Tuesday, April 5, 2016

Mie Goreng Kacang

Apa sih Mie Goreng Kacang? Saya akan berbagi resep mie goreng kacang sebagai jawabannya. Mie goreng kacang ini sebenarnya lebih tepat kalau disebut mie goreng instan kacang. Karena mie yang saya gunakan memang selalu mie goreng instan.

"Hanya dengan itu (mie instan goreng) bisa diperoleh rasa mie goreng kacang yang mantap," begitu kata suami, hehe...

Ngomongin mie instan, pasti banyak yang sepakat kalau itu makanan tidak sehat. Sudah banyak fakta dan penjelasan yang bisa dicari lewat internet tentang bahayanya terlalu sering mengkonsumsi mie instan. Instant gitu, lho! Terus, kalau tidak sering bagaimana? Jawabannya cari sendiri deh, saya tidak sedang mau membahas tentang itu, haha...

Kalau saya pribadi sih, belum tentu sekali dalam seminggu saya mengkonsumsinya. Selain karena memang tidak terlalu suka, sepertinya saya memang terprovokasi untuk ikut menganggap bahwa mie instan itu tidak sehat. Sehingga walaupun anak saya ada yang sangat menyukainya, saya tetap memberi batasan maksimal dua kali dalam seminggu dia boleh memakannya.

Eh tapi, bagaimana kalau suami begitu menyukai mie instan? Padahal kita menganggap mie instan sebagai makanan tidak sehat. Apa rumah tangga harus dikorbankan hanya karena persoalan selera makan ini? (Halah, masak ya sampai segitunya? Hihihi...) Atau kita mesti menolak melayani suami (menyiapkan makannya) hanya karena makanan yang dimintanya kita anggap sebagai "musuh" bagi tubuh kita? Kalau bisa jangan ya, bisa-bisa nanti suami malah carinya di warung. Yang bisa saja, pelayan warung lebih "berbahaya" dibanding bahaya mie instan itu sendiri. Nah, lho!

Terus solusinya bagaimana? Sejauh ini saya berusaha menekan bahaya mie instan dengan mengikuti petunjuk cara mengkonsumsinya yang juga banyak bertebaran di internet. Salah satunya dengan membuang air rebusan pertama. Dan untuk memasukkan gizi ke dalam mie instan, saya hampir selalu menambahkan sayuran. Yang paling praktis biasanya sawi, tinggal dicampurkan dengan mie yang sudah matang dan masih panas, selesai. Kadang-kadang malah saya gunakan sawi sama banyak dengan porsi mienya. Hingga terasanya justru makan sawi, bukan lagi makan mie, hehe...

Sayuran pelengkap lainnya yang biasa saya gunakan adalah kacang panjang. Yang memilih tambahan kacang panjang pertama kali justru suami. Rencana awalnya kan mau oseng-oseng kacang. Karena tidak ada tempe atau tahu sebagai tambahan, maka dipilihlah mie instan. Jadilah mie goreng kacang ala suami yang lezat. (Ya iyalah, pakai mie instan gitu lho!) Selain penyajiannya praktis, cepat, dengan tambahan kacang panjang kan bergizi jadinya. Dan sejak itulah saya jadi sering membuatkan  suami, mie goreng kacang sebagai teman makan nasi.

Apa saja yang dibutuhkan untuk membuat mie goreng kacang? Berikut ini bahan-bahan yang perlu disiapkan dan cara mengolahnya.

Mie Goreng Kacang

Mie Goreng Kacang

Bahan:
1 bungkus mie instan goreng
1 ikat kecil kacang panjang, potong-potong sesuai selera
2 siung bawang putih, cincang halus
3 siung bawang merah, iris-iris tipis
1 buah bawang bombay, ukuran kecil saja, diiris kasar
10 buah cabe rawit (bisa ditambah jika suka pedas), iris-iris sesuai selera
garam dan gula secukupnya

Cara mengolah:
1. Rebus mie dalam panci hingga matang, lalu tiriskan.
2. Siapkan wajan, tumis bawang putih, bawang merah dan cabe rawit sampai tercium aroma sedapnya, lalu masukkan bawang bombay, tunggu hingga sedikit layu.
3. Masukkan kacang panjang, diaduk-aduk agar matangnya merata.
4. Tambahkan garam dan gula.
5. Setelah kacang panjang matang, kecilkan api, lalu masukkan mie-nya. Masukkan juga bumbu-bumbu yang terdapat dalam kemasan mie instan, tanpa kecuali.
6. Kembalikan api seperti semua, aduk-aduk sebentar agar bumbu rata, angkat.
7. Taraaa... Mie Goreng Kacang siap dihidangkan.

