Wednesday, April 13, 2016

Perlunya Memberi Kepercayaan Pada Anak-anak


Alhamdulillah...
Setelah sepuluh hari berlatih "Toilet Training", kini saya sudah bisa bernafas lega. Akhirnya anak keempat saya bisa melalui masa latihan dengan sukses. Masa latihan yang susah-susah gampang dan sempat diwarnai dengan beberapa kali aksi pipis di celana. Bahkan sempat juga anak saya minta untuk memakai pospak lagi.

Rentang waktu yang lama dia memakai pospak sangat mempengaruhi proses Toilet Training yang dia jalani. Di usia 3,5 tahun ini, dia sesungguhnya sudah bisa membedakan keadaan nyaman dan tidak nyaman. Tapi peralihan kondisi dari merasa nyaman dengan pospak ke kondisi tidak nyaman pipis di celana, membutuhkan waktu untuk menyesuaikannya.

Sepekan pertama masa berlatih, saya menerapkan tips-tips Toilet Training dengan sangat hati-hati. Saya menyadari, berhasil tidaknya masa itu dilalui, sangat tergantung pada rasa nyaman yang dirasakan anak. Secara umum prosesnya berjalan baik. Sesekali mengompol saya anggap biasa, karena memang saat Toilet Training adalah saat dimana dia belajar menahan untuk tidak pipis hingga dia sudah buka celana dan masuk ke kamar mandi. Jeda waktu pipis terakhir dengan pipis berikutnya juga tidak selalu sama. Tetap sabar dan terus perhatikan.

Namun pipis pertama di pagi hari, sempat membuat suasana tidak nyaman antara saya dan anak. Saya berpikir, karena sudah tidak pipis semalam suntuk, seharusnya bangun tidur di pagi hari dia sudah kebelet untuk pipis. Jadi hampir tiap pagi, begitu bangun, saya akan langsung mengajaknya ke kamar mandi. Tapi kemarin, dia menolak ajakan saya dan bilang belum ingin pipis. Saya pun memaksanya, dan dia berontak sekuat-kuatnya. Akhirnya dia benar-benar tidak pipis, lalu keluar dari kamar mandi sambil menangis. Ah, nyesel deh, pakai maksa-maksa segala...

Setelah minta maaf atas kejadian itu, saya berpesan, agar nanti kalau sudah mau pipis segera ke kamar mandi sendiri atau memberitahu saya jika butuh bantuan. Selama masa berlatih, anak saya memang belum pernah (dengan inisiatifnya) memberitahu kalau mau pipis. Biasanya saya yang aktif bertanya kepadanya, "Adek, mau pipis?" Lalu dia akan menjawabnya dengan "iya" atau "nggak". Dan pagi ini, setelah beberapa menit dia membuka mata, dia menghampiri saya dan bilang, "Bunda, aku mau pipis."

Kejadian kemarin membuat saya belajar. Saya tidak boleh memaksa kalau memang dia belum ingin pipis, di pagi hari sekali pun. Akhirnya, pagi ini dia tidak hanya berhasil menahan diri untuk tidak mengompol, tapi juga mau menyampaikan keinginannya untuk pipis--di kamar mandi.

Memang benar adanya, bahwa memberi kepercayaan kepada anak itu sangat diperlukan pada kondisi-kondisi tertentu. Salah satunya seperti kondisi yang saya alami kemarin.

Ada keadaan lain dimana saya "belajar" memberikan kepercayaan kepada anak-anak. Yaitu saat anak kedua saya--usianya 9 tahun waktu itu, minta untuk menggoreng telor sendiri untuk lauk makan sarapannya. Saya pun mengijinkannya setelah percobaan pertamanya saya awasi dengan baik, dan saya nyatakan lolos uji. Saya memberi nasihat seperlunya. Karena membiarkan anak-anak bereksplorasi di dapur pasti ada resikonya.

Akhirnya, putri saya sudah bisa menyiapkan telor ceplok atau telor dadar sendiri. Dia juga senang membantu menyiapkan telor goreng untuk adik-adiknya. Saya pun senang, karena tugas saya jadi lumayan terbantu. Sempat terjadi insiden kecil, yaitu kejatuhan wajan panas setelah menggoreng, dan meninggalkan bekas di lengan kirinya. Tapi hal itu sama sekali tidak membuatnya kapok dan berhenti melakukan aktivitas menggoreng. Justru dari kejadian itu, sepertinya dia belajar untuk lebih hati-hati.
Dan saya semakin percaya bahwa anak saya memang benar-benar bisa melakukannya, insya Allah...

