Friday, February 1, 2019

Berbagi atau Bertanyalah (Bagian 1)

Suami yang terbaring di RS

Mendapat Kabar Duka

25 Januari 2018
Sore itu saya mendapat kabar dari rekan suami kalau suami tak sadarkan diri di kantornya. Saya yang ("merasa") paham betul "bagaimana" suami, cukup was-was. Fisik beliau cukup kuat, rasanya tidak mungkin kalau sampai tidak sadarkan diri. "Semoga tidak ada yang serius." Gumam saya mengusir kepanikan yang muncul sesaat.

Ya, beberapa detik panik itu sempat datang. Saya hanya bisa menghela napas. Berada jauh dari keluarga besar bersama 4 anak yang belum bisa ditinggal, saya harus berpikir cepat untuk bisa segera menemui suami yang sudah dibawa ke rumah sakit. Saya pun menghubungi seorang teman untuk datang lebih dulu ke RS sementara saya bersiap dan menyiapkan keperluan anak-anak.

Anak-anak sudah mandi semua, makanan buat mereka siap, dan si bungsu juga sudah dipuaskan ngASI-nya. Saya sendiri juga bersiap seperti saat saya bersiap menjelang suami pulang kantor. Saya tanamkan keyakinan dalam hati, "Saat tiba di RS, suami akan buka mata dan yang pertama kali dilihatnya adalah saya dengan penampilan terbaik saya." 

Iya, saya membangun optimisme sejak awal. Tiba di RS, suami masih di ruangan CT-Scan. Saya menunggu sambil sesekali menemui dokter jaga untuk menanyakan keadaan suami serta menyelesaikan beberapa urusan terkait administrasi. Sebagai orang "awam" medis, saya tidak punya cukup pengetahuan tentang kondisi suami. Saya pun mempercayakan suami kepada tim dokter yang menanganinya.

Kalau pun bertanya, pertanyaan saya sangat umum dan lebih mengandalkan logika pikir saya yang bukan seorang dokter. Pertanyaan seperti, apa yang terjadi dengan suami saya? Kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana saran dokter terhadap suami? Tindakan apa yang dibutuhkan oleh suami? Dan pertanyaan lain yang sebagian besar kesimpulan jawabannya adalah "sedang diobservasi".

Dari ruangan CT-Scan saya mendapati keadaan suami saya seperti sedang tertidur. Ketika tangan kanannya bergerak, saya mendekati dan membisikkan sesuatu kepada beliau. Ternyata beliau masih bisa mendengar perkataan saya. Bahkan beliau juga bisa merespon pertanyaan-pertanyaan saya dengan anggukan kepala atau menggeleng. Tapi beliau tidak berbicara dan tidak membuka mata.

Dari hasil laboratorium dan foto rontgent, saya mendapatkan penjelasan yang "memuaskan". Optimisme saya tetap terjaga hingga saya bertemu dengan dokter spesialis syaraf yang menyampaikan hasil CT-Scan. Dokter perempuan yang masih muda itu berkata kalau suami saya mengalami pendarahan.

Saya pun bertanya, "Apa yang memicu terjadinya pendarahan, Dokter?"
"Pasti karena trauma."
"Trauma bagaimana?"
"Trauma karena benturan, Bu. Bapak jatuh kan?"
"Oh, saya tidak tahu, Dokter. Karena Bapak tidak sadarkan diri di kantor. Tapi informasi yang saya dapat, Bapak tidak jatuh."
"Loh, ini infonya di sini (laporan medis pelapor yang membawa suami ke RS) Bapak jatuh."
"Coba nanti saya tanyakan lagi, Dokter. Tapi apakah ada kemungkinan pemicu lain selain benturan, Dokter?" Tanya saya karena saya yakin dengan informasi yang saya dapatkan bahwa suami saya tidak jatuh.
"Pasti karena benturan, Bu. Nggak ada sebab lainnya." 
Mungkin dokter menyampaikan pernyataan ini karena tensi darah suami yang normal, bukan karena sang dokter kurang pengalaman meski dia masih sangat muda.
"Ok, Dok. Jadi tindakan apa yang Dokter sarankan untuk suami saya?"
"Harus operasi, Bu. Tapi tunggu dulu, saya akan konsulkan hasil CT-Scan-nya ke dokter spesialis bedah syaraf."
"Baik, Dokter. Saya tunggu info selanjutnya."

Di sela-sela menunggu para dokter datang dan memanggil saya untuk menghadap, saya mulai menghubungi keluarga besar saya dan suami serta beberapa sahabat untuk meminta bantuan doa. Secara umum mereka semua menunggu kabar dan keputusan dokter terhadap suami saya. Ada beberapa saran tindakan non medis dari beberapa teman, tapi saya kesulitan untuk melakukannya sendiri.

*bersambung...


Monday, January 21, 2019

Ketika Ananda (Siap) Toilet Training

Si anak ke-5 yang hobby basah-basahan 😄
Punya anak lima ternyata tidak membuat saya "mahir" mengatasi masalah "toilet training". (Hihi, parah nih si Emak...) Entahlah, saya merasa masing-masing anak memiliki kekhasan yang membuat mereka berbeda dalam menghadapi latihan belajar ke toilet sendiri. Ada yang mudah, namun juga ada yang terkesan sulit. Tapi memang kuncinya ada pada kesiapan kedua belah pihak, yaitu kesiapan orang tua dan kesiapan si anak. Itu menurut saya yaaa...

