Tuesday, April 8, 2014

Wanita, Kau Harus Tahu...

          Ini tentang diri wanita dan segala perubahan yang kebanyakan akan dialaminya setelah melewati satu fase dalam kehidupannya, yaitu menikah. Dalam Islam, wanita memiliki seorang pria yang bertanggung jawab terhadap dirinya. Yaitu ayah atau wali1 saat sebelum menikah dan suami saat setelah menikah. Sehingga wanita pun mempunyai kewajiban untuk patuh pada ke-dua pria tersebut2.
          Khusus setelah wanita menikah, ada satu kewajiban yang melekat pada dirinya selama menyandang status sebagai seorang istri, di samping kewajiban yang lain3. Yaitu melayani suami kapan pun dan di mana pun. Kewajiban melayani di sini lebih kepada kesiapan istri ketika suami ingin berhubungan secara seksual dengannya. Menikah dan hubungan seks adalah satu paket yang sulit dipisahkan, karena menikah adalah bentuk dari pemeliharaan diri pria dan wanita dari terjerumus kepada zina.
          Nah, dari sinilah perubahan yang akan terjadi pada wanita bermula. Perubahan yang dapat terlihat secara fisik setelah wanita menikah dan melakukan hubungan seks, diantaranya:

Selaput darah sobek
Setelah melakukan hubungan seks, ada sesuatu yang hilang pada diri wanita, yang secara umum dikenal sebagai keperawanan seorang wanita. Hal ini ditandai dengan robeknya selaput darah pada kemaluan wanita, yang hanya terjadi sekali selama hidup. Sehingga pada hubungan seks berikutnya, pria (umumnya) akan bisa mengenali apakah itu adalah hubungan seks pertama si wanita atau bukan. Dan tidak jarang keadaan ini menimbulkan masalah dalam pernikahan.
Namun, hal itu tidak terjadi pada pria. Tidak ada perubahan secara fisik yang terjadi pada pria antara sebelum dan setelah melakukan hubungan seks. Dan wanita pun hampir tidak mungkin bisa membedakan apakah hubungan seks yang dilakukannya dengan pria adalah hubungan seks yang pertama bagi si pria.

Berkurangnya sel telur

Dalam sekali melakukan hubungan seksual, (biasanya) pria akan melepas ribuan bahkan jutaan sperma. Namun bukan berarti itu akan mengurangi jumlah sperma yang dimiliki pria, karena sel sperma akan selalu cukup tersedia sepanjang hidup. Saat sel sperma dilepaskan, masing-masing dari sel sperma itu akan berebut untuk bisa mencapai sel telur yang dimiliki wanita. Dan hanya sedikit dari sel sperma itu yang bisa berhasil, bahkan tak jarang hanya satu dari sekian juta.
Hal penting yang perlu diketahui wanita, yaitu bahwa cadangan sel telur wanita itu terbatas seiring usianya. Dan wanita tidak bisa terus menerus memproduksi sel telur sebagaimana pria dalam menghasilkan sel sperma.

Rahim membesar

Setelah sperma dan sel telur bertemu, terjadilah proses yang dalam biologi disebut pembuahan. Dalam proses itu sel telur terus membelah diri dan berkembang, yang makin hari makin membesar. Sehingga menyebabkan rahim yang merupakan tempat tinggal sel telur setelah dibuahi ikut membesar. Dan otomatis perut yang merupakan bagian terluar yang melindungi rahim juga membesar.
Jadi, wahai wanita, perut yang tadinya lurus dan rata, yang pernah membuat pemiliknya bangga, secara perlahan akan terus dan terus membuncit.

Adanya janin dalam tubuh

Seiring waktu, sel yang terus menerus bekembang, pada minggu ke-8 akan mulai berbentuk janin dengan bagian tubuh yang sudah lengkap, namun dalam ukuran yang sangat kecil4. Jadi, di dalam diri wanita pada masa itu, ada manusia lain yang tinggal di dalam dirinya, yang harus dibawanya kemana-mana, biasa dikenal dengan sebutan hamil5.
Dengan bertambahnya waktu, janin itu pun menjadi bertambah besar. Dan itu berarti beban yang akan dibawa wanita pada bagian perutnya kian hari kian bertambah berat. Beban yang akan dibawa wanita sampai selama 9 bulan sejak dari mulai proses pembuahan. Beban yang tidak bisa sesekali diletakkan seperti ketika membawa belanjaan yang terlalu berat. Beban yang akan ikut kemana pun wanita pergi. Beban yang tidak pernah bisa dialihkan pada pria.

