Saturday, May 2, 2015

Buah Didikan "Keras" Buat Saya

Baru nyadar, hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional. Bukan apa-apa, saya tidak biasa mengkhususkan sesuatu pada saat-saat tertentu, termasuk saat hardiknas ini. Apalagi aktivitas mendidik memang sesuatu yang harus saya lakukan setiap hari, yang obyeknya bukan hanya anak-anak, tapi juga mendidik diri sendiri agar bisa lebih baik dari waktu ke waktu.

Berbicara masalah pendidikan, tidak terlepas dari bagaimana pola mendidik. Sampai hari ini saya masih terus mencari pola yang tepat dalam mendidik anak-anak. Saya punya empat anak dengan model yang berbeda, sehingga saya juga harus memberikan pola yang berbeda pada masing-masing dari mereka. Tentu saja ada nilai-nilai yang saya tanamkan pada anak-anak dan berlaku rata bagi semuanya. Tapi kali ini saya bukan ingin share tentang bagaimana saya mendidik anak-anak saya, melainkan saya akan share bagaimana orang tua mendidik saya.

Saya tinggal di kampung. Secara umum, pola pendidikan yang saya dapatkan dari orang tua tidak jauh berbeda dengan pola asuh keluarga lainnya. Namun ada beberapa nilai yang penanamannya sangat kuat bagi kami, dan "pembangkangan" atas hal itu berarti hukuman yang cukup "serius". Berikut ini beberapa di antaranya.

 
>>Perintah Melaksanakan Sholat 

Sholat menjadi aktivitas yang tidak boleh ditinggalkan dalam keluarga saya. Kalau perintah melaksanakan sholat tidak segera saya lakukan, maka ibu akan memberikan "omelan sayang"-nya pada saya. Ibu saya tinggal di rumah, alias tidak bekerja di luar, jadi ibu bisa memantau semua aktivitas anak-anaknya, termasuk urusan sholat. Rasanya tidak mungkin untuk mengatakan sudah sholat dan ibu tidak mengetahui bahwa saya belum sholat. Tapi, kalau kami membangkang, yang turun tangan biasanya bapak. Bapaklah yang berperan memberi hukuman bagi yang melanggar. Lumayan, sebuah cubitan yang meninggalkan bekas biru di paha membuat saya punya "sedikit" rasa jera. Namun dari pola tersebutlah, sholat mulai menjadi kebiasaan saya. Dan melaksanakan sholat pun menjadi aktivitas yang tanpa disuruh-suruh lagi, kecuali hanya sesekali saja ibu mengingatkan. Sehingga pada saat pertama kali saya mendapatkan haidh, ibu sudah bisa menebaknya hanya karena saya tidak bersegera sholat dan ketika disuruh, saya hanya senyam senyum.
 
>>Perintah Untuk Mengaji (Belajar Baca Tulis Qur'an)

Di kampung saya dulu, mengajinya malam hari. Saya berangkat menuju langgar (sebutan lain untuk mushola) sekitar 15-30 menit sebelum maghrib. Nah, pada 15-30 menit sebelumnya, kalau saya masih asyik bermain, ibu pasti sudah bersiap-siap memanggil. Seingat saya, ibu lebih sering memanggil baru kemudian saya berhenti bermain dan pulang, dibanding berhenti bermain dan pulang dengan kesadaran sendiri. (Nyadar, dulu kecil kadang "bandel" juga, hehe...) Saya tidak membayangkan kalau dulu, ibu tidak memberi "omelan sayang" dan membiarkan saja saya bermain. Mungkin saya tidak akan pernah bisa membaca Al Qur'an.
Oya, sedikit cerita tentang suasana mengaji saya. Biasanya sebelum masuk langgar, saya dan anak-anak yang lain kadang-kadang bersih-bersih santai sekitar mushola. Kalau sudah bersih, ya, kami tidak perlu bersih-bersih lagi. Begitu azan maghrib, kami masuk langgar dan melaksanakan sholat maghrib berjamaah dengan pengasuh atau pendidik langgar. Tempat mengaji saya dulu khusus anak-anak perempuan saja, jadi terpisah dengan anak laki-laki. Setelah sholat maghrib, kami mulai membaca Qur'an bersama-sama dan bergantian menemui pengasuh di depan untuk memeriksa bacaan. Selepas isya', setelah sholat, barulah kami pulang ke rumah masing-masing.

>>Larangan Mengucapkan Kata-kata Yang Buruk

Mengucapkan kata-kata buruk versi otang tua saya, seperti: kurang ajar, goblok, mesuh-mesuh serta mengucapkan kata-kata yang tabu untuk diucapkan, dan tidaklah kata-kata itu diucapkan melainkan saat orang bertengkar, sangat-sangat DILARANG. Kata-kata yang dilarang itu cukup biasa saya dengar dari tetangga sekitar rumah saat mereka bertengkar. (Maaf, tetangga saya dari suku di bagian timur Jawa ini kalau sudah bertengkar, banyak sekali mengeluarkan kata-kata "jorok".) Apalagi pertengkaran tetangga sekitar cukup sering terjadi. Mungkin karena hal itulah, larangan mengucapkan kata-kata buruk ini muncul. Dan kalau sampai kata-kata itu keluar dari mulut saya, disengaja atau tidak, setelah peringatan pertama, maka lomboklah yang akan mendarat di bibir dan mulut saya. No kompromi! Hehe, saya pun pernah merasakan lombok pedas itu mendarat di mulut saya. Walhasil, setelah dua atau tiga kali, saya jadi kapok. Alhamdulillah, saya merasa bersyukur, karenanya mulut saya jadi terjaga.

