Monday, March 21, 2016

Doa dan Harapan Bunda

Hari jumat pekan lalu, seharusnya menjadi jumat kelima anak keempat saya ikut sholat jumat ke mesjid. Tapi batuk pileknya lumayan mengganggu--meler sangat, sehingga saya mencegahnya ikut. Karena saya khawatir "pileknya" akan mengganggu kehusyukan sholat ayahnya.

Anak keempat saya--laki-laki, usianya empat tahun september nanti. Tentu sholat jumat menjadi ibadah wajib baginya saat besar nanti. Saya sudah merencanakan sejak jauh-jauh hari untuk memulai pembiasaan pergi ke mesjid ini sedari dini. Tadinya kisaran usia lima tahun, akan saya pilih sebagai awal dia memulainya. Namun, lima jumat yang lalu, hal itu sudah mulai dilakukan.

Satu hal yang ingin saya ajarkan kepada anak laki-laki saya ini. Yaitu dia mengerjakan sesuatu--yang baik, karena dia memang ingin melakukannya. Bukan karena terpaksa dan dipaksa. Apalagi urusan pergi ke mesjid untuk sholat jumat. Sebisa mungkin harus karena keinginannya sendiri. Seperti yang terjadi lima jumat lalu.
"Ayah, mau ke mana?" tanya anak saya, dimana dia memang sudah biasa melihat ayahnya ke mesjid.
"Ya, ke mesjid laaah!" jawab ayahnya.
"Adik, mau ke mesjid juga?" tanya saya tanpa ada maksud apa-apa. Yang biasanya saya lanjutkan dengan mengatakan, "Nanti, ya, kalau sudah besar."
Tapi saat itu saya tidak melanjutkan dengan kata-kata yang sama, dan dia minta untuk ikut. Karena dia pas barusan mandi, masih wangi dan memakai baju rapi, ayahnya memilih untuk menurutinya. Dan ternyata, kesan ke mesjid hari jumat untuk pertama kalinya ini, benar-benar "menggoda". Jadilah jumat-jumat berikutnya dia kembali ikut dan ikut lagi, hingga jumat keempat.

Mungkin itu hal yang biasa dilakukan oleh para orang tua untuk melatih pembiasaan yang baik bagi anak-anak. Saya pun begitu. Tidak hanya itu, saya ingin anak-anak tidak hanya terbiasa melakukan kebiasaan-kebiasaan baik, tapi juga memiliki kemampuan menjaga untuk tetap selalu melakukannya. Atau bahasa kerennya, istiqomah. Termasuk dalam urusan sholat.

Bacaan-bacaan tentang biografi para sahabat dan tokoh-tokoh islam dunia, banyak mempengaruhi harapan-harapan saya terhadap anak-anak. Juga dalam hal keitiqomahan, yang saya begitu terkesan dengan sosok Sultan Muhammad al Fatih yang sholatnya selalu terjaga sejak usia belianya. Dan itulah yang saya harapkan pada anak laki-laki saya. Harapan-harapan besar yang tidak cukup hanya dengan pembiasaan saja, tapi juga dibutuhkan doa dari kedua-orangtuanya.

"Anakku, meski di jumat kelima kemarin, ikut ke mesjidnya harus tertunda karena bapil, semoga jumat-jumat selanjutnya Allah senantiasa memberikan kesehatan padamu, dan memudahkan langkahmu menuju mesjid-Nya. Amin..."


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#15

Thursday, March 17, 2016

Belajar dari Pengalaman

sekali bisa menaklukkan ombak, anak-anak akan mengulanginya lagi,
dan mereka pun jadi tahu, kapan harus melompat menghindari hempasan ombak

Pernah mengalami kejadian yang sama, di tempat yang sama, lebih dari sekali? Hal yang sangat mungkin bisa terjadi. Kalau kejadiannya menyenangkan sih, it's ok waelah. Tapi bagaimana dengan kejadian yang tidak menyenangkan? Hmm, sepertinya kalau kejadian yang tidak menyenangkan sampai terjadi lebih dari dua kali, kita benar-benar sedang butuh kehati-hatian ekstra. Kenapa begitu?