Keropos pada tulang atau gigi

Janin dalam rahim wanita bersifat “parasit”6. Janin itu akan mengambil makanan melalui tali pusar dari tubuh inangnya, yaitu wanita yang hamil. Semua makanan yang dimakan wanita hamil, secara otomatis akan dibagi dengan janinnya. Jadi wanita hamil tidak hanya makan untuk dirinya, tapi juga untuk janin yang ada di rahimnya.
Salah satu kebutuhan terbesar janin adalah kalsium. Sehingga janin akan menyerap kalsium dari inangnya, baik cadangan kalsium yang dimiliki sang inang itu cukup atau tidak. Dan kalau cadangan kalsium wanita hamil sedikit, maka janin akan mengambilnya dari kalsium yang ada di tulang atau gigi inangnya. Sehingga mulailah timbul keluhan pada tulang atau gigi sang inang (pada beberapa wanita), seperti sakit gigi yang merupakan akibat dari keroposnya gigi.

Sobeknya bagian tubuh saat melahirkan

Setelah hampir 10 bulan (paling lama) wanita membawa janin dalam perutnya, tibalah waktu sang janin untuk keluar melihat dunia. Kejadian luar biasa yang dikenal dengan sebutan melahirkan ini hanya bisa dilakukan dengan dua jalan. Keduanya mengharuskan wanita untuk merelakan bagian tubuhnya sobek atau disobek7.
Proses yang dalam dunia medis dikenal dengan persalinan memang ada dua cara, yaitu normal dan operasi. Pada persalinan normal, persalinan cepat akan (rentan) menyebabkan kemaluan wanita mengalami sobekan. Sedangkan pada persalinan normal yang tidak cepat, (biasanya) bidan akan memberi sobekan sebagai jalan agar janin lebih mudah keluar.
Pada persalinan dengan operasi, dokter akan mengeluarkan janin melalui perut, yaitu dengan mengiris dinding perut wanita. Jadi, sobekan terjadi pada perutnya. Dan pada kedua jenis persalinan itu, wanita akan mengalami sakit yang (cukup) luar biasa8.

Kondisi perut yang berubah

Setelah dari hari ke hari perut melar karena rahim yang terus membesar, maka setelah melahirkan, perut tidak bisa begitu saja kembali ke keadaan seperti sebelum hamil. Kulit perut tidak sekencang dulu, sebagai akibat perut yang sempat membesar dan kembali mengecil. Dan sangat besar kemungkinannya perut wanita yang sudah pernah hamil menjadi lebih mudah membuncit dibandingkan yang belum pernah mengalaminya.
Apakah sudah selesai?! Bisa jadi belum. Karena setelah kelahiran seorang bayi, sejatinya wanita itu menyusui bayinya, yaitu memberikan ASI pada bayinya. Jika wanita menyusui bayinya maka keadaan itu bisa berpengaruh pada payudaranya. Jika secara fisik perubahan demi perubahan yang terjadi sampai bayi lahir akan tetap terjadi baik wanita mau atau tidak, maka perubahan fisik akibat menyusui mungkin tidak terjadi kalau wanita tidak mau melakukannya.
Perubahan demi perubahan yang dialami wanita sepintas seperti sesuatu yang menakutkan. Tapi ada pahala besar bagi wanita yang berstatus istri yang mau melakukannya dengan penuh kerelaan. Bahkan pahala yang dijanjikan oleh Allah itu, setara dengan pahala jihad yang dilakukan oleh pria. Dan semua keadaan yang berat itu akan menjadi ringan apabila pria yang wanita pilih sebagai suami adalah pria sholih yang senantiasa memperhatikan tahap demi tahap perubahan pada istrinya. Pria yang selalu siap menemani sang istri menghadapi masa-masa sulit yang akan dijalaninya.

          Jadi, wahai wanita, sudah siapkah menghadapi perubahan besar yang akan terjadi setelah menikah dan melakukan hubungan seksual?! Semua tergantung dengan bagaimana wanita dalam memilih pria sebagai pasangan. Berhati-hatilah terhadap pria yang tidak bertanggung jawab.
          Dan setelah wanita tahu perubahan demi perubahan yang (mungkin) akan dialaminya setelah menikah, masihkah ada wanita yang berpikir untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah??? Think again, Girls!!!

