Ini tentang anak pertama saya. Masa kehamilan yang bisa dibilang sempurna (9 bulan, 10 hari), dan kondisi kehamilan yang nyaris tanpa keluhan (tanpa mual dan ngidam), ternyata tidak menjamin akan lahir seorang anak yang sehat dan betul-betul sempurna (tanpa gangguan dan kelainan sedikitpun). Setidaknya itu yang saya dapati pada anak yang saya lahirkan.
Saat kelahirannya, anak saya tidak langsung menangis. Setelah mendapat tindakan yang tepat dari bidan yang membantu proses saya melahirkan, anak saya pun bisa bernafas dengan baik dan berangsur-angsur suara tangisnya terdengar.
Secara fisik, anak saya terlahir lengkap. Mendapati seorang bayi yang lahir dengan suara tangis yang kuat dan bagian tubuh lengkap, mungkin sudah bisa kita anggap sempurna. Begitu pun yang saya rasakan setelah saya mendengar suara tangis anak saya. Lega rasanya, masa kritis menunggu suara tangis anak saya yang badannya nampak membiru saat dilahirkan telah terlewati. Sehingga saya bisa membawa pulang anak saya ke rumah dengan perasaan bahagia.
Namun, tepat satu minggu setelah kelahirannya, saya mendapati ada yang ganjil pada salah satu kaki anak saya. Pada saat akan memakaikan kaos kaki, sehabis mandi sore, saya melihat kaki kanan anak saya berbeda dengan kaki kirinya. Kaki kiri terlihat tegak dengan jemari yang aktif bergerak, namun tidak kaki kanannya. Kaki itu terlihat lemas (layu atau lunglai), dan ketika saya menggendongnya, kaki itu nampak "jatuh" (istilah medis untuk kasus seperti anak saya memang biasa disebut "down feet") dan tidak terlihat ada gerakan. Bahkan ketika telapak kakinya saya rangsang dengan sentuhan, sama sekali tidak merespon.
Mendapati keadaan itu, saya membawa anak saya ke bidan yang membantunya lahir. Oleh bu bidan saya dianjurkan untuk sering-sering menyangga kaki kanan anak saya dengan telapak tangan, terutama saat sedang menyusuinya. Jadi, tidak membiarkannya "jatuh" begitu saja.
Karena merasa masalah yang terjadi pada anak saya cukup serius, saya dan suami memutuskan untuk membawanya ke dokter. Pilihan pertama kami adalah mendatangi dokter anak (karena tidak ada dokter bayi). Kami sangat berharap bisa mendapat informasi yang benar tentang apa yang terjadi sekaligus memperoleh solusi yang tepat untuk mengatasinya. Tapi penjelasan yang disampaikan dokter kurang memuaskan kami. Bukannya memberi solusi malah menyalahkan bidan yang tidak segera memberi tindakan atas apa yang terjadi, dan dokter itu mengatakan kalau kaki anak saya mengalami infeksi, dikarenakan kaki anak saya nampak kemerahan. Kami pun diberi resep obat untuk saya minum selama dua minggu.
Hingga obat yang diberi dokter anak habis saya minum, kaki anak saya belum menunjukkan perubahan apa-apa. Keadaannya masih sama seperti pertama kali saya mendapatinya seperti itu. Lalu kami berpindah dokter. Kali ini kami memilih mendatangi dokter syaraf, karena kami menduga kalau yang terjadi pada anak saya berhubungan dengan syarafnya. Setelah bertemu dokter syaraf kami mendapat sedikit pencerahan. Dokter syaraf itu tidak hanya memberi resep obat untuk merangsang kerja syaraf, namun juga menyarankan kepada kami untuk menemui dokter bedah tulang yang bisa menginformasikan kepada kami terapi yang tepat untuk kaki anak saya.
Seperti saran dari dokter syaraf, kami pun mendatangi dokter bedah tulang (disingkatnya BO atau Bedah Orthopedi). Setelah kaki anak saya diperiksa, dokter itu menyampaikan bahwa anak saya perlu dipakaikan sepatu khusus untuk menopang kakinya yang "jatuh". Untuk membuat sepatu itu dibutuhkan waktu setidaknya 2 minggu, karena harus menggunakan bahan dari kulit dengan kualitas yang baik. Jadi, dokter itu meminta kami kembali 2 minggu kemudian untuk mengambil sepatu itu sekaligus melihat bagaimana cara menggunakannya.
Dua minggu kemudian, kami pun kembali. Sepatu untuk anak saya sudah siap, yang ternyata bentuknya tidak benar-benar seperti sepatu, namun hanya penopang berbentuk tegak lurus dengan bentuk dan bahan yang memang nyaman untuk kulit. Lalu penopang itu dibalut dengan perban dari bawah lutut sampai menutupi seluruh telapak kaki. Dokter menyarankan untuk memakaikan "sepatu" itu setiap malam, kalau perlu siang hari juga boleh, karena semakin sering semakin baik. Tapi tidak boleh terus menerus dipakai tanpa dilepas, karena ikatan perbannya makin lama akan makin longgar. Jadi dilepas pasang untuk memastikan ikatannya cukup kuat untuk menahan telapak kakinya.
