Monday, September 8, 2014

Qishaash


Pada beberapa kasus pembunuhan (pembunuhan murni atau penganiayaan yang berakhir dengan hilangnya nyawa), sebagian besar pihak korban merasa tidak puas dengan vonis yang dijatuhkan terhadap si pelaku. Seperti yang baru-baru ini terjadi, yaitu kasus penganiayaan terhadap siswa salah satu SMU di Jakarta. Muara dari ketidak puasan itu adalah adanya ketidak-adilan di dalam hukum.
Sejak 14 abad yang lalu, islam sudah mengatur hukum tentang perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang melalui qishaash. Allah berfirman dalam Qur’an surah Al Baqarah ayat 178, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Menurut catatan kaki ayat tersebut yang terdapat dalam Qur'an Robbani, qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan bila yang membunuh mendapat kemaafan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, yaitu dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, yaitu dengan tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Allah menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
 Dalam ayat selanjutnya, yaitu Al Baqarah 179, Allah menjelaskan, “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.”
Subhanallah, sungguh indah agama ini mengatur hukum bagi manusia. Bahkan dalam kasus pembunuhan, Allah secara tidak langsung menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak-pihak yang terkait, yaitu antara pelaku dan korban pembunuhan melalui syariat qishaash. Sehingga pihak korban sebagai pihak yang kehilangan anggota keluarganya karena terbunuh, akan merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan. Karena pelaku akan mendapat balasan setimpal dari perbuatannya, sekiranya pihak korban merasa berat untuk memberi maaf kepada pelaku. Dan kalau pihak korban memaafkan pelaku dan memilih untuk menerima diat saja (secara wajar tentunya), maka diat itu bisa menjadi hiburan bagi pihak korban yang terbunuh. Bagaimana pun, diat yang umumnya berupa harta atau sejumlah uang itu, tetap merupakan sesuatu yang bisa memberi kesenangan bagi manusia, karena memang begitulah kecenderungan manusia (terhadap dunia). Meski pun tentu bukan itu yang dicari, karena kehilangan anggota keluarga tetap merupakan hal yang berat. Tapi manusia juga tidak mungkin menghindari apa-apa yang sudah menjadi ketetapan Allah.
Sebelum pelaksanaan qishaash, tentu ada pihak-pihak terkait yang akan  melakukan investigasi. Sebagaimana sidang-sidang yang biasa dilakukan di negeri ini, ada pengadilan yang akan menetapkan benar atau tidak bahwa si pelaku telah melakukan pembunuhan. Salah satu syarat yang wajib dipenuhi adalah dengan menghadirkan setidaknya dua orang saksi laki-laki yang adil, atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Setelah pelaku terbukti bersalah melakukan pembunuhan, barulah kemudian bisa ditetapkan sanksinya, dengan qishaash atau dengan membayar diat.
Hikmah diterapkannya qishaash adalah manusia menjadi lebih hati-hati dan berpikir ulang sebelum dia memutuskan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Karena resikonya adalah dia juga akan dihukum mati atau harus membayar sejumlah uang kepada pihak ahli waris dari orang yang dibunuhnya. Sehingga dengan begitu, in sya Allah bisa tercapailah apa yang kita kenal dengan rahmatan lil alamin.

