Friday, April 29, 2016

Dari Kecil Aku Sudah Suka Jalan-jalan (lanjutan)

Kisah sebelumnya ada di sini.

Pesona Alam Pantai Pasir Putih di Situbondo

Perjalanan berikutnya, lebih jauh dari sebelumnya. Obyek wisaya ziarah wali ditambah hingga ke daerah Jawa Tengah, yaitu ke tempat Sunan Kalijaga. Karena jarak lebih jauh, maka waktu yang dibutuhkan juga lebih lama dari perjalanan sebelumnya yang hanya dua hari dua malam. Dan pada perjalanan kali ini, giliranku dan adik yang diajak. Hehe, lagi-lagi aku deh yang dapat giliran...

Berangkat pada malam hari, suasana tampak tenang-tenang saja. Namun suasana berubah saat memasuki Jawa Tengah pada keesokan harinya. Adikku mabuk bukan kepalang. Muntah hingga berkali-kali dalam hitungan jam. Menjadi perjalanan jauh pertama membawa adik, membuat bapak sempat panik mendapati adik mabuk darat. Bapak sampai berpikir untuk pulang lebih dulu ke rumah dengan menumpang bus umum. Sungguh menjadi perjalanan tak terlupakan bagi bapak dan ibu.

Sementara aku, seperti biasa, begitu senang dan menikmati perjalanan darat menuju Jawa Tengah yang memang untuk pertama kalinya aku rasakan. Melintasi jalan licin beraspal, dan melalui daerah pegunungan, sungguh sangat mengasyikkan. Kecuali mata sudah benar-benar tidak bisa dibuka, barulah aku tertidur di atas kendaraan. Tapi begitu sampai di tujuan dan bus berhenti, bisa dipastikan aku akan bangun dan turun dari bus untuk menjelajah alam sekitar.

Tahun berikutnya, tempat ziarah yang dituju lebih jauh lagi. Target terakhir bisa sampai tempat Sunan Gunung Jati di daerah Cirebon, Jawa Barat. Pada perjalanan ketiga itu, hanya aku yang diajak. Adik sudah tidak mau lagi ikut karena trauma pada perjalanan sebelumnya. Sementara kakak juga tidak mau, meski hanya karena alasan malas pergi. Jadilah aku senang dan puas bisa melakukan perjalanan ke kota-kota yang jauh dari tempat tinggalku.

Perjalanan ke Cirebon, sepertinya menjadi perjalanan wisata terakhir kami. Karena dua tahun berikutnya bapak memilih untuk pindah madrasah di dekat rumah. Dimana tahun sebelumnya, pihak madrasah yang lama meliburkan dulu acara darmawisata. Dan di madrasah yang baru tidak ada agenda jalan-jalan. Hihi, garing...

Tapi saat itu aku yang sudah SMP, memilih untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Yang salah satu kegiatannya hampir tiap bulan sekali adalah kemping dan atau kemah. Lengkaplah pemenuhan hasrat kesukaanku, karena aku tidak sekadar jalan-jalan saat kemah atau kemping, tapi juga berpetualang. Entah ada berapa destinasi yang sudah aku jangkau selama di bangku SMP. Yang jelas ada kisah di setiap perjalanan yang telah aku lalui.

Memasuki bangku SMA, aku memilih sekolah di pusat kabupaten. Tiap hari aku harus mengendarai bus umum untuk bisa sampai ke sekolah. Saat ada satu bus yang tidak beroperasi, maka saat itulah aku akan menumpang bus sambil berdiri. Naik bus menjadi kegiatan rutin yang aku lakukan pada pagi dan siang/malam hari. Tapi aku tidak pernah sekali pun merasakan bosan untuk apa yang telah aku lakukan kala itu.

Untuk selanjutnya, menempuh pendidikan di Malang, membuat aku benar-benar sudah terbiasa melakukan perjalanan dengan bus. Aku pun melakukan perjalanan sendiri sedari awal mengikuti tes UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), daftar ulang setelah dinyatakan diterima, hingga menuju tempat kos.

Dan setelah menikah pun, tak terpikirkan sebelumnya aku akan pindah tempat tinggal beberapa kali. Karena memang aku suka-suka aja jalan-jalan, pindah-pindah rasanya biasa. Bahkan lebih terasa menyenangkan bisa mengetahui tempat-tempat yang sebelumnya hanya aku kenal namanya dari media.


Pamulang, 29 April 2016
*pengalamanku

#OneDayOnePost
#45

Azan, Ma

Repost!

Ini hari minggu. Mama mengajak Zahra ke pasar minggu, yaitu pasar yang hanya ada pada hari minggu saja. Tepat di sebelah pintu keluar-masuk pasar minggu itu, ada seorang laki-laki tua yang hanya punya satu tangan, sedang meminta-minta kepada pengunjung pasar. Setelah membeli beberapa kebutuhan dan jajanan sehat buat Zahra, Mama mengajak Zahra pulang. Sampai di pintu pasar, Zahra berhenti dan menoleh pada Mama.
“Ma, boleh minta uangnya? Untuk kakek tua itu?”, tanya Zahra.
“Boleh sekali, Sayang? Nih, berikan pada kakek itu, ya...?”, jawab Mama sambil menyodorkan uang kepada Zahra. Lalu mereka pulang. Di jalan, Zahra melihat seorang laki-laki yang berjalan dengan bantuan sebuah tongkat. Zahra terus memperhatikan dan seperti sedang mencari sesuatu dari orang itu.
Setiba di rumah, Zahra langsung bertanya pada Mama, “Ma, kakek yang di pasar tadi, tangannya kemana ya?”
“Wah, kita tadi tidak menanyakan itu, ya, Sayang? Mungkin Allah memang tidak memberinya tangan. Atau mungkin Allah sudah memberinya, tapi kemudian Allah mengambilnya lagi. Kira-kira yang benar yang mana, ya?”, papar Mama yang ditutup dengan pertanyaan untuk Zahra.
“Berarti, Ohm yang berjalan pakai tongkat di jalan tadi juga tidak diberi kaki oleh Allah, Ma? Atau, sudah Allah beri, tapi Allah mengambilnya lagi!”, kata Zahra. Dia tidak menjawab pertanyaan terakhir Mama. Zahra justru menyimpulkan sendiri kenapa laki-laki yang dilihatnya di jalan itu tidak punya kaki dan berjalan menggunakan tongkat.
“Ma, aku main dulu, ya...?”, ujar Zahra sebelum Mama menanggapi pernyataannya. Zahra tidak lagi menanyakan perihal dua laki-laki yang dilihatnya di pasar dan di jalan itu. Zahra seolah-olah sudah mendapat jawaban dari pertanyaannya.
“Iya, Sayang... Kembali sebelum waktu makan siang, ya...?”, jawab Mama yang tak lupa menyampaikan pesan sebelum Zahra pergi.

