salah satu sudut perkampungan masyarakat Baduy luar
Baduy adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat adat sub etnis Sunda yang tinggal di pedalaman pegunungan di kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Masyarakat Baduy dikenal dengan komitmennya dalam menjaga kelestarian alam dan memegang tradisi yang mereka anut secara turun temurun. Begitu kuatnya dalam memegang tradisi sehingga bisa dikatakan bahwa mereka meng-"isolasi"-kan diri mereka dari dunia luar. Terutama masyarakat Baduy dalam, yang hampir menolak apa pun yang datang dari luar. Dengan adanya obyek wisata kampung masyarakat Baduy, kini orang-orang dari luar Baduy sudah bisa mengenal masyarakat Baduy dan budayanya dari dekat.
Bagi yang belum pernah menjejakkan kaki di perkampungan Baduy, berikut ini sedikit informasi tentang Baduy dan budayanya, rangkuman hasil kunjungan saya.
Baduy terbagi menjadi
Baduy dalam dan
Baduy luar. Orang-orang Baduy dalam bisa dikenali dari pakaiannya yang berwarna
putih dengan ikat kepala putih, dan bawahan para prianya yang serupa
sarung, dengan panjang tidak sampai selutut, yang juga berwarna putih.
Sementara orang-orang Baduy luar pakaiannya hitam, dan bawahannya sudah
menggunakan celana yang panjangnya sedikit melewati lutut.
Perkampungan Baduy luar berbatasan langsung dengan perkampungan
non Baduy, sementara perkampungan Baduy dalam letaknya lebih jauh ke dalam. Namun kedua perkampungan itu sama-sama tidak ada yang dialiri listrik, lebih tepatnya sih, tidak boleh ada listrik. Bahkan penerangan lainnya pun juga tidak ada, baik siang maupun malam hari. Namun, justru gelapnya perkampungan Baduy saat malam hari inilah yang menjadi salah satu keunikan yang banyak dicari oleh pengunjung wisata kampung masyarakat Baduy. Jika ingin merasakan hidup tanpa listrik yang tidak dibuat-buat, maka datang dan bermalamlah di kampung Baduy. Untuk bermalam bisa menghubungi tetua kampung. Mereka tidak menetapkan tarif, namun berkisar antara Rp.100.000,- hingga Rp.300.000,- per malamnya, tergantung jumlah orang yang bermalam dalam satu rumah.
Untuk sampai di lokasi Kampung Wisata Masyarakat Baduy, ada beberapa
jalur yang bisa dilalui, dengan pemberhentian yang sama, yaitu Terminal
Ciboleger. Saya dan suami memilih untuk masuk Ciboleger melalui kota
Rangkasbitung. Dari kota Rangkasbitung, kami mengikuti rambu penunjuk
arah menuju Leuwidamar. Sampai di pertigaan depan pos polisi Leuwidamar,
karena kami menggunakan kendaraan kecil, kami mengambil arah ke kanan.
Namun untuk kendaraan besar seperti bus, biasanya akan diarahkan untuk
lurus.
berpose di sisi tugu yang ada di terminal Ciboleger
Terminal
Ciboleger adalah tempat pemberhentian semua kendaraan pengunjung kampung wisata masyarakat Baduy. Di sekitar terminal ada mini
market dan toko-toko yang menjual makanan ringan. Ada juga beberapa warung makan dengan aneka masakan yang bisa jadi pilihan pengunjung yang ingin menambah
isi perut sebelum berjalan kaki naik-turun gunung menuju kampung wisata masyarakat Baduy.
Setelah melewati gerbang kampung Baduy, kita sudah bisa langsung menikmati suasana perkampungan masyarakat Baduy beserta aktivitas warganya. Rumah bambu yang cantik, dengan peralatan tenun yang menghiasi teras-teras rumah masyarakat Baduy, beserta para wanitanya yang sedang menenun, menjadi pemandangan yang sangat menarik. Karena lokasinya yang berada di bagian terluar, di depan rumah mereka juga dipajang kain-kain cantik hasil tenunan mereka yang bisa dibeli oleh pengunjung.