Ingat pepatah "keledai tidak akan terperosok dua kali di lubang yang sama"? Pepatah lama ini pantas rasanya untuk dijadikan bahan renungan. Kalau keledai saja bisa menghindar untuk tidak terperosok lagi di lubang yang sama, seharusnya kita kan bisa lebih pintar dari keledai. Apalagi keledai sudah biasa diidentikkan sebagai binatang yang bodoh. Nah, lho! Hihi...

Saya jadi ingat kejadian semalam. Tadi malam, untuk kali kedua saya memasuki ibu kota Jakarta dengan roda empat tanpa ditemani suami. Pada kali pertama, saya masuk ibu kota pada hari sabtu, hari dimana beberapa kantor tidak buka, alias libur. Saya kira lalulintas bakal sepi, tapi ternyata sama saja--macetnya. Karena tadi malam hari efektif, pastinya lalulintas bakal padat. Dan ternyata memang beneran padat, walau tidak di semua titik. Entah sudah biasa, atau hanya tadi malam, di titik-titik yang padat, beberapa polisi nampak berjaga-jaga.

Sampailah saya di sebuah pertigaan yang jalannya ada tiga lajur. Karena saya mau lurus, saya memilih lajur yang di tengah. Maksud hati agar aman dan tidak mengganggu kelancaran lalulintas. Tapi siapa sangka, ternyata dua lajur kanan dikhususkan untuk kendaraan yang akan berbelok ke kanan. Saya pun pasang aksi, menyalakan reting kiri untuk berjalan lurus. Dan tiba-tiba, "priiit..." suara pluit polisi mengagetkan saya. Ups! Jadi kena tilang deh, hihi...

Selama berkendara, hal yang sama pernah saya alami, tapi di tempat berbeda dan memang belum pernah disemprit polisi. Saya tidak terlalu mengerti "peraturan" yang macam begitu. Kalau kata pak polisi, tindakan saya itu mengganggu antrian orang lain. Hmm, okelah pak polisi, saya maklum saja. Mungkin karena padatnya lalulintas di Jakarta, sehingga yang seperti itu dianggap pelanggaran. Atau memang begitu aturannya? Hehe, entahlah. Karena bukan itu yang penting. Yang terpenting sekarang adalah, saya jadi tahu ada aturan seperti itu. Dan jangan sampai kejadian yang sama menimpa saya lagi--eman duite...

By the way, urusan tilang menilang, pengendara tentunya akan terbiasa dan tahu titik mana saja ada polisi yang siaga. Dan biasanya pengendara akan lebih hati-hati untuk melakukan pelanggaran di tempat-tempat tersebut agar tidak terkena tilang dari polisi. Pesan penting dari hal tersebut adalah bagaimana seseorang itu belajar dari peristiwa yang pernah dialaminya. Dipilihnya tindakan untuk lebih berhati-hati, karena seseorang tentu tidak ingin terkena sanksi hukum dari pelanggarannya, alias kena tilang... #mbayar

Kembali pada si keledai. Keledai adalah makhluk Allah dari kelompok binatang. Sebagai sesama makhluk, manusia diberi kelebihan dibandingkan keledai, yaitu pada akal yang dimiliki manusia. Jadi sudah seharusnya manusia jauh lebih baik dari keledai. Maka dari itu, agar tidak terperosok ke lubang yang sama, ada baiknya seseorang mulai belajar. Menjadikan pengalamannya di masa lalu sebagai guru dan pengingat untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi di masa yang akan datang. Ya, belajar dari pengalaman. Kalaulah belum pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, ambillah pengalaman orang lain sebagai contoh untuk lebih mawas diri terhadap peristiwa serupa. 


#OneDayOnePost
#keepwriting
#14