Saturday, March 2, 2019

Seperti Apa Makna Rasa Kehilangan Bagimu?


Bersama ayah di Taman Nasional Baluran

Anak ke-4 bikin saya baper habis hari ini. Sudah biasa sih dia bikin saya baper lewat obrolan-obrolan kami tentang ayahnya, tapi tidak sebanyak hari ini. 

Kebaperan ini berawal dari keinginan si bungsu naik mobil. Si bungsu aka anak ke-5 yang biasa saya ajak wira-wiri kesana kemari rupanya kangen ingin naik mobil setelah hampir sepekan saya tidak mengajaknya kemana-mana. Jadilah tadi sore saya ajak dia dan dua kakaknya (anak ke-4 dan anak ke-3) ke rumah mbahyut-nya alias nenek saya. Jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 1 km saja dari rumah.

Namun perjalanan itu melewati satu area pemakaman dan terjadilah obrolan yang bikin saya baper.

A4: "Ayah ada di sana ya, Bun?"
A3: "Ayah kan juga dimakamkan."
Me: "Ayah sudah dimakamkan, tapi bukan di sana. Adik Nuha sudah tiga kali ke makam ayah."
A3: "Aku nggak diajak."
Me: "Iya, nanti kalau kita ke Malang, kita ke makam ayah."

A4 alias anak ke-4 diam saja, tapi seperti biasa, dia pasti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin dia sedang membayangkan hari-hari indah bersama ayahnya... (*saya mewek.)

Perjalanan berlanjut. Akhirnya anak ke-4 berkata lagi setelah dia sempat diam beberapa saat.

A4: "Aku kalau sudah tidur sering menangis."
A3: "Kok tahu, kan sudah tidur?"
A4: "Kalau mau tidur."
Me: "Kenapa, Mas?"
A4: "Ingat ayah."
Me: "Setiap mau tidur jangan lupa doakan ayah, ya..."

Lagi-lagi, ini tentang ayahnya. Anak ke-4 memang paling sering menanyakan ayahnya dan menyampaikan kerinduannya. Itulah obrolan kedua yang bikin saya baper hari ini. (*yaaa, saya mewek lagi dah.)

Obrolan ketiga yang bikin saya baper habis, terjadi menjelang anak ke-4 pergi tidur.

A4: "Kalau kita sudah meninggal semua, kita nanti dilahirkan lagi ya, Bun?"
Me: "Kenapa, Mas?"
A4: "Kita nanti kan akan meninggal juga kayak ayah, terus nanti kita semua apa akan dilahirkan lagi?"
Me: "Nggak dilahirkan lagi, Mas. Setiap hari akan selalu ada yang dilahirkan dan ada yang meninggal. Tapi nanti kita akan dihidupkan lagi."
A4: "Berarti bisa ketemu ayah?"
Me: "InsyaAllah ... kita akan bertemu ayah dan kita semua akan berkumpul di surga."
A4: "Aku sudah pingin ketemu ayah."
Me: "Ayo kita berdoa buat ayah. Semoga nanti kita bisa bertemu ayah dalam mimpi."

Begitulah anak ke-4 yang seringkali menyampaikan kerinduannya kepada sang ayah dan selalu sukses membuat saya mewek, seperti saat ini. Apalagi setelah melihatnya tertidur lelap, saya tidak bisa lagi menahan air mata dan akan menangis diam-diam.

Anak ke-4 ... usianya baru saja enam tahun ketika suami saya meninggal. Seperti anak kecil lainnya, dia sempat bermain-main di sekitar jasad ayahnya. Dia juga sempat menolak saat diminta mendekati ayahnya. Tapi akhirnya dia mau mendekat dan mencium pipi ayahnya. Setelah itu dia pun bermain-main lagi. 

Saat ayahnya akan dibawa ke pemakaman, rupanya dia sedang bermain di rumah sebelah dan baru kembali saat suami saya sudah di pemakaman. 