melihat wanita Baduy yang sedang menenun di teras rumah
kain dan selendang hasil tenunan wanita Baduy
Menyusuri perkampungan masyarakat Baduy, di sekitarnya kita akan banyak
melihat rumah-rumah bambu berukuran kecil dengan satu daun pintu kecil yang terletak di bagian atas. Pintu itu hanya bisa dijangkau dengan menggunakan tangga. Rumah kecil itu adalah
Leuit, yang merupakan lumbung padi milik masyarakat Baduy. Menumbuk padi menjadi beras adalah aktivitas lain wanita Baduy di samping menenun. Menenun dan menumbuk padi menjadi dua keahlian yang wajib dikuasai wanita Baduy. Hmm, kedua aktivitas itu memang berhubungan erat dengan kebutuhan dasar manusia, yaitu makan dan berpakaian.
berpose di depan sebuah Leuit
Antara kampung masyarakat Baduy yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh jalanan setapak yang tersusun dari bebatuan. Karena merupakan daerah pegunungan, jarang ada jalanan yang rata. Kalau tidak menanjak, ya, menurun. Bahkan beberapa ada yang cukup curam. Dan beberapa bagian jalan yang curam ada yang dibuat berundak seperti tangga, untuk memudahkan saat mendaki dan menurun.
jalanan bebatuan yang sebagiannya dibuat berundak
Dari kampung terluar, jarak yang harus ditempuh untuk sampai kampung berikutnya cukup membuat saya berkeringat dan
ngos-ngosan. Kampung berikutnya setelah kampung terluar adalah
Balimbing. Pada kunjungan saya kali ini, Balimbing menjadi kampung terakhir yang bisa saya jangkau. Balimbing masih termasuk bagian dari kampung Baduy luar. Lokasi Baduy dalam masih lebih jauh ke dalam hutan.
suasana kampung Balimbing dan anak-anak kecilnya yang sedang bermain
Semua bangunan rumah masyarakat Baduy, baik luar maupun dalam, sama-sama terbuat dari anyaman bambu. Salah satu pembeda rumah Baduy dalam dan Baduy luar adalah pintunya. Rumah masyarakat Baduy dalam hanya memiliki satu pintu yang letaknya di samping dan harus menghadap ke utara atau selatan. Sementara Baduy luar banyaknya pintu dan letaknya sudah seperti rumah-rumah pada umumnya. Ada pintu depan, pintu samping, bahkan pintu belakang. Di beberapa rumah Baduy luar masih bisa didapati alat-alat elektronik sederhana seperti jam dinding, yang tidak mungkin bisa ditemui di rumah orang-orang Baduy dalam. Karena adat yang berlaku di Baduy dalam
melarang benda apa pun dari luar masuk ke Baduy dalam. Di kampung Baduy luar, beberapa rumahnya juga sudah ada yang dilengkapi dengan sarana MCK.
bagian dalam salah satu rumah di Baduy luar
Antara Balimbing dan kampung berikutnya, yaitu kampung Gazebo, terdapat sungai yang cukup besar yang biasa digunakan sebagai tempat mandi dan cuci oleh masyarakat Baduy. Meski daerah pegunungan, ketersediaan air di sekitar perkampungan masyarakat Baduy sangat memadai. Justru kondisi hutan yang terjaga membuat kualitas air sangat baik dan terasa segar saat diminum.
sungai yang melintasi Balimbing dan Gazebo
Kaum pria suku Baduy biasa melakukan perjalanan, salah satu tujuannya adalah kantor pemerintahan untuk menghadap pada bupati dan menyerahkan hasil bumi mereka. Kebiasaan ini dikenal dengan Seba Baduy. Orang-orang Baduy melakukannya perjalanan itu dengan berjalan kaki, sesekali yang dari Baduy luar melakukannya dengan menaiki kendaraan. Namun orang-orang Baduy dalam
hanya melakukannya dengan berjalan kaki.
Hal lain yang unik pada orang-orang Baduy adalah mereka biasa menikah di usia muda. Jadi jangan heran jika mendapati wanita suku Baduy yang masih terlihat belia (remaja) sudah menggendong bayi. Dan orang-orang Baduy hanya boleh menikah dengan orang Baduy juga. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian suku Baduy. Jika ada yang "memaksa" mau menikah dengan orang luar suku Baduy, maka mereka harus keluar dari kampung Baduy dan melepas status sebagai bagian masyarakat Baduy. Termasuk jika orang dari Baduy dalam menikah dengan orang dari Baduy luar, maka orang tersebut (Baduy dalam) sudah tidak boleh lagi menetap di kampung Baduy dalam. Namun mereka masih bisa saling mengunjungi.
Demikian sedikit informasi yang bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat, dan selamat menjejakkan kaki di
Kampung Wisata Masyarakat Baduy.