Thursday, April 28, 2016

Dari Kecil Aku Sudah Suka Jalan-jalan

Pesona Alam Pantai Pasir Putih di kabupaten Situbondo

Aku anak desa. Lahir dan besar di desa. Sanak saudara hampir semuanya di desa. Jadi kalau hari raya aku tidak perlu "repot-repot" bepergian jauh untuk menemui mereka. Saudara kandung bapak dan ibuku semuanya tinggal di kabupaten yang sama--Situbondo. Tapi aku selalu ingin bisa bepergian jauh. Sampai kadang bingung sendiri, mau kemana dan mau menemui siapa? Haha...

Sepertinya bapak dan ibuku tahu aku senang pergi-pergi. Setiap diajak pergi, aku tidak pernah menolak. Tidak dengan alasan apa pun. Kemana pun perginya, aku langsung oke. Aku juga tidak pernah rewel saat diajak pergi. Karena bisa pergi-pergi saja sudah sangat menyenangkan bagiku. Itulah kenapa bapak dan ibuku kalau mau bepergian yang terjadinya satu atau dua tahun sekali itu, senang-senang saja mengajakku.

Bapakku dulu seorang guru di sebuah madrasah. Setiap satu atau dua tahun sekali, pihak madrasah mengajak para guru berdarmawisata, alias jalan-jalan. Pertama kali pergi darmawisata, saat usiaku masih sekitar delapan tahun, tahun 1988 waktu itu. Tujuan wisata pertama kala itu adalah ziarah wali yang ada di sekitar kota Surabaya dan menyeberang sedikit ke pulau Madura.

Bapak mendaftar untuk mengikutkan empat orang yang akan berangkat, yaitu bapak, ibu, dan dua orang anak. Sebagai anak kedua, tentu saja aku masuk nominasi. Senangnya aku, seperti dapat hadiah istimewa. Kebahagiaan sangat terlihat dari wajahku sejak sebelum berangkat, begitu kata ibu. Kami mengendarai bus pariwisata yang besar. Sepanjang jalan aku benar-benar menikmatinya dengan melihat ke luar jendela. Berbeda dengan kakakku yang sepertinya terlihat biasa saja. Sepanjang perjalanan lebih banyak digunakan untuk tidur.

Sampai di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, saat itulah untuk pertama kalinya aku merasakan naik kapal feri (jembatan Suramadu belum ada waktu itu), menyeberang dari Surabaya menuju pulau Madura. Dan aku pun kembali menikmatinya. Turun dari bus dan menikmati suasana di dalam kapal. Melihat-lihat ke arah lautan biru dengan ombaknya yang tenang. Ah, aku suka sekali merasakan semua itu. Coba kalau waktu itu sudah ada sosial media, pasti aku sudah foto-foto dan membaginya di sosmed. Hihi, saking senangnya.

Perjalanan berikutnya, lebih jauh dari sebelumnya...


(bersambung)

#OneDayOnePost
#43

Tuesday, April 26, 2016

Pantaskah Untuk Tidak Bersyukur?

Dalam beberapa hadits, Rasulullah beberapa kali menyebut, "Demi Dzat, yang jiwaku dalam genggaman-Nya." Dimana Dzat yang dimaksudkan oleh Rasulullah tentu saja adalah Allah Azza wa Jalla. Benar saja, Allah adalah penggenggam seluruh jiwa. Tak bisa dipungkiri, bahwa segala penentu hidup dan mati manusia adalah dalam kekuasaan Allah. Jika Allah berkehendak seseorang untuk tidak bangun lagi setelah tidurnya, maka jadilah orang itu tidak lagi bernyawa.

Akan tetapi, pernahkan kita menyadari bahwa penentu kehidupan setelah manusia pulas dalam tidurnya juga adalah kekuasaan Allah. Dengan seseorang bisa terbangun (lagi) di pagi hari, itu menunjukkan bahwa Allah mengembalikan jiwa orang itu ke dalam raganya. Yang beberapa saat sebelumnya, jiwanya ada dalam genggaman Allah.

Tidak hanya saat kita tertidur, ada keadaan lain di mana seseorang mengalami kehilangan kesadaran. Baik sesaat dalam hitungan detik saja, atau dalam waktu yang lama seperti seseorang yang mengalami pingsan atau koma. Hanya karena kuasa dan kehendak Allah sajalah jiwa seseorang bisa kembali ke dalam raganya. Tidak ada satu pun manusia yang bisa mengetahui, apakah dia bisa bangun lagi setelah tidurnya? Apakah dia bisa sadar kembali setelah pingsan atau komanya? Dan apakah seseorang bisa "selamat" setelah mengalami kejadian yang secara logika sungguh mengancam jiwanya?

Ketika seseorang selamat dari suatu peristiwa yang mengancam jiwanya, apa yang terpikir olehnya? Apa yang seharusnya pertama kali terucap dari lisannya? Terkadang manusia lupa, bahwa Allah-lah yang telah menyelamatkannya. Tidak sedikit dari mereka yang berkata, "Untung aku sigap menghadapi situasi darurat tadi, kalau tidak, nyawaku pasti melayang." Begitulah! Manusia merasa keselamatan itu diperoleh karena kehebatannya, dan lupa dengan keberadaan Robb-nya.

Ketika jiwa seseorang melayang, lebih mudah bagi manusia untuk mengatakan, "Semua terjadi atas kehendak Allah." Namun saat seseorang terselamatkan jiwanya, manusia seolah-olah lupa bahwa yang terjadi itu juga tidak lepas dari kehendak Allah, karena kasih sayang-Nya. Dimanakah rasa syukur kita? Setiap pagi terbangun dan bisa kembali menghirup udara pagi, adakah kita ingat untuk berterima kasih pada-Nya?

Kembali pada ucapan Rasulullah, "Demi Dzat, yang jiwaku dalam genggaman-Nya." Tersimpan makna yang dalam dari ucapan itu. Ada kesadaran dalam diri bahwa yang menentukan hidup dan mati seseorang ada di tangan Allah. Dengan begitu, bisa melahirkan rasa syukur atas setiap nikmat berupa kehidupan yang dianugerahi-Nya. Dan sudah sepantasnya ungkapan syukur kepada Allah disampaikan oleh setiap yang masih hidup. Karena orang yang sudah mati, tidak akan (lagi) bisa bersyukur.

Jika Rasulullah saja, begitu besar rasa syukurnya kepada Allah, yang menggenggam jiwanya. Pantaskah kita yang hanya memiliki sedikit amal untuk tidak bersyukur kepada-Nya?


Pamulang, 26 April 2016, 20:20 WIB
*Alhamdulillah, atas semua nikmat yang Allah berikan

#OneDayOnePost
#42