Flashback sedikit. Ketika masa anak pertama, saya belum mengenal pospak alias popok sekali pakai. Alhasil, sangat biasa saya mendapati dia pipis di mana saja saat dia lagi ingin pipis. Tentu saja di awal dia pipisnya masih di celana yang pada akhirnya dia sendiri merasa tidak nyaman mendapati celana basah oleh pipis. Keadaan yang pastinya berbeda dengan saat dia memang sedang beraktivitas melibatkan air. Kalau itu sih dia senang dan tak pernah bosan. Sepertinya tidak hanya dia yang suka, tapi hampir semua anak menyukainya.

Anak kedua saya mulai memakai pospak setelah usianya 6 bulan. Begitu juga dengan anak ke-3 dan ke-4. Mereka bertiga hampir melalui fase yang sama dalam penggunaan pospak. Namun masa pakai mereka berbeda, rata-rata 2 tahun kecuali anak ke-4. Anak ke-2 sempat mengalami kendala karena keterlambatan bicara yang dialaminya hingga usia 3 tahun, namun dia cukup berhasil sebelum usianya 2 tahun. Biasanya dia memberi isyarat kalau ingin pipis, meski tidak selalu dilakukannya. Anak ke-3 lancar, berhasil melewati toilet training sebelum usia 1,5 tahun. Sementara anak ke-4, hehe, dia mengalami keterlambatan toilet training, terlanjur merasa nyaman pakai pospak (salah emaknya kalau ini mah). Dibutuhkan tips khusus untuk mengatasinya. (Tips ala saya ada di sini)

Sebetulnya kapan sih waktu yang tepat untuk toilet training? Kalau dari penerawangan saya (yaelah), beberapa poin berikut bisa dijadikan dasar untuk mulai menerapkan toilet training, di antaranya:

1. Dia sudah bisa jongkok. Kemampuan jongkok dengan kuat saya jadikan pertimbangan pertama mengajari anak-anak buang air kecil (bak) dan buang air besar (bab) di kamar mandi. Jadi dari kecil saya mengajari mereka untuk bak dan bab secara duduk, termasuk anak laki-laki. Saya memang memilih untuk menanamkan kebiasaan baik kepada anak-anak sejak dini, terutama ditinjau dari sisi agama yang saya anut, atau yang lebih dikenal sebagai adab. Termasuk adab-adab ke kamar mandi di mana salah satunya adalah tidak bak sambil berdiri.

2. Dia bisa menyampaikan secara verbal atau non verbal keinginannya untuk bak dan bab. Karena tidak semua anak kemampuan berbicaranya sama, tentu dibutuhkan kemampuan lebih bagi orang tua untuk memahami maksud anak-anak saat memberi isyarat atau menyampaikan sesuatu yang belum jelas kepada mereka. Boleh jadi yang terdengar di telinga kita dari mulut bayi bermakna sama antara "pup" (pingin bab) dan "bubuk" (pingin tidur). Maka harus pintar-pintarnya orang tua melihat situasi dan kondisi, kira-kira anak kita pinginnya apa. Btw, saat ini saya dalam masa sedang berusaha keras memahami perkataan anak ke-5 yang kosakatanya bagi saya terdengar sama semua, hehe... (Peace ya, debay)

3. Dia memberi "pesan" atau isyarat bahwa dia "siap" belajar toilet training. Pesan dan isyarat yang ditunjukkan setiap anak bisa saja berbeda. Kalau anak ke-5 saya, dia mulai suka melepas popok, apalagi saat popoknya mulai basah. Saya belum tahu pasti apakah dia merasa tidak nyaman dengan popoknya atau dia merasa tidak nyaman dengan basahnya si popok. Pastinya ini adalah kesempatan untuk menyampaikan kepadanya kalau memakai popok itu memang tidak nyaman dan kita mesti bersiap untuk mulai mengajaknya bak dan bab di toilet.

4. Ini poin utamanya. Kita sebagai orang tua sudah benar-benar siap dengan segala resiko yang ditimbulkan saat anak mulai belajar toilet training. Kesiapannya meliputi fisik maupun mental.
Kesiapan fisik di antaranya mesti bersiap dengan tenaga lebih manakala anak tiba-tiba bak atau bab di celana tanpa memberitahu. Otomatis ini akan menambah banyaknya cucian. Siapkan juga tenaga untuk lebih sering lagi mengepel lantai, apalagi jika kita memutuskan untuk menjaga lantai tetap selalu dalam keadaan suci. Karena menjaga kesucian lantai lebih tidak mudah dari pada sekadar menjaga kebersihannya.
Kesiapan mental di antaranya dengan menambah stok kesabaran mendapati "kejutan" dari si kecil serta kesabaran dalam memberikan motivasi dan dorongan kepada si kecil agar semangat untuk terus belajar. Kelihatannya gampang, tapi tidak mudah saat menghadapinya. Apalagi jika si kecil memberi "kejutan" tak terduga di waktu-waktu yang kurang pas menurut kita. Ingat! Tetap sabaaar...

Itu 4 poin yang menurut saya penting, meliputi 3 poin dasar (nomer 1 - 3) dan 1 poin utama (poin 4). Untuk poin utama kita perlu menyiapkannya sejak anak setidaknya berusia 1 hingga 1,5 tahun. Setelah itu, bersiaplah menunggu 3 poin dasar muncul pada diri anak. Begitu terlihat, segeralah tangkap peluang untuk mengajarkan anak toilet training. Jangan sampai terlambat!

Naaah, saat ini sepertinya saya sudah harus mulai menerapkan toilet training pada anak ke-5. Karena 3 poin dasar sudah dia perlihatkan, tinggal saya yang masih maju mundur menyiapkan poin utamanya, hihi... (Please deh, Mak!)


#TulisanParenting
#ToiletTraining

*Pantun Ria
Kota Malang sedang musim hujan
Emak pakai jaket agar badan hangat
Tulis di komen kalau ada kritik saran
InsyaAllah jadi masukan bermanfaat