Dia pun bertanya, "Ayah ke mana?"
"Ayah sudah dibawa ke pemakaman, Sayang," jawab saya sambil memeluk dan menciumnya. 
Saya tidak memikirkan apakah dia paham ucapan saya atau tidak kala itu.

Malam harinya dia dibawa mbah-nya kembali ke kampung, sementara saya tetap tinggal di kota tempat suami saya menghembuskan nafas terakhirnya. Saya baru bertemu dia lagi sebulan lebih kemudian. 

Hal pertama yang diungkapkannya tentang kepergian ayahnya saat bertemu saya adalah keinginannya untuk meninggal sebentar saja agar bisa bertemu ayahnya. Ketika itulah saya tahu bahwa dia sangat merindukan ayahnya. Ayah yang sejak dia lahir hingga usianya enam tahun, hampir selalu hadir mengisi hari-harinya. Bukan berarti anak-anak yang lain tidak begitu. Hanya saja, anak ke-4 ini lahir saat suami saya memiliki banyak waktu di rumah hingga usianya satu tahun. Tahun-tahun berikutnya suami saya mulai bekerja dengan jam kerja yang longgar sehingga tetap mempunyai lebih banyak waktu bersama anak-anak.

Dia juga sempat mengungkapkan rencana kehidupan ke depan yang mirip atau bahkan sama dengan perjalanan hidup ayahnya. Dia mengatakan bahwa setelah lulus dari TK dia akan sekolah SD, SMP, SMA, kuliah, lalu menikah, dan kemudian meninggal, jadi bisa bertemu ayahnya di surga. 

Selama saya tidak bersamanya, dia biasa menanyakan tentang ayahnya kepada buliknya. Ternyata dari buliknya dia mendapat penjelasan bahwa ayahnya sudah lebih dulu ke surga dan nanti kalau dia sudah besar, sudah sekolah seperti ayah baru bisa bertemu ayah di sana. Maksud buliknya tentu untuk memotivasi dia agar rajin ke sekolah. Namun rupanya dia berpikir bahwa setiap manusia akan memiliki siklus yang kurang lebih sama seperti yang dialami ayahnya. Sepertinya karena hal ini juga dia jadi begitu takut saya tinggal. 

"Ah, anakku. Engkau mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti. Yang engkau tahu hanyalah rindu dan keinginan untuk bertemu. Namun engkau mampu memaknai arti rasa kehilangan."

Bersama ayah di lokasi wisata Jeep Lava Tour Merapi

Pesan bunda untukmu, Nak.
Teruslah kau mengenang ayahmu. 
Kenanglah hari-hari indah yang dilaluinya bersamamu. 
Tirulah semangatnya dalam menuntut ilmu. 
Teladanilah sosoknya yang gemar membantu. 
Itu tidak akan sulit bagimu. 
Karena darahnya mengalir dalam darahmu.



#SemingguTigaPostingan
#day9

Wednesday, February 27, 2019

5 Langkah Mudah Memasang Regulator Tabung Gas


Gambar oleh tookapic pada Pixabay

Duluuu ... iya dulu ... jangankan pasang regulator ke tabung gas sendiri, masuk dapur saja, saya jarang sekali. Setelah menikah bagaimana? Hehe ... dulu itu maksud saya ya setelah menikah. Kalau sebelum menikah, apalagi ... masih ada mamak di rumah buat ditanyai bagaimana saya kecil dulu.

Semasa kecil, saya paling malas dengan urusan pekerjaan rumah. Sampai adik saya protes karena merasa selalu dia yang disuruh. Lha, kalau saya yang disuruh, saya selalu punya alasan. Paling sering secara tiba-tiba saya akan mengambil buku dan pensil. "Mau belajar, Mak," kata saya, haha... Tapi kalau soal ini, saya beneran belajar. Saya kan suka pelajaran matematika, ya saya kerjakan lah soal-soal di buku sampai habis. Tidak jarang saya kerjakan juga soal-soal di bab selanjutnya. Kalau sudah begitu, mamak tidak bisa bilang apa-apa, "nyeraaah", haha...