Tuesday, August 26, 2014

Syeikh Muhammad, Zawjiy and Si Bungsu


Saking semangatnya pingin motret buat kenang-kenangan pernah bertemu Syeikh Muhammad, saya sampai lupa tidak minta dipotret bersama istri beliau kepada suami. Padahal pertemuan ini bermula saat saya dan istri beliau sama-sama lagi duduk-duduk di dekat pintu keluar Batu Secreet Zoo, areal Jatim Park 2. Kami duduknya jejer dan cukup dekat.
Di awal pertemuan, beberapa saat kami sama-sama diam. Kemudian saya melempar senyum, dan kami saling memberi salam. Tapi, setelah itu saya bingung mau bilang apa. Mengingat, saya belum bisa bahasa arab, dan bahasa inggris juga masih pas-pas-an. (Huhu..., balada ibu yang cuma bisa ber-bahasa indonesia, itu saja masih banyak melanggar EYD! Hehe...)
Setelah kembali terdiam beberapa saat, keluar juga sapaan dari mulut saya, "Eee, where do you come from?". (Kalau ingat kejadian ini, saya masih ingin ketawa sendiri, ini orang Arab sono, ditegurnya pakai bahasa inggris? Haha, gak salah tuh?)
Dan istri beliau menjawab, "...Riyadh", yang kemudian disambung dengan pertanyaan berbahasa arab, blablabla..., panjang banget.
Buru-buru saya jawab, "Afwan, laa adri...", sambil senyum-senyum.
Selanjutnya, kami terus berbincang-bincang, tentu saja menggunakan 4 bahasa yang saya tahu (bukan kuasai lho, ya!). Yaitu Indo, Arab, Inggris plus bahasa isyarat, karena istri beliau juga pas-pas-an bahasa inggrisnya. Kebayang kan, bagaimana jadinya? (Hehe..., kayak gado-gado...) Maka dari itu, judul cerita ini pun saya tulis dalam tiga bahasa.
Namun, keterbatasan bahasa yang “kami” (saya aja kalee...) miliki, tidak menghalangi kami untuk ngobrol lebih banyak. Dari obrolan “terbatas” itu saya jadi tahu, kalau kami sama-sama sedang menunggu suami masing-masing yang lagi sholat  ashar, tapi istri beliau tidak tahu kalau saya juga sedang menunggu suami saya.
Lalu suami saya datang, dan saya ceritakan kepadanya tentang wanita berpakaian serba hitam dan bercadar yang ada di sebelah saya.
 “Ooo, berarti yang ngimami sholat ashar di musholla itu..., tapi ayah sudah selesai, beliau (Syeikh Muhammad) baru datang.”, kata suami saya.
Tidak heran kalau orang-orang meminta beliau jadi imam sholat, lihat saja penampilan beliau di foto itu. Dan memang, kedatangan beliau ke sini (Indonesia), dalam rangka menjadi imam sholat tarawih di salah satu mesjid di daerah Puncak Dieng, Malang. Beberapa mesjid di Malang memang sudah biasa mendatangkan ulama-ulama dari luar saat ramadhan tiba, seperti dari Mekah, Yaman dan Palestina. Ada yang hanya beberapa hari, tapi ada juga yang sampai satu bulan penuh. Eh, back to my story...
Beberapa saat kemudian, Syeikh Muhammad muncul, dan langsung berbicara dengan istri beliau. Setelah memberi salam, suami berjabat tangan dengan beliau, dan berpelukan... (Kebiasaan orang arab nih, apalagi sesama muslim.) Lalu dimulailah obrolan antara saya, suami saya, Syeikh Muhammad dan istri beliau.
Sambil menunjuk Zangi, anak saya yang bungsu, Syeikh Muhammad bertanya dalam bahasa arab kepada suami, apakah anak itu putranya? (Ya, nyebut-nyebut ibnu-ibnu gitu...)
Saya jawab, “Na’am, huwa ibnu Amin”, dengan cukup pe-de. Karena saya “kebetulan” ngerti apa yang ditanyakan dan tahu mesti jawab apa.
Lalu beliau menanyakan, apakah saya juga putrinya?
Haha, saya menahan tawa dan segera menjawab, “La, la, huwa zawjiy...” Sambil mikir juga sih, hehe. Semuda itukah saya, sampai dikira anak dari suami sendiri. (Benerin kerudung dulu deh, biar tambah kelihatan lebih muda gitu lho...)
Obrolan berlanjut... Beliau pun menanyakan anak saya semua berapa? Yang lain sekarang dimana? Bersama siapa? Macam-macam deh. Sampai menanyakan maksud dari sms berbahasa indonesia yang dikirim oleh seseorang ke HP beliau. Suami sih senyum-senyum saja. Kalau bahasa arab, ya, lumayan lebih bisa saya lah (dikit...) daripada suami. (Hehe, maaf ya sayang..., setelah ini kita belajar bahasa arab sama-sama, yuk? Kesempatan buat ngerayu nih, biar dibolehin ikut kursus bahasa arab.)
Pas suami lagi pergi, karena mengikuti si bungsu yang berlarian kesana kemari, Syeikh Muhammad pergi ke sebuah kedai tidak jauh dari tempat kami. Kemudian beliau kembali dengan membawa 4 gelas plastik jus jeruk, 2 untuk beliau dan istri, yang 2 lagi untuk saya dan suami.
Jadi ingat, betapa luar biasanya orang arab kalau sedang menyambut tamu. Seolah pantang bagi mereka tamunya tidak mendapati apa-apa saat berkunjung ke rumahnya. Ini kami hanya bertemu di tempat umum, Syeikh Muhammad sudah membelikan kami jus jeruk. Bagaimana kalau saya berkunjung ke rumah beliau ya...? (Haha, ngarep.) Mestinya kan saya yang melayani beliau, karena beliau tamu di sini (Indonesia), dan saya adalah tuan rumahnya. Jadi malu... (Hihi..., tutup muka pake apa ya?)
Setelah kami sama-sama minum jus jeruk, dari kejauhan terlihat rombongan Syeikh Muhammad yang lain. Maka beliau dan istri pun pamit, dan memberi salam pada kami. Kami menjawab salam beliau dan menutup dengan satu kata pamungkas, “Jazakumullah khoir, ya Syeikh...” Beliau dan istri pun tersenyum sembari berlalu dari hadapan kami.
Sungguh pertemuan yang berkesan buat kami. Kami tidak mungkin bisa “ngobrol” banyak dengan Syeikh Muhammad, meski kami bisa bertemu beliau di masjid setiap malam selama ramadhan. Karena urusan dan suasananya jelas berbeda, ditambah kami tidak bisa bahasa arab untuk mengajak beliau ngobrol. Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi pertemuan ini, dan semoga lain waktu kami dipertemukan kembali dalam suasana yang penuh dengan keimanan. Dan yang tidak kalah penting, semoga saat itu tiba, saya sudah lancar berbicara dalam bahasa arab. Aamiin...