Tuesday, April 26, 2016

Pantaskah Untuk Tidak Bersyukur?

Dalam beberapa hadits, Rasulullah beberapa kali menyebut, "Demi Dzat, yang jiwaku dalam genggaman-Nya." Dimana Dzat yang dimaksudkan oleh Rasulullah tentu saja adalah Allah Azza wa Jalla. Benar saja, Allah adalah penggenggam seluruh jiwa. Tak bisa dipungkiri, bahwa segala penentu hidup dan mati manusia adalah dalam kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak seseorang untuk tidak bangun lagi setelah tidurnya, maka jadilah orang itu tidak lagi bernyawa.

Akan tetapi, pernahkan kita menyadari bahwa penentu kehidupan setelah manusia pulas dalam tidurnya juga adalah kekuasaan Allah. Dengan seseorang bisa terbangun (lagi) di pagi hari, itu menunjukkan bahwa Allah mengembalikan jiwa orang itu ke dalam raganya. Yang beberapa saat sebelumnya, jiwanya ada dalam genggaman Allah.

Tidak hanya saat kita tertidur, ada keadaan lain di mana seseorang mengalami kehilangan kesadaran. Baik sesaat dalam hitungan detik saja, atau dalam waktu yang lama seperti seseorang yang mengalami pingsan atau koma. Hanya karena kuasa dan kehendak Allah sajalah jiwa seseorang bisa kembali ke dalam raganya. Tidak ada satu pun manusia yang bisa mengetahui, apakah dia bisa bangun lagi setelah tidurnya? Apakah dia bisa sadar kembali setelah pingsan atau komanya? Dan apakah seseorang bisa "selamat" setelah mengalami kejadian yang secara logika sungguh mengancam jiwanya?

Ketika seseorang selamat dari suatu peristiwa yang mengancam jiwanya, apa yang terpikir olehnya? Apa yang seharusnya pertama kali terucap dari lisannya? Terkadang manusia lupa, bahwa Allah-lah yang telah menyelamatkannya. Tidak sedikit dari mereka yang berkata, "Untung aku sigap menghadapi situasi darurat tadi, kalau tidak, nyawaku pasti melayang." Begitulah! Manusia merasa keselamatan itu diperoleh karena kehebatannya, dan lupa dengan keberadaan Robb-nya.

Ketika jiwa seseorang melayang, lebih mudah bagi manusia untuk mengatakan, "Semua terjadi atas kehendak Allah." Namun saat seseorang terselamatkan jiwanya, manusia seolah-olah lupa bahwa yang terjadi itu juga tidak lepas dari kehendak Allah, karena kasih sayang-Nya. Dimanakah rasa syukur kita? Setiap pagi terbangun dan bisa kembali menghirup udara pagi, adakah kita ingat untuk berterima kasih pada-Nya?

Kembali pada ucapan Rasulullah, "Demi Dzat, yang jiwaku dalam genggaman-Nya." Tersimpan makna yang dalam dari ucapan itu. Ada kesadaran dalam diri bahwa yang menentukan hidup dan mati seseorang ada di tangan Allah. Dengan begitu, bisa melahirkan rasa syukur atas setiap nikmat berupa kehidupan yang dianugerahi-Nya. Dan sudah sepantasnya ungkapan syukur kepada Allah disampaikan oleh setiap yang masih hidup. Karena orang yang sudah mati, tidak akan (lagi) bisa bersyukur.

Jika Rasulullah saja, begitu besar rasa syukurnya kepada Allah, yang menggenggam jiwanya. Pantaskah kita yang hanya memiliki sedikit amal untuk tidak bersyukur kepada-Nya?


Pamulang, 26 April 2016, 20:20 WIB
*Alhamdulillah, atas semua nikmat yang Allah berikan

#OneDayOnePost
#42

Monday, April 25, 2016

Menanam Memberi Manfaat

panenan terakhir, cukup buat beberapa hari

Beberapa hari yang lalu, saya melihat berita tentang 'Cabenisasi' di kota Jakarta. Sempat bertanya-tanya sebelum beritanya ditayangkan, "Cabenisasi? Kira-kira tentang apa ya?" Ternyata memang tidak jauh dari dugaan saya. Ya, tentang cabe, alias ada hubungannya dengan cabe. Apakah itu?

Gerakan cabenisasi adalah sebuah gerakan yang diluncurkan oleh bapak walikota Jakarta. Bapak walikota menganjurkan kepada warganya untuk mulai menanam di rumah masing-masing, terutama menanam cabe. Apa pasal? Apalagi kalau bukan harga cabe yang terus merangkak naik beberapa bulan terakhir ini. Terlebih saat ini mulai mendekati bulan puasa. Sepertinya sangat kecil kemungkinannya harga cabe akan turun. Yang ada mungkin malah akan tambah naik. Begitu kira-kira pertimbangan bapak walikota meluncurkan gerakan tersebut.