Kembali ke urusan dapur. Hingga menikah, saya belum pernah memasak sendiri. Paling banter ya saya membantu mengiris bawang atau mengupas buah dan sayur. Alhamdulillah, setelah menikah saya LDM (Long Distance Marriage) alias tinggal berjauhan dengan suami. Saya tinggal di Malang dan suami tinggal di Solo. Kami bertemu 2 pekan sekali selama weekend, kan eman-eman kalau waktunya dihabiskan buat urusan dapur, hehe... (Aseli, ini alasan yang dibuat-buat, kwkwkwk.)

Setelah kami tinggal bersama dan menempati rumah kontrakan, barulah pelan-pelan saya mulai belajar memasak. Apalagi sejak saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus jadi ibu rumah tangga (yaelah, jadi IRT aja pakai fokus-fokusan segala). Ketika masih sama-sama bekerja dan satu kantor, saya dan suami biasa masak bareng-bareng. Tentu saja suami yang lebih sering jadi pemeran utama, sementara saya sebagai pemeran pembantu, hehe...  Tapi setelah jadi IRT, otomatis saya yang jadi pemeran utama di dapur, gantian, sesekali suami tampil sebagai pemeran pembantu.

Lagi-lagi, semboyan "bisa karena biasa" membuat saya sedikit naik level di bidang memasak. (Sedikit, Maaak, karena soal rasa masakan, saya masih kalah jauh sama paksu, hihi... *cari tutup panci.) Bukan apa-apa sih, suami saya kerjanya fullday dan ada anak-anak, kalau harus selalu menunggu suami bisa-bisa saya dan anak-anak tidak makan, haha... Tidak hanya urusan memasak, semua hal yang berhubungan dengan dapur pun mulai saya atasi sendiri, termasuk berurusan sama tabung gas.

Meski awalnya "terpaksa", lama-lama saya jadi biasa. Tabung gas dan regulator menjadi sepaket yang tak terpisahkan dari keseharian saya di dapur. Dua hal itu sudah seperti teman saja rasanya. Malah kadang kalau pas suami yang memasang regulator dan gasnya ngambek (gas ngowos atau kompor tidak mau menyala), saya yang akhirnya harus turun tangan. Suami sih bisa mengatasinya sendiri, tapi karena itu butuh waktu dan suami masih ada pekerjaan lain, jadilah saya yang menggantikannya.

Berurusan dengan tabung gas ternyata tidak semenakutkan yang saya kira. Saya akan membagi pengalaman saya mengganti tabung gas berdasarkan hasil pengalaman saya beberapa tahun berurusan sama si biru dan si hijau. Sebelumnya, pastikan bahwa 5 hal penting sebelum memasak menggunakan kompor gas sudah diikuti dengan benar.

Nah, berikut ini adalah 5 langkah mudah memasang regulator tabung gas ala saya.

1. Memilih Regulator Yang Tepat

Regulator yang tepat adalah yang paling sesuai dengan tabung gas yang digunakan dan bisa menutup mulut tabung dengan sempurna. Cari saja regulator yang paling recommended. Bisa tanya-tanya teman atau tanya sama Mbah Google. Ibarat mencari jodoh yang klik, kadang memang tidak mudah, tapi pasti ada. Harga mahal juga bukan jaminan. Meski mahal, kalau tabung gas yang digunakan "mulut"-nya tidak sesuai dengan regulator yang digunakan, kadang masih suka timbul kebocoran gas. Padahal kunci keberhasilan pemasangan regulator adalah ketika sudah tidak ada sedikit pun gas yang keluar dari tabung.

2. Memilih Tabung Gas

Setelah mendapatkan regulator yang tepat, selanjutnya adalah memilih tabung gas yang baik. Tabung gas yang baik juga diulas di sini, namun ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan, yaitu volume tabung gas. Pastikan tabung gas yang dibeli volumenya penuh. (Tidak mau rugi kan, Mak, karena tabung gas yang baru dibeli isinya sedikit?) Selain menghindari "kerugian", memasang regulator pada tabung yang terisi banyak gas dengan tabung yang tersisa sedikit gas terkadang ada perbedaan.

