Wednesday, July 8, 2015

Hati-hati Saat Sholat Berjamaah


Selama tarawih, dari malam pertama hingga tadi malam, saya dapati, ada saja jamaah yang tidak sabar saat mengikuti gerakan imam.
Saya tahu, karena jamaah itu berada tidak jauh atau bahkan bersebelahan dengan saya.

Ketika imam mengucapkan takbir pada setiap gerakan sholat, tunggulah hingga imam sempurna mengucapkan takbir itu, barulah kita sebagai makmum mengikutinya dengan takbir pula.
Kebayang tidak, saat imam baru mengucapkan, "All...", lalu kita sebagai makmum langsung mengikuti dengan juga mengucapkan takbir sebelum imam sempurna mengucapkannya.
Padahal takbir imam cukup panjang, "Allaaaaaahu Akbar", sementara takbir kita singkat, "Allahu Akbar".
Jika tidak hati-hati, bukannya mengikuti imam, kita justru telah mendahului gerakan imam.
Menunggu imam mengucapkan takbir hingga sempurna, tentu berbeda dengan berlambat-lambat dalam mengikuti gerakan imam, hingga jauh tertinggal.

Yang juga perlu mendapat perhatian adalah pada saat gerakan salam.
Pastikan kita sebagai makmum menunggu setidaknya hingga salam pertama imam sempurna diucapkan, barulah kita mengikuti mengucapkan salam dengan "tempo" yang tidak jauh berbeda dengan imam.
Karena biasanya imam gerakannya santai dan pelan.
Berbeda dengan makmum yang antara salam pertama dan keduanya seperti tidak ada spasi.

Beberapa kali saya mendapati seorang makmum yang melakukan gerakan salam saat imam belum sempurna mengucapkan salam pertamanya.
Dan kebanyakan dari mereka yang melakukan itu, akan melanjutkan gerakan salam keduanya tanpa peduli lagi apakah imam sudah mengucapkan salam keduanya atau belum.

Alih-alih menjadi makmum sholat dengan mengikuti gerakan imam, kita sudah selesai tengok kanan tengok kiri, ternyata imam baru mengucapkan, "assalamu'alaikum" untuk salam keduanya.
Astaghfirullah...

Seberapa penting mengikuti gerakan imam dalam sholat berjamaah?

Simak saja hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, berikut:

"Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, merasa takut sekiranya Allah mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau Allah menjadikan rupanya sebagai rupa keledai’.

Jadi, sebagai kehati-hatian kita saat sholat berjamaah, ingat-ingat pepatah nJawa (kata saya) ini ya:
- - - Ngikuti Imam BUKAN Mbarengi Imam - - -

Lebih baik bersabar beberapa saat menunggu imam sempurna bacaan takbirnya, daripada kita kehilangan pahala sholat berjamaah dan Allah mengganti kepala kita dengan kepala keledai, bukan?
Kalau gerakan makmumnya serempak mengikuti imam yang telah menyempurnakan gerakannya, kan sholat berjamaahnya juga jadi indah...

*Yuk, sempurnakan sholat berjamaah kita!

Sunday, June 28, 2015

Ini Jilbab Kakakku


"Kata teman-temanku, aku pakai jilbabnya orang tua. Aku bilang, 'nggak lho... ini jilbab kakakku,'" kata putri saya (6 tahun) sepulang buka bersama di sekolahnya.

Saya tersenyum sambil memberi dua jempol dan bilang, "hebat!"

"Betapa lugunya kamu nak?" batin saya. Sepertinya dia betul-betul tidak mengerti kenapa teman-temannya berkomentar demikian terhadap jilbab besar yang dipakainya. Sehingga dia memberi jawaban jujur bahwa jilbab itu adalah milik kakaknya. Setelan gamis dan jilbab itu memang milik kakaknya, yang hanya terdiri dari dua warna, tanpa aksesoris, namun dengan model yang (menurut saya) masih tergolong anak-anak.