Ngomongin tentang menanam, itu hobbi saya banget dah. Ya, sejak menikah, menanam menjadi salah satu hiburan bagi saya mengisi waktu luang sekaligus mengusir kebosanan selama di rumah. Menanam benar-benar mengasyikkan. Meski saya tidak punya lahan cukup luas untuk menanam, saya terus berusaha mencari cara agar bisa menanam. Waktu masih tinggal di Malang, saya malah tidak punya "tanah" sedikit pun. Jadi, semua tanaman saya tanam di dalam pot. Bukan hanya bunga yang berfungsi sebagai hiasan dan penyejuk mata. Tapi juga tanaman seperti lombok dan tomat. Bahkan saya sempat menanam buah waktu di Malang, yaitu buah tin dan buah melon. Di pot, lho!

Alhamdulillah... Sejak pindah ke Pamulang, Tangerang Selatan, ada sedikit tanah terbuka untuk ditanami. Tadinya berisi bunga-bunga yang hanya daun. Bunga tapi daun? Ya, tanaman hias yang lebih dimanfaatkan daunnya itu lho. Tapi tidak ada bunganya. Tapi perlahan-lahan saya kurangi, dan saya ganti dengan tanaman buah dan sayur. By the way, menanam buah dan sayur buat saya lebih terasa manfaatnya. Dua tahun saya tinggal di Pamulang, saya sudah pernah menanam pepaya California dan sempat panen untuk sekali musim buah. Gak kebayang deh, rasa puas saya. Menanam buah sendiri, saya bisa menunggu si buah sampai benar-benar matang sebelum dipetik. Jadi, buah pepaya yang saya petik, rasanya, amboooiii manisnya. Warnanya juga merah menggoda. Sangat berbeda dengan pepaya California yang biasanya saya beli.

Saya juga sempat menanam tomat meskipun gagal. Dia tidak tumbuh subur seperti yang diharapkan. Sempat berbuah, tapi kecil-kecil dan hanya beberapa biji saja. Setelah itu kering dan mati. Tapi tidak demikian halnya dengan kacang panjang dan lombok.

Kacang panjang yang saya tanam juga sukses seperti si buah pepaya. Bahkan buah kacang panjang yang dihasilkan gemuk-gemuk dan panjang. Lima lonjor kacang panjang saja sudah cukup untuk sekali tumis dan dimakan untuk satu keluarga. Sekali makan tentunya. Dan tidak lupa, sebagai tindakan berkelanjutan, buah pertamanya saya biarkan kering untuk persiapan benih menanam selanjutnya. Karena umur tumbuh kacang panjang tidak sepanjang buahnya, haha. Biasanya lama-lama pohon kacang panjang juga akan mengering sendiri seiring sudah tidak produktifnya si kacang panjang berbuah.

Naaah, yang asyik nih cerita si lombok. Saya menanamnya sudah lebih dari setahun yang lalu. Sebelum puasa tahun lalu saya sudah pernah panen buahnya. Dan masih produktif berbuah hingga saat ini, menjelang bulan puasa lagi. Alhamdulillah, semoga lombok itu bisa berkah dengan "tersebarnya" ke para tetangga. Tiap saya merapikan tanaman lombok itu, tetangga yang kebetulan lewat selalu berhenti dan memuji si lombok. (Eits, gak boleh takabbur, lho ya...) Kemarin malah ada tetangga yang ingin minta buahnya yang benar-benar tua untuk dijadikan bibit. Dan saya menjanjikan nanti kalau sudah ada yang merah lagi. Karena sekarang masih hijau-hijau setelah saya melakukan panen raya beberapa minggu sebelumnya.

sebelum dipanen, pohonnya melebihi tinggi pagar rumah

Berkah yang paling terasa dari si lombok, tentu saja saat harga si lombok melambung seperti saat ini. Sampai-sampai bakul sayur yang lewat depan rumah bilang, "Wah, enak mbak, nanam lombok sendiri, sekarang harga lombok mahal." Malah saya yang kaget! "Oya, Bu. Berapa harganya sekarang," tanya saya. Kata ibu bakul berkisar di enam puluh ribuan. Waw! Tinggi juga ya... Bukan apa-apa, sejak setahun yang lalu, saya memang tidak tahu berapa harga lombok, karena memang tidak pernah beli lombok lagi.

Pohon lombok saya memang hanya dua batang, tapi besar pohonnya lumayan lah. Tingginya sudah mencapai dua meter. Saya sampai harus menggunakan kursi jika akan memetik lombok yang ada di pucuk pohon. Dan saya tidak akan menebangnya sampai si lombok sudah tidak berbuah dan ada pohon pengganti yang menjadi generasi penerusnya. Kebayang kan, manfaatnya menanam. Menanam hanya sekali, tapi saya bisa panen lombok berkali-kali sepanjang tahun. Jadi, ayo menanam mulai sekarang.


Pamulang, 25 April 2016
*Ayo Bertanam

#OneDayOnePost
#41