Tips: 
Belah mie instan menjadi dua bagian sebelum direbus, atau bisa juga diremukkan, agar mie yang direbus tidak terlalu panjang, sehingga bisa tercampur merata dengan kacang panjang.


Pamulang, 5 April 2016
#berbagi resep

#OneDayOnePost
#27

Monday, April 4, 2016

Lagi-lagi Korupsi Lagi

Uang yang selalu menggoda untuk dimiliki *)
Beberapa hari terakhir ini, warta di ponsel pintar saya selalu menghadirkan berita tentang seorang anggota partai politik yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kabar kasus suap yang melibatkan anggota parpol dan beberapa perusahaan besar yang terjadi beberapa hari yang lalu itu, bukanlah yang pertama kalinya. Sudah beberapa kali KPK berhasil melakukan tangkap tangan dengan kasus yang serupa. Kasus-kasus yang tidak jauh dari suap dan korupsi.

Dari beberapa persidangan kasus korupsi, hampir semua yang tertangkap tangan pada akhirnya terbukti dengan sengaja telah melakukan kesalahan. Anehnya, setelah beberapa kali hal yang sama terjadi, masih saja ada oknum-oknum pejabat pemerintah maupun anggota dewan yang mesti tertangkap tangan oleh KPK. Sepertinya mereka yang memang dengan sengaja melakukan tindakan korupsi dan suap itu, tidak memiliki rasa takut sedikit pun dengan KPK. Atau justru dengan hukum yang ada di negeri ini.

Ada apakah gerangan?

Sebagai warga negara biasa, saya hanya sesekali menyimak kabar-kabar kasus korupsi dan suap di negeri ini. Bukan saja tidak tertarik dengan berita serupa yang mesti berulang kali terjadi, tapi juga jengah mendapati para oknum yang terbukti bersalah hanya mendapat sanksi yang menurut saya tidak sebanding dengan kesalahan yang telah mereka lakukan.

Bagaimana korupsi tidak tumbuh subur di negeri ini. Mereka yang terbukti bersalah hanya mendapat hukuman penjara beberapa tahun saja dengan denda yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan kerugian yang dialami oleh negara. Hukuman yang sama sekali tidak memberi efek jera bagi pelakunya. Seperti tidak bisa, atau mungkin tidak mau belajar dari negara-negara yang berhasil menekan angka korupsi sedemikian rupa, pelaku korupsi dan suap di negeri ini bukannya berkurang, tapi terasa semakin bertambah saja.

Belum lagi sentimen antar parpol yang menyebabkan tidak hanya pelaku korupsi dan suap saja yang jadi terhukum. Namun nama parpol, almamater, agama dan atribut lain yang dianut pelaku korupsi dan suap, juga ikut terkena dampaknya. Tentu hal ini sangat tidak baik, terlebih bila sudah membawa-bawa nama agama. Seperti kasus tangkap tangan oleh KPK yang terjadi beberapa hari yang lalu.

Saya tidak sengaja membaca notifikasi fb yang membicarakan oknum yang tertangkap. Sebagai muslim tentu saja saya sangat tidak nyaman mendengarnya. Mau ustadz sekelas apa pun, pada saat melakukan kesalahan, tidak seharusnya kesalahan itu dihubungkan dengan agama yang dianutnya. Pelaku korupsi, suap, pencuri, atau yang lainnya, semua kesalahannya adalah akibat ulah mereka sendiri. Yang itu mungkin sudah menjadi karakter yang sulit dirubah pada diri si pelaku. Mau agamanya ganti, kalau sudah watak, ya akan selalu begitu perilakunya.

Apalagi dengan "ringan"nya hukuman bagi para pelaku korupsi dan suap. Maka bisa dijamin mereka tetap akan melancarkan aksinya sampai kapan pun. Bahkan meski sudah pernah merasakan tinggal di balik jeruji, mereka mungkin akan kembali mencoba melakukannya. Malah bisa semakin menjadi. Karena mereka akan berpikir, "Ah, dipenjara sebentar aja kok!" Atau mereka akan berkomentar, "Korupsi yang banyak sekalian saja, paling dendanya tidak sampai 50% dari uang yang dikorupsi, kan kita masih bisa untung." Komentar yang tentu saja bisa melahirkan pelaku-pelaku korupsi baru.

Ya, korupsi di negeri ini akan terus terjadi selama pengelolaan dan sanksi hukum terhadap pelaku korupsi dan suap masih sama, sama sekali tidak memberi efek jera bagi pelakunya.


Pamulang, 4 April 2016
#korupsi oh korupsi
*) foto diambil dari kabar24.bisnis.com

#OneDayOnePost
#26