"Tidaklah Allah memberi ketetapan pada kita, melainkan ketetapan itu pastilah yang terbaik untuk kita."
Bagi saya, ungkapan itu bukan ungkapan sederhana. Mungkin mudah untuk memahami maksudnya, namun setiap kali ketetapan Allah datang menghampiri saya, selalu saja memunculkan respon yang sedikit berbeda pada awalnya. Meskipun pada akhirnya saya bisa menerima ketetapan itu dan mengembalikan semuanya hanya pada Allah. Karena itulah, saya tidak berhenti untuk selalu mengingat ungkapan itu dan terus menerus menanamkan keyakinan di dalam hati, bahwa setiap ketetapan Allah buat saya, pastilah baik buat saya.
Begitu pula halnya saat saya dan suami mengalami kejadian yang di luar kuasa kami sekitar dua bulan yang lalu. Kala itu kami dalam perjalanan kembali dari Malang menuju Jakarta. Di tengah perjalanan, karena rasa lelah dan kantuk yang tidak dapat ditahan, suami memilih berhenti untuk istirahat. Saya yang memang sudah lebih dulu terlelap beberapa saat sebelum berhenti, dalam keadaan setengah tersadar sempat bangun, namun akhirnya tidur lagi. Sementara suami saya, sudah bisa dipastikan dia tidur, karena memang berhenti tujuannya untuk tidur.
Beberapa saat kemudian saya terbangun. Dan entah secara tiba-tiba perasaan tidak enak muncul sembari saya langsung membangunkan suami dan menanyakan dimana
handphone-nya. Setelah dicari tidak juga ditemukan, saya pun menanyakan dimana dompetnya. Tidak biasanya, dompet itu justru ada di depan saya, dan benar saja, uangnya sudah tidak ada. Alhamdulillah, semua kartu masih lengkap, meski uang yang tidak seberapa itu hilang, karena memang suami jarang bawa uang banyak. Biasa, saya bendaharanya. Jadi saya yang pegang uang. Kalau suami butuh membeli sesuatu, tinggal minta ke saya. Dan HP yang raib juga HP jadul yang
chasing-nya terdiri dari tiga unsur.
Body bawaan HP yang asli,
keypad dan bagian belakang berasal dari HP saya yang sudah rusak namun satu tipe, dan bagian depan adalah
chasing hasil beli yang bagian lainnya sudah rusak. (Hehe..., komplit rusaknya, dijamin nyesel deh yang ngambil...)
Setelah beberapa saat terdiam dan tidak habis pikir peristiwa itu bisa terjadi, mengingat kami berhenti di sebuah pom bensin, saya minta suami untuk mengecek tas yang ada di jok belakang. Setelah jok belakang di-
ubek-ubek sampai ke bawah, ternyata tas suami raib, tentu saja bersama seluruh isinya. Di dalamnya ada laptop (yang
batray-nya bermasalah), alat tulis suami untuk mengajar, dan satu set pakaian suami, lengkap dari luar sampai dalam. Tapi alhamdulillah..., mungkin karena tampangnya yang lusuh dan bagian luarnya terdapat tulisan Pondok Pesantren Ibnu Abbas (tas itu memang dari PPIA ketika anak saya ikut PPDB di sana), tas yang berisi barang-barang saya tidak dibawa. Padahal isinya juga laptop (malah lebih bagus dari milik suami), dan ada kamera digital. Dompet saya yang berada di tengah, di sisi
hand rem dan tidak sengaja tertutupi
sweater suami, juga masih ditakdirkan tetap menjadi milik kami. Begitu juga tablet saya yang sebelum kejadian saya simpan di
dashboard, mungkin juga belum waktunya pindah tangan. SubhanAllah...
Adakah yang tidak harus kami syukuri? Rasanya terlalu banyak nikmat yang Allah berikan dibalik peristiwa itu. Nikmat paling besar yang kami rasakan adalah, dua anak kami yang tertidur lelap di kursi tengah masih Allah percayakan untuk berada dalam pengasuhan kami. Kami menganggap peristiwa itu sebagai pengingat agar kami mau (kembali) berbagi dengan sesama, dan lebih hati-hati dalam menjaga amanah yang Allah titipkan pada kami. Dan kami juga menganggap bahwa segala sesuatu yang hilang dan terlewat dari kami, mungkin sejatinya memang bukan ditetapkan untuk diamanahkan kepada kami. Insya Allah ada orang lain yang lebih amanah dan lebih bisa menjaga barang-barang itu.
Dan bagi saya pribadi, dengan hilangnya laptop suami, maka saya harus mengikhlashkan laptop saya sementara waktu dipakai oleh suami sampai suami bisa membeli laptop yang baru. Belum bisa dipastikan kapan, karena masih banyak kebutuhan lain yang perlu diprioritaskan. Alhasil waktu yang biasanya saya habiskan di depan laptop jadi berkurang. Karena saya hanya bisa menggunakan laptop itu di atas jam 10 malam atau pada hari minggu saja. Sementara di hari-hari biasa hanya bisa digunakan pas suami tidak mengajar atau laptop sedang tidak dibutuhkan oleh suami (seperti saat ini). Sehingga waktu-waktu yang biasa saya habiskan di depan laptop bisa saya manfaatkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang tertunda penyelesaiannya, seperti menyetrika. Saya juga bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak-anak. Alhamdulillah...
SubhanAllah, ternyata dari kejadian yang "kurang menyenangkan" itu, masih ada nikmat yang bisa kita rasakan, dan dari setiap peristiwa yang Allah tetapkan bagi kita pasti ada hikmah di baliknya. Jadi, tetaplah bersyukur dengan semua keadaan yang Allah tetapkan bagi kita.