Poligami memang tidak mudah. Bahkan
seorang muslimah yang memiliki pemahaman agama yang cukup sekali pun, akan
mencari jalan untuk bisa menghindar dari syari’at yang satu ini. Baik melalui
dalil, maupun penjelasan-penjelasan akal yang bisa dijadikan alasan pembenaran.
Sehingga wajar jika dianggap bahwa wanita-wanita yang mau memberi jalan
poligami kepada suaminya sangat jarang ditemukan. Tapi jarang bukan berarti
tidak ada, dan salah satunya adalah si Fulanah.
Fulanah satu majelis taklim dengan saya.
Seorang ustadz yang membimbing kami cukup intens menyampaikan hal-hal tentang
poligami. Apalagi saat ayat yang dibahas, topiknya memang seputar poligami.
Beliau mengatakan, “dijelaskan berulang-ulang saja, belum tentu bisa dipahami.
Bagaimana jika tidak pernah memperoleh informasi sedikit pun tentang hal ini?” Dan
bisa dipastikan, forum akan menjadi ramai dengan komentar para ibu-ibu yang
hadir dalam majelis itu. Komentarnya pun macam-macam.
Di antara puluhan ibu-ibu itu, ada satu
orang yang hampir tidak pernah berkomentar selama majelis berlangsung. Dialah
si Fulanah. Dia hanya datang, duduk, lalu menyimak setiap yang disampaikan oleh
ustadz kami. Sesekali dia disibukkan oleh seorang balita yang dibawanya. Hingga
pada suatu ketika, ibu-ibu anggota majelis taklim dikejutkan oleh sebuah
undangan pernikahan. Karena nama calon pengantin pria yang tercantum dalam
undangan itu adalah suami si Fulanah. Ya, siapa sangka? Dibalik diamnya
Fulanah, ternyata dia begitu meresapi keutamaan-keutamaan poligami. Hingga dia
pun berusaha menerapkannya.
Fulanah adalah wanita yang cantik,
berkulit putih bersih. Istri dari seorang pria yang bekerja cukup jauh dari
tempat tinggalnya, dengan jadwal dua minggu kerja dan dua minggu libur. Dalam
pandangan wanita umum, mungkin terasa aneh. Ketemu suami saja tidak mesti bisa sepanjang waktu,
malah mau berbagi suami dengan wanita lain. Bukankah akan semakin mengurangi jatah kebersamaannya dengan suami? Tapi itulah yang terjadi, ketika
Allah sudah berkehendak, maka apa pun bisa terjadi.
Sepertinya, pernikahan kedua suaminya
sudah direncanakan Fulanah dengan matang. Sang suami menikah tepat setelah tiga
hari Fulanah melahirkan putra keempatnya. Mungkin tidak terpikir oleh kita, bahwa
setelah melahirkan, istri tidak mungkin melayani suaminya hingga selesai masa
nifas. Dengan menikah lagi, maka ada yang menggantikan tugas Fulanah memenuhi
kebutuhan biologis suaminya. Di samping itu, akan ada wanita lain yang bisa
membantu Fulanah merawat sang bayi yang baru beberapa hari dilahirkannya. Dan
bagi istri kedua sang suami, dia bisa langsung belajar bagaimana merawat bayi, yang
adalah darah daging suaminya, sehingga menjadi terlatih dan terbiasa. Kondisi
itu tentu saja baik baginya sebagai persiapan jika kelak dia juga memiliki
seorang anak.
Ini adalah kejadian nyata. Dan setiap kali Fulanah ditanya perihal poligami suaminya, dia lebih banyak memberikan senyuman, lalu mengatakan, "dicoba saja dulu..." Hmm, semoga Allah memberikan surga untukmu Fulanah. Dan semoga kisahmu bisa menjadi pelajaran bagi kami, sebagai bekal sebelum berpoligami.
No comments:
Post a Comment