Dalam beberapa hadits, Rasulullah beberapa kali menyebut, "Demi Dzat, yang jiwaku dalam genggaman-Nya." Dimana Dzat yang dimaksudkan oleh Rasulullah tentu saja adalah Allah Azza wa Jalla. Benar saja, Allah adalah penggenggam seluruh jiwa. Tak bisa dipungkiri, bahwa segala penentu hidup dan mati manusia adalah dalam kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak seseorang untuk tidak bangun lagi setelah tidurnya, maka jadilah orang itu tidak lagi bernyawa.
Akan tetapi, pernahkan kita menyadari bahwa penentu kehidupan setelah manusia pulas dalam tidurnya juga adalah kekuasaan Allah. Dengan seseorang bisa terbangun (lagi) di pagi hari, itu menunjukkan bahwa Allah mengembalikan jiwa orang itu ke dalam raganya. Yang beberapa saat sebelumnya, jiwanya ada dalam genggaman Allah.
Tidak hanya saat kita tertidur, ada keadaan lain di mana seseorang mengalami kehilangan kesadaran. Baik sesaat dalam hitungan detik saja, atau dalam waktu yang lama seperti seseorang yang mengalami pingsan atau koma. Hanya karena kuasa dan kehendak Allah sajalah jiwa seseorang bisa kembali ke dalam raganya. Tidak ada satu pun manusia yang bisa mengetahui, apakah dia bisa bangun lagi setelah tidurnya? Apakah dia bisa sadar kembali setelah pingsan atau komanya? Dan apakah seseorang bisa "selamat" setelah mengalami kejadian yang secara logika sungguh mengancam jiwanya?
Ketika seseorang selamat dari suatu peristiwa yang mengancam jiwanya, apa yang terpikir olehnya? Apa yang seharusnya pertama kali terucap dari lisannya? Terkadang manusia lupa, bahwa Allah-lah yang telah menyelamatkannya. Tidak sedikit dari mereka yang berkata, "Untung aku sigap menghadapi situasi darurat tadi, kalau tidak, nyawaku pasti melayang." Begitulah! Manusia merasa keselamatan itu diperoleh karena kehebatannya, dan lupa dengan keberadaan Robb-nya.
Ketika jiwa seseorang melayang, lebih mudah bagi manusia untuk mengatakan, "Semua terjadi atas kehendak Allah." Namun saat seseorang terselamatkan jiwanya, manusia seolah-olah lupa bahwa yang terjadi itu juga tidak lepas dari kehendak Allah, karena kasih sayang-Nya. Dimanakah rasa syukur kita? Setiap pagi terbangun dan bisa kembali menghirup udara pagi, adakah kita ingat untuk berterima kasih pada-Nya?
Kembali pada ucapan Rasulullah, "Demi Dzat, yang jiwaku dalam genggaman-Nya." Tersimpan makna yang dalam dari ucapan itu. Ada kesadaran dalam diri bahwa yang menentukan hidup dan mati seseorang ada di tangan Allah. Dengan begitu, bisa melahirkan rasa syukur atas setiap nikmat berupa kehidupan yang dianugerahi-Nya. Dan sudah sepantasnya ungkapan syukur kepada Allah disampaikan oleh setiap yang masih hidup. Karena orang yang sudah mati, tidak akan (lagi) bisa bersyukur.
Jika Rasulullah saja, begitu besar rasa syukurnya kepada Allah, yang menggenggam jiwanya. Pantaskah kita yang hanya memiliki sedikit amal untuk tidak bersyukur kepada-Nya?
Pamulang, 26 April 2016, 20:20 WIB
*Alhamdulillah, atas semua nikmat yang Allah berikan
#OneDayOnePost
#42
Akan tetapi, pernahkan kita menyadari bahwa penentu kehidupan setelah manusia pulas dalam tidurnya juga adalah kekuasaan Allah. Dengan seseorang bisa terbangun (lagi) di pagi hari, itu menunjukkan bahwa Allah mengembalikan jiwa orang itu ke dalam raganya. Yang beberapa saat sebelumnya, jiwanya ada dalam genggaman Allah.
Tidak hanya saat kita tertidur, ada keadaan lain di mana seseorang mengalami kehilangan kesadaran. Baik sesaat dalam hitungan detik saja, atau dalam waktu yang lama seperti seseorang yang mengalami pingsan atau koma. Hanya karena kuasa dan kehendak Allah sajalah jiwa seseorang bisa kembali ke dalam raganya. Tidak ada satu pun manusia yang bisa mengetahui, apakah dia bisa bangun lagi setelah tidurnya? Apakah dia bisa sadar kembali setelah pingsan atau komanya? Dan apakah seseorang bisa "selamat" setelah mengalami kejadian yang secara logika sungguh mengancam jiwanya?
Ketika seseorang selamat dari suatu peristiwa yang mengancam jiwanya, apa yang terpikir olehnya? Apa yang seharusnya pertama kali terucap dari lisannya? Terkadang manusia lupa, bahwa Allah-lah yang telah menyelamatkannya. Tidak sedikit dari mereka yang berkata, "Untung aku sigap menghadapi situasi darurat tadi, kalau tidak, nyawaku pasti melayang." Begitulah! Manusia merasa keselamatan itu diperoleh karena kehebatannya, dan lupa dengan keberadaan Robb-nya.
Ketika jiwa seseorang melayang, lebih mudah bagi manusia untuk mengatakan, "Semua terjadi atas kehendak Allah." Namun saat seseorang terselamatkan jiwanya, manusia seolah-olah lupa bahwa yang terjadi itu juga tidak lepas dari kehendak Allah, karena kasih sayang-Nya. Dimanakah rasa syukur kita? Setiap pagi terbangun dan bisa kembali menghirup udara pagi, adakah kita ingat untuk berterima kasih pada-Nya?
Kembali pada ucapan Rasulullah, "Demi Dzat, yang jiwaku dalam genggaman-Nya." Tersimpan makna yang dalam dari ucapan itu. Ada kesadaran dalam diri bahwa yang menentukan hidup dan mati seseorang ada di tangan Allah. Dengan begitu, bisa melahirkan rasa syukur atas setiap nikmat berupa kehidupan yang dianugerahi-Nya. Dan sudah sepantasnya ungkapan syukur kepada Allah disampaikan oleh setiap yang masih hidup. Karena orang yang sudah mati, tidak akan (lagi) bisa bersyukur.
Jika Rasulullah saja, begitu besar rasa syukurnya kepada Allah, yang menggenggam jiwanya. Pantaskah kita yang hanya memiliki sedikit amal untuk tidak bersyukur kepada-Nya?
Pamulang, 26 April 2016, 20:20 WIB
*Alhamdulillah, atas semua nikmat yang Allah berikan
#OneDayOnePost
#42
Merinding bacanya mbk Kholifah ..
ReplyDeleteIngat mati ya mas Heru...
DeleteAlhamdulillah, diingatkan untuk lebih bersyukur lagi
ReplyDeleteSemoga kita bisa terus bersyukur mbak...
DeleteNikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? Mari bersyukur, InsyaAllah...
ReplyDeleteAlhamdulillah atas setiap nikmat-Nya
Deletebersyukur,mudah dikatakan tetapi sulit di terapkan
ReplyDeleteBetul, mbak Wiwid...
DeleteAl Qur'an secara jelas menyebutkan bahwa orang yang pandai bersyukur itu jumlahnya sangat sedikit