Monday, April 11, 2016

Korban Salah Paham

Tidak semua pernikahan bisa berjalan mulus tanpa hambatan. Bahkan sangat sedikit sekali yang benar-benar tidak menemui batu sandungan. Karena ujian merupakan bagian dari hidup setiap manusia. Yang membedakan adalah bagaimana manusia menyikapi setiap ujian yang hadir mewarnai hidupnya. Bagi mereka yang tahan banting, seolah-olah dalam hidupnya tidak ada ujian sama sekali. Padahal ujian juga menghampirinya, dengan bentuk yang berbeda.

Kalau perceraian dianggap sebagai kegagalan, maka kakak pertama saya bisa dikatakan gagal. Meski perceraian tidak diinginkannya, toh akhirnya terjadi juga. Kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga kakak dan istrinya, sama sekali tidak bisa menjadi perekat untuk tetap bisa mempertahankan rumah tangganya. Konflik keluarga kakak justru meruncing dengan adanya campur tangan keluarga besar dari kedua belah pihak.

Dan setelah perceraian terjadi, kakak seakan-akan tidak diijinkan untuk bertemu putrinya sendiri oleh keluarga besar mantan istrinya. Mereka memberi pembatasan yang menurut saya sangat berlebihan. Setidaknya begitu kesan yang saya tangkap berdasarkan cerita dari saudara-saudara saya yang lain di kampung. Saya yang bertempat tinggal jauh, memang tidak tahu persis bagaimana asal muasal kejadian yang menimpa keluarga kakak.

Qodarullah, beberapa bulan setelah perceraian, mantan istri kakak meninggal dunia. Karena saya sedang tidak di kampung, saya hanya bisa mendengar kisahnya dari cerita saudara-saudara yang ada di kampung. Bukannya memberi kesempatan lebih banyak kepada keponakan untuk lebih banyak bertemu dengan ayahnya, sebagai satu-satunya orang tua yang masih hidup. Konflik rumah tangga yang terjadi malah mulai merembet pada konflik "serius" antar keluarga besar.

Namun saya tetap menganggap bahwa saya tidak ada masalah dengan keluarga besar mantan istri kakak. Toh saya jarang pulang dan bertemu dengan mereka. Sehingga saat ada kesempatan pulang kampung, saya menyempatkan diri untuk berkunjung, dengan tujuan menjenguk keponakan dan menyerahkan sedikit buah tangan buat dia.

Akan tetapi, apa yang terjadi, sungguh di luar dugaan. Bukan disilahkan masuk, saya sudah diusir sebelum sempat mengetuk pintunya. Berbagai macam umpatan keluar dari mulut mereka yang ditujukan kepada saya dan keluarga besar saya. Saya berusaha tenang, dan menyampaikan maksud kedatangan saya sembari menyerahkan buah tangan yang saya bawa. Namun ditolak mentah-mentah.

Sebelumnya orang tua saya memang menganjurkan agar saya tidak berkunjung ke sana, tapi saya tetap nekat untuk datang. Dan yang terjadi benar-benar mengagetkan saya. Seumur-umur, rasanya itu adalah kejadian pertama dan semoga menjadi yang terakhir kalinya, saya dimaki-maki habis-habisan, tanpa alasan yang tidak saya mengerti.

Sepertinya nasib saya memang kurang beruntung saat itu. Selain satu dua patah kata yang sempat saya ucapkan, selebihnya saya lebih banyak melongo dan berpikir, "Salah saya apa?" Ibarat sedang ramai-ramai makan nangka, saya tidak ikut makan, tapi saya ikut terkena getahnya. Nasib-nasib... #tepokjidat, hehe...


Pamulang, 11 April 2016
#analogi kehidupan

#OneDayOnePost
#31

11 comments:

  1. Bagus mbak. Analoginya diakhir cerita. Aku malah blm nih..

    ReplyDelete
  2. Keren...ini yg seeing trjadi. Kesalafahaman kita yg nggk tau kita kna getahnya

    ReplyDelete
  3. Keren...ini yg seeing trjadi. Kesalafahaman kita yg nggk tau kita kna getahnya

    ReplyDelete
  4. Yang sabar ya mbak... mungkin Anda kurang beruntug coba lagi saja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, April... Emang kudu sabar...
      Alhamdulillah, meski saya tidak mencobanya pada kesempatan lain, tapi sudah bisa bertemu keponakan, yang punya cucu sudah melunak hatinya ^__^

      Delete
  5. Replies
    1. Ini juga baru percobaan, mbak Wiwid ^__^
      Jare mas Heru, bener-salah urusan mburi, hihi...

      Delete
  6. Aku masih juga gagal paham ..
    Blm ketemu ide

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo, mas Heru, semangaaat...
      Kan, bener-salah urusan mburiii... ^__^

      Delete