Nah, dengan menahan telapak kaki pada posisi tegak lurus dengan kaki itulah, selain kaki tidak "jatuh" juga merangsang syaraf dan otot-otot pada pergelangan kaki untuk terus bekerja. Dengan telapak kaki tertahan maka otot kaki tidak lagi bisa mendorong telapak kaki ke bawah, yang membuatnya semakin jatuh, namun otot kaki justru akan mendorongnya ke atas. Semakin sering syaraf dirangsang, otot akan bekerja semakin baik. Dengan bisa menggerakkan telapak kaki ke atas, maka telapak kaki juga akan mudah digerakkan ke bawah.
Setelah satu bulan pemakaian, saya sudah bisa melihat kaki anak saya bisa bergerak ke atas saat saya menahan telapak kakinya dengan tangan. Tapi tidak kalau dilepas, kakinya masih "jatuh", seperti belum punya tenaga. Itulah kenapa terapi itu harus dilakukan terus menerus, sampai kaki mampu bergerak sendiri meskipun tidak ada yang menahannya.
Perubahan itu memacu saya untuk terus memberikan rangsangan, dengan "sepatu" pada malam hari dan manual (dengan tangan) pada siang harinya. Saya memakaikan "sepatu" itu terus menerus selama 6 bulan sejak pertama kali anak saya memakainya. Saya baru mengurangi pemakaian "sepatu" itu saat anak saya sudah mulai belajar berdiri, karena aktifitas berdiri sudah menjadi terapi tersendiri untuk kaki yang "jatuh".
Tanpa terapi yang tepat, anak yang mengalami "down feet" mungkin masih bisa berdiri dan berjalan, namun beberapa tidak menggunakan telapak kakinya melainkan dengan ujung jari (seperti berjalan jinjit) atau dengan sisi luar kakinya.
Alhamdulillah..., kami dan seluruh keluarga merasa lega, akhirnya anak saya bisa berjalan menggunakan telapak kakinya. Rupanya keinginan saya untuk cepat bisa jalan waktu masih bayi dulu (kata orang tua sih...), menurun juga pada anak pertama saya. Meski sempat mengalami kondisi kaki yang cukup membuat saya khawatir, akhirnya anak saya bisa berjalan tepat di usia satu tahun.
Saat kelahirannya, anak saya tidak langsung menangis. Setelah mendapat tindakan yang tepat dari bidan yang membantu proses saya melahirkan, anak saya pun bisa bernafas dengan baik dan berangsur-angsur suara tangisnya terdengar.
Secara fisik, anak saya terlahir lengkap. Mendapati seorang bayi yang lahir dengan suara tangis yang kuat dan bagian tubuh lengkap, mungkin sudah bisa kita anggap sempurna. Begitu pun yang saya rasakan setelah saya mendengar suara tangis anak saya. Lega rasanya, masa kritis menunggu suara tangis anak saya yang badannya nampak membiru saat dilahirkan telah terlewati. Sehingga saya bisa membawa pulang anak saya ke rumah dengan perasaan bahagia.
Namun, tepat satu minggu setelah kelahirannya, saya mendapati ada yang ganjil pada salah satu kaki anak saya. Pada saat akan memakaikan kaos kaki, sehabis mandi sore, saya melihat kaki kanan anak saya berbeda dengan kaki kirinya. Kaki kiri terlihat tegak dengan jemari yang aktif bergerak, namun tidak kaki kanannya. Kaki itu terlihat lemas (layu atau lunglai), dan ketika saya menggendongnya, kaki itu nampak "jatuh" (istilah medis untuk kasus seperti anak saya memang biasa disebut "down feet") dan tidak terlihat ada gerakan. Bahkan ketika telapak kakinya saya rangsang dengan sentuhan, sama sekali tidak merespon.
Mendapati keadaan itu, saya membawa anak saya ke bidan yang membantunya lahir. Oleh bu bidan saya dianjurkan untuk sering-sering menyangga kaki kanan anak saya dengan telapak tangan, terutama saat sedang menyusuinya. Jadi, tidak membiarkannya "jatuh" begitu saja.