Itulah tiga hal yang paling ketat pemantauannya dari orang tua saya. Hal-hal lainnya masih ada, namun ketatnya tiga hal tersebut membuat saya belajar untuk hati-hati. Begitu ada isyarat "tidak boleh" dari orang tua, maka saya biasanya "mundur" perlahan, tidak memaksakan dirilah...  

Dari pengalaman yang saya rasakan waktu kecil, untuk hal-hal tertentu, mendidik dengan cara yang sedikit "keras" ternyata tidak terlalu buruk akibatnya. Namun sebaliknya, justru saya harus berterima kasih kepada orang tua saya. Karena dengan didikan "keras" merekalah, saya bisa terjaga dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak semua orang bisa melakukannya. Dan dengan didikan "keras" itu juga, saya menjadi disiplin.

Tuesday, April 28, 2015

Takut Poligami? Sudah Dicoba Belum?



Poligami memang tidak mudah. Bahkan seorang muslimah yang memiliki pemahaman agama yang cukup sekali pun, akan mencari jalan untuk bisa menghindar dari syari’at yang satu ini. Baik melalui dalil, maupun penjelasan-penjelasan akal yang bisa dijadikan alasan pembenaran. Sehingga wajar jika dianggap bahwa wanita-wanita yang mau memberi jalan poligami kepada suaminya sangat jarang ditemukan. Tapi jarang bukan berarti tidak ada, dan salah satunya adalah si Fulanah.
Fulanah satu majelis taklim dengan saya. Seorang ustadz yang membimbing kami cukup intens menyampaikan hal-hal tentang poligami. Apalagi saat ayat yang dibahas, topiknya memang seputar poligami. Beliau mengatakan, “dijelaskan berulang-ulang saja, belum tentu bisa dipahami. Bagaimana jika tidak pernah memperoleh informasi sedikit pun tentang hal ini?” Dan bisa dipastikan, forum akan menjadi ramai dengan komentar para ibu-ibu yang hadir dalam majelis itu. Komentarnya pun macam-macam.
Di antara puluhan ibu-ibu itu, ada satu orang yang hampir tidak pernah berkomentar selama majelis berlangsung. Dialah si Fulanah. Dia hanya datang, duduk, lalu menyimak setiap yang disampaikan oleh ustadz kami. Sesekali dia disibukkan oleh seorang balita yang dibawanya. Hingga pada suatu ketika, ibu-ibu anggota majelis taklim dikejutkan oleh sebuah undangan pernikahan. Karena nama calon pengantin pria yang tercantum dalam undangan itu adalah suami si Fulanah. Ya, siapa sangka? Dibalik diamnya Fulanah, ternyata dia begitu meresapi keutamaan-keutamaan poligami. Hingga dia pun berusaha menerapkannya.
Fulanah adalah wanita yang cantik, berkulit putih bersih. Istri dari seorang pria yang bekerja cukup jauh dari tempat tinggalnya, dengan jadwal dua minggu kerja dan dua minggu libur. Dalam pandangan wanita umum, mungkin terasa aneh. Ketemu suami saja tidak mesti bisa sepanjang waktu, malah mau berbagi suami dengan wanita lain. Bukankah akan semakin mengurangi jatah kebersamaannya dengan suami? Tapi itulah yang terjadi, ketika Allah sudah berkehendak, maka apa pun bisa terjadi.
Sepertinya, pernikahan kedua suaminya sudah direncanakan Fulanah dengan matang. Sang suami menikah tepat setelah tiga hari Fulanah melahirkan putra keempatnya. Mungkin tidak terpikir oleh kita, bahwa setelah melahirkan, istri tidak mungkin melayani suaminya hingga selesai masa nifas. Dengan menikah lagi, maka ada yang menggantikan tugas Fulanah memenuhi kebutuhan biologis suaminya. Di samping itu, akan ada wanita lain yang bisa membantu Fulanah merawat sang bayi yang baru beberapa hari dilahirkannya. Dan bagi istri kedua sang suami, dia bisa langsung belajar bagaimana merawat bayi, yang adalah darah daging suaminya, sehingga menjadi terlatih dan terbiasa. Kondisi itu tentu saja baik baginya sebagai persiapan jika kelak dia juga memiliki seorang anak.
Ini adalah kejadian nyata. Dan setiap kali Fulanah ditanya perihal poligami suaminya, dia lebih banyak memberikan senyuman, lalu mengatakan, "dicoba saja dulu..." Hmm, semoga Allah memberikan surga untukmu Fulanah. Dan semoga kisahmu bisa menjadi pelajaran bagi kami, sebagai bekal sebelum berpoligami.