Catatan:
1) wali adalah pengganti jika ayah tidak ada, berurutan mulai dari kakek, saudara laki-laki, paman dan anak paman (bisa dilihat di: http://islamqa.info/id/99696 atau sumber-sumber lainnya)
2) kewajiban ini mutlak selama tidak bertentangan dengan perintah Allah dan bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah, tapi yang dipatuhi juga tidak boleh sewenang-wenang.
3) kewajiban istri kepada suami ada beberapa, yang utama adalah patuh pada suami terutama dalam melayani suami dalam berhubungan intim.
4) perkembangan janin tahap demi tahap bisa dilihat di sini: http://www.lusa.web.id/pertumbuhan-janin-dalam-kandungan/
5) hamil, berasal dari bahasa arab yang artinya yang membawa
6) “parasit” jangan diartikan negatif ya, maksudnya adalah bahwa janin hanya mengambil makanan dari ibu, tapi tidak memberi apa-apa, tentu saja tidak termasuk kebahagiaan yang dirasakan para ibu bahagia saat menikmati kehamilannya.
7) hanya sedikit kasus kelahiran pertama yang lolos tanpa “sobekan”.
8) rasa sakit ini relatif, tidak sama pada setiap wanita, bahkan ada yang sama sekali tidak merasakannya, karena rasa sakit tertutup oleh kebahagiaan bisa mendapat seorang bayi.

Tulisan ini sudah di-post di kompasiana

Saturday, February 8, 2014

"Down Feet", Rajin Terapi Sejak Dini Akan Sangat Membantu, Bunda.

Ini tentang anak pertama saya. Masa kehamilan yang bisa dibilang sempurna (9 bulan, 10 hari), dan kondisi kehamilan yang nyaris tanpa keluhan (tanpa mual dan ngidam), ternyata tidak menjamin akan lahir seorang anak yang sehat dan betul-betul sempurna (tanpa gangguan dan kelainan sedikitpun). Setidaknya itu yang saya dapati pada anak yang saya lahirkan.

Saat kelahirannya, anak saya tidak langsung menangis. Setelah mendapat tindakan yang tepat dari bidan yang membantu proses saya melahirkan, anak saya pun bisa bernafas dengan baik dan berangsur-angsur suara tangisnya terdengar.

Secara fisik, anak saya terlahir lengkap. Mendapati seorang bayi yang lahir dengan suara tangis yang kuat dan bagian tubuh lengkap, mungkin sudah bisa kita anggap sempurna. Begitu pun yang saya rasakan setelah saya mendengar suara tangis anak saya. Lega rasanya, masa kritis menunggu suara tangis anak saya yang badannya nampak membiru saat dilahirkan telah terlewati. Sehingga saya bisa membawa pulang anak saya ke rumah dengan perasaan bahagia.

Namun, tepat satu minggu setelah kelahirannya, saya mendapati ada yang ganjil pada salah satu kaki anak saya. Pada saat akan memakaikan kaos kaki, sehabis mandi sore, saya melihat kaki kanan anak saya berbeda dengan kaki kirinya. Kaki kiri terlihat tegak dengan jemari yang aktif bergerak, namun tidak kaki kanannya. Kaki itu terlihat lemas (layu atau lunglai), dan ketika saya menggendongnya, kaki itu nampak "jatuh" (istilah medis untuk kasus seperti anak saya memang biasa disebut "down feet") dan tidak terlihat ada gerakan. Bahkan ketika telapak kakinya saya rangsang dengan sentuhan, sama sekali tidak merespon.

Mendapati keadaan itu, saya membawa anak saya ke bidan yang membantunya lahir. Oleh bu bidan saya dianjurkan untuk sering-sering menyangga kaki kanan anak saya dengan telapak tangan, terutama saat sedang menyusuinya. Jadi, tidak membiarkannya "jatuh" begitu saja.

Karena merasa masalah yang terjadi pada anak saya cukup serius, saya dan suami memutuskan untuk membawanya ke dokter. Pilihan pertama kami adalah mendatangi dokter anak (karena tidak ada dokter bayi). Kami sangat berharap bisa mendapat informasi yang benar tentang apa yang terjadi sekaligus memperoleh solusi yang tepat untuk mengatasinya. Tapi penjelasan yang disampaikan dokter kurang memuaskan kami. Bukannya memberi solusi malah menyalahkan bidan yang tidak segera memberi tindakan atas apa yang terjadi, dan dokter itu mengatakan kalau kaki anak saya mengalami infeksi, dikarenakan kaki anak saya nampak kemerahan. Kami pun diberi resep obat untuk saya minum selama dua minggu.

