Anak ke-4 bikin saya baper habis hari ini. Sudah biasa sih dia bikin saya baper lewat obrolan-obrolan kami tentang ayahnya, tapi tidak sebanyak hari ini.
Kebaperan ini berawal dari keinginan si bungsu naik mobil. Si bungsu aka anak ke-5 yang biasa saya ajak wira-wiri kesana kemari rupanya kangen ingin naik mobil setelah hampir sepekan saya tidak mengajaknya kemana-mana. Jadilah tadi sore saya ajak dia dan dua kakaknya (anak ke-4 dan anak ke-3) ke rumah mbahyut-nya alias nenek saya. Jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 1 km saja dari rumah.
Namun perjalanan itu melewati satu area pemakaman dan terjadilah obrolan yang bikin saya baper.
A4: "Ayah ada di sana ya, Bun?"
A3: "Ayah kan juga dimakamkan."
Me: "Ayah sudah dimakamkan, tapi bukan di sana. Adik Nuha sudah tiga kali ke makam ayah."
A3: "Aku nggak diajak."
Me: "Iya, nanti kalau kita ke Malang, kita ke makam ayah."
A4 alias anak ke-4 diam saja, tapi seperti biasa, dia pasti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin dia sedang membayangkan hari-hari indah bersama ayahnya... (*saya mewek.)
Perjalanan berlanjut. Akhirnya anak ke-4 berkata lagi setelah dia sempat diam beberapa saat.
A4: "Aku kalau sudah tidur sering menangis."
A3: "Kok tahu, kan sudah tidur?"
A4: "Kalau mau tidur."
Me: "Kenapa, Mas?"
A4: "Ingat ayah."
Me: "Setiap mau tidur jangan lupa doakan ayah, ya..."
Lagi-lagi, ini tentang ayahnya. Anak ke-4 memang paling sering menanyakan ayahnya dan menyampaikan kerinduannya. Itulah obrolan kedua yang bikin saya baper hari ini. (*yaaa, saya mewek lagi dah.)
Obrolan ketiga yang bikin saya baper habis, terjadi menjelang anak ke-4 pergi tidur.
A4: "Kalau kita sudah meninggal semua, kita nanti dilahirkan lagi ya, Bun?"
Me: "Kenapa, Mas?"
A4: "Kita nanti kan akan meninggal juga kayak ayah, terus nanti kita semua apa akan dilahirkan lagi?"
Me: "Nggak dilahirkan lagi, Mas. Setiap hari akan selalu ada yang dilahirkan dan ada yang meninggal. Tapi nanti kita akan dihidupkan lagi."
A4: "Berarti bisa ketemu ayah?"
Me: "InsyaAllah ... kita akan bertemu ayah dan kita semua akan berkumpul di surga."
A4: "Aku sudah pingin ketemu ayah."
Me: "Ayo kita berdoa buat ayah. Semoga nanti kita bisa bertemu ayah dalam mimpi."
Begitulah anak ke-4 yang seringkali menyampaikan kerinduannya kepada sang ayah dan selalu sukses membuat saya mewek, seperti saat ini. Apalagi setelah melihatnya tertidur lelap, saya tidak bisa lagi menahan air mata dan akan menangis diam-diam.
Anak ke-4 ... usianya baru saja enam tahun ketika suami saya meninggal. Seperti anak kecil lainnya, dia sempat bermain-main di sekitar jasad ayahnya. Dia juga sempat menolak saat diminta mendekati ayahnya. Tapi akhirnya dia mau mendekat dan mencium pipi ayahnya. Setelah itu dia pun bermain-main lagi.
Saat ayahnya akan dibawa ke pemakaman, rupanya dia sedang bermain di rumah sebelah dan baru kembali saat suami saya sudah di pemakaman.
Dia pun bertanya, "Ayah ke mana?"
"Ayah sudah dibawa ke pemakaman, Sayang," jawab saya sambil memeluk dan menciumnya.
Saya tidak memikirkan apakah dia paham ucapan saya atau tidak kala itu.
Malam harinya dia dibawa mbah-nya kembali ke kampung, sementara saya tetap tinggal di kota tempat suami saya menghembuskan nafas terakhirnya. Saya baru bertemu dia lagi sebulan lebih kemudian.
Hal pertama yang diungkapkannya tentang kepergian ayahnya saat bertemu saya adalah keinginannya untuk meninggal sebentar saja agar bisa bertemu ayahnya. Ketika itulah saya tahu bahwa dia sangat merindukan ayahnya. Ayah yang sejak dia lahir hingga usianya enam tahun, hampir selalu hadir mengisi hari-harinya. Bukan berarti anak-anak yang lain tidak begitu. Hanya saja, anak ke-4 ini lahir saat suami saya memiliki banyak waktu di rumah hingga usianya satu tahun. Tahun-tahun berikutnya suami saya mulai bekerja dengan jam kerja yang longgar sehingga tetap mempunyai lebih banyak waktu bersama anak-anak.
Dia juga sempat mengungkapkan rencana kehidupan ke depan yang mirip atau bahkan sama dengan perjalanan hidup ayahnya. Dia mengatakan bahwa setelah lulus dari TK dia akan sekolah SD, SMP, SMA, kuliah, lalu menikah, dan kemudian meninggal, jadi bisa bertemu ayahnya di surga.
Selama saya tidak bersamanya, dia biasa menanyakan tentang ayahnya kepada buliknya. Ternyata dari buliknya dia mendapat penjelasan bahwa ayahnya sudah lebih dulu ke surga dan nanti kalau dia sudah besar, sudah sekolah seperti ayah baru bisa bertemu ayah di sana. Maksud buliknya tentu untuk memotivasi dia agar rajin ke sekolah. Namun rupanya dia berpikir bahwa setiap manusia akan memiliki siklus yang kurang lebih sama seperti yang dialami ayahnya. Sepertinya karena hal ini juga dia jadi begitu takut saya tinggal.
"Ah, anakku. Engkau mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang engkau tahu hanyalah rindu dan keinginan untuk bertemu. Namun engkau mampu memaknai arti rasa kehilangan."
Pesan bunda untukmu, Nak.
Teruslah kau mengenang ayahmu.
Kenanglah hari-hari indah yang dilaluinya bersamamu.
Tirulah semangatnya dalam menuntut ilmu.
Teladanilah sosoknya yang gemar membantu.
Itu tidak akan sulit bagimu.
Karena darahnya mengalir dalam darahmu.
#SemingguTigaPostingan
#day9