"Ada saatnya orangtua akan tahu, bahwa anaknya benar-benar bisa melakukan sesuatu."


Pamulang, 13 April 2016
#belajar jadi orangtua

#OneDayOnePost
#33

Monday, April 11, 2016

Korban Salah Paham

Tidak semua pernikahan bisa berjalan mulus tanpa hambatan. Bahkan sangat sedikit sekali yang benar-benar tidak menemui batu sandungan. Karena ujian merupakan bagian dari hidup setiap manusia. Yang membedakan adalah bagaimana manusia menyikapi setiap ujian yang hadir mewarnai hidupnya. Bagi mereka yang tahan banting, seolah-olah dalam hidupnya tidak ada ujian sama sekali. Padahal ujian juga menghampirinya, dengan bentuk yang berbeda.

Kalau perceraian dianggap sebagai kegagalan, maka kakak pertama saya bisa dikatakan gagal. Meski perceraian tidak diinginkannya, toh akhirnya terjadi juga. Kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga kakak dan istrinya, sama sekali tidak bisa menjadi perekat untuk tetap bisa mempertahankan rumah tangganya. Konflik keluarga kakak justru meruncing dengan adanya campur tangan keluarga besar dari kedua belah pihak.

Dan setelah perceraian terjadi, kakak seakan-akan tidak diijinkan untuk bertemu putrinya sendiri oleh keluarga besar mantan istrinya. Mereka memberi pembatasan yang menurut saya sangat berlebihan. Setidaknya begitu kesan yang saya tangkap berdasarkan cerita dari saudara-saudara saya yang lain di kampung. Saya yang bertempat tinggal jauh, memang tidak tahu persis bagaimana asal muasal kejadian yang menimpa keluarga kakak.

Qodarullah, beberapa bulan setelah perceraian, mantan istri kakak meninggal dunia. Karena saya sedang tidak di kampung, saya hanya bisa mendengar kisahnya dari cerita saudara-saudara yang ada di kampung. Bukannya memberi kesempatan lebih banyak kepada keponakan untuk lebih banyak bertemu dengan ayahnya, sebagai satu-satunya orang tua yang masih hidup. Konflik rumah tangga yang terjadi malah mulai merembet pada konflik "serius" antar keluarga besar.

Namun saya tetap menganggap bahwa saya tidak ada masalah dengan keluarga besar mantan istri kakak. Toh saya jarang pulang dan bertemu dengan mereka. Sehingga saat ada kesempatan pulang kampung, saya menyempatkan diri untuk berkunjung, dengan tujuan menjenguk keponakan dan menyerahkan sedikit buah tangan buat dia.

Akan tetapi, apa yang terjadi, sungguh di luar dugaan. Bukan disilahkan masuk, saya sudah diusir sebelum sempat mengetuk pintunya. Berbagai macam umpatan keluar dari mulut mereka yang ditujukan kepada saya dan keluarga besar saya. Saya berusaha tenang, dan menyampaikan maksud kedatangan saya sembari menyerahkan buah tangan yang saya bawa. Namun ditolak mentah-mentah.

Sebelumnya orang tua saya memang menganjurkan agar saya tidak berkunjung ke sana, tapi saya tetap nekat untuk datang. Dan yang terjadi benar-benar mengagetkan saya. Seumur-umur, rasanya itu adalah kejadian pertama dan semoga menjadi yang terakhir kalinya, saya dimaki-maki habis-habisan, tanpa alasan yang tidak saya mengerti.

Sepertinya nasib saya memang kurang beruntung saat itu. Selain satu dua patah kata yang sempat saya ucapkan, selebihnya saya lebih banyak melongo dan berpikir, "Salah saya apa?" Ibarat sedang ramai-ramai makan nangka, saya tidak ikut makan, tapi saya ikut terkena getahnya. Nasib-nasib... #tepokjidat, hehe...


Pamulang, 11 April 2016
#analogi kehidupan

#OneDayOnePost
#31