Perbedaan itu timbul akibat tekanan dari gas di dalam tabung. Itulah kenapa, kadang-kadang ada bau gas tercium saat isi tabung gas tersisa sedikit. (Pernah mengalami tidak, Mak?) Itu terjadi karena tekanan yang sangat rendah dari dalam tabung yang bisa membuat regulator jadi tidak menutup mulut tabung secara sempurna. Penyebab lainnya bisa karena posisi tabung dan regulator yang kurang pas, atau mungkin selang gas yang tidak sengaja tersenggol sehingga memperngaruhi posisi regulator jadi sedikit bergeser.

3. Cek Rubber Seal 

Pastikan tabung gas yang akan digunakan ada rubber seal-nya. Rubber seal yang baik adalah yang masih utuh, tebal dan lentur. Tabung gas yang baru dibeli tidak menjamin rubber seal-nya juga baru, bahkan tidak jarang ada tabung gas yang tidak ada rubber seal-nya. Penampakan rubber seal yang sudah lama bermacam-macam, ada yang sudah tidak utuh (mungkin cuil atau terdapat robekan), ada yang sudah mulai menipis, dan ada juga yang keras atau kaku. Rubber seal dengan kondisi seperti itu tidak disarankan untuk digunakan, terutama bagi yang masih pemula memasang regulator gas. Karena sangat berpotensi menimbulkan kebocoran gas yang ditandai dengan suara mendesis atau ngowos saat digunakan. Setelah memastikan rubber seal dalam kondisi layak pakai, jangan lupa untuk memasukkan rubber seal ke mulut tabung.

4. Pasang Regulator dengan Benar

Setelah rubber seal dipasang, inilah saat yang paling mendebarkan, memasang regulator. Posisi regulator yang benar akan menentukan keberhasilan pemasangan regulator.

Caranya: letakkan regulator di mulut tabung pada posisi tegak lurus dengan tabung, lalu tekan sekuat mungkin dan putar tuas regulator searah jarum jam hingga tuas berada pada posisi 180 derajat. Perhatikan baik-baik, adakah suara mendesis? Jika tidak ada, maka itu artinya regulator sudah terpasang dengan benar.

Jika ada suara mendesis, lepas regulator. Coba untuk memperbaiki posisi rubber seal dengan mengeluarkannya terlebih dahulu, lalu memasangnya kembali. Kemudian lakukan langkah yang sama. Pastikan sudah tidak ada suara mendesis sebelum kompor gas digunakan.

5. Cobalah Menyalakan Kompor

Tidak jarang terjadi, regulator sudah terpasang dengan benar dan gas tidak ngowos, namun kompor tidak mau menyala. Untuk keadaan seperti ini, tidak perlu melepas regulator lagi. Coba saja ketuk perlahan bagian atas regulator beberapa kali sambil kembali mencoba menyalakan kompor. Tambah kekuatan ketukan secara bertahap jika kompor belum juga mau menyala. Biasanya tidak lama kompor sudah akan menyala. Kompor yang tidak mau menyala kemungkinan karena terjadinya sedikit penyumbatan aliran gas ke regulator, itulah kenapa dilakukan pengetukan pada regulator.

Jika pengetukan berulang sudah dilakukan dan kompor tetap tidak mau menyala, coba periksa selang gas. Karena beberapa regulator dibuat otomatis tidak bisa mengalirkan gas saat ada kebocoran pada selang gas.

Itulah 5 langkah mudah memasang regulator pada tabung gas. Asal semua langkah diikuti dengan benar, mengganti tabung gas tidaklah sulit dan tidak ada yang perlu ditakutkan. Jadi, buat emak yang masih belum berani atau belum pernah mencoba, ayo mulai mengganti tabung gas sendiri.


*tulisan ini diikutsertakan dalam tantangn SETIP bersama Estrilook
#SemingguTigaPostingan
#day8