengaja...) Tapi kalau tidak mau ketagihan sih sebaiknya memang tidak perlu mencoba, haha... 


*tulisan ini diikutkan dalam tantangan SETIP bersama Estrilook

#SemingguTigaPostingan
#day10

Saturday, March 2, 2019

Seperti Apa Makna Rasa Kehilangan Bagimu?


Bersama ayah di Taman Nasional Baluran

Anak ke-4 bikin saya baper habis hari ini. Sudah biasa sih dia bikin saya baper lewat obrolan-obrolan kami tentang ayahnya, tapi tidak sebanyak hari ini. 

Kebaperan ini berawal dari keinginan si bungsu naik mobil. Si bungsu aka anak ke-5 yang biasa saya ajak wira-wiri kesana kemari rupanya kangen ingin naik mobil setelah hampir sepekan saya tidak mengajaknya kemana-mana. Jadilah tadi sore saya ajak dia dan dua kakaknya (anak ke-4 dan anak ke-3) ke rumah mbahyut-nya alias nenek saya. Jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 1 km saja dari rumah.

Namun perjalanan itu melewati satu area pemakaman dan terjadilah obrolan yang bikin saya baper.

A4: "Ayah ada di sana ya, Bun?"
A3: "Ayah kan juga dimakamkan."
Me: "Ayah sudah dimakamkan, tapi bukan di sana. Adik Nuha sudah tiga kali ke makam ayah."
A3: "Aku nggak diajak."
Me: "Iya, nanti kalau kita ke Malang, kita ke makam ayah."

A4 alias anak ke-4 diam saja, tapi seperti biasa, dia pasti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin dia sedang membayangkan hari-hari indah bersama ayahnya... (*saya mewek.)

Perjalanan berlanjut. Akhirnya anak ke-4 berkata lagi setelah dia sempat diam beberapa saat.

A4: "Aku kalau sudah tidur sering menangis."
A3: "Kok tahu, kan sudah tidur?"
A4: "Kalau mau tidur."
Me: "Kenapa, Mas?"
A4: "Ingat ayah."
Me: "Setiap mau tidur jangan lupa doakan ayah, ya..."

Lagi-lagi, ini tentang ayahnya. Anak ke-4 memang paling sering menanyakan ayahnya dan menyampaikan kerinduannya. Itulah obrolan kedua yang bikin saya baper hari ini. (*yaaa, saya mewek lagi dah.)

Obrolan ketiga yang bikin saya baper habis, terjadi menjelang anak ke-4 pergi tidur.

A4: "Kalau kita sudah meninggal semua, kita nanti dilahirkan lagi ya, Bun?"
Me: "Kenapa, Mas?"
A4: "Kita nanti kan akan meninggal juga kayak ayah, terus nanti kita semua apa akan dilahirkan lagi?"
Me: "Nggak dilahirkan lagi, Mas. Setiap hari akan selalu ada yang dilahirkan dan ada yang meninggal. Tapi nanti kita akan dihidupkan lagi."
A4: "Berarti bisa ketemu ayah?"
Me: "InsyaAllah ... kita akan bertemu ayah dan kita semua akan berkumpul di surga."
A4: "Aku sudah pingin ketemu ayah."
Me: "Ayo kita berdoa buat ayah. Semoga nanti kita bisa bertemu ayah dalam mimpi."

Begitulah anak ke-4 yang seringkali menyampaikan kerinduannya kepada sang ayah dan selalu sukses membuat saya mewek, seperti saat ini. Apalagi setelah melihatnya tertidur lelap, saya tidak bisa lagi menahan air mata dan akan menangis diam-diam.

Anak ke-4 ... usianya baru saja enam tahun ketika suami saya meninggal. Seperti anak kecil lainnya, dia sempat bermain-main di sekitar jasad ayahnya. Dia juga sempat menolak saat diminta mendekati ayahnya. Tapi akhirnya dia mau mendekat dan mencium pipi ayahnya. Setelah itu dia pun bermain-main lagi. 

Saat ayahnya akan dibawa ke pemakaman, rupanya dia sedang bermain di rumah sebelah dan baru kembali saat suami saya sudah di pemakaman. 

Dia pun bertanya, "Ayah ke mana?"
"Ayah sudah dibawa ke pemakaman, Sayang," jawab saya sambil memeluk dan menciumnya. 
Saya tidak memikirkan apakah dia paham ucapan saya atau tidak kala itu.

Malam harinya dia dibawa mbah-nya kembali ke kampung, sementara saya tetap tinggal di kota tempat suami saya menghembuskan nafas terakhirnya. Saya baru bertemu dia lagi sebulan lebih kemudian. 

Hal pertama yang diungkapkannya tentang kepergian ayahnya saat bertemu saya adalah keinginannya untuk meninggal sebentar saja agar bisa bertemu ayahnya. Ketika itulah saya tahu bahwa dia sangat merindukan ayahnya. Ayah yang sejak dia lahir hingga usianya enam tahun, hampir selalu hadir mengisi hari-harinya. Bukan berarti anak-anak yang lain tidak begitu. Hanya saja, anak ke-4 ini lahir saat suami saya memiliki banyak waktu di rumah hingga usianya satu tahun. Tahun-tahun berikutnya suami saya mulai bekerja dengan jam kerja yang longgar sehingga tetap mempunyai lebih banyak waktu bersama anak-anak.

Dia juga sempat mengungkapkan rencana kehidupan ke depan yang mirip atau bahkan sama dengan perjalanan hidup ayahnya. Dia mengatakan bahwa setelah lulus dari TK dia akan sekolah SD, SMP, SMA, kuliah, lalu menikah, dan kemudian meninggal, jadi bisa bertemu ayahnya di surga. 

Selama saya tidak bersamanya, dia biasa menanyakan tentang ayahnya kepada buliknya. Ternyata dari buliknya dia mendapat penjelasan bahwa ayahnya sudah lebih dulu ke surga dan nanti kalau dia sudah besar, sudah sekolah seperti ayah baru bisa bertemu ayah di sana. Maksud buliknya tentu untuk memotivasi dia agar rajin ke sekolah. Namun rupanya dia berpikir bahwa setiap manusia akan memiliki siklus yang kurang lebih sama seperti yang dialami ayahnya. Sepertinya karena hal ini juga dia jadi begitu takut saya tinggal. 

"Ah, anakku. Engkau mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang engkau tahu hanyalah rindu dan keinginan untuk bertemu. Namun engkau mampu memaknai arti rasa kehilangan."

Bersama ayah di lokasi wisata Jeep Lava Tour Merapi

Pesan bunda untukmu, Nak.
Teruslah kau mengenang ayahmu. 
Kenanglah hari-hari indah yang dilaluinya bersamamu. 
Tirulah semangatnya dalam menuntut ilmu. 
Teladanilah sosoknya yang gemar membantu. 
Itu tidak akan sulit bagimu. 
Karena darahnya mengalir dalam darahmu.



#SemingguTigaPostingan
#day9