Hingga obat yang diberi dokter anak habis saya minum, kaki anak saya belum menunjukkan perubahan apa-apa. Keadaannya masih sama seperti pertama kali saya mendapatinya seperti itu. Lalu kami berpindah dokter. Kali ini kami memilih mendatangi dokter syaraf, karena kami menduga kalau yang terjadi pada anak saya berhubungan dengan syarafnya. Setelah bertemu dokter syaraf kami mendapat sedikit pencerahan. Dokter syaraf itu tidak hanya memberi resep obat untuk merangsang kerja syaraf, namun juga menyarankan kepada kami untuk menemui dokter bedah tulang yang bisa menginformasikan kepada kami terapi yang tepat untuk kaki anak saya.

Seperti saran dari dokter syaraf, kami pun mendatangi dokter bedah tulang (disingkatnya BO atau Bedah Orthopedi). Setelah kaki anak saya diperiksa, dokter itu menyampaikan bahwa anak saya perlu dipakaikan sepatu khusus untuk menopang kakinya yang "jatuh". Untuk membuat sepatu itu dibutuhkan waktu setidaknya 2 minggu, karena harus menggunakan bahan dari kulit dengan kualitas yang baik. Jadi, dokter itu meminta kami kembali 2 minggu kemudian untuk mengambil sepatu itu sekaligus melihat bagaimana cara menggunakannya.

Dua minggu kemudian, kami pun kembali. Sepatu untuk anak saya sudah siap, yang ternyata bentuknya tidak benar-benar seperti sepatu, namun hanya penopang berbentuk tegak lurus dengan bentuk dan bahan yang memang nyaman untuk kulit. Lalu penopang itu dibalut dengan perban dari bawah lutut sampai menutupi seluruh telapak kaki. Dokter menyarankan untuk memakaikan "sepatu" itu setiap malam, kalau perlu siang hari juga boleh, karena semakin sering semakin baik. Tapi tidak boleh terus menerus dipakai tanpa dilepas, karena ikatan perbannya makin lama akan makin longgar. Jadi dilepas pasang untuk memastikan ikatannya cukup kuat untuk menahan telapak kakinya.

Nah, dengan menahan telapak kaki pada posisi tegak lurus dengan kaki itulah, selain kaki tidak "jatuh" juga merangsang syaraf dan otot-otot pada pergelangan kaki untuk terus bekerja. Dengan telapak kaki tertahan maka otot kaki tidak lagi bisa mendorong telapak kaki ke bawah, yang membuatnya semakin jatuh, namun otot kaki justru akan mendorongnya ke atas. Semakin sering syaraf dirangsang, otot akan bekerja semakin baik. Dengan bisa menggerakkan telapak kaki ke atas, maka telapak kaki juga akan mudah digerakkan ke bawah.

Setelah satu bulan pemakaian, saya sudah bisa melihat kaki anak saya bisa bergerak ke atas saat saya menahan telapak kakinya dengan tangan. Tapi tidak kalau dilepas, kakinya masih "jatuh", seperti belum punya tenaga. Itulah kenapa terapi itu harus dilakukan terus menerus, sampai kaki mampu bergerak sendiri meskipun tidak ada yang menahannya.

Perubahan itu memacu saya untuk terus memberikan rangsangan, dengan "sepatu" pada malam hari dan manual (dengan tangan) pada siang harinya. Saya memakaikan "sepatu" itu terus menerus selama 6 bulan sejak pertama kali anak saya memakainya. Saya baru mengurangi pemakaian "sepatu" itu saat anak saya sudah mulai belajar berdiri, karena aktifitas berdiri sudah menjadi terapi tersendiri untuk kaki yang "jatuh".

Tanpa terapi yang tepat, anak yang mengalami "down feet" mungkin masih bisa berdiri dan berjalan, namun beberapa tidak menggunakan telapak kakinya melainkan dengan ujung jari (seperti berjalan jinjit) atau dengan sisi luar kakinya.

Alhamdulillah..., kami dan seluruh keluarga merasa lega, akhirnya anak saya bisa berjalan menggunakan telapak kakinya. Rupanya keinginan saya untuk cepat bisa jalan waktu masih bayi dulu (kata orang tua sih...), menurun juga pada anak pertama saya. Meski sempat mengalami kondisi kaki yang cukup membuat saya khawatir, akhirnya anak saya bisa berjalan tepat di usia satu tahun.