...
“Sudah azan, aku pulang dulu, ya...”, ucap Zahra kepada Bagas.
“Memangnya kalau azan harus pulang, ya?”, tanya Bagas.
“Ya, iya. Mama pasti sudah menunggu aku untuk sholat. Aku juga sudah lapar. Aku mau makan.”, jawab Zahra.
“Sholat??? Ngapain susah-susah sholat? Memangnya habis sholat kamu dapat apa?”, tanya Bagas sedikit ketus.
Beberapa saat, Zahra terlihat berpikir. Tapi kemudian dia pamit lagi untuk pulang.

...
“Sayang..., azan..., TV-nya matikan dulu. Sholat yuk...!”, seru Mama sembari meninggalkan dapur dan menuju musholla, yaitu ruangan kecil yang ada di salah satu sudut rumah Zahra.
“Tanggung, Ma. Bentaaar aja!”, jawab Zahra sambil dia bangkit dari duduknya dan memilih untuk meneruskan nontonnya dengan berdiri.
“Sayang..., lupa ya...?”, seru Mama lagi yang sudah berada di musholla.
“Iya, Ma...!”, jawab Zahra yang segera mematikan TV dan lari ke kamar mandi untuk berwudu.

...
“Ma, kenapa sih, kita mesti sholat?”, tanya Zahra yang sedang bersiap untuk tidur pada suatu malam. Usia Zahra memang masih 6 tahun. Kadangkala dia juga suka mogok tidak mau sholat, dengan alasan capek. Namun tidak terlalu susah juga untuk mengajaknya sholat. Dengan sedikit rayuan, Zahra pasti mau diajak sholat.
“Zahra masih ingat kan, siapa yang menciptakan kita?”, tanya Mama pelan.
“Allah, kan, Ma!”, jawab Zahra mantap.
“Trus yang memberi kita mata, mulut, telinga, hidung, tangan, dan kaki, siapa?”, tanya Mama lagi.
“Ya, Allah juga, Ma? Kalau Allah gak ngasih zahra mata, nanti zahra gak bisa melihat, dong, Ma!”, jawab Zahra.
“Nah, sholat itu sebagai bentuk syukur kita kepada Allah yang sudah memberi kita mata, mulut, tangan, kaki dan yang lain-lain juga... Coba, bagaimana kalau Allah tidak memberi tangan atau mengambil tangan Zahra?” Mama memberi penjelasan sambil menatap Zahra dengan lembut.
“Allah bisa mengambil tangan Zahra juga, Ma???”, tanya Zahra.
“Allah bisa menciptakan kita. Allah memberi apa yang kita butuhkan. Allah juga bisa mengambil semua pemberian-Nya dengan mudah, Sayang... Zahra ingat, kakek yang kita lihat di pasar tempo hari? Bukannya dia tidak punya tangan? Nah, kita yang diberi tangan sudah sepatutnya berterima kasih kepada Allah. Salah satunya dengan sholat. Karena Allah senang sekali kalau melihat Zahra sholat. ”, kata Mama sambil tetap menatap Zahra dan membelai rambutnya.
“Oh, gitu ya, Ma?”, jawab Zahra sambil menguap.
“Nah..., Zahra sudah mengantuk. Sebelum tidur, kita berdoa dulu, yuk.”

...
Sore itu, Mama mengajak Zahra menjenguk Bagas ke rumah sakit. Namun Bagas sepertinya sedang tidur, jadi Zahra tidak bisa menyapanya. Setelah Mama berbincang sebentar dengan orang tua Bagas, Mama mengajak Zahra pulang.
Sampai di rumah, Zahra bertanya kepada Mama, “Mama, kaki Bagas tadi itu diapain, Ma?”
“Diperban, Sayang... Kaki Bagas patah, setelah dia jatuh dari pohon kelengkeng di depan rumahnya. Makanya, Zahra kalau main hati-hati, ya?”, jawab Mama.
“Kasihan Bagas. Coba Bagas mau mau berterima kasih pada Allah. Pasti Allah tidak akan mengambil kakinya.”, ucap Zahra.
“Kenapa Zahra bilang begitu?”, tanya Mama.
“Iya, Ma. Bagas kan tidak pernah sholat? Berarti dia tidak bersyukur kan, Ma?”, jawab Zahra.
“Ma, azan... Ayo sholat, Ma. Zahra tidak mau Allah mengambil kaki Zahra.”, sambung Zahra sambil bergegas menuju kamar mandi untuk berwudu.

 ~~~ end ~~~
 
 
Special for: 
#OneDayOnePost