Karena merasa masalah yang terjadi pada anak saya cukup serius, saya dan suami memutuskan untuk membawanya ke dokter. Pilihan pertama kami adalah mendatangi dokter anak (karena tidak ada dokter bayi). Kami sangat berharap bisa mendapat informasi yang benar tentang apa yang terjadi sekaligus memperoleh solusi yang tepat untuk mengatasinya. Tapi penjelasan yang disampaikan dokter kurang memuaskan kami. Bukannya memberi solusi malah menyalahkan bidan yang tidak segera memberi tindakan atas apa yang terjadi, dan dokter itu mengatakan kalau kaki anak saya mengalami infeksi, dikarenakan kaki anak saya nampak kemerahan. Kami pun diberi resep obat untuk saya minum selama dua minggu.
Hingga obat yang diberi dokter anak habis saya minum, kaki anak saya belum menunjukkan perubahan apa-apa. Keadaannya masih sama seperti pertama kali saya mendapatinya seperti itu. Lalu kami berpindah dokter. Kali ini kami memilih mendatangi dokter syaraf, karena kami menduga kalau yang terjadi pada anak saya berhubungan dengan syarafnya. Setelah bertemu dokter syaraf kami mendapat sedikit pencerahan. Dokter syaraf itu tidak hanya memberi resep obat untuk merangsang kerja syaraf, namun juga menyarankan kepada kami untuk menemui dokter bedah tulang yang bisa menginformasikan kepada kami terapi yang tepat untuk kaki anak saya.
Seperti saran dari dokter syaraf, kami pun mendatangi dokter bedah tulang (disingkatnya BO atau Bedah Orthopedi). Setelah kaki anak saya diperiksa, dokter itu menyampaikan bahwa anak saya perlu dipakaikan sepatu khusus untuk menopang kakinya yang "jatuh". Untuk membuat sepatu itu dibutuhkan waktu setidaknya 2 minggu, karena harus menggunakan bahan dari kulit dengan kualitas yang baik. Jadi, dokter itu meminta kami kembali 2 minggu kemudian untuk mengambil sepatu itu sekaligus melihat bagaimana cara menggunakannya.
Dua minggu kemudian, kami pun kembali. Sepatu untuk anak saya sudah siap, yang ternyata bentuknya tidak benar-benar seperti sepatu, namun hanya penopang berbentuk tegak lurus dengan bentuk dan bahan yang memang nyaman untuk kulit. Lalu penopang itu dibalut dengan perban dari bawah lutut sampai menutupi seluruh telapak kaki. Dokter menyarankan untuk memakaikan "sepatu" itu setiap malam, kalau perlu siang hari juga boleh, karena semakin sering semakin baik. Tapi tidak boleh terus menerus dipakai tanpa dilepas, karena ikatan perbannya makin lama akan makin longgar. Jadi dilepas pasang untuk memastikan ikatannya cukup kuat untuk menahan telapak kakinya.
Nah, dengan menahan telapak kaki pada posisi tegak lurus dengan kaki itulah, selain kaki tidak "jatuh" juga merangsang syaraf dan otot-otot pada pergelangan kaki untuk terus bekerja. Dengan telapak kaki tertahan maka otot kaki tidak lagi bisa mendorong telapak kaki ke bawah, yang membuatnya semakin jatuh, namun otot kaki justru akan mendorongnya ke atas. Semakin sering syaraf dirangsang, otot akan bekerja semakin baik. Dengan bisa menggerakkan telapak kaki ke atas, maka telapak kaki juga akan mudah digerakkan ke bawah.
Setelah satu bulan pemakaian, saya sudah bisa melihat kaki anak saya bisa bergerak ke atas saat saya menahan telapak kakinya dengan tangan. Tapi tidak kalau dilepas, kakinya masih "jatuh", seperti belum punya tenaga. Itulah kenapa terapi itu harus dilakukan terus menerus, sampai kaki mampu bergerak sendiri meskipun tidak ada yang menahannya.
Perubahan itu memacu saya untuk terus memberikan rangsangan, dengan "sepatu" pada malam hari dan manual (dengan tangan) pada siang harinya. Saya memakaikan "sepatu" itu terus menerus selama 6 bulan sejak pertama kali anak saya memakainya. Saya baru mengurangi pemakaian "sepatu" itu saat anak saya sudah mulai belajar berdiri, karena aktifitas berdiri sudah menjadi terapi tersendiri untuk kaki yang "jatuh".
Tanpa terapi yang tepat, anak yang mengalami "down feet" mungkin masih bisa berdiri dan berjalan, namun beberapa tidak menggunakan telapak kakinya melainkan dengan ujung jari (seperti berjalan jinjit) atau dengan sisi luar kakinya.
Alhamdulillah..., kami dan seluruh keluarga merasa lega, akhirnya anak saya bisa berjalan menggunakan telapak kakinya. Rupanya keinginan saya untuk cepat bisa jalan waktu masih bayi dulu (kata orang tua sih...), menurun juga pada anak pertama saya. Meski sempat mengalami kondisi kaki yang cukup membuat saya khawatir, akhirnya anak saya bisa berjalan tepat di usia satu tahun.
No comments:
Post a Comment