Bermula ketika dia masih di TK, ada hari yang temanya adalah hari abu-abu. Jadi siswa dianjurkan memakai baju warna abu-abu, sementara bagi yang tidak punya tetap memakai seragam sesuai hari tersebut. Putri saya kebetulan juga tidak punya, tapi kakaknya punya baju warna abu-abu. Setelah saya coba pakaikan baju kakaknya, ternyata hanya kepanjangan sedikit saja. Untuk menyenangkan putri saya dengan warna baju sesuai tema hari itu, saya menjahit satu bagian dari baju tersebut sehingga cukup untuk dia pakai.

Setelah baju itu dipakai, saya tidak langsung melepas jahitannya. Hingga tiba waktunya putri saya buka bersama di sekolah barunya yang tidak lagi di TK, melainkan sudah SD kelas satu. Dan saya memilihkan baju itu untuk dia pakai ke sekolah. Putri saya tidak menolak, karena memang dia suka meniru gaya berpakaian saya, termasuk memakai jilbab (sedikit) besar. Bahkan ketika saya memakai jilbab segi empat, dia ingin memakainya juga. Saya pun membuatkannya jilbab instan yang ketika dipakai seperti jilbab segi empat. Awalnya dia protes, karena maunya persis seperti saya, yang memakainya harus menggunakan peniti. Dengan sedikit penjelasan saya, bahwa peniti itu bisa berbahaya, barulah dia mau memakainya.

Berbeda dengan kakaknya yang sekarang sudah kelas lima SD. Meski keduanya sama-sama saya biasakan untuk memakai jilbab saat keluar rumah, namun kadang-kadang kakaknya menolak memakai jilbab besar. Saya tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi batasan melewati dada tetap tidak boleh dilanggar. Dan saat ramadan seperti sekarang ini, kakaknya justru lebih sering memilih jilbab besar. Karena dengan jilbab itu, dia tidak perlu lagi membawa mukenah untuk dipakai sholat. (Hmm, dia mulai berpikir tentang ke-praktisan rupanya.)

Tentang jilbab, tidak bisa dipungkiri, bahwa sebelum wanita berjilbab sebanyak sekarang, dulu jilbab atau kerudung itu memang identik dengan orang tua atau mereka yang sudah bergelar hajjah. Dan khusus jilbab besar, masih banyak orang islam sendiri yang menganggap bahwa itu hanyalah gaya berjilbab wanita muslimah dari golongan atau aliran tertentu saja, bukan dipandang sebagai gaya berpakaian muslimah yang umum, apalagi muslimah Indonesia. Tidak sedikit pula yang menyudutkan muslimah yang berjilbab besar. Padahal, jilbab besar mereka sama sekali tidak mengganggu dan merugikan pihak lain.

Kembali pada kejadian yang dialami putri saya dengan jilbab besarnya, bagaimana komentar tentang jilbab itu bisa muncul dari teman-temannya yang usianya masih berkisar 6-7 tahun itu? Melihat gaya dan model anak-anak itu berpakaian muslimah, terutama bentuk dan ukuran jilbabnya, ini yang bisa saya simpulkan:
  1. Mungkin mereka pernah melihat bahwa yang memakai gaya berjilbab seperti itu hanyalah orang-orang tua saja, sementara anak kecil tidak. 
  2. Atau mungkin orang tua mereka gaya berjilbabnya seperti itu, tapi mereka dipakaikan jilbab dengan gaya yang berbeda dengan orang tuanya, sehingga mereka menganggap bahwa gaya berjilbab seperti itu hanya untuk orang yang sudah tua saja.
  3. Atau mungkin juga karena memang warna dan modelnya bagi mereka mungkin dianggap "tidak menarik" dan hanya cocok dipakai oleh orang tua.
Tapi apapun alasannya, yang terpenting bagi saya adalah bagaimana putri saya menanggapi komentar teman-temannya. Saya merasa lega dengan jawaban putri saya. Yang berati bahwa putri saya tidak merasa minder dengan jilbab yang dipakainya. Dan ketertarikannya untuk tetap meniru penampilan saya, semoga menjadi modal pe-de bagi dia saat memakai busana muslimahnya, sebelum dia benar-benar bisa memahami bagaimana berbusana